Sebentuk
kesan akan saya tuliskan setelah menonton Indonesia
Dramatic Reading Festival (IDRF), tanpa teman sebelah. Payah, kalimat
pertama tulisan ini sudah berupa keluhan. Saya memang belum pernah menonton
acara serupa. Sebelum menonton, sedikit gambaran dalam benak memperlihatkan
orang-orang yang membacakan naskah dengan intonasi dan ekspresinya. Lebih
tepatnya mungkin bisa disebut pelisanan naskah drama. Di acara menonton yang
sampai tiga hari berturut-turut tak pernah absen ini, saya ditemani oleh
pendekar pasir beracun untuk dua hari pertama. Ia khusus datang dari pulau
pasir untuk menemani saya. Dia memang teman yang baik.
Tema IDRF
tahun ini adalah “Memperkarakan Realisme”. Dua tahun sebelumnya, IDRF mengusung
tema “Melihat Kembali Realisme” dan tahun lalu bertema “Mengolah Kembali Realisme”.
Sayang sekali saya tak ikut ambil bagian jadi penonton untuk IDRF tahun-tahun
sebelumnya. Dan di sini saya hanya akan bercerita, tak berani
membanding-bandingkan atau berkomentar macam-macam tentang teater dan lakon
realis di Indonesia. Sejarahnya sudah sangat panjang dan bukan kapasitas saya
sebagai penonton untuk menuliskannya.
Mas Joned
Suryatmoko membuka acara sebagai direktur IDRF yang juga akan digelar di kota
lain yaitu Semarang, Bandung dan Lampung. Seharusnya ia ditemani oleh
Gunamawan Maryanto, sayangnya dia sedang berada di Korea. Mungkin para aktor
Teater Garasi sedang diikutkan training
dalam management artis SM Town biar terkenal seperti Super Junior.Hehe.. Penonton
di hari pertama ini lumayan semarak. Pendekar pasir beracun cukup senang bertemu
dengan salah satu penonton yang juga bergaya mirip pendekar. Seorang laki-laki
dengan udeng-udeng atau iket di kepala. Ia datang sendiri dan sepertinya
tak mengenal seorang pun di tempat itu seperti kami.
/1/
Di hari
pertama ini, Behind Theatre akan melisankan naskah Helvy Tiana Rosa. Dulu saya
senang membacai karya Helvy ketika es em a dengan majalah wajib baca zaman itu
bernama Annida. Jangan salah karena beberapa tulisan saya sewaktu es em a memang
sangat Islami. Sempat dulu awal kuliah ikut FLP karena ingin menjadi penulis
seperti Mbak Helvy. Tapi kemudian tak betah karena merasa bukan bagian dari
sekawanan bidadari surga yang ada di sana.
Kembali pada
naskah Helvy yang di bacakan di IDRF. Lakon berjudul Jiroris ini memang cukup menarik. Naskah ini dibawakan oleh Behind
Theatre dengan interpretasi khas mereka yang segar dan menghibur. Helvy
bercerita tentang seorang ibu yang khawatir dengan anaknya yang ikut Rohis di
sekolah. Sebagai naskah realis, pelisan dan naskahnya sendiri bisa dikatakan
berhasil menghibur. Perdebatan antara pandangan feminis dan Islam dengan
kutipan dari Cixious dan Hadist Nabi dibawakan oleh aktor yang cute (peran Rossa, anak seorang pengacara
ternama, tiba-tiba mengalami perubahan perilaku setelah ikut Rohis) dan seorang
perempuan bergaya kebarat-baratan sebagai peneliti terorisme di Indonesia dari
Amerika. Bagian ini menjadi tak terkesan berat. Penonton bisa menikmati dan kadang
diselingi tawa.
Saya sendiri
tidak tahu pakem dramatic reading itu
seperti apa. Apakah hanya boleh dibacakan begitu saja atau pelisan bisa
menerjemahkan naskah itu melalui penyutradaraan. Kalau anak-anak rohis
digambarkan demikian heboh, tentu bukan lagi menjadi realis. Itu pun sebenarnya
bukan soal. Dalam hal memindahkan realitas ke panggung, se-realis apapun, pasti tetap ada fleksibilitas pertunjukan yang
bisa ditoleransi.
Dari
pengalaman saya menonton, mungkin memang sudah jarang teater yang membawakan
naskah realis. Kalaupun ada, naskah-naskah yang dibawakan sudah demikian uzur.
Kalau tidak begitu, mereka membawakan naskah-naskah terjemahan seperti punya Chekov.
Naskah-naskah realis nan uzur ini tentu harus kembali disesuaikan dengan zaman
kalau ingin dipentaskan saat ini. Kalau tidak, mereka akan terjebak pada pembawaan kaku dan tak menarik perhatian. Jiroris
tampaknya memang membawa angin segar bagi kekhawatiran saya tentang
pertunjukan-pertunjukan teater realis yang seringkali masih membawakan lakon-lakon lama.
Sebagai
pembanding, naskah kedua yang ditampilkan di hari pertama ini berjudul Keluarga-Keluarga Bahagia (Happy Family)
karya Ann Lee. Lakon dari Malaysia ini dilisankan oleh Teater Stemka. Berbeda
dengan naskah pertama yang dibawakan dengan segar, naskah kedua dilisankan
dengan membacanya begitu saja. Para aktor duduk di kursi setengah melingkar. Satu aktor bisa membawakan tiga karakter sekaligus. Kelompok teater yang bisa dibilang senior di
Yogyakarta ini membawakan naskah yang bercerita tentang anak-anak perempuan
beranjak dewasa. Percakapan mereka membawa cerita tentang bagaimana anak-anak
itu memandang laki-laki di usia mereka, memperbincangkan hal-hal yang dianggap
tabu dan tak layak diperbincangkan, juga soal-soal keluarga lainnya. Kadang
segar, lucu, tapi juga sedikit membosankan. Mungkin juga karena ini naskah dari
Malaysia sehingga sedikit tidak akrab masuk dalam telinga.
/2/
Hari kedua
IDRF, pendekar pasir beracun masih bisa menjumpai kawan pendekarnya. Kali ini
tak lagi memakai udeng di kepala. Tapi tetap saja ia terlihat berbeda dengan
sepatu boot menkilapnya itu. Mas Joned kembali membuka acara, tetap dengan
kabar bahwa Gunawan Maryanto masih berada di Korea. Di pojokan belakang,
sepertinya saya melihat Mas Ipank sedang bersama teman-temannya. Biar saya
jujur di sini. Saya nge-fans dengan
salah satu potongan lirik lagunya, “dan revolusi...yang kita nanti...akhirnya
pecah...di kamar ini...”
Hari kedua
ini diisi dengan pelisanan naskah dari Singapura, ditulis Huzir Sulaiman
berjudul Cogito. Naskah ini
dilisankan oleh Forum Aktor Yogyakarta. Naskah ini juga sedikit terkesan berat.
Para pelakunya memperbincangkan Descartes, Santo Agustinus sampai Rumi. Tiga
Katherine Lee bertemu dan mengaku sebagai istri Tony Szeto. Salah satunya
adalah sebuah program komputer. Seperti judulnya, dan yang tertulis di pamflet
juga, naskah ini ingin bicara tentang keberadaan. Saya sendiri kurang begitu
mengerti soal yang berat-berat berfilsafat macam begini. Tetap ada riuh tepuk
tangan meski entah berapa dari orang-orang yang mengerti isi naskahnya.
Naskah kedua
berjudul Ruang Putih karya Rangga Riantiarno. Dia adalah seorang penulis muda
dan aktif di Teater Koma. Naskahnya bercerita tentang sebuah ruang yang mengharuskan
penghuninya mengingat kejadian sebelum mereka mati, sebelum mereka bisa
melanjutkan perjalanan kembali. Behind Theater kembali membawakan naskah di
hari kedua IDRF. Seperti apapun naskahnya, tampaknya memang akan menjadi konyol
kalau mereka yang membawakan.
Dua naskah
ini sepertinya memang perlu diperkarakan terkait tema realisme yang diambil.
Saya jadi bertanya-tanya apakah naskah realis itu? Kalaupun ingin membuat
pembahasan tersendiri, antara naskah realis dan pertunjukan teater realis
tentunya menjadi dua hal yang sebaiknya dipisahkan tetapi tetap menjadi satu.
Saya tak cukup punya bahan untuk membicarakannya di sini,
sejarahnya..bla..bla..bla..., perkembangannnya di
Indonesia...bla..bla..bla..teater dan naskah realis saat ini...bla..bla..bla...
Segumpal
pertanyaan itu saya karungi untuk di bawa pulang. Tetap menggumpal dalam
pikiran sampai sekarang. Kalau ada yang ingin berbagi, silakan hubungi saya.
Mas Ipank sudah menghilang sejak jeda sebelum pelisanan naskah kedua.
/3/
Pendekar
pasir beracun sudah pulang ke negerinya. Hari itu saya menonton sendirian.
Rencananya juga setelah ini saya langsung pulang ke kampung halaman. Mas Joned
kembali membuka acara dan lagi lagi mengabarkan bahwa Gunawan Maryanto masih
berada di Korea. Penonton di hari ketiga ini sedikit menyusut. Meski demikian, Pendekar
berudeng itu masih ada. Ia cukup setia juga karena tetap hadir sampai hari
ketiga.
Hari ini
akan dibacakan naskah berjudul Roberto
Zucco. Karya dari perancis ini ditulis oleh Bernard-Marie Koltes tahun
1988. Naskah ini diterjemahkan oleh Arya Seta. Sampai sekarang hanya sebagian
saja naskah yang diterjemahkan terkait dengan persoalan izin dan sebagainya. Sebagian
lakon yang dilisankan oleh Forum Aktor Yogyakarta ini bercerita tentang seorang
kriminal bernarma Roberto Zucco. Dari sebagian naskah itu, Zucco digambarkan
sebagai seorang kriminal. Ia melarikan diri dari penjara dan menemui ibunya. Dan
akhirnya dibunuhnya juga.
Tema besar
kriminalitas dan nama penulis naskahnya benar-benar mengingatkan saya pada
salah satu bagian novel Milan Kundera yang berjudul Kekelan itu. Melalui seorang pembaca berita, Mil Kun—panggilan sayang
saya untuk penulis satu itu—mempersoalkan isi berita termasuk kriminalitas dan seberapa dekatnya
dengan kehidupan kita. Setiap hari kita memang disuguhi berita tentang
pembunuhan, kerusuhan, bayi yang dibuang, gadis diperkosa, dan sebagainya. Pun kadang
kita sempat menganggapnya sebagai hiburan semata. Mendengar atau menyaksikan
berita pembunuhan hampir mirip dengan membaca novel Agatha Christie sambil minum
teh di sore hari.
Naskah Roberto
Zucco membawa pada suatu kedalaman tertentu dari seorang yang dianggap
kriminal. Mungkin juga yang seperti ini pernah kita saksikan di film-film
psikopat. Tapi melalui naskah teater, kriminalitas bisa disajikan lengkap
dengan kedalamannya, kehidupan seorang Zucco dan lingkungannya. Sayang sekali
naskah ini belum lengkap diterjemahkan sehingga saya pun tak bisa menikmati
pelisanannya secara utuh.
Naskah kedua
yang dibacakan berjudul Keok karya
Ibed Surgana Yuga (2010). Sepertinya naskah ini memang paling berkesan. Pelisan
naskahnya sendiri adalah Teater Stemka dengan Om Landung Simatupang sebagai
naratornya. Penampilan Teater Stemka untuk naskah ini terasa lebih menarik
dibandingkan ketika mereka membawakan naskah Keluarga-Keluarga Bahagia sebelumnya. Menarik juga karena naskah
karya seorang penulis dan pegiat teater muda dibacakan oleh kelompok teater sepuh di
Yogyakarta.
Para sesepuh
Teater Stemka berusaha untuk membawa ruh naskah yang berlatar di Bali dengan
alunan seruling dan kenong. Mereka berusaha sekuat tenaga membawakan aksen Bali
dalam pelisanan naskah tersebut, meski tak sepenuhnya menggunakan dialek Bali
karena waktu latihan yang hanya enam kali. Beberapa kali kesalahan dalam
pelisanan justru diubah oleh Om Landung menjadi sesuatu yang renyah dan mengundang
tawa.
Lakon ini
tentu bergaya realis. Bukan Bali yang banal yang ditampilkan melainkan Bali
sekaligus orang-orangnya dengan segala pertarungan di dalamnya. Sebagian orang
Bali dalam lakon ini digambarkan suka tajen, mabuk, suka dengan istri orang, kongkalikong
dengan negara untuk urusan perjudian, kekerasan, pembunuhan, dan sebagainya. Terlepas
dari pikiran-pikiran yang romantis maupun yang najis tentang teman sebelah dan
ke-Bali-annya, naskah ini tetap bisa saya nikmati, kadang dengan tawa, kadang
juga dengan pikiran yang tiba-tiba melompat entah kemana.
Dikisahkan sepasang
suami istri bernama Made Surya dan Luh Sandat yang mencari penghasilan dengan berjualan
ketika tajen berlangsung. Tajen sendiri konon katanya sudah dilarang tapi
masyarakat di desa kecil itu tetap saja menyelenggarakannya atas nama adat. Salah
satu pemain tajen yang bergaya mirip preman bernama Komang Kober. Ia
bekerjasama dengan Pak Binmas agar tajen tetap bisa dilangsungkan dengan
memberinya uang.
Ceritanya sederhana.
Komang Kober mencintai Luh Sandat dan berusaha menjebak Made Surya melalui tajen.
Komang Kober menyimpan niat buruk dibalik kebaikannya meminjamkan uang untuk
biaya Ngaben ayah Made Surya yang lumayan mahal. Komang kober bekerjasama
dengan Pak Binmas untuk menjebak dan memenjarakan Made Surya ketika ia mengikuti
tajen. Sementara suaminya dipenjara, Komang Kober pun berencana memiliki Luh Sandat seutuhnya. Belum sempat terjadi, Made Surya mengetahui rencana Komang
Kober dan terjadilah perkelahian berdarah itu. Dari cerita ini, Ibed sebagai
orang Bali berusaha menampilkan Bali tanpa dibedak-bedaki dan saya suka itu.
Dari
keseluruhan lakon yang dilisankan dalam IDRF 2012 ini, saya jadi bisa membuka
mata. Tentu akan sangat beragam kalau tema-tema realis kembali dihadirkan di
pangung-panggung pertunjukan. Tema dan cerita yang barangkali secara tidak
langsung bisa mengobati sakitnya masyarakat negeri ini. Dari tiga hari ini,
pelisan IDRF terlihat muncul dari tiga generasi. Dari anak-anak muda, setengah
tua, sampai para sesepuh dari Teater Stemka. Yang muda tetap harus lebih banyak
berlajar dan berproses sebagai aktor. Saya tahu itu proses begitu njlimet dan berdarah-darah.
Pegiat teater
di Yogyakarta seharusnya bisa terinspirasi dari lakon-lakon ini. Jangan sampai
tragedi ketika saya menonton teater beberapa waktu lalu terulang kembali. Sudah membayar
tiket sepuluh ribu tapi pertunjukan yang dihadirkan justru membuat saya geram
dan membangkitkan nafsu ingin membunuh orang. Terlepas dari bentuk apresiasi
saya, cerita tentang kuburan keramat yang dikomodifikasi itu membuat saya ingin
melempar sandal ke atas panggung.Hehehe..
Anak-anak
muda kadang tergiur dengan bentuk teater yang aneh-aneh, teater tubuh, teater
surealis dan aneh-anehan lain yang justru membuat penonton awam seperti saya
tidak mengerti apa yang saya saksikan. Barangkali teater realis dianggap
sebagai dasar yang mungkin dianggap pula sudah dilewati atau sudah tak masanya
lagi. Padahal, pelatihan aktor yang njlimet
juga tetap berlaku dalam teater jenis realis ini. Padahal, melalui pertunjukan-pertunjukan
bentuk ini, kita kembali diingatkan terhadap realitas.
Realitas sendiri
barangkali sudah sangat jarang kita saksikan. Ia ditumpuki berita-berita koran
dan televisi. Berita-berita yang terlalu sering berseliweran meski saya tetap
tak pernah percaya pada mereka, selain sebatas sesuatu yang mengejutkan, mengundang
tawa, bergidik, merinding untuk sesaat kemudian dilupakan.
Saya menuliskan
ini di ruang depan, ruangan yang dulu saya juluki ruang relung. Ruangan paling
depan rumah ini memang semacam ruang untuk melihat ke dalam. Dulu sebelum
mengenal Jogja, tulisan-tulisan awal saya pernah lahir di ruang ini. Masih
polos. Mungkin seperti juga tulisan ini yang lahir tanpa tambahan informasi. Ah,
akses internet lewat modem lelet sekali di sini. Tulisan ini murni kesan. Sekian.
Ditulis
pada sebuah hari dimana saya pengen sekali ketemu Om Seno di Magelang, tapi apa
daya.
Ruang
Relung, 29 Oktober 2012