Sebut saja saya hipster kalau menonton Melbi berulang-ulang dan tak pernah bosan bisa membuat sebutan itu melekat. Konser malam itu entah kenapa bisa membuat saya tidak bisa tidur sebagaimana ketika pertama kali menyaksikan aksi panggung mereka. Belum ada lagu baru dan hanya sedikit perubahan aransemen. Barangkali memang tidak ada yang istimewa. Gaya menyanyi Ugo di atas panggung juga masih begitu-begitu saja, tampil dengan kaos dan celana hitam, kacamata besar bundar dengan bingkai merah, dan jam tangan berwarna sama melingkar di tangan kirinya.
Inilah catatan kesan saya atas penampilan mereka di FKY dua
hari lalu. Sebelum tampil, Ugo sempat meminta maaf karena Yosi terlambat datang
dan akan menyusul. Tempat bagi Yosi dibiarkan kosong dengan gitar yang
disandarkan di dekatnya. Lebih dari separuh pertunjukan, Yosi tak juga muncul
lalu Ugo pun nyeletuk tentang performance
in the absence. Kalau tidak salah konsep itu muncul sekitar tahun 60-an dan
70-an di dunia seni pertunjukan, mencoba mengkritik konsep klasik teater dan
opera yang masih fokus pada kehadiran aktor dan peran, figur, tubuh, kesetiaan
pada teks. Sejak tahun 80-an, orang mulai mempertanyakan subjek dan identitas
yang diterjemahkan menjadi bentuk-bentuk koreografi berisi patahan, perubahan
bentuk, penghilangan tubuh, dan sejenisnya.
Ketidakhadiran pun ternyata membutuhkan ruang. Dari sepintas
kalimat Ugo itulah saya mulai melihat konser musik malam itu sebagai sebuah
pertunjukan yang utuh. Peran Ugo tidak dapat saya hindari selalu menyita
perhatian. Posisi vokalis di atas panggung memang menguntungkan
untuk mendapat perhatian. Dari Ugo saya mendapat remah-remah moving pleasure. Sebenarnya ini tidak
penting untuk dibahas, tapi diam-diam saya selalu memperhatikan cara dia
mengangkat kaleng bir, menenggaknya, menghisap sam soe dan membiarkan asapnya membangun efek ketika mengalir dari
sela jari yang menggenggam mikropon.
Departemental Dities
and Other Verses dan Kartu Pos
Bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco menjadi semacam penghangat
awal. Dua lagu itu berakhir seperti mengambang dan tak bilang-bilang. Lalu
mulai naik pada nomor-nomor selanjutnya; Bulan
Madu, On Genalogy of Melancholia, 7 Hari
Menuju Semesta dan selanjutnya. Pada jeda pergantian setiap lagu, saya menemukan ruang kosong bagi imajinasi. Ugo memainkan perannya dengan baik,
sebagai aktor yang bertahan hidup di atas panggung, sebagai penampil lirik, juga
sebagai suguhan drama bagi penonton. Gerakan-gerakan Ugo adalah pelengkap
cerita dengan caranya, ketika musik meninggi, asap-asap berhembus dari
pojok-pojok panggung bersama lampu yang berkilat-kilat berganti warna.
Sebelum dibawakan, lagu Tentang
Cinta selalu diberitakan Ugo sebagai lagu tersulit yang pernah dimainkan
Melbi. Demikian juga bagaimana ia mengisi pengantar untuk lagu-lagu lain dengan
pesan berbeda. Di depan mereka ada penonton dan secara sederhana,
kalimat-kalimat pendek itulah yang menghubungkan musisi dengan penontonnya.
Saya tidak tahu banyak soal musik, tapi jelas tugas seorang vokalis tidak hanya
menyanyi di atas panggung. Ia setidaknya bisa mengarahkan persepsi, bagaimana
orang bisa menikmati keseluruhan pertunjukan musik, menikmati urat-urat di
leher sang penyanyi yang menegang ketika meneriakkan bait-baik lirik.
Peran Ugo barangkali memang berbeda dengan konduktor yang
memiliki kuasa penuh atas sebuah konser. Seorang konduktor bisa membuat semua
musisi patuh, selain pada deretan not, juga pada gerakan tangannya, membuat
penonton menahan nafas dan tidak bicara selama pertunjukan. Tampaknya tidak ada
yang bisa berkuasa penuh dari sebuah pertunjukan musik. Semua mengalir.
Ugo menarik diri sedikit ke belakang. Ruang panggung di
depan dibiarkan kosong. Tempat yang disediakan untuk Yosi semakin terlihat
menonjol meskipun barangkali penonton tidak akan memperhatikannya dan lebih
memusatkan perhatian ke bagian belakang. Ruang kosong selama Yosi belum tampak akhirnya
menjadi tempat dimana penonton bisa merasa terganggu karena ketidaklengkapan
sebuah pertunjukan tapi sekaligus sejenak bisa menjadi tempat singgah dari nguing-nguing suara perangkat elektronik
Yennu atau dentuman drum yang menggebu.
Bagi saya, ketidakhadiran Yosi di awal tetap membuat semacam
kesan menunggu yang mau tidak mau membangun imajinasi tentang apa saja yang dilakukannya
ketika tidak sedang memegang gitar di atas panggung. Tiba-tiba seperti ada
kamera yang menyorot ketika Yosi menutup pintu rumah, berjalan dengan tergesa
sampai akhirnya bisa menyusul membawakan dua lagu terakhir sebelum pertunjukan
selesai.
Ketidakhadiran Yosi di awal adalah bagian dari keseluruhan
element pertunjukan, suara-suara dari lampu sorot, asap, teks, musik, dan ruang
kosong di atas panggung yang juga bisa bersuara dengan merdunya. Ketika seorang
aktor tidak tampak di atas panggung, ia bertanggung jawab atas proses kehadiran
dan penghadiran kembali. Ketika tak ada yang terlihat, penontonlah yang akan
menemukannya sendiri. Mungkin hanya sedikit saja yang sadar, menggapai kosong
dengan dramatik ruang dan wakunya, yang semakin banyak saja diekplorasi dalam
pertunjukan-pertunjukan modern saat ini.
Kali ini tidak seperti menunggu Godot yang tak pernah
muncul. Yosi akhirnya datang dengan kaos kecoklatan bertuliskan kutipan dari
salah satu tokoh film tahun 60-an yang kurang lebih berbunyi: Darwin is wrong. Man is still an ape. Barangkali juga bukan tokoh film itu
rujukannya.
Dalam pengembaraannya menuju semesta, Joni dan Susi ketemu
Pacar Senja yang sedang bulan madu sendirian di atas menara. Mereka bercakap
sebentar lalu meneruskan perjalanan masing-masing.
Ah, saya terlalu berlebihan menuliskan hal-hal semacam ini.
***
Pulang lewat jam malam memaksa saya untuk meminjam kamarmu. Di
sebelah, sepasang kekasih mengunci mimpi dalam gelap. Di kamar itu, tak bisa
memejam menunggu pagi. Kau tak ada di sini. Baru dua hari saja, kamarmu telah dihuni
debu, jaring laba-laba dan barangkali juga makhluk bermata hijau itu. Dari sebagian
karpet biru maupun petak ubin yang pernah menyentuhmu, rak-rak berisi buku
dengan judul yang selalu ada kata Indonesianya, ingatan-ingatan menemukan
rantainya. Berpikir tentang detail bisa menggelembungkan, membunuh waktu
sampai hampir enam jam lamanya. Pagi
menepi juga setelah semalam ia berlayar entah kemana.
Kamar Kost, 7 Juli 2013
Hi i am kavin, its my first time to commenting anywhere, when i read this article i thought i could also make comment due to this sensible
BalasHapusparagraph.