Seorang pemain dengan logat Minang
muncul dari pojok depan panggung. Lampu sorot perlahan mengarah kepada pemain
itu, yang berjalan pelan sambil sesekali memukul genderang yang diikat di
perutnya. Topi kertas terbuat dari koran dikenakannya di kepala. Seperti seorang
pengisah tambo, pemain itu bercerita awal mula perantauannya ke suatu kota
bernama Yogyakarta.
Dikisahkan bahwa Jogja adalah kota
yang terkenal dengan penduduknya yang ramah tamah. Kota ini berkenan menampung
seluruh manusia dari pelosok tanah air yang ingin tinggal. Pengisah tambo masih
terus melanjutkan cerita ketika ia mendapat petuah-petuah macam “dimana bumi
dipijak di situ langit dijunjung”. Ia terus berceloteh sampai adegannya
berhenti dan pemain-pemain yang berdandan mirip prajurit keraton muncul dari
dua sisi panggung.
Teater di malam ketiga Festival
Teater Jogja 2012 ini bertajuk Api Yang
Takkan Padam. Pertunjukkan dari Migrating Troop yang disutradarai oleh Citra Pratiwi tersebut
ingin mengangkat kisah perjuangan Sultan Hamengkubuwono IX yang membuat kota
ini menjadi istimewa sampai sekarang. Konsep yang digagas cukup menarik dengan
menggabungkan narasi dan unsur audiovisual berupa rekaman suara maupun
video-video dokumenter soal sejarah Jogja.
Seperti halnya sebuah tambo, teater
ini lebih banyak menarasikan kembali sejarah. Bagian ini ditampilkan dengan
sangat lugu dimana para aktor tampil bergantian untuk menceritakan kembali
sejarah Jogja mulai dari perjanjian Giyanti, kisah Serangan Umum 1 Maret sampai
nukilan-nukilan sejarah yang sering digunakan penguasa Orba untuk mengusai ingatan
kolektif rakyat. Seperti halnya kuliah, penonton disuguhi narasi dengan
visualisasi yang diputar lewat video yang memenuhi latar panggung bagian belakang.
Sedikit membosankan.
Narasi selesai. Tiga pemain
perempuan melantunkan tembang Hampir
Malam di Jogja. Gelembung-gelembung udara muncul dari atas panggung dan pemain
laki-laki membuat gerakan-gerakan tubuh yang terasa tidak mampu menyatu dan
mengisi lagu. Tembang ini ternyata mengakhiri kebosanan karena dalam adegan-adegan
berikutnya, penonton mampu diajak untuk tertawa lewat ulah si pengisah tambo
dan pacarnya.
Dua orang pemain muncul dengan
sepeda. Cinta yang tumbuh di Jogja membuat seorang pemuda Minang dan gadis yang
di awal mengaku dari Jombang itu saling berkasih-kasihan. Acara saling merayu
dan dialog-dialog serta lakuan yang digambarkan pemuda minang mampu memicu tawa
penonton. Celana si pemuda yang melorot itu cukup menghibur.
Selanjutnya, satu lagi pasangan
datang. Pria dengan rambut pirang maju ke depan dan berkata bahwa dia dulu tak
bisa manari Jawa, tapi setelah berobat ke Klinik Tongseng akhirnya ia bisa
menari striptis. Penonton kembali tertawa setelah pria itu tiba-tiba kesurupan
dan ditolong oleh pemuda Minang. Satu lagi pasangan datang. Seorang pria buta
bertongkat yang hanya bersarung dan bertelanjang dada. Seorang lagi perempuan
bersyal merah. Tiga pasangan ini meramaikan pertunjukan dengan dialog-dialog
mereka yang kocak dan segar.
Tidak banyak yang bisa dikatakan
dari pertunjukan ini. Mungkin karena saya sendiri tidak terlalu terkesan,
kecuali cukup terhibur dengan guyonan yang disuguhkan. Ruh dari pertunjukkan
ini seakan menghilang. Saya juga tidak menyukai tata musik dari perangkat
digital yang sudah diolah sebelumnya itu. Tapi hal yang saya suka dari sebuah
teater adalah kelangkaannya. Sebuah teater hanya bisa disaksikan sekali, kini
dan di sini sehingga atmosfir yang tercipta pada saat menonton menjadi hal yang
tak dapat diulang. Kesan pun terbentuk dengan sangat spesifik, entah apakah
saya kemudian akan terserap dalam narasi, keaktoran, atau aspek-aspek teknis lainnya.
Selain narasi sejarah dan dialog
aktor yang coba ingin disatukan tetapi menjadi terkesan patah, kekurangan dari
teater ini tampak dalam hal mengolah ruang. Teater memiliki banyak ruang mulai
dari ruang dimana peristiwa itu berlangsung, ruang panggung, sampai ruang
sosial. Kalaupun ingin menunjukkan keberagaman Jogja, hal ini juga tak tampak
karena yang terlihat menonjol hanya warna lokal dari pemuda Minang. Pilihan untuk
mengangkat sisi sejarah yang ingin diungkap menjadi benar-benar mirip kuliah. Banyak
ruang yang sebenarnya bisa dieksplorasi lebih jauh terkait dengan pilihan ini. Suguhan
narasi sejarah mungkin akan lebih nyaman dilihat dan didengar bila dituturkan
lewat percakapan antar pemain meski sedikit sudah terselip melalui dialog pacar
si pemuda Minang. Tampaknya lebih baik juga kalau dikemas secara teatrikal
sebagaimana pengisah tambo di awal pertunjukkan.
Lewat teater yang menghibur ini,
sejarah kembali digali dan diinformasikan kepada penontonnya. Salah satu sumber
penutur sejarahnya kebetulan hadir. Di akhir pentas, KRT H. Djatiningrat SH. diminta
naik ke atas panggung. Dari sinilah konon katanya generasi muda yang belum
pernah bertemu Sultan Hamengkubuwono IX bisa mencecap kisah dan perjuangannya. Dari
sinilah kita semua tahu bahwa tuturan sejarah ini dilihat dari puncak gunung
yang mana.
Kamar Kost, 30 Agustus, 00:11 WIB.