I take my broken heart
and turn it into fart. Preeeeeetttttt... tidak kurang panjang, kan?
Beberapa waktu lalu saya menonton Carrie,
film karya Brian De Palma yang dibikin tahun 1976. Plotnya tidak terlalu ruwet,
seorang gadis remaja dibully teman-temannya di sekolah saat mendapatkan
menstruasi pertama selepas pelajaran olahraga. Perbuatan teman-teman Carrie
ketika ramai-ramai melemparkan pembalut membuat mereka harus menjalani hukuman
sebagai syarat mengikuti prom night menjelang kelulusan. Carrie memiliki
kekuatan telekinesis, kemampuan menggerakkan benda-benda. Ibunya begitu
mengekangnya dengan dalil-dalil agama ketat. Teman-temannya kemudian membuat
rencana untuk mencelakainya saat prom night berlangsung dengan menumpahkan
darah babi yang digantung tepat di atasnya. Kemarahan Carrie manjadi begitu
mengerikan. Tragedi berlangsung dari awal hingga akhir. Begitu mengerikan
hingga sebenarnya terkesan aneh. Bagaimana menjelaskan aneh, silakan tonton
sendiri.
Apa menariknya filem ini hingga sempat dibuat ulang beberapa
kali dengan sutradara berbeda dan tentu dengan penerjemahan mereka
masing-masing. Naskah filem diadaptasi dari novel Stephen King yang terbit
tahun 1974. Adegan-adegan Carrie punya De Palma terasa dramatis, diperankan
tokoh dengan karakter-karakter kuat seperti Sissy Spacek sebagai Carrie dan
Piper Laurie sebagai Margaret, ibunya. Mereka mampu membuat beberapa scene
menjadi iconic dengan bantuan bunyi seperti yang terdepat dalam film Psycho. Bunyian
nyaring bernada tinggi yang diulang-ulang untuk menambah efek menegangkan.
Saya tak hendak membandingkan dua buah karya, hanya mencatat
saja beberapa hal yang cukup menjadi perhatian. Hampir empat puluh tahun
kemudian, Kimberly Peirce membuat filem dengan judul sama, dengan plot yang
hampir sama pula, namun dengan beberapa tambahan detail dan
perubahan-perubahan. Bukan ingin membandingkan mana yang lebih baik tapi lebih
melihat bagaimana sebuah novel diadaptasi menjadi filem kemudian direproduksi
dalam rentang jaman yang berbeda.
Para kritikus film bisa melihatnya dari kacamata feminisme
hingga maxisme, tapi saya tak hendak menjadi kritikus di sini. Saya hanya ingin
membuang sesuatu yang memenuhi otak. Kayak judul album mum, yesterday was
dramatic today is okay. Menulis ini semoga saja bisa menghilangkan efek drama
dari masa lalu saya yang pahit itu. Kalian tahu, kan? Persoalan melihat adalah
persoalan memilih jadi ya begitulah, saya akan tanggung akibat dari pilihan
penglihatan saya yang ternyata berdampak buruk pada bubrahnya rasa selama lebih
dari dua hari untuk kemudian bisa normal kembali.
Kadang memang kita tak bisa memilih apa yang kita lihat. Kita
disuguhi begitu saja dan dengan tanpa sengaja kita melihatnya begitu saja. Seperti
efek melihat poto seseorang berjaket merah dan bercelana coklat pendek di
sebuah social media. Bukan salah siapa yang mengaplodnya, bukan salah
aplikasinya dan memang bukan salah siapa-siapa. Melihatnya membukakan pintu
pada sebuah momen tertentu ketika jaket itu berbau gpu. Bersamaan dengan itu
pula segala macam hal lalu berhamburan keluar tanpa bisa dikontrol. Persoalan kontrol
ini pula yang cukup menyebalkan.
Di seberang sungai dekat tempat saya tinggal konon katanya ada
kuburan pki. Banyak hal menarik yang tentu tidak ilmiah tapi semacam bisa
menjadi informasi penting untuk mengungkap masa lalu. Kenapa masih senang
mengorek masa lalu yang penuh sakit? Tapi begitulah, kuburan itu menyimpan hawa
panas dan punya energi tersendiri bagi yang bisa merasakan. Para hantu pki
adalah mereka yang sampai sekarang masih menyimpan dendam. Tumuse daya katika
memang ada manusia yang bisa mengambilnya, jadinya daya yang berangasan dan
pemarah—untuk tidak terjebak pada stereotip tapi memang begitulah adanya. Cocok
bagi yang pengen punya ilmu kebal bacok dan sebangsanya. Ceritanya, orang-orang
itu dimasukkan dalam kranji, semacam tempat untuk mengurung ayam. Satu kranji
diiisi tiga orang. Dan begitulah mereka dieksekusi. Tidak hanya dari tempat
ini, orang-orang yang dieksekusi banyak pula yang berasal dari luar daerah, termasuk
dari Jawa Tengah. Ada pula satu orang yang memang masih kerabat salah satu
petinggi negara. Darimana saya mendapat cerita ini memang akan terdengar konyol
kalau diceritakan, juga bisa membahayakan. Maka dari itu, lebih baik tidak
perlu saya ceritakan. Toh ini bukan sebuah cerita ilmiah yang bisa dibuktikan
kebenarannya. Bisa jadi saya cuma ngarang saja akibat masih kena efek jaket
merah itu.
Kembali pada Carrie.
Sebagai penikmat masa lalu, saya bisa menyimpan adegan-adegan Brian de Palma
lebih lama dalam kepala daripada remake-nya. Warna darah yang terlalu merah di
akhir filem memang bisa membuat lebih membara, menganga dan yah, itu barangkali
gambaran neraka dalam konstruksi pikiran kita. Sementara remake-nya memakai
warna darah yang lebih gelap, dan mengubah tokoh utama menjadi semacam pahlawan
super yang nggak banget jadinya.
Rasanya susah menjadi manusia bahagia ketika masih punya
lingering feeling terhadap seseorang. Meski sudah dibegitukan, tetap itu belum
bisa hilang. Barangkali nanti, saya akan datang dengan menggemgam sebuah pistol
dan menodongkannya tepat dikepalanya. Mungkin 15 atau 20 tahun kemudian. Orang itu
akan kaget dan ketakutan. Lalu saya dengan tenang menurunkan pistol itu tanpa
menambakkannya, memandang matanya sesaat lalu berpaling dan meninggalkannya
begitu saja tanpa berkata-kata.
Tidak bisa dibilang juga kalau saya sekarang tidak bahagia. Beginilah
saya sudah memilih, mengambil jalan yang
benar-benar berlainan dari kalian-kalian semua. Di sini begitu sepi. Tapi silakan
diamati bagi mereka para pembaca alam. Ada yang merangkak diam-diam di bawah
kalian. Alam sudah berubah. Ular-ular sudah mulai keluar. Alam bernubuat. Di sini
angin berhembus pelan. Hampir hujan. Sebentar lagi. Barangkali. Jadi, mari kita
menonton lagi Eternal Sunshine of The Spotless
Mind.
21 Januari 2017