Senin, 26 Januari 2009

Manajemen Antisipasi Krisis Pangan

Manajemen Antisipasi Krisis Pangan

Krisis pangan saat ini menjadi permasalah serius yang harus diantisipasi secara lebih intensif. Pangan merupakan kebutuhan pokok bagi semua orang. Kekurangan pangan akan menyebabkan berbagai ketidakstabilan atau keadaan abnormal, baik secara sosial, politik, ekonomi dan berbagai bidang kehidupan yang lain. Pangan menjadi potensial menyebabkan keadaan ketidaknormalan dan ketidaknyamanan karena merupakan kebutuhan pokok menyangkut urusan hidup-mati bagi setiap orang. Krisis pangan sangat mungkin dideteksi dengan adanya berbagai perubahan lingkungan akibat kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Tingginya pertumbuhan penduduk tidak sebanding dengan ketersediaan pangan sehingga krisis ini sangat dimungkinkan akan terjadi.

Keadaan ini akan menjadi salah satu potensi krisis di masa yang akan datang. Lonjakan harga pangan mulai terjadi. Tingginya harga bahan pangan mulai dirasakan oleh sebagian besar masyarakat meskipun belum begitu menimbulkan dampak yang serius. Dengan demikian, perlu adanya langkah antisipasi serius dari pemerintah untuk menghindari terjadinya krisis pangan. Tulisan ini akan mambahas mengapa pangan berpotensi untuk menjadi krisis di masa mendatang. Pemerintah memerlukan langkah-langkah antisipasi khusus untuk mencegah potensi krisis menjadi suatu keadaan krisis. Tulisan ini juga akan membahas tentang bagaimana sebuah sistem merespon potensi krisis. Hal ini terkait dengan apa saja yang harus disiapkan pemerintah untuk menghadapi ancaman krisis pangan. Rancangan tentang sistem kelembagaan integral menjadi salah satu cara untuk melakukan antisipasi terhadap krisis pangan tersebut.

Mengapa Pangan Akan Menjadi Krisis?

Krisis pangan dapat dikategorikan menjadi salah satu krisis serius pada masa yang akan datang. Kekurangan ketersediaan pangan akan mengancam semua orang. Krisis ini tidak hanya akan terjadi di negara-negara berkembang tetapi juga telah mengancam negara-negara maju. Setidaknya 36 negara, termasuk Indonesia, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB, mengalami lonjakan harga pangan luar biasa yang berkisar antara 75 persen hingga 200 persen. Indonesia diprediksi akan mengalami krisis pangan pada tahun 2017 atau 10 tahun mendatang bila melihat ketimpangan antara jumlah penduduk dan ketersediaan lahan pangan yang makin tidak seimbang dewasa ini. Krisis ini akan mengalami ledakan pada beberapa puluh tahun mendatang apabila tidak segera diantisipasi dengan langkah yang tepat.

Penyebab dari adanya krisis pangan sangat beragam. Krisis ini bisa dikatakan sebagai determinasi dari lonjakan harga minyak dunia beberapa tahun terakhir. Harga barang dan ongkos produksi semakin naik. Produksi minyak dan gas yang ada tidak bisa mengikuti tingginya permintaan sehingga mengakibatkan kenaikan energi yang tajam. Negara-negara maju memperparah keadaan dengan adanya kebijakan untuk menggunakan bio-fuel sebagai bahan pengganti energi dari minyak dan gas. Negara-negara maju mulai mengganti bahan bakar fosil ke bio-fuel. Bio-fuel diperoleh dari berbagai tanaman seperti kelapa sawit, jagung, tebu dan singkong. Penggantian ini menyebabkan produksi beras menurun karena sempitnya lahan produksi.

Faktor lingkungan juga menjadi penyebab dari adanya krisis pangan. Faktor lingkungan tersebut bisa terjadi secara alami maupun akibat ulah manusia. Lahan pertanian banyak yang dikonversi menjadi daerah permukiman dan industri. Eksploitasi sumber daya alam semakin memperparah kondisi lingkungan. Kerusakan lingkungan membuat produksi pertanian dan perkebunan semakin menurun. Kondisi iklim akibat pemanasan global juga semakin tidak mendukung produksi bahan pangan. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa cadangan pangan dunia akan terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Krisis pangan menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan manusia di masa mendatang.

Permasalahan struktural juga menjadi penyebab krisis pangan, khususnya di Indonesia. Melalui kebijakan Agreement of Agriculture , WTO menerapkan kebijakan yang sangat ramah impor terhadap Indonesia. Akibatnya, pasar pertanian Indonesia mengalami kemunduran karena basis produksi mandiri terhadap pangan bergeser ke produksi berbasis impor. Sementara itu, negara maju menetapkan proteksi yang ketat terhadap pertanian yang mengakibatkan semakin kuatnya mereka melakukan ekspor produk pertanian ke negara-negara berkembang. Hal ini diperparah dengan deregulasi pemerintah yang menyebabkan privatisasi dan monopoli di sektor pangan semakin terbuka. Berbagai peraturan tersebut misalnya, UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Kebijakan yang dibuat memudahkan perusahaan besar mengalahkan pertanian rakyat.

Akibat dari krisis ini tidak hanya akan berdampak di beberapa negara tetapi akan merambat bersama arus globaliasasi ke seluruh negara di dunia. Meskipun produksi pangan di Indonesia masih cukup, lonjakan harga pangan dunia akan berdampak pada tingginya harga pangan di Indonesia. Harga pangan yang tinggi akan mengakibatkan bertambahnya kemiskinan dalam skala luas. Krisis pangan bukan hanya menjadi permasalahan di satu sektor tetapi juga bisa berdampak pada krisis di sektor lain. Pengalaman krisis pangan di Indonesia pada tahun 1966 akhirnya merembet ke sektor politik. Di Haiti misalnya, krisis pangan berakibat pada protes warga, lima orang tewas dan 14 orang terluka. Warga juga menuntut pergantian pemerintah karena dirasa tidak bisa mengatasi permasalahan pangan. Krisis pangan juga tidak dapat dipandang secara anthroposentris karena bisa mengancam siapa saja ketika ketersediaan pangan dunia benar-benar mengalami penurunan. Krisis ini akan berdampak pada bertambahnya jumlah penduduk miskin dunia secara signifikan.

Di Indonesia sendiri, 13,8 juta jiwa atau sekitar 6% dari jumlah penduduk menderita rawan pangan (World Development Indicator, 2007). Fakta tersebut diperkuat dengan kasus kelaparan dan kematian akibat gizi buruk yang terjadi di berbagai daerah. Kerawanan pangan masih menjadi masalah serius negeri ini. Pada tahun 2000, propinsi-propinsi Indonesia seperti NAD, NTT, Sulawesi Utara dan Selatan, Lampung, Bali, Jawa Timur, Riau, Kalimantan Selatan dan Jambi menderita rawan pangan hingga diatas 50%. Propinsi lumbung pangan nasional seperti Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pun tak luput dari ancaman kerawanan pangan ini. Paradoks memang, saat kita melihat bahwa kelaparan justru terjadi di tengah melimpahnya ketersediaan pangan. Contoh lain yang dapat kita lihat adalah ketika BPS melaporkan bahwa kita telah mencapai swasembada pangan pada tahun 2004, setahun kemudian terdengar kabar telah terjadi kelaparan kronis di 10 kabupaten di Nusa Tenggara Timur.

Dengan berbagai dampak dan kerawanan pangan di berbagai daerah di Indonesia, pemerintah memerlukan suatu skema kelembagaan tertentu. Skema tersebut meliputi bagaiamana sistem kelembagaan yang dirancang pemerintah dapat merespon keadaan kerawanan pangan di Indonesia. Aktor yang terlibat sangat beragam dan tidak hanya pada level nasional, tetapi juga internasional. Pada level nasional pun, terdapat berbagai aktor yang harus dapat disinergikan dan dikoordinasikan dalam kerangkan sistem kelembagaan tertentu.

Kerangka Kelembagaan untuk Mengantisipasi Krisis

Krisis pangan telah mengancam negara-negara di dunia. Desain kelembagaan tertentu diperlukan untuk menguatkan kapasitas pemerintah dalam rangka antisipasi agar kekurangan sumber bahan pangan tidak menjadi krisis di kemudian hari.

Desain kelembagaan yang seharusnya dibangun mulai sekarang adalah adanya sebuah sistem integral antara berbagai komponen dalam pemerintahan untuk mengantisipasi krisis pangan sejak dini. Sistem tersebut tidak hanya dibangun dalam suatu negara tetapi juga terhubung dengan negara-negara lain di dunia. Krisis pangan menjadi fenomena yang kemungkinan akan melampaui yuridiksi sebuah negara. Globalisasi menjadi salah satu sebab krisis pangan yang melanda di suatu negara akan berdampak ke negara lain secara cepat.

Manajemen antisipasi krisis pangan dibangun dengan logika sistem yang integral. Masing-masing komponen atau stakeholder memiliki fungsi dan peran masing-masing yang dijalankan dengan adanya keterhubungan dan koordinasi. Pemerintah memegang peran sentral untul merancang berbagai bentuk kebijakan. Konstitusi dan kebijakan yang jelas memungkinkan setiap komponen bekerja para rel-nya.

Langkah- Langkah Awal

Langkah awal yang harus dilakukan pemerintah adalah menetapkan pentingnya antisipasi krisis pangan yang membutuhkan sinergisitas dan koordinasi dari berbagai aktor sejak awal. Pemerintah merupakan aktor yang tidak tunggal. Di dalamnya terdapat aktor-aktor lain baik dalam hubungannya secara horizontal maupun vertikal. Hal pertama yang harus dibangun antar aktor dalam pemerintah adalah kesamaan visi bahwa krisis pangan merupakan permasalahan yang penting untuk diantisipasi. Pemerintah dengan keseluruhan sub-aktor yang ada di dalamnya, mulai membangun konsensus dan menyepakati untuk menggeser fokus perhatian ke permasalahan pangan. Melalui kesamaan visi dan tujuan, kebijakan-kebijakan yang menyertainya akan lebih mudah dibuat dan dilaksanakan. Proses reframing terhadap isu menjadi hal yang penting. Keseluruhan sub-aktor dalam pemerintah harus menganggap bahwa krisis pangan menjadi krusial untuk diantisipasi sejak dini.

Langkah berikutnya adalah melakukan pemetaan terhadap daerah-daerah yang rawan terhadap krisis pangan dan daerah yang memiliki ketersediaan pangan yang cukup. Hal ini perlu dilakukan agar dapat dilakukan langkah-langkah preventif untuk menanggulangi krisis. Pemetaan tersebut dilakukan untuk menentukan langkah berikutnya yang akan diambil. Selain itu, perlu adanya pemetaan terhadap siapa saja masyarakat yang akan mengalami vulnerability apabila terjadi krisis pangan. Dalam hal ini, dapat dipastikan bahwa masyarakat miskin akan menerima dampak secara langsung apabila terjadi krisis pangan. Lapis masyarakat kedua adalah masyarakat menengah ke bawah. Krisis pangan bisa mengakibatkan masyarakat kelas menengah menjadi miskin saat harga pangan mulai melambung. Pemerintah bertugas untuk menjamin akses terhadap bahan pangan kepada kedua lapis masyarakat tersebut. Secara demografis, kelompok masyarakat yang akan terkena dampak berikutnya adalah anak-anak di bawah usia dua tahun dan perempuan dalam usia subur. Mereka adalah kelompok masyarakat yang masih membutuhkan nutrisi dalam jumlah besar. Apabila terjadi krisis pangan, maka kelompok inilah yang kemungkinan akan terkena dampak terbesarnya.

Dengan adanya pemetaan terhadap kelompok masyarakat vulnerabel, pemerintah selanjutnya memberikan jaminan bahwa pangan akan dapat terdistribusikan secara merata kepada seluruh masyarakat, tidak hanya kepada mereka yang mampu atau memiliki modal. Pemerintah dalam hal ini dapat bekerjasama dengan Bulog dan pemerintah daerah. Subsidi terhadap harga bahan pangan barangkali bisa dilakukan sebagai solusi jangka pendek saat terjadi krisis. Namun, untuk solusi jangka panjangnya, pemerintah secara luas harus dapat menguatkan ketahanan pangan di Indonesia sejak dini.

Setelah pemetaan terhadap masyarakat dan daerah yang rawan terkena krisis, pemerintah mulai menyebarkan informasi kepada masyarakat. Tanpa informasi dari pemerintah, akan sangat sedikit masyarakat yang sadar terhadap bahaya krisis pangan di masa mendatang. Dalam hal ini, pemerintah melakukan koordinasi dengan Departemen Komunikasi dan Informasi. Selain itu, peran media eksternal juga sangat dibutuhkan untuk menyebarkan informasi dan membangun opini publik terhadap keseriusan permasalahan krisis pangan yang kemungkinan besar akan terjadi. Media massa seperti televisi dan media cetak akan sangat membantu dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat. Penyadaran kepada masyarakat tidak dapat secara instan dilakukan, perlu adanya proses yang berkesinambungan. Adanya iklan yang menarik dan diputar secara berulang-ulang di televisis akan membantu membangun kesadaran masyarakat. Kesadaran masyarakat mungkin lebih efektif ketika dibangun melalui media film yang menggambarkan imajinasi masa depan ketika dunia kekurangan bahan pangan. Ketika masyarakat telah sadar bahwa kekurangan bahan pangan menjadi potensi krisis di masa depan, maka implementasi kebijakan pemerintah akan lebih mudah dilakukan.

Berbagai Kerangka Kebijakan

Eksekutif bersama legislatif dalam hal ini memiliki peranan penting untuk menentukan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan antisipasi terhadap krisis pangan. Kebutuhan informasi menjadi salah satu hal yang tidak dapat diabaikan dalam pembuatan kebijakan. Eksekutif bersama legislatif membutuhkan informasi untuk menentukan posisi atau derajat Indonesia dalam menghadapi dampak dari krisis pangan yang akan terjadi. Informasi tersebut terkait dengan perkembangan pasar global, karakteristik sebuah negara yang dikaitkan dengan pasar bahan pangan dunia, komposisi pendapatan antar tiap populasi penduduk, serta respon dari produsen, konsumen dan pemerintah sendiri terhadap kenaikan harga pangan.

International Food Policy Reseach Institute (IPFRI) dalam laporannya menyatakan bahwa dampak dari krisis pangan terhadap suatu negara akan tergantung pada:
1. Posisi perdagangan (ekspor dan impor) dalam komoditas hasil pertanian, relatif terhadap perekonomian suatu negara.
2. Derajat perbedaan harga bahan pangan dunia dengan harga bahan pangan lokal.
3. Sensitivitas pendapatan dan belanja negara untuk menghadapi melonjaknya harga bahan pangan.
4. Kapasitas politik dan fiskal dari pemerintah untuk merespon krisis.

Dengan mengetahui faktor-faktor di atas, maka pemerintah dapat merumuskan kebijakan-kebijakannya dalam rangka antisipasi krisis pangan. Dampak dari krisis pangan juga akan berbeda antara satu komunitas dengan komunitas lain atau antara kelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat yang lain. Hal ini tergantung dari: pendapatan yang digunakan untuk belanja bahan pangan, level dari pendapatan dan aset yang akan mempengaruhi tingkat vulnerabilitas ketika terjadi krisis pangan, serta eksistensi dan efektifitas program pemerintah untuk melindungi masyarakat dengan vulnerabilitas tinggi. Pemerintah harus memiliki pemahaman menyeluruh terhadap dampak krisis pangan yang akan terjadi. Krisis pangan dapat berdampak baik pada level nasional maupun individual. Berdasarkan pengetahuan dan pemahaman tersebut, maka pemerintah akan dapat merancang berbagai monitoring dan analisis kebijakan mana yang sesuai dengan kondisi saat ini.

Kebijakan pemerintah dalam hal ini dapat difokuskan pada tiga hal yaitu:kebijakan terhadap lahan, pasar dan pertanian.

Dari faktor lahan, secara kelembagaan pemerintah memiliki kapasitas untuk merancang kebijakan proteksi terhadap lahan-lahan pertanian. Meskipun benturan kepentingan saringkali terjadi, antara kekuatan modal dan kepentingan untuk melakukan konservasi lahan pertanian, pemerintah seharusnya memiliki ketegasan dalam pengaturannya. Pemerintah berusaha untuk mengembalikan pertanian dengan basis produksi dalam negeri, bukan berbasis pada impor. Pemerintah bisa membatasi pengalihan fungsi lahan untuk kegiatan perumahan dan industri yang banyak terjadi pada saat ini. Dalam hal ini, kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah sangat dibutuhkan. Demikian halnya dengan departemen-departemen terkait seperti departemen pertanian dan perusahaan-perusahaan swasta yang ikut berkepentingan terhadap penggunaan dan kepemilikan lahan.

Untuk mencegah adanya krisis pangan, Indonesia setidaknya membutuhkan 15 juta hektar lahan pertanian. Kebutuhan tersebut melatarbelakangi pemerintah untuk membuat undang-undang yang memproteksi lahan pertanian dari konversi sekaligus menciptakan areal-areal pertanian baru. Untuk mewujudkan perlindungan terhadap lahan pertanian pangan produktif, maka pemerintah baik pusat, propinsi maupun kabupaten wajib memberi insentif kepada petani antara lain kemudahan fiskal dan pajak bumi dan bangunan, sarana produksi, pembangunan sarana dan prasarana pertanian serta berbagai kemudahan lainnya. Hal ini dapat mengurangi minat petani untuk menjual lahan pertaniannya. Saat ini, Indonesia hanya memiliki sekitar 7,6 juta hektar sawah dan ratusan ribu lahan kering lainnya. RUU Lahan Pertanian Pangan Abadi (LPPA) yang saat ini sedang digodog sebaiknya segera disahkan. Tidak hanya mengatur tentang perlindungan lahan tetapi juga bagaimana mekanisme pemanfaatan lahan kering atau tidak terpakai.

Dalam peraturannya, pemerintah akan menjamin akses lahan bagi para buruh tani dengan cara revitalisasi lahan yang tidak produktif. Reformasi agraria menjadi hal yang menempati urutan paling atas untuk menghambat pertumbuhan kemiskinan di daerah pedesaan sekaligus melakukan pemberdayaan terhadap masyarakan agar kebutuhan pangan mereka dapat tercukupi. Hal ini juga dapat mengurangi ledakan jumlah urban slum yang menjadi salah satu sasaran dari krisis pangan.

Faktor pasar sangat terkait dengan permasalahan globalisasi ekonomi. Perkembangan pasar internasional akan sangat berpengaruh pada pilihan kebijakan pangan domestik. Keputusan negara maju untuk mengurangi ekspor bahan pangan misalnya, akan sangat mempengaruhi ketersediaan pangan di negara-negara berkembang, baik dari aspek jumlah yang disediakan maupun harga yang harus dibayar oleh penduduk negara-negara sedang berkembang. Tugas bagi pemerintah untuk dapat melepaskan diri dari jeratan monopoli pangan yang dilakukan oleh negara-negara maju. Pemerintah dapat menyiapkan rancangan kebijakan yang mendorong kemandirian pertanian lokal. Arah kebijakan harus meletakkan petani pada posisi sentral. Kebijakan tersebut tidak terlepas dari dua ranah lain yaitu kebijakan tentang lahan dan pertanian. Aktor yang dapat dilibatkan terkait dengan kebijakan ekspor-impor bahan pangan adalah Bulog. Bulog dapat difungsikan secara maksimal untuk menjaga ketersediaan pangan dalam negeri tanpa bergantung pada produk bahan pangan dari luar. Produk dari petani lokal harus diutamakan untuk konsumsi dan ketahanan pangan dalam negeri.

Salah satu penyebab krisis adalah permasalahan struktural—gap antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Meskipun akan sangat sulit dilakukan, pemerintah seharusnya bisa menentukan sikap untuk memutus struktur yang constraining menjadi enabling. Isu tentang kemandirian barangkali bisa menjadi salah satu solusi. Pemerintah mempunyai kapasitas untuk bernegosiasi dengan melakukan perundinga-perundingan dengan lembaga internasional untuk bersama-sama mengantisipasi krisis pangan.

Kesadaran akan kehadiran krisis pangan ini telah meluas sehingga rasanya tidak sulit bagi pemerintah untuk melakukan pendekatan. Bahkan saat ini, Krisis pangan yang lebih membahayakan dari krisis finansial ini memaksa Bank Dunia mengeluarkan kebijakan baru dalam mengatasi permasalahan pangan global, yang disebutnya "New Deal for Global Food Policy". Kebijakan itu bertujuan meningkatkan produktivitas sektor pertanian di negara-negara miskin agar mereka mampu mengatasi masalah pangan lokal.
Caranya dengan memperbaiki akses para petani melalui pelatihan dan pengembangan, serta sedikit bantuan dana stimulan bagi petani membeli benih untuk musim tanam mendatang. Pemerintah juga bisa melakukan pendekatan kepada negara-negara yang mengalami surplus bahan pangan seperti Thailand dan Vietnam. Antisipasi dan cara mengatasi krisis ini kemungkinan juga bisa melibatkan negara-negara industri kaya yang tergabung dalam G-7 (Kanada, Perancis, Jerman, Itali, Jepang, AS).

Dari dalam negeri, pemerintah kembali merancang paket kebijakan fiskal untuk mengendalikan harga bahan pangan. Selain itu, kemampuan untuk memprediksi hasil dan kebutuhan pangan dalam negeri akan sangat diperlukan. Kebijakan dengan memberi subsidi langsung seperti program Raskin barangkali bisa menjadi solusi jangka pendek. Namun, untuk jangka penjangnya subsidi memiliki dampak negatif yaitu menimbulkan danya ketergantungan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyiapkan strategi program yang lebih baik menyangkut pengendalian harga bahan pangan.

Fokus kebijakan berikutnya adalah pertanian. Permasalahan ini sangat kompleks dan menuntut adanya penyelesaian secara menyeluruh. Pertanian yang dimaksudkan di sini meliputi pemuliaan tanaman pertanian untuk meningkatkan produksi pangan, pengembangan IPTEK pertanian, pencarian bahan pangan alternatif dan peningkatan sumber daya manusia petani. Keseluruhan permasalahan tersebut membutuhkan alokasi penganggaran khusus dari pemerintah untuk pertumbuhan sektor pertanian. Sektor pertanian tidak akan tumbuh baik dengan masyarakat berpendidikan rendah dan kelembagaan lokal yang tidak sensitif terhadap perubahan.

Departemen pertanian dalam hal ini memiliki posisi yang sangat penting. Departemen Pertanian diharapkan memiliki data yang akurat dan detail tentang kondisi pertanian di Indonesia. Data ini menjadi basis untuk merumuskan kebijakan yang sesuai. Pemerintah di level pusat juga harus melakukan koordinasi secara intensif dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah inilah yang kemudian membuat perencanaan, menyediakan instrumen bagi implementasi kebijakan dan menyediakan informasi yang cukup bagi masyarakat agar sektor pertanian mulai dapat dikembangkan.

Proses pemuliaan tanaman juga terkait dengan penggunaan teknolgi dalam peningkatan produktifitas hasil pertanian. Kemajuan teknologi dunia menuntut pemerintah untuk dapat merespon dengan cepat dan menggunakannya. Pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga penelitian yang ada untuk memanfaatkan teknogi dalam bidang pertanian. Dalam hal ini diperlukan kerjasama dengan para ilmuwan atau biasa disebut sebagai epistemic communities. Para ahli tersebut akan menyediakan informasi berbasis riset. Sedangkan tugas pemerintah adalah mensosialisasikan temuan tersebut, menyediakan sarana dan prasarana yang dapat mendukungnya.

Penggunaan teknologi bermanfaat untuk menemukan varietas tanaman unggul dan budidaya tanaman hasil rekayasa (transgenik). Pemuliaan tanaman tidak hanya dapat dilakukan dengan teknologi konvensional seperti perkawinan silang, tetepi juga dapat dilakukan dengan menggunakan bioteknolgi seperti kloning dan pengembangan galur tanaman transgenik. Teknologi juga dapat menimbulkan dampak negatif seperti hilangnya varietas lokal yang kemungkinan memiliki produktifitas lebih tinggi. Penggunaan teknologi modern juga perlu diantisipasi pula dampak negatifnya seperti pengurangan kualitas ekologi dan adanya ketergantungan terhadap penggunaan teknologi modern. Segala bentuk kebijakan yang diambil harus dapat dievaluasi secara dini terkait dengan kemungkinan keuntungan dan kerugian yang dihasilkan.
Berlawanan dengan penggunaan teknologi modern, peningkatan produksi lokal juga bisa dilakukan dengan menfasilitasi perkembangan kearifan lokal. Masyarakat tradisional memiliki berbagai pengetahuan untuk mempertahankan hidup termasuk pengetahuan bercocok tanam dari setiap jenis tanaman. Teknologi dan industrialisasi sistem pertanian bukan berarti harus mengilangkan kearifan tersebut seperti penetapan keseragaman dalam kebijakan revolusi hijau. Kearifan lokal tersebut perlu tetap dilestarikan dalam rangka peningkatan hasil produksi.

Pemerintah juga dapat mengadopsi teknologi Food Crises Prevention Calender (CPC). Sistem penanggal ini akan memberikan informasi tentang kondisi terkini untuk melakukan early warning information sistem. Informasi dari penanggalan tersebut akan menyediakan kemudahan untuk melakukan monitoring terhadap musim tanam. Pendekatan CPC didasarkan pada karakteristik pada suatu level krisis dan informasi produksi yang sesuai dengan waktu dan format tertentu. Informasi tersebut sangat dibutuhkan oleh pembuat kebijakan—tergantung pada level krisis yang sedang dihadapi. Penyebaran informasi dilakukan secara bertahap mulai dari lavel regional, sub-regional, nasional dan tingkat lokal. Proses ini termasuk melakukan survey lapangan dan identifikasi zona yang mengalami vulnerabilitas.
Pemerintah membuat kebijakan untuk membudidayakan sumber pangan alternatif selain beras. Tanaman sepertu ubi jalar, ubi kayu, dan sagu dapat digunakan sebagai penghasil tepung pengganti beras. Selain berbagai bentuk program penyuluhan, peran media sangat diperlukan untuk menyebarkan informasi tersebut kapada masyarakat. Pemerintah dapat membangun persepsi baru tentang sumber pangan alternatif kepada masyarakat melalui media.

Proses ini dapat didukung dengan kehadiran NGO yang sudah berpengalaman dalam melakukan advokasi terhadap para petani. Pengetahuan terhadap metode dan proses bertanaman yang baik sangat penting dimiliki oleh petani. Oleh karena itu, penyuluhan secara formal dan informal menjadi salah satu cara yang dapat dilakukan pemerintah mulai sekarang. Program ini bisa dilakukan oleh Pemda setempat yang bekerja sama dengan NGO atau dengan melibatan mahasiswa jurusan pertanian. Untuk menunjang evaluasi dan terlaksananya program, pemerintah perlu memberikan apresiasi terhadap komunitas petani yang mampu memperbaiki hasil pertanian di daerahnya dengan pola insentif bagi petani. Pemda dengan bantuan stakeholder terkait dapat melakukan pelembagaan terhadap organisasi petani komoditas pangan, seperti kelompok tani, koperasi, ormas, dan sebagainya.

Semangat dari desentralisasi ekonomi dapat diwujudkan ketika pemerintah pusat dan daerah dapat merangsang dunia usaha swasta untuk menggarap dan memanfaatkan inisiatif investasi baru di tingkat daerah untuk mengembangkan sistem agribisnis yang mampu menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pembangunan ekonomi di daerah. Sektor swasta tidak dapat dinafikan kehadirannya dalam sebuah sistem. Swasta memegang peranan penting dalam proses distribusi maupun pengolahan hasil pertanian. Pemerintah dengan otoritasnya harus memiliki mekanisme tertentu agar sektor swasta dapat menjadi mitra pemerintahan untuk mengatasi kelangkaan pangan. Logika mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dari pihak swasta harus diimbangi dengan kontrol dari negara. Swasta diharapkan mau mengurangi keuntungannya untuk membantu menunjang sektor pertanian.

Pemerintah pusat tidak berdiri sendiri. Kerumitan dan keragaman aktor menjadi tantangan tersendiri untuk menciptakan suatu desain kelembagaan. Pola kepemimpinan pemerintah akan menjadi penentu setiap desain kelembagaan yang dihasilkan. Secara personal, presiden dapat turun tangan sendiri untuk merancang antisipasi krisis pangan tersebut, misalnya dengan membentuk tim khusus antisipasi krisis pangan. Kapasitas presiden dalam hal ini SBY sangat di dukung latar belakang studinya di IPB. Basis akademis ini dapat menunjang langkah antisipasi krisis pangan yang mulai dirasakan masyarakat saat ini. Pola kepemimpinan di sini terkait juga dengan bagaimana seorang pemimpin dapat mengambil keputusan yang cepat dan tepat dengan memperhatikan adanya ketersambungan antar aktor dalam tubuh pemerintah, baik secara horisontal maupuan vertikal.

Berbagai kebijakan yang dibuat bukan berarti harus menempatkan pemerintah sebagai aktor yang interventif terhadap sektor pertanian. Pemerintah harus tetap memberikan kesempatan kepada petani untuk mandiri dan mengembangkan kreativitas yang sesuai dengan kemauan dan kemampuan petani. Petani dalam hal ini tetap ditempatkan sebagai subyek yang mengusahakan sektor pertanian. Pemerintah akan memberikan dukungan untuk pengembangan komoditi-komoditi spesifik dari berbagai daerah yang memilki keunggulan kompetitif dan komparatif.

Kesimpulan

Ketahanan pangan harus segera diusahakan oleh pemerintah. Tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan pangan untuk jangka waktu tertentu tetapi juga menyangkut aksesibilitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangannya, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kebijakan untuk mengantisipasi krisis pangan yang telah dipaparkan di atas hanya menjadi semacam kerangka untuk lebih memfokuskan peningkatan produktifitas pertanian dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan. Melalui skema kebijakan dalam tulisan ini diharapkan pemerintah dapat lebih memiliki sensitifitas terhadap krisis pangan yang pasti akan terjadi. Pangan merupakan persoalan hidup dan mati manusia sehingga ketersediannya di masa yang akan datang menjadi sangat penting untuk diperhatikan mulai dari sekarang.

Segala bentuk format kelembagaan dan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah tidak akan berhasil tanpa dukungan dari masyarakat dan sektor swasta. Meskipun demikian, antisipasi krisis tetap menjadi tanggung jawab pemerintah dengan membangun kerangka kelembagaan yang terintegrasi, terdapat fungsi-fungsi spesifik yang melekat kepada setiap komponen aktor dan adanya ketersambungan antar aktor untuk bersama-sama melakukan antisipasi terjadinya krisis pangan. Fokus kebijakan dapat dilakukan pada tiga lokus yaitu kebijakan untuk lahan, pasar dan pertanian.

Perancangan dan implementasi kebijakan sebagai respon dari krisis pangan melibatkan suatu format kelembagaan yang kompleks. Hal ini membutuhkan kemampuan koordinasi dan proses membangun jaringan yang dilakukan pemerintah terhadap aktor-aktor di sekitarnya. Koordinasi menjadi bagian penting untuk menjamin ketersambungan antar komponen aktor sehingga setiap kebijakan antisipasi krisis pangan dapat dilaksanakan dengan maksimal.









REFERENSI

Buku:
Arifin, Dr. Bustanul. 2005, Pembangunan Pertanian: Paradigma Kebijakan dan Strategi Revitalisasi, Jakarta:Grasindo
Usman, Sunyoto (ed), 2004, Politik Pangan, Yogyakarta:CIRED
Wahono, Francis, Ab. Widyanta, dkk (ed), 2005, Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragamn Hayati: Pertaruhan Bangsa yang Terlupakan. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyar Cerdas

Website:
Abidin, Zainal. Ancaman Kemiskinan Global Baru Akibat Krisis Pangan dalam http://www.antara.co.id/arc/2008/4/20/ancaman-kemiskinan-global-baru-akibat-krisis-pangan/ dowmload tanggal 11 Desember 2008.
ANT/EDJ, 2017 Indonesia Terancam Krisis Pangan dalam http://64.203.71.11/ver1/Ekonomi/0712/10/122512.htm, download tanggal 11
PBB Ingatkan Dunia, Krisis Pangan Ancam Keamanan Global. http://khoirzahra75id.multiply.com/journal/item/118/PBB_IngaTkaN_DuNiA_KriSiS_PaNgaN_AnCam_KeAmaNan_GloBaL . Download tanggal 11 Desember 2008.
Mentan Anton Apriyantono dalam Cegah Krisis Pangan, Indonesia Butuh 15 Juta ha Lahan Pertanian.http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=5083&Itemid=699. Download tanggal 11 Desember 2008.
Multi-Hazard early warning for Impact Assesment in Food Crises Prevention Process dalam http://www.efsa.europa.eu/cs/BlobServer/Event_Meeting/report_seminar_handling_crisis_skopje_27_28may.pdf?ssbinary=true. Download tanggal 11 Desember 2008
Todd Benson, Nicholas Mino (et.all), Global Food Crises Monitoring and Assessing Impact to Inform Policy Responses (food policy report). Washington, September 2008. Dalam http://www.ifpri.org/pubs/fpr/pr19.pdf . download tanggal 11 Desember 2008.
Desember 2008.
Yuniarti, Nia. Krisis Pangan, Ironi Negeri Ini dalam http://www.km.itb.ac.id/web/index.php?option=com_content&view=article&id=98:krisis-pangan-ironi-negeri-ini&catid=34:fokus&Itemid=72. Download tanggal 11 Desember 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar