21 Februari 2009 at Momento Cafe
Menulis Puisi Cinta Bersama Sapardi Djoko Damono
Obrolan kali ini mengalir bersama seteguk kopi pahit. Glek..glek..glek..kopi pahit pun menjadi manis dengan cinta dalam jiwa. Sebuah sajak kembali diterbangkan angin. Masuk lewat celah jendela dan bersemilah setangkai cinta yang tertinggal di sudut mata.
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat diucapkan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Baru kali ini waktu mempertemukan saya dengan Sapardi. Beliau terlihat sebagai seorang tua yang penuh cinta. Itulah kesan pertama yang tertangkap. Mengenakan jas sederhana berwarna coklat muda dan sebuah topi khas para pujangga, seperti yang sering dikenakan Putu Wijaya. Caranya berbicara sederhana, demikian juga dengan berbagai pilihan kata dalam puisi-puisinya. Tampak gampang ditangkap sebagai sebuah gambar visual. Beginilah cinta diterjemahkan. Beginilah berbagai kegelisahan akan terjawab. Beginilah ketika seorang penyair mulai melisankan kembali puisi-puisinya.
Sedikit cerita pembuka. Seorang sahabatnya yang bernama Bakdi Soemanto akhir-akhir ini sering mengirimanya pesan singkat. Bercerita bahwa puisi “Aku Ingin” sering dibacakan dan dilagukan di berbagai acara pernikahan, juga di gereja. Membuat banyak orang menangis karena tersentuh oleh keindahan bahasanya. Banyak juga orang yang menyangka kalau beberapa puisinya adalah karya Kahlil Gibran. Rasanya tak banyak orang yang percaya kalau puisi cinta seindah itu adalah buatan orang asli Indonesia, Solo tepatnya. Puisinya menjadi dikenal karena dilakukan, dimusikalisasikan dan kembali dengan mudah dapat ditangkap sebagai sebuah gambar yang begitu mempesonakan.
Bagi Sapardi, seorang seniman harus selalu bereksperimen. Orang yang hanya meniru suatu gaya pasti akhirnya akan mati. Eksperimen dalam puisi adalah bagian dari proses belajar mengenal bahasa. Penyair yang baik harus bisa menjadi pencuri yang baik. Sastra, puisi sejatinya adalah pengenalan terhadap bahasa. Dan belajar bahasa salah satunya dapat dilakukan dengan meniru banyak gaya dari orang lain. Tak perlu teori yang bermacam macam. “Untuk bisa menulis ya harus membaca, sebagaimana orang yang ingin bisa bicara ya harus belajar untuk mendengar.” Demikian katanya. Sekitar tiga minggu yang lalu, Sapardi menulis sebuah soneta di Kompas. Hal ini dilakukan untuk mengetes dirinya sendiri. Bentuk sajaknya tak pernah seragam. Bermacam-macam, bahkan ada yang sangat berlainan. Karena sekali lagi, orang yang bertahan di satu titik adalah mati.
Sejarahnya, sastra merupakan bentuk pengungkapan lisan. Hal ini kemudian mengalami perubahan hingga sekarang bisa dinikmati dalam bentuk tulisan. Tulisan dapat dikembangkan melalui membaca karya banyak orang. Tulisan Sapardi sendiri sebenarnya adalah curian bahasa dari sana sini. Membuat puisi yang baik terkait dengan bagaimana seorang penulis bisa menjadi maling yang baik agar tidak ketahuan telah mencuri. Dan hal inilah sebenarnya yang susah dilakukan. Sapardi sendiri mengaku kalau ia banyak mencuri untuk kemudian diolah sedemikian rupa sehingga dapat diakui menjadi hasil karyanya.
Banyak orang yang tak yakin bahwa ia adalah penyair. Oleh karena itu, penting untuk meyakinkan diri sebagai bahwa kita adalah penyair. “Jangan sekali-kali men-cap diri kita sebagai penyair remaja. Karena selama-lamanya kita hanya akan menjadi remaja.” Pesannya singkat. Sapardi sendiri tak pernah mengirimkan hasil karyanya ke majalah-majalah remaja. Ia langsung mengirimkannya ke media cetak nasional dengan penuh percaya diri. Berikutnya, “Jangan bertanya atau meminta orang lain berkomentar atau mengkritik karya kita. Hal ini akan membuat kita menjadi bingung sendiri terhadap banyak pendapat yang didengarnya.” Tambahnya.
Hal yang lebik dilakukan adalah berusaha untuk ngonceki—mengupas karya, menjadi kritikus dari karya yang kita baca. Seperti halnya wayang yang diadaptasi dari India. Orang Jawa memiliki versinya sendiri yang disesuaikan dengan pemahaman, pendalaman filsafat Jawa, juga kondisi pada saat itu. Dan hasil karya baru itupun akan tetap bisa diterima. Memiliki keyakinan bahwa kita suka, mampu dan mau melakukannya menjadi kunci penting dalam menghasilkan karya.
Sapardi dalam proses kreatifnya juga tak kenal dengan penyair manapun. Seorang penyair memang harus bekerja di kamar, bukan di komunitas. Beliau tak percaya bahwa komunitas dapat meningkatkan kretifitas. Kreatifitas murni berasal dari pergumulan penyair dengan relitas yang mengelilinginya. Inspirasi tidak hanya berasal dari kejadian yang dialami oleh penyair tetapi bisa dari segala sesuatu yang ada di dunia ini. Terciptanya sebuah sajak bisa dikarenakan adanya rangsangan dari luar. Apapun itu, sebenarnya bisa menjadi bagian dari proses kreatif kita.
Seorang dari kami bertanya tentang mengapa ada banyak sekali hujan dalam puisi Sapardi. Bingung juga ia menjawab pertanyaan ini. Tak ingat lagi hujan yang mana yang dituliskan dalam ribuan puisinya. Kata itu seakan tertulis begitu saja. Dan memang hanya ada dua musim di negeri ini. Sebenarnya banyak juga kata kemarau, hanya saja itu berada dalam bait-bait puisinya yang tak banyak dikenal. Hujan memiliki kesan tersendiri baginya, terutama masa kecilnya. Sebagaimana anak-anak lain, Sapardi kecil sangat suka bermain di tengah hujan dengan bertelanjang. Berlarian bersama teman-teman. Hujan pun menjadi benda yang banyak dinanti orang untuk menumbuhkan benih-benih yang terlelap di bawah lapisan tanah. Hujan hanya menjadi semacam imaji atau citraan. Bisa saja ia menuliskan tentang keindahan salju. Hanya saja itu bukan menjadi bagian dalam hidupnya, meskipun ia juga pernah melihat salju.
Sementara bagi sebagian penyair, bagaimana mereka bisa menulis tentang salju apabila hanya melihat gambarnya tanpa pernah mengalami dan merasakan secara langsung. Bisa saja, hanya saja..
Ditanya tentang pengaruh situasi akademis, sapardi menjawab, “Begitu menulis sastra, saya tak ingat lagi segala macam teori yang saya pelajari maupun saya ajarkan. Tapi kalau bicara teori, tentu saja harus menggunakan karya sastra untuk menjelaskannya. Teori bagi saya hanya memberi nama bagi hal yang sudah ada.”
Seorang lagi bertanya apakah ia pernah merasa malu saat membaca ulang sajaknya. Seakan menjadi sajak yang tak layak untuk dipublikasikan. Hal ini memang wajar saja terjadi. Bisa dibayangkan bagaimana Sapardi menulis sajak cinta waktu SMA. Seorang remaja yang jatuh cinta kemudian menghasilkan puisi. Mengerikan sekali. Bisa dibandingkan dengan hasil karyanya sekarang. Tentu itu akan terlihat sebagai fase perubahan hasil karya seseorang apabila ia terus menulis dari waktu ka waktu. Sajak yang terbaik bagi Sapardi adalah sajak yang akan ditulisnya. Itulah mengapa ia tak pernah puas dengan karya yang telah dihasilkannya. Selalu bereksperiman dengan puisi-puisi.
Bagaimana kalau Sapardi macet dalam menulis puisi?
“Rasanya saya tak pernah mengalami kemacetan dalam menulis puisi. Saya hanya menulis kalau ada keingingan. Gak perlu nunggu datangnya inspirasi. Dalam satu malam, saya pernah menulis sampai delapan belas sajak dan tak ada coretannya. Mengalir begitu saja sampai tepar di subuh hari. Tetapi ada juga sajak yang saya tulis sampai dua tahun tak selesai. Dan bagi saya itu adalah hal yang wajar untuk seorang penyair.”
Ketika Jari-Jari Bunga Terbuka
Ketika jari-jari bunga terbuka
Mendadak terasa: betapa sengit cinta kita
Cahaya bagai kabut, kabut cahaya
Di langit menyisih awan hari ini
Di bumi meriap sepi nan purba
Ketika kemarau terasa di bulu-bulu mata
Suatu pagi di sayap kupu-kupu
Di sayap warna, suara burung di ranting-ranting cuaca
Bulu-bulu cahaya: betapa parah cinta kita
Mabuk berjalan, di antara jerit bunga-bunga rekah
Bagian berikutnya barangkali tak beralur karena berasal dari pertanyaan-pertanyaan.
Bagaimana memilih kata?
“Ya, harus mengusai bahasa. Seperti halnya kalimat ‘Betapa sengit cinta kita’, lha ini mung ngapusi. Cinta kok sengit. Penyair harus mahir membuat metafor. Imaji itu sebenarnya hanya bohong-bohongan belaka. Inilah pekerjaan saya, mengutak-atik bahasa. Apabila orang tak mengusai bahasa, maka ia akan gamang, ragu menggunakan bahasa itu. Puisi itu tak bisa dipercaya, hanya akal-akalan si penyairnya saja.”
Puisi itu memang dekat dengan sekali dengan musik. Bahkan puisi seringkali dibuat untuk dinyanyikan. Puisi yang ditulis mempunyai karakter yang berbeda dengan puisi yang diciptakan secara lisan. Dulu, Ranggawarsita menulis puisi untuk ditembangkan. Puisi memiliki unsur orality—ketika dibaca akan terdengar seperti memiliki musik. Dalam puisi memang mengandung unsur musik yang tercermin dalam rima setiap barisnya. Mendengarkan sebuah puisi dibaca sama halnya seperti mendengarkan sebuah irama atau bunyi.
Sekitar tahun 70-an muncul sebuah aliran puisi yang dikenal sebagai aliran puisi mbeling¬. Penggagasnya termasuk Remisilado. Ia membuat puisi-puisi nyleneh karena jagad puisi pada saat itu dikuasai oleh Goenawan Mohammad, Sapardi, Rendra, dan lain-lain. Puisi mbeling diciptakan sebagai gerakan perlawanan terhadap bentuk-bentuk puisi yang bisa dibilang mapan. Beberapa bentuk baru tersebut seperti; sajak ‘tuhantuhantuhantuhantuhantu....’. Sajak yang lain adalah diambil dari terjemahan sajaknya penyair Perancis terkenal, Apoliner.
Dibawah jembatan mirabo, mengalir sungai sein
Lalu ditulis,
Ing sangisore jembatan asemka, akeh umbele China
Sajak ini tampaknya ingin mengontraskan sajak romantis Apoliner dengan kenyataan sosial yang terjadi pada saat itu.
Kemudian, dibacakan sajak berjudul ‘Metamorfosis’ salah satu dari kami menafsirkannya sajak itu bercerita tentang orang hamil. Menggelikan sekali. Sapardi lalu menjelaskan dengan memvisualkan sajak itu dihadapan kami. Tapi, jangan percaya apa yang dikatakan penyair tentang sajaknya karena ia pasti bohong. Tentang hakikat cinta, barangkali bisa dilihat dalam sajak ‘Hujan Bulan Juni’. Dasyat! Sebuah puisi itu multi-tafsir. Saying one thing, meaning another.
Sapardi mengaku kalau ia adalah pencuri terbesar sajak-sajak T.S. Elliot. Seorang Inggris yang puisinya kemudian banyak diikuti Sapardi. Ia juga pencinta Shakespeare, Amir Hamzah, Toto Sudarto Bachtiar, dan sebagainya. Sajak cinta Sapardi kemudian lebih banyak dikenal orang. Padahal ia tak hanya menulis sajak cinta. Banyak nuansa lain, ada sajak protes, tentang kehidupan sosial, politik dan sebagainya. Sajak cintanya lebih banyak dikenal karena dilagukan.
Puisi Sapardi dapat diibaratkan sebagai gambar dari kata-kata. Membuat puisi yang mudah diterima berarti mempunyai gambar yang jelas terlebih dahulu. Alih warna karya sastra memang banyak dilakukan pada masa sekarang. Banyak novel menjadi film, puisi menjadi lagu, film menjadi novel dan sebagainya. Bentuk-bentuk baru yang tercipta tentu saja akan sangat berbeda dengan bentuk sebelumnya, tidak akan bisa utuh. Sehingga, bentuk baru yang tercipta tak perlu dikaitkan lagi dengan bentuknya yang lama.
Tradisi yang sebelumnya lisan, bergantung pada bunyi, kemudian beralih ke tradisi aksara. Hal ini tentu akan menimbulkan berbagai permasalahan. Siapa bilang pantun itu terdiri dari empat larik. Penulisan itu hanya memudahkan tradisi lisan agar lebih enak untuk dibaca. Perubahan tradisi lisan ke aksara tersebut dilakukan dengan memotong-motong karya menjadi larik-larik tertentu, menjadi kelompok kata. Bunyi-bunyian tersebut ditangkap kemudian dipenjarakan dalam larik-larik. Pembagian itu jelas dilakukan dengan berbagai maksud tertentu. Kalau dilanjutkan bisa jadi tak indah di pandang, persoalan teknis semata. Kita dipaksa berbikir secara visual padahal hakikatnya adalah oral. Sebuah peralihan dari orality menuju literacy.
Senja melarutkan kami dalam obrolan tentang cinta. Bila diteruskan, tak akan pernah ada kunjung usainya. Berakhirlah kisah cinta di senja ini. Kapan-kapan pasti kita bisa ketemu lagi.
Sajak Kecil tentang Cinta
Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarak
MencintaiMu(mu) harus menjelma aku
Kekuatan dalam proses kreatif Sapardi sesaat menjadi sangat menginspirasi. Sampai kapankah ini?
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar