Senin, 08 Juli 2013

Abwesenheit


Sebut saja saya hipster kalau menonton Melbi berulang-ulang dan tak pernah bosan bisa membuat sebutan itu melekat. Konser malam itu entah kenapa bisa membuat saya tidak bisa tidur sebagaimana ketika pertama kali menyaksikan aksi panggung mereka. Belum ada lagu baru dan hanya sedikit perubahan aransemen. Barangkali memang tidak ada yang istimewa. Gaya menyanyi Ugo di atas panggung juga masih begitu-begitu saja, tampil dengan kaos dan celana hitam, kacamata besar bundar dengan bingkai merah, dan jam tangan berwarna sama melingkar di tangan kirinya.  


Inilah catatan kesan saya atas penampilan mereka di FKY dua hari lalu. Sebelum tampil, Ugo sempat meminta maaf karena Yosi terlambat datang dan akan menyusul. Tempat bagi Yosi dibiarkan kosong dengan gitar yang disandarkan di dekatnya. Lebih dari separuh pertunjukan, Yosi tak juga muncul lalu Ugo pun nyeletuk tentang performance in the absence. Kalau tidak salah konsep itu muncul sekitar tahun 60-an dan 70-an di dunia seni pertunjukan, mencoba mengkritik konsep klasik teater dan opera yang masih fokus pada kehadiran aktor dan peran, figur, tubuh, kesetiaan pada teks. Sejak tahun 80-an, orang mulai mempertanyakan subjek dan identitas yang diterjemahkan menjadi bentuk-bentuk koreografi berisi patahan, perubahan bentuk, penghilangan tubuh, dan sejenisnya.

Ketidakhadiran pun ternyata membutuhkan ruang. Dari sepintas kalimat Ugo itulah saya mulai melihat konser musik malam itu sebagai sebuah pertunjukan yang utuh. Peran Ugo tidak dapat saya hindari selalu menyita perhatian. Posisi vokalis di atas panggung memang menguntungkan untuk mendapat perhatian. Dari Ugo saya mendapat remah-remah moving pleasure. Sebenarnya ini tidak penting untuk dibahas, tapi diam-diam saya selalu memperhatikan cara dia mengangkat kaleng bir, menenggaknya, menghisap sam soe dan membiarkan asapnya membangun efek ketika mengalir dari sela jari yang menggenggam mikropon.

Departemental Dities and Other Verses dan Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco menjadi semacam penghangat awal. Dua lagu itu berakhir seperti mengambang dan tak bilang-bilang. Lalu mulai naik pada nomor-nomor selanjutnya; Bulan Madu, On Genalogy of Melancholia, 7 Hari Menuju Semesta dan selanjutnya. Pada jeda pergantian setiap lagu, saya menemukan ruang kosong bagi imajinasi. Ugo memainkan perannya dengan baik, sebagai aktor yang bertahan hidup di atas panggung, sebagai penampil lirik, juga sebagai suguhan drama bagi penonton. Gerakan-gerakan Ugo adalah pelengkap cerita dengan caranya, ketika musik meninggi, asap-asap berhembus dari pojok-pojok panggung bersama lampu yang berkilat-kilat berganti warna.

Sebelum dibawakan, lagu Tentang Cinta selalu diberitakan Ugo sebagai lagu tersulit yang pernah dimainkan Melbi. Demikian juga bagaimana ia mengisi pengantar untuk lagu-lagu lain dengan pesan berbeda. Di depan mereka ada penonton dan secara sederhana, kalimat-kalimat pendek itulah yang menghubungkan musisi dengan penontonnya. Saya tidak tahu banyak soal musik, tapi jelas tugas seorang vokalis tidak hanya menyanyi di atas panggung. Ia setidaknya bisa mengarahkan persepsi, bagaimana orang bisa menikmati keseluruhan pertunjukan musik, menikmati urat-urat di leher sang penyanyi yang menegang ketika meneriakkan bait-baik lirik.

Peran Ugo barangkali memang berbeda dengan konduktor yang memiliki kuasa penuh atas sebuah konser. Seorang konduktor bisa membuat semua musisi patuh, selain pada deretan not, juga pada gerakan tangannya, membuat penonton menahan nafas dan tidak bicara selama pertunjukan. Tampaknya tidak ada yang bisa berkuasa penuh dari sebuah pertunjukan musik. Semua mengalir.

Ugo menarik diri sedikit ke belakang. Ruang panggung di depan dibiarkan kosong. Tempat yang disediakan untuk Yosi semakin terlihat menonjol meskipun barangkali penonton tidak akan memperhatikannya dan lebih memusatkan perhatian ke bagian belakang.  Ruang kosong selama Yosi belum tampak akhirnya menjadi tempat dimana penonton bisa merasa terganggu karena ketidaklengkapan sebuah pertunjukan tapi sekaligus sejenak bisa menjadi tempat singgah  dari nguing-nguing suara perangkat elektronik Yennu atau dentuman drum yang menggebu.

Bagi saya, ketidakhadiran Yosi di awal tetap membuat semacam kesan menunggu yang mau tidak mau membangun imajinasi tentang apa saja yang dilakukannya ketika tidak sedang memegang gitar di atas panggung. Tiba-tiba seperti ada kamera yang menyorot ketika Yosi menutup pintu rumah, berjalan dengan tergesa sampai akhirnya bisa menyusul membawakan dua lagu terakhir sebelum pertunjukan selesai.

Ketidakhadiran Yosi di awal adalah bagian dari keseluruhan element pertunjukan, suara-suara dari lampu sorot, asap, teks, musik, dan ruang kosong di atas panggung yang juga bisa bersuara dengan merdunya. Ketika seorang aktor tidak tampak di atas panggung, ia bertanggung jawab atas proses kehadiran dan penghadiran kembali. Ketika tak ada yang terlihat, penontonlah yang akan menemukannya sendiri. Mungkin hanya sedikit saja yang sadar, menggapai kosong dengan dramatik ruang dan wakunya, yang semakin banyak saja diekplorasi dalam pertunjukan-pertunjukan modern saat ini.

Kali ini tidak seperti menunggu Godot yang tak pernah muncul. Yosi akhirnya datang dengan kaos kecoklatan bertuliskan kutipan dari salah satu tokoh film tahun 60-an yang kurang lebih berbunyi:  Darwin is wrong. Man is still an ape. Barangkali juga bukan tokoh film itu rujukannya.

Dalam pengembaraannya menuju semesta, Joni dan Susi ketemu Pacar Senja yang sedang bulan madu sendirian di atas menara. Mereka bercakap sebentar lalu meneruskan perjalanan masing-masing.

Ah, saya terlalu berlebihan menuliskan hal-hal semacam ini.


***

Pulang lewat jam malam memaksa saya untuk meminjam kamarmu. Di sebelah, sepasang kekasih mengunci mimpi dalam gelap. Di kamar itu, tak bisa memejam menunggu pagi. Kau tak ada di sini. Baru dua hari saja, kamarmu telah dihuni debu, jaring laba-laba dan barangkali juga makhluk bermata hijau itu. Dari sebagian karpet biru maupun petak ubin yang pernah menyentuhmu, rak-rak berisi buku dengan judul yang selalu ada kata Indonesianya, ingatan-ingatan menemukan rantainya. Berpikir tentang detail bisa menggelembungkan, membunuh waktu sampai  hampir enam jam lamanya. Pagi menepi juga setelah semalam ia berlayar entah kemana.


Kamar Kost, 7 Juli 2013

1 komentar:

  1. Hi i am kavin, its my first time to commenting anywhere, when i read this article i thought i could also make comment due to this sensible
    paragraph.

    BalasHapus