Rabu, 25 Maret 2009

Ilmu Pemberdayaan

18 Maret 2009

Ilmu Pemberdayaan

Sore yang panas, melebihi cuaca pada umumnya. Suara gareng pung (sejenis serangga pohon) menjadi penanda Indonesia mulai memasuki musim panas tahun ini. Apa yang terjadi pada masyarakat Indonesia di musim ini? Semua masih seperti biasanya. Mereka menjalani kehidupan dengan biasa-biasa saja. Sebagaimana adanya. Saat mereka merasa merdeka dan gembira dalam ketertindasan.

Masyarakat yang sudah dijajah, kalau sudah lama tak dijajah lagi, maka mereka akan mengingatkan sang penjajah, “Kok, kami tak dijajah lagi ya?” analogi ini bisa digunakan untuk menjelaskan konsep pemberdayaan.

Jika Anda menjadi seorang pemimpin, lalu ditanya rakyat, “Saya tak butuh demokrasi, saya tak butuh kemerdekaan, tapi saya hanya butuh makan,” lalu apa jawaban Anda?

Orang paling tertindas, terjajah di negeri ini sebenarnya adalah buruh dan karyawan. Tapi uniknya, orang Indonesia banyak yang antri untuk jadi buruh dan karyawan. Konsep pemberdayaan sebernarnya dekat dengan konsep kemerdekaan. Ruh dari pemberdayaan adalah keinginan untuk merdeka. Tapi asal tahu saja kalau ditindas itu lebih nyaman dari merdeka. Lihat saja, jumlah orang yang antri untuk ditindas lebih banyak daripada orang yang antri untuk merdeka. Ironisnya lagi, orang yang menindas itu lebih sedikit dari pada yang mau ditindas. Celakanya, mau ditindas saja harus pakai syarat dan orang Indonesia justru banyak yang tidak memenuhi syarat untuk prosesi penindasan itu.

Orang yang makmur tapi tak merdeka, sebagaimana seekor burung peliharaan orang kaya. Hidup dalam sangkar emas memang bisa makmur. Bayangkan saja berapa biaya yang dikeluarkan orang kaya untuk merawat burung kesayangannya. Mulai dari asupan makanan terbaik, kebersihan sangkar, sampai pemeriksaan kesehatan rutin setiap bulan. Namun, yang punya burung ini tak pernah bertanya sekalipun apa keinginan burungnya. Mau makan apa dia? Si tuan tak pernah pedulikan.

Oleh karena itu, ada beberapa indikator untuk mengetahui orang yang berdaya. Pertama, bisa memenuhi kebutuhan dasarnya: sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan. Kebutuhan fisik dan sosial yang bisa terpenuhi dalam indikator pertama ini masih diklasifikasikan sebagai kebutuhan dasar setingkat hewan. Kebutuhan ini bisa terpenuhi apabila menjadi ‘monyetnya orang kaya’ atau ‘kucingnya orang kaya’. Indikator orang berdaya dalam hal ini masih menganut teori sosial lama.

Teori sosial lama kemudian mulai surut dengan kehadiran Gerakan Sosial Baru (GSB). The New Social Movement ini menganut ideologi post-materialisme. Orang tidak lagi cukup dengan pemenuhan kebutuhan dasarnya secara fisik. Manusia hidup butuh cinta, pengakuan, keadilan, dan rasa aman. Setiap orang memerlukan pengakuan atas hak-hak dasarnya. Hal ini mendasari disahkannya 10 Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Konfensi Genewa.

Sebuah cerita dari Madura pada masa Orde Baru bisa menggambarkan ironi ketertindasan manusia saat tak bisa menggunakan hak pilihnya. Saat itu pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan sosialisasi nilai-nilai luhur Pancasila melalui penataran P4. Tempat penataran telah dipersiapkan, dengan penjagaan ketat dari Babinsa. Waktu berlangsungnya penataran telah tiba. Ditunggu lama, tak satu pun warga yang muncul. Para Babinsa akhirnya mengalah untuk mendatangi beberapa rumah warga. Salah satu warga mengatakan dengan logat Maduranya yang khas, “Buk-abuk. Lha wong nyoblos PPP (baca:P3) saja tak boleh, kok malah disuruh P4 (baca: datang penataran P4).” Tugas seorang pemimpin adalah membangun pendidikan kewargaan. Dan inilah yang banyak dilupakan pemimpin negeri kita saat ini. Meskipun, caranya tidak harus se-ekstrim apa yang dilakukan pada masa Orde Baru. Dampaknya, jangankan untuk memenuhi dan mempertahankan kebutuhan dasarnya, masyarakat sekarang bahkan ada yang tak tahu apa haknya.

Kedua, indikator orang yang berdaya adalah mampu berpikir kritis. Ia tahu siapa yang dirugikan dan siapa yang diuntungkan. Dalam kebijakan publik misalnya, memang tak bisa menguntungkan semua pihak. Tapi setidaknya, kembali kita tahu siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dengan implementasi kebijakan tersebut.

Ketiga, indikator orang yang berdaya adalah mampu mengakses pusat-pusat sumberdaya. Sebagaimana sebuah radio, ia mempunyai antena yang tinggi, mampu menangkap sinyal dengan jangkauan tinggi. Ia mempunyai jangkauan informasi yang luas, dan instrumen untuk memilikinya adalah dengan penguasaan bahasa.

Keempat, be a part of organisasi rakyat. Dalam rangka menyelesaikan masalah HAM, seseorang harus tergabung dalam organisasi sosial. Ia tak bisa memperjuangkan nasibnya sendiri. Misalnya, seorang pedagang Malioboro yang selalu diganggu preman. Akan lebih mudah melakukan perlawanan atau melaporkan ke pihak berwenang apabila mengatasnamakan Persatuan Pedagang Malioboro.

Kelima, memiliki kontrol sosial, kontrol terhadap kebijakan yang merugikan.
Konsep pemberdayaan di Indonesia ini tidak jelas. Indikator yang terdapat pada nomor satu sampai lima tidak mencantumkan kata modal di dalamnya. Tapi, wacana yang berkembang adalah setiap pemberdayaan dapat dilakukan apabila mempunyai modal. Padahal, modal sebenarnya hanya dipikirkan oleh ‘tulang miskin’. Sedangkan orang yang berdaya adalah orang yang mempunyai semangat untuk berprestasi, bukan semangat untuk mendapat untung.

Anak muda tetangganya orang yang ngomong tentang pemberdayaan ini, suatu hari menghampirinya. Ia lalu berkata, “Mas, Anda kan punya kenalan di bengkelnya Anu to? Mbok, saya dititipkan di sana. Tak dibayar pun tak apa-apa. Yang penting saya bisa bekerja dan mendapat pengalaman.” Enam tahun berikutnya, anak muda itu sudah bisa mendirikan bengkelnya sendiri. Ia menggunakan kesempatan yang dimilikinya untuk belajar sebaik-baiknya. Membuka bengkel pun ia tak butuh modal. Ia hanya mengelola aset bengkel yang sudah bangkrut milik seseorang. Segala fasilitas yyang ada ia kelola dengan baik hingga bengkelnya ramai dikunjungi. Dari cerita ini, dapat disimpulkan bahwa modal adalah pembunuh utama bagi sang pemberdaya. Orang Indonesia selalu berpikir tentang aset dan investasi tanpa bisa dengan baik mengelolanya, hingga para pegawainya pun diimpor dari luar negeri semua. Sementara orang Indonesianya cuma jadi buruh belaka.

Ilmu pemberdayaan orang Indonesia sebenarnya masih bid’ah. Sesuatu yang tidak ada tapi di-ada-adakan sendiri. Bid’ahnya orang Indonesia adalah aset dan modal itu tadi. Padahal, apabila ditilik lebih lanjut, aset dan modal sebenarnya hanya menjadi beban. Lihat saja, berapa orang pengusaha yang mati bunuh diri karena modal mencekik dirinya.

Mindset pemberdayaan adalah menuju pada prestasi dan bukan kekayaan. Usaha orang bodoh sampai sekarang masih dijalankan oleh orang-orang kaya di negeri ini seperti membeli pom bensin. Ini bukan masalah untungnya, bila dikalkulasi, berapa keuntungan orang yang punya pom bensin? Mereka berlomba-lomba membangun pom bensin paling megah dengan segala fasilitasnya. Bukan untungnya yang dipikirkan, tapi ada kesan ‘wah’ saat seseorang bisa mempunyai aset. Sepertihalnya orang jual pulsa, sebenarnya mereka tidak butuh toko. Lagi-lagi ini masalah aset.

(Lha piye, wong kita hidup juga tetap butuh materi. Tak bisa hidup hanya dengan semangat. Bukannya saya materialis. Tapi ini realita. Meskipun itu hanya sekadar konstruksi sosial, tapi memang tak satu pun dari kita yang bisa keluar dari itu. Tak usahlah hidup di tataran ide. Kita ini hidup di dunia. Kalaupun ada yang bisa menjalaninya, paling cuma satu dua orang saja. Dan barangkali saya tak termasuk dalam golongan itu.)

Agak melenceng sedikit, meskipun masih relevan. Kontrak negara dengan warganya terkait dengan dua hal: yang berhubungan dengan eksistensi negara dan kontrak ideologi. Orang sejahtera di negeri ini urusan siapa? Kalau urusan negara (sosialis), memiliki konsekuensi bahwa warga negara harus ikut apa kata negara. Kalau kesejahteraan adalah urusan masing-masing, maka pengaturannya juga berada di tangan masing-masing (liberal). Lha, negeri kita ini tanggung, tidak mau dibatasi oleh negara tapi kalau ada apa-apa, negara yang menaggung. Slenco. Negara juga jadi bilang, “Emang gua pikirin.” Negara maunya A, rakyat maunya B. Lagi-lagi Slenco. Pertalian mesra antara negara dan rakyatnya entah kapan bisa terwujudkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar