Rabu, 22 Juni 2011

Catatan dalam Gelap Malam Gerhana Bulan

TBY, Sabtu 18 Juni 2011
Beberapa hari yang lalu, gerhana bulan terjadi dini hari. Orang-orang selalu menghubungnya dengan pertanda-pertanda. Dan malam ini, saatnya Sanggar Nuun menggelar lakon “Gerhana Bulan Ketiga “ karya Wahyudi dan disutradai oleh Mukhosis Noor. Setelah berkeliling menikmati berbagai benda dan makanan yang dihadirkan kembali dari masa lampau lewat Pasar Kangen di halaman TBY, saatnya untuk mengerutkan dahi menikmati suguhan teater surealis yang lahir dari paduan alam nyata dan imaji.

Panggung mulai gelap. Setting panggung dibuat cukup sederhana dengan kain putih yang dijereng setengah lingkaran seperti sosok bulan sebagai latar belakang. Di depannya terdapat sebuah menara menjulang dengan aksen ranting-ranting pohon pada puncaknya. Seseorang kemudian muncul di puncak menara sambil menari-nari. Sayang sekali olah tubuhnya kurang sempurna sehingga tarian yang seharusnya menyajikan kesan magis itu jadi terlihat kaku.

Orang-orang datang membawa kursi, saling mendesis dengan gerakan menakutkan. Kursi selalu membawa persepsi saya pada cerita tentang kekuasaan. Ternyata memang benar. Alkisah di sebuah negeri, seorang pemimpin baru saja meninggal dunia. Wilayah itu jadi kacau setelah ditinggal pemimpinnya. Orang-orang saling berbisik tentang siapa yang akan menggantikan kedudukan pemimpin itu. Perekonomian semakin kacau, membuat rakyat kecil tambah sengsara, sementara para pejabat masih sibuk sendiri mencari pengganti sang penguasa.

Sepasang pemain membawa lilin dan menari perlahan. Lilin itu menerangi samar balai pertemuan dimana ratu dan ketiga anaknya saling berdialog. Ketiga anaknya itu ternyata buta dan salah satunya adalah perempuan bernama Samina. Sang ratu duduk di atas kursi roda dengan baju keperakan beraksen futuristik. Adegan ini sedikit terlalu lama dan membosankan, bercerita tentang tiga orang yang memiliki darah pemimpin dalam tubuhnya tapi tak bernyali untuk memimpin negeri hanya karena keterbatasan mereka. Tiga orang yang mewakili rasa keraguan, ketakutan dan kecurigaan.

Setelah perdebatan para pewaris tahta, saatnya rakyat bicara. Muncul seorang gila yang sedang berakting mimpi basah di tengah pasar yang masih sepi. Tak lama kemudian, mulailah para pedagang pasar yang menjual obat, pakaian dan barang pecah belah ramai menawarkan dagangannya, saling berebut pembeli. Para pembeli terdiri dari kekek tua dan dua orang perempuan. Mereka ingin mencapai kesepakatan harga dengan kepentingannya masing-masing dan akhirnya tak tercapai pula. Tiba-tiba suasana mulai meninggi dan mereka semua berakting seperti kera, meninggalkan panggung dengan tiba-tiba pula.

Adegan berikutnya adalah rapat dewan agung untuk menentukan siapa yang menjadi pemimpin negeri itu. Tak jelas juga bagaimana akhirnya. Dua orang pewaris tahta mati terbunuh, termasuk juga Samina yang juga dibunuh entah oleh siapa. Sepertinya ada satu lagi pewaris tahta yang sebelumnya tidak muncul di adegan, tapi entahlah. Pikiran saya kadang melayang kemana sehingga tak seluruhnya isi pertunjukkan ini bisa diperangkap dalam otak.

Secara keseluruhan, saya suka dengan pertunjukan Sanggar Nuun kali ini. Beberapa pemainnya bisa masuk dalam karakter tokoh sepenuhnya. Mereka seperti bisa menghilangkan diri untuk sementara atau memenjarakan ‘aku’nya untuk diganti dengan ‘aku’ si tokoh cerita. Beberapa diantaranya sepertinya bisa berperan dengan baik karena bawaan sehari-harinya sudah begitu. Tapi, ini hanya prasangka, tentu bisa benar dan bisa saja salah.

Beberapa karakter yang sempat masuk dalam catatan saya salah satunya adalah Samina. Tokoh ini dalam kemunculannya selalu mendapat respon dari teman di sebelah yang awam dengan teater. Aktingnya cukup baik untuk ukuran seorang perempuan yang kadang memiliki keterbatasan dalam mengeksplorasi peran. Ia cukup berhasil memerankan sosok wanita buta yang terkesan sadis dan sinis. Tokoh perempuan lain juga terlihat baik seperti sosok ratu dan penjual baju. Tata busana dan riasanya cukup mendukung pencitraan tokoh. Meskipun menggunakan jilbab, busana para aktris ini tetap memiliki unsur teatrikal dan tidak terkesan aneh.

Untuk aktor lain, saya suka dengan karater orang gila. Meskipun tidak memiliki porsi cukup banyak dalam cerita, setidaknya orang gila ini bisa merepresentasikan bahwa ialah sebenarnya yang paling waras dalam cerita ini. Berikutnya adalah penjual jamu dengan gaya bicara dan aksennya yang mirip sekali dengan penjual jamu aslinya. Dan yang paling saya sukai adalah sosok penjual barang pecah belah. Entah kenapa orang ini bisa menjadi benar-benar tua. Ia mengubah suaranya menjadi cempreng tapi terkesan sangat biasa seperti suara aslinya. Sepertinya, ada orang tua yang benar-benar masuk dalam diri si aktor ini. Riasan wajahnya sangat mendukung dan dia juga bisa menjadi seperti benar-benar kera dalam adegan sebelum meninggalkan panggung.

Unsur gerak dan dialog dipadu padankan secara selaras dalam pertunjukan ini. Musiknya cukup lumayan dengan beberapa kali terdengar suara mirip tetesan air, cukup mendukung suasana yang ingin ditampilkan. Peran ganda dari beberapa aktor perlu untuk diapresiasi tersendiri, semoga bukan karena kurangnya pemuda yang berminat pada teater sehingga sampai kekurangan orang untuk sebuah pertunjukan.

Beberapa momentum mungkin ada yang meleset. Namun, tak ada suatu pertunjukkan yang sempurna di dunia ini. Kebetulan saya mengajak beberapa teman kost yang belum pernah menyaksikan teater sebelumnya. Setelah sampai di kost, hal yang ditanyakan adalah cerita tadi sebenarnya bicara tentang apa? Teman saya hanya menangkap adanya perebutan kekuasaan dan memang itu intinya. Ia juga seperti terngiang-ngiang dengan nama Samina dan sering menyebut kata itu dengan nada dan gaya teatrikal.

Teater surealis yang cenderung berunsur absurditas mungkin memang sedikit sulit diterima orang awam karena penonton harus merefleksikan lebih dalam dan tidak hanya sekadar menonton. Hal seperti inilah yang membuat otak berputar selama pertunjukkan namun tidak semua penonton mau melakukan itu. Tentu akan ada terang setelah gerhana bulan. Purnama.
Good Job, I Like It....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar