Lengang
Tak ada yang menyahut
Kata tak juga memenuhi undanganku
untuk datang
Kembali bertualang
Sampai kapan harus kuabadikan kejahatan
Dengan hanya kagum pada pikiran orang-orang
Buku-buku yang mereka baca
Sedang aku di sini setia merawat luka
Memenuhi pelupuk mata
Geram tak hendak rebah begitu saja
Di sebuah perpustakaan
30 Juni 2011, 11:06 am
Kamis, 30 Juni 2011
Rabu, 22 Juni 2011
Catatan dalam Gelap Malam Gerhana Bulan
TBY, Sabtu 18 Juni 2011
Beberapa hari yang lalu, gerhana bulan terjadi dini hari. Orang-orang selalu menghubungnya dengan pertanda-pertanda. Dan malam ini, saatnya Sanggar Nuun menggelar lakon “Gerhana Bulan Ketiga “ karya Wahyudi dan disutradai oleh Mukhosis Noor. Setelah berkeliling menikmati berbagai benda dan makanan yang dihadirkan kembali dari masa lampau lewat Pasar Kangen di halaman TBY, saatnya untuk mengerutkan dahi menikmati suguhan teater surealis yang lahir dari paduan alam nyata dan imaji.
Panggung mulai gelap. Setting panggung dibuat cukup sederhana dengan kain putih yang dijereng setengah lingkaran seperti sosok bulan sebagai latar belakang. Di depannya terdapat sebuah menara menjulang dengan aksen ranting-ranting pohon pada puncaknya. Seseorang kemudian muncul di puncak menara sambil menari-nari. Sayang sekali olah tubuhnya kurang sempurna sehingga tarian yang seharusnya menyajikan kesan magis itu jadi terlihat kaku.
Orang-orang datang membawa kursi, saling mendesis dengan gerakan menakutkan. Kursi selalu membawa persepsi saya pada cerita tentang kekuasaan. Ternyata memang benar. Alkisah di sebuah negeri, seorang pemimpin baru saja meninggal dunia. Wilayah itu jadi kacau setelah ditinggal pemimpinnya. Orang-orang saling berbisik tentang siapa yang akan menggantikan kedudukan pemimpin itu. Perekonomian semakin kacau, membuat rakyat kecil tambah sengsara, sementara para pejabat masih sibuk sendiri mencari pengganti sang penguasa.
Sepasang pemain membawa lilin dan menari perlahan. Lilin itu menerangi samar balai pertemuan dimana ratu dan ketiga anaknya saling berdialog. Ketiga anaknya itu ternyata buta dan salah satunya adalah perempuan bernama Samina. Sang ratu duduk di atas kursi roda dengan baju keperakan beraksen futuristik. Adegan ini sedikit terlalu lama dan membosankan, bercerita tentang tiga orang yang memiliki darah pemimpin dalam tubuhnya tapi tak bernyali untuk memimpin negeri hanya karena keterbatasan mereka. Tiga orang yang mewakili rasa keraguan, ketakutan dan kecurigaan.
Setelah perdebatan para pewaris tahta, saatnya rakyat bicara. Muncul seorang gila yang sedang berakting mimpi basah di tengah pasar yang masih sepi. Tak lama kemudian, mulailah para pedagang pasar yang menjual obat, pakaian dan barang pecah belah ramai menawarkan dagangannya, saling berebut pembeli. Para pembeli terdiri dari kekek tua dan dua orang perempuan. Mereka ingin mencapai kesepakatan harga dengan kepentingannya masing-masing dan akhirnya tak tercapai pula. Tiba-tiba suasana mulai meninggi dan mereka semua berakting seperti kera, meninggalkan panggung dengan tiba-tiba pula.
Adegan berikutnya adalah rapat dewan agung untuk menentukan siapa yang menjadi pemimpin negeri itu. Tak jelas juga bagaimana akhirnya. Dua orang pewaris tahta mati terbunuh, termasuk juga Samina yang juga dibunuh entah oleh siapa. Sepertinya ada satu lagi pewaris tahta yang sebelumnya tidak muncul di adegan, tapi entahlah. Pikiran saya kadang melayang kemana sehingga tak seluruhnya isi pertunjukkan ini bisa diperangkap dalam otak.
Secara keseluruhan, saya suka dengan pertunjukan Sanggar Nuun kali ini. Beberapa pemainnya bisa masuk dalam karakter tokoh sepenuhnya. Mereka seperti bisa menghilangkan diri untuk sementara atau memenjarakan ‘aku’nya untuk diganti dengan ‘aku’ si tokoh cerita. Beberapa diantaranya sepertinya bisa berperan dengan baik karena bawaan sehari-harinya sudah begitu. Tapi, ini hanya prasangka, tentu bisa benar dan bisa saja salah.
Beberapa karakter yang sempat masuk dalam catatan saya salah satunya adalah Samina. Tokoh ini dalam kemunculannya selalu mendapat respon dari teman di sebelah yang awam dengan teater. Aktingnya cukup baik untuk ukuran seorang perempuan yang kadang memiliki keterbatasan dalam mengeksplorasi peran. Ia cukup berhasil memerankan sosok wanita buta yang terkesan sadis dan sinis. Tokoh perempuan lain juga terlihat baik seperti sosok ratu dan penjual baju. Tata busana dan riasanya cukup mendukung pencitraan tokoh. Meskipun menggunakan jilbab, busana para aktris ini tetap memiliki unsur teatrikal dan tidak terkesan aneh.
Untuk aktor lain, saya suka dengan karater orang gila. Meskipun tidak memiliki porsi cukup banyak dalam cerita, setidaknya orang gila ini bisa merepresentasikan bahwa ialah sebenarnya yang paling waras dalam cerita ini. Berikutnya adalah penjual jamu dengan gaya bicara dan aksennya yang mirip sekali dengan penjual jamu aslinya. Dan yang paling saya sukai adalah sosok penjual barang pecah belah. Entah kenapa orang ini bisa menjadi benar-benar tua. Ia mengubah suaranya menjadi cempreng tapi terkesan sangat biasa seperti suara aslinya. Sepertinya, ada orang tua yang benar-benar masuk dalam diri si aktor ini. Riasan wajahnya sangat mendukung dan dia juga bisa menjadi seperti benar-benar kera dalam adegan sebelum meninggalkan panggung.
Unsur gerak dan dialog dipadu padankan secara selaras dalam pertunjukan ini. Musiknya cukup lumayan dengan beberapa kali terdengar suara mirip tetesan air, cukup mendukung suasana yang ingin ditampilkan. Peran ganda dari beberapa aktor perlu untuk diapresiasi tersendiri, semoga bukan karena kurangnya pemuda yang berminat pada teater sehingga sampai kekurangan orang untuk sebuah pertunjukan.
Beberapa momentum mungkin ada yang meleset. Namun, tak ada suatu pertunjukkan yang sempurna di dunia ini. Kebetulan saya mengajak beberapa teman kost yang belum pernah menyaksikan teater sebelumnya. Setelah sampai di kost, hal yang ditanyakan adalah cerita tadi sebenarnya bicara tentang apa? Teman saya hanya menangkap adanya perebutan kekuasaan dan memang itu intinya. Ia juga seperti terngiang-ngiang dengan nama Samina dan sering menyebut kata itu dengan nada dan gaya teatrikal.
Teater surealis yang cenderung berunsur absurditas mungkin memang sedikit sulit diterima orang awam karena penonton harus merefleksikan lebih dalam dan tidak hanya sekadar menonton. Hal seperti inilah yang membuat otak berputar selama pertunjukkan namun tidak semua penonton mau melakukan itu. Tentu akan ada terang setelah gerhana bulan. Purnama.
Good Job, I Like It....
Beberapa hari yang lalu, gerhana bulan terjadi dini hari. Orang-orang selalu menghubungnya dengan pertanda-pertanda. Dan malam ini, saatnya Sanggar Nuun menggelar lakon “Gerhana Bulan Ketiga “ karya Wahyudi dan disutradai oleh Mukhosis Noor. Setelah berkeliling menikmati berbagai benda dan makanan yang dihadirkan kembali dari masa lampau lewat Pasar Kangen di halaman TBY, saatnya untuk mengerutkan dahi menikmati suguhan teater surealis yang lahir dari paduan alam nyata dan imaji.
Panggung mulai gelap. Setting panggung dibuat cukup sederhana dengan kain putih yang dijereng setengah lingkaran seperti sosok bulan sebagai latar belakang. Di depannya terdapat sebuah menara menjulang dengan aksen ranting-ranting pohon pada puncaknya. Seseorang kemudian muncul di puncak menara sambil menari-nari. Sayang sekali olah tubuhnya kurang sempurna sehingga tarian yang seharusnya menyajikan kesan magis itu jadi terlihat kaku.
Orang-orang datang membawa kursi, saling mendesis dengan gerakan menakutkan. Kursi selalu membawa persepsi saya pada cerita tentang kekuasaan. Ternyata memang benar. Alkisah di sebuah negeri, seorang pemimpin baru saja meninggal dunia. Wilayah itu jadi kacau setelah ditinggal pemimpinnya. Orang-orang saling berbisik tentang siapa yang akan menggantikan kedudukan pemimpin itu. Perekonomian semakin kacau, membuat rakyat kecil tambah sengsara, sementara para pejabat masih sibuk sendiri mencari pengganti sang penguasa.
Sepasang pemain membawa lilin dan menari perlahan. Lilin itu menerangi samar balai pertemuan dimana ratu dan ketiga anaknya saling berdialog. Ketiga anaknya itu ternyata buta dan salah satunya adalah perempuan bernama Samina. Sang ratu duduk di atas kursi roda dengan baju keperakan beraksen futuristik. Adegan ini sedikit terlalu lama dan membosankan, bercerita tentang tiga orang yang memiliki darah pemimpin dalam tubuhnya tapi tak bernyali untuk memimpin negeri hanya karena keterbatasan mereka. Tiga orang yang mewakili rasa keraguan, ketakutan dan kecurigaan.
Setelah perdebatan para pewaris tahta, saatnya rakyat bicara. Muncul seorang gila yang sedang berakting mimpi basah di tengah pasar yang masih sepi. Tak lama kemudian, mulailah para pedagang pasar yang menjual obat, pakaian dan barang pecah belah ramai menawarkan dagangannya, saling berebut pembeli. Para pembeli terdiri dari kekek tua dan dua orang perempuan. Mereka ingin mencapai kesepakatan harga dengan kepentingannya masing-masing dan akhirnya tak tercapai pula. Tiba-tiba suasana mulai meninggi dan mereka semua berakting seperti kera, meninggalkan panggung dengan tiba-tiba pula.
Adegan berikutnya adalah rapat dewan agung untuk menentukan siapa yang menjadi pemimpin negeri itu. Tak jelas juga bagaimana akhirnya. Dua orang pewaris tahta mati terbunuh, termasuk juga Samina yang juga dibunuh entah oleh siapa. Sepertinya ada satu lagi pewaris tahta yang sebelumnya tidak muncul di adegan, tapi entahlah. Pikiran saya kadang melayang kemana sehingga tak seluruhnya isi pertunjukkan ini bisa diperangkap dalam otak.
Secara keseluruhan, saya suka dengan pertunjukan Sanggar Nuun kali ini. Beberapa pemainnya bisa masuk dalam karakter tokoh sepenuhnya. Mereka seperti bisa menghilangkan diri untuk sementara atau memenjarakan ‘aku’nya untuk diganti dengan ‘aku’ si tokoh cerita. Beberapa diantaranya sepertinya bisa berperan dengan baik karena bawaan sehari-harinya sudah begitu. Tapi, ini hanya prasangka, tentu bisa benar dan bisa saja salah.
Beberapa karakter yang sempat masuk dalam catatan saya salah satunya adalah Samina. Tokoh ini dalam kemunculannya selalu mendapat respon dari teman di sebelah yang awam dengan teater. Aktingnya cukup baik untuk ukuran seorang perempuan yang kadang memiliki keterbatasan dalam mengeksplorasi peran. Ia cukup berhasil memerankan sosok wanita buta yang terkesan sadis dan sinis. Tokoh perempuan lain juga terlihat baik seperti sosok ratu dan penjual baju. Tata busana dan riasanya cukup mendukung pencitraan tokoh. Meskipun menggunakan jilbab, busana para aktris ini tetap memiliki unsur teatrikal dan tidak terkesan aneh.
Untuk aktor lain, saya suka dengan karater orang gila. Meskipun tidak memiliki porsi cukup banyak dalam cerita, setidaknya orang gila ini bisa merepresentasikan bahwa ialah sebenarnya yang paling waras dalam cerita ini. Berikutnya adalah penjual jamu dengan gaya bicara dan aksennya yang mirip sekali dengan penjual jamu aslinya. Dan yang paling saya sukai adalah sosok penjual barang pecah belah. Entah kenapa orang ini bisa menjadi benar-benar tua. Ia mengubah suaranya menjadi cempreng tapi terkesan sangat biasa seperti suara aslinya. Sepertinya, ada orang tua yang benar-benar masuk dalam diri si aktor ini. Riasan wajahnya sangat mendukung dan dia juga bisa menjadi seperti benar-benar kera dalam adegan sebelum meninggalkan panggung.
Unsur gerak dan dialog dipadu padankan secara selaras dalam pertunjukan ini. Musiknya cukup lumayan dengan beberapa kali terdengar suara mirip tetesan air, cukup mendukung suasana yang ingin ditampilkan. Peran ganda dari beberapa aktor perlu untuk diapresiasi tersendiri, semoga bukan karena kurangnya pemuda yang berminat pada teater sehingga sampai kekurangan orang untuk sebuah pertunjukan.
Beberapa momentum mungkin ada yang meleset. Namun, tak ada suatu pertunjukkan yang sempurna di dunia ini. Kebetulan saya mengajak beberapa teman kost yang belum pernah menyaksikan teater sebelumnya. Setelah sampai di kost, hal yang ditanyakan adalah cerita tadi sebenarnya bicara tentang apa? Teman saya hanya menangkap adanya perebutan kekuasaan dan memang itu intinya. Ia juga seperti terngiang-ngiang dengan nama Samina dan sering menyebut kata itu dengan nada dan gaya teatrikal.
Teater surealis yang cenderung berunsur absurditas mungkin memang sedikit sulit diterima orang awam karena penonton harus merefleksikan lebih dalam dan tidak hanya sekadar menonton. Hal seperti inilah yang membuat otak berputar selama pertunjukkan namun tidak semua penonton mau melakukan itu. Tentu akan ada terang setelah gerhana bulan. Purnama.
Good Job, I Like It....
Senin, 20 Juni 2011
Semalam Jadi Pasien di Orkhestra Rumah Sakit
TBY, 10 Juni 2011
Tiga orang pasien sedang duduk di pojok ruang tunggu sebuah rumah sakit. Segala gaya dan tingkah laku mereka selalu kompak, sampai tempo batuk dan gaya membuang ludah pun juga sama. Sudah tiga hari mereka menunggu panggilan sebagai pasien untuk segera ditangani dokter. Tiga hari pula penyakit mereka tambah parah saja. Adegan inilah yang mengawali pertunjukan Tetaer Shima dengan judul “Orkhestra Rumah Sakit” karya Puntung CM Punjdadi.
Cerita selanjutnya berbicara seputar sebuah rumah sakit dengan segala ketidakberesannya. Orang-orang kaya memesan kamar VVIP di rumah sakit hanya untuk beristirahat dan menghindar dari persoalan. Dokter dan perawat saling bercinta. Pemilik rumah sakit dan perawat juga saling bercinta. Seorang dokter menjual organ pasien yang sudah mati, katanya demi ilmu pengetahuan, untuk para mahasiswa kedokteran. Dokter mempunya staf ahli anestesi, seorang satpam bertubuh tambun yang selalu membawa ganden untuk memukul kepala pasien biar cepat mati. Orang miskin dioprasi di dapur, dibedah perutnya dengan gergaji dan pisau berukuran besar sekali.
Beberapa menit berselang, ada sebuah adegan yang tak terduga ketika muncul salah satu aktor dari atas panggung menggunakan tali. Katanya dia ini adalah malaikat pencabut nyawa. Seorang malaikat yang bisa disogok agar nyawa bisa diperpanjang demi menikmati dunia. Seorang pemabuk cukup membayar lima ratus ribu saja untuk satu minggu perpanjangan nyawa. Waktu yang cukup panjang baginya untuk bertobat atau untuk lebih bisa menikmati dunia lewat botol-botol alkohol. Ide adegan ini memang menarik dan menggelitik. Hanya saja, kemunculan malaikat dan gayanya yang terlalu aneh sedikit mengganggu komposisi pertunjukan secara keseluruhan.
Segala macam paradoks rumah sakit dihadirkan dalam cerita ini. Miskin dan kaya tentu tak bisa diperlakukan sama. Moralitas manusia diaduk-aduk sedemikian rupa. Adegan pun di tutup dengan kisah ketika si miskin mati, satu orang pun tak ada yang menangisi. Sangat berbeda dengan si kaya, mati dikerubuti sanak saudara yang pura-pura mengeluarkan air mata. Wartawan datang untuk mengambil gambar-gambar topeng kesedihan. Para penangis terlihat konyol ketika mereka bergaya ketika difoto dan kembali menangis ketika lampu kamera berhenti menyala.
Pertunjukan Teater Shima kali ini cukup mampu menampilkan naskah cerita yang segar. Sebuah realitas yang mungkin sangat bisa terjadi di carut marutnya negara kita saat ini. Para penonton bisa dibuat tertawa sekaligus miris. Artistiknya pas dengan suasana yang ingin dibuat dan mampu menerjemahkan naskah dengan baik. Musiknya juga tidak wagu sehingga mampu menjadi penyelaras setiap adegan. Konsep cerita dan unsur-unsurnya sepertinya dirancang dengan matang. Kapasitas keaktoran para pemain juga relatif seragam sehingga tidak ada salah satu aktor yang terlihat menonjol atau terlalu lemah.
Satu hal yang menarik dari teater ini adalah ketika pertunjukan yang ditampilkan mampu menjembatani antar generasi. Pemain senior dan anak-anak SMA menjadi satu dalam kesatuan sebuah panggung dan isi pertunujkan. Model pertunjukan seperti ini dapat menjadi alternatif pembelajaran teater yang cukup menarik. Transfer dan sharing pengalaman bisa dilakukan dalam satu wadah pertunjukan yang sebenarnya. Proses learning by doing seperti inilah yang bisa diadaptasi ketika pengembangkan kapasitas para aktor pemula bisa dilakukan dengan berpentas bersama para seniornya.
Sebagai pasien saya cukup puas dan tidak merasa menyesal membayar tiket masuknya. Sebagai pasien, saya mengaku sakit dan harus dirawat dengan selang-selang infus dan aliran oksigen. Pertunjukan kali ini cukup memberi saya energi. Seperti pasien yang menunggu diperiksa seorang dokter tampan, seperti pasien yang kelaparan menunggu jatah makan yang kadang tak berasa. Pertunjukan-pertunjukan semacam inilah yang membuat saya masih betah tinggal di rumah sakit jiwa bernama Yogyakarta. Saya tak mau sembuh dengan tetap menyeduh kata. Saya mau tetap gila biar bisa disebut manusia.
Salam buat salah satu pemain musik, seorang lelaki yang main gitar itu rambutnya mirip gadis Sunsilk.hehe...
Tiga orang pasien sedang duduk di pojok ruang tunggu sebuah rumah sakit. Segala gaya dan tingkah laku mereka selalu kompak, sampai tempo batuk dan gaya membuang ludah pun juga sama. Sudah tiga hari mereka menunggu panggilan sebagai pasien untuk segera ditangani dokter. Tiga hari pula penyakit mereka tambah parah saja. Adegan inilah yang mengawali pertunjukan Tetaer Shima dengan judul “Orkhestra Rumah Sakit” karya Puntung CM Punjdadi.
Cerita selanjutnya berbicara seputar sebuah rumah sakit dengan segala ketidakberesannya. Orang-orang kaya memesan kamar VVIP di rumah sakit hanya untuk beristirahat dan menghindar dari persoalan. Dokter dan perawat saling bercinta. Pemilik rumah sakit dan perawat juga saling bercinta. Seorang dokter menjual organ pasien yang sudah mati, katanya demi ilmu pengetahuan, untuk para mahasiswa kedokteran. Dokter mempunya staf ahli anestesi, seorang satpam bertubuh tambun yang selalu membawa ganden untuk memukul kepala pasien biar cepat mati. Orang miskin dioprasi di dapur, dibedah perutnya dengan gergaji dan pisau berukuran besar sekali.
Beberapa menit berselang, ada sebuah adegan yang tak terduga ketika muncul salah satu aktor dari atas panggung menggunakan tali. Katanya dia ini adalah malaikat pencabut nyawa. Seorang malaikat yang bisa disogok agar nyawa bisa diperpanjang demi menikmati dunia. Seorang pemabuk cukup membayar lima ratus ribu saja untuk satu minggu perpanjangan nyawa. Waktu yang cukup panjang baginya untuk bertobat atau untuk lebih bisa menikmati dunia lewat botol-botol alkohol. Ide adegan ini memang menarik dan menggelitik. Hanya saja, kemunculan malaikat dan gayanya yang terlalu aneh sedikit mengganggu komposisi pertunjukan secara keseluruhan.
Segala macam paradoks rumah sakit dihadirkan dalam cerita ini. Miskin dan kaya tentu tak bisa diperlakukan sama. Moralitas manusia diaduk-aduk sedemikian rupa. Adegan pun di tutup dengan kisah ketika si miskin mati, satu orang pun tak ada yang menangisi. Sangat berbeda dengan si kaya, mati dikerubuti sanak saudara yang pura-pura mengeluarkan air mata. Wartawan datang untuk mengambil gambar-gambar topeng kesedihan. Para penangis terlihat konyol ketika mereka bergaya ketika difoto dan kembali menangis ketika lampu kamera berhenti menyala.
Pertunjukan Teater Shima kali ini cukup mampu menampilkan naskah cerita yang segar. Sebuah realitas yang mungkin sangat bisa terjadi di carut marutnya negara kita saat ini. Para penonton bisa dibuat tertawa sekaligus miris. Artistiknya pas dengan suasana yang ingin dibuat dan mampu menerjemahkan naskah dengan baik. Musiknya juga tidak wagu sehingga mampu menjadi penyelaras setiap adegan. Konsep cerita dan unsur-unsurnya sepertinya dirancang dengan matang. Kapasitas keaktoran para pemain juga relatif seragam sehingga tidak ada salah satu aktor yang terlihat menonjol atau terlalu lemah.
Satu hal yang menarik dari teater ini adalah ketika pertunjukan yang ditampilkan mampu menjembatani antar generasi. Pemain senior dan anak-anak SMA menjadi satu dalam kesatuan sebuah panggung dan isi pertunujkan. Model pertunjukan seperti ini dapat menjadi alternatif pembelajaran teater yang cukup menarik. Transfer dan sharing pengalaman bisa dilakukan dalam satu wadah pertunjukan yang sebenarnya. Proses learning by doing seperti inilah yang bisa diadaptasi ketika pengembangkan kapasitas para aktor pemula bisa dilakukan dengan berpentas bersama para seniornya.
Sebagai pasien saya cukup puas dan tidak merasa menyesal membayar tiket masuknya. Sebagai pasien, saya mengaku sakit dan harus dirawat dengan selang-selang infus dan aliran oksigen. Pertunjukan kali ini cukup memberi saya energi. Seperti pasien yang menunggu diperiksa seorang dokter tampan, seperti pasien yang kelaparan menunggu jatah makan yang kadang tak berasa. Pertunjukan-pertunjukan semacam inilah yang membuat saya masih betah tinggal di rumah sakit jiwa bernama Yogyakarta. Saya tak mau sembuh dengan tetap menyeduh kata. Saya mau tetap gila biar bisa disebut manusia.
Salam buat salah satu pemain musik, seorang lelaki yang main gitar itu rambutnya mirip gadis Sunsilk.hehe...
Senin, 06 Juni 2011
Kenangan Berenang dalam Kuah Soto
Rasanya baru kemarin
kita menyusuri kota ini bersama.
Masih adakah menyisa?
Kuah soto bebek dan
butiran nasi yang kau habiskan dari piringku.
Wajah kita menghitam penuh asap bus kota
Kau membuka setangkup keluhan pada tuhan
di atas lapaklapak pasar
bergembok lelah para penjual sayuran,
ikan bandeng dan pindang.
Siang seperti dingin
membekukan kita di hadapan televisi menyala
seorang perempuan dan ular besar menggayut manja
Aku menengok ke arahamu
telah kau habiskan sisa makan siangku.
Cinta dan kenangan kecanduan kuah soto,
kehilangan selaput di antara ruas jari
tak bisa lagi berenang bersama si bebek buruk rupa.
Rasanya baru kemarin
masih adakah menyisa?
Juni 2011
Mengenang Kembali dari Kaca Jendela Bus Kota, ketika Melewati Klaten
kita menyusuri kota ini bersama.
Masih adakah menyisa?
Kuah soto bebek dan
butiran nasi yang kau habiskan dari piringku.
Wajah kita menghitam penuh asap bus kota
Kau membuka setangkup keluhan pada tuhan
di atas lapaklapak pasar
bergembok lelah para penjual sayuran,
ikan bandeng dan pindang.
Siang seperti dingin
membekukan kita di hadapan televisi menyala
seorang perempuan dan ular besar menggayut manja
Aku menengok ke arahamu
telah kau habiskan sisa makan siangku.
Cinta dan kenangan kecanduan kuah soto,
kehilangan selaput di antara ruas jari
tak bisa lagi berenang bersama si bebek buruk rupa.
Rasanya baru kemarin
masih adakah menyisa?
Juni 2011
Mengenang Kembali dari Kaca Jendela Bus Kota, ketika Melewati Klaten
Rabu, 01 Juni 2011
Ingatan Rapuh Desa Brubuh
Seperti itulah matamu,
berdiam antara kedalaman samudra
dan dunia para pencuri.
Begitu saja cinta kita,
seperti seikat rambutan
kau curi dari pohon di kebun tetangga.
Kau manjat, dikeroyok semut hitam
Katamu ini lebih manis,
dari rambutan kehijauan yang bergerombol
di pekarangan samping rumahmu.
Seperti maling,
kita saling mencuri nafas
Mbah kakung angon kambing dan cari rumput
Mbah putri menyiapkan makan siang
Tubuh bongkoknya riang memasak sayur lodeh dari ketela
di bumbu bawang, cabai dan garam saja
tungku dan gemeretak kayu menyusupkan asap
siap mengintip kita dari celah jendela menutup rapat
cinta kita memang hanya seikat rambutan curian
melawan gravitasi dengan melemparkan kejahatan
mimpi menggantungnya di langit tak bisa jatuh
menjadi bintang, kejora, bahkan
tiba tiba aku mengingat Brubuh
tikar pandan lusuh dan uap kopi
menyepuh peluh
1 Juni 2011
berdiam antara kedalaman samudra
dan dunia para pencuri.
Begitu saja cinta kita,
seperti seikat rambutan
kau curi dari pohon di kebun tetangga.
Kau manjat, dikeroyok semut hitam
Katamu ini lebih manis,
dari rambutan kehijauan yang bergerombol
di pekarangan samping rumahmu.
Seperti maling,
kita saling mencuri nafas
Mbah kakung angon kambing dan cari rumput
Mbah putri menyiapkan makan siang
Tubuh bongkoknya riang memasak sayur lodeh dari ketela
di bumbu bawang, cabai dan garam saja
tungku dan gemeretak kayu menyusupkan asap
siap mengintip kita dari celah jendela menutup rapat
cinta kita memang hanya seikat rambutan curian
melawan gravitasi dengan melemparkan kejahatan
mimpi menggantungnya di langit tak bisa jatuh
menjadi bintang, kejora, bahkan
tiba tiba aku mengingat Brubuh
tikar pandan lusuh dan uap kopi
menyepuh peluh
1 Juni 2011
Langganan:
Postingan (Atom)