Rabu, 25 Desember 2013

Mari Menulis Selagi Gerimis

Pada akhirnya, setelah kemarin, kita bisa sejalan lagi. Hanya begitu saja. Tapi lega. Setelah sekian lama kita menunda demi bulan madu yang lebih lama. Sudah selesai? Berakhir? Dengan seperti apa? Sakit pastinya.

Sebelum aku memenuhi permintaanmu untuk mengabstraksikan Pahlawan-Pahlawan Belia, izinkan aku sedikit bercerita. Buku itu sudah selesai kubaca. Tapi kau tahu, aku bukan pembaca yang baik. Aku hanya menelannya begitu saja. Mana bisa sepertimu yang pelan-pelan mengupas, memamah, mencerna, membanding-bandingkan dengan indeks-indeks bacaanmu yang tak terbilang jumlahnya. Aku tak bisa seperti itu. Akan kulakukan sebisanya.

Sebelumnya, ini lagi-lagi bukan tentang apa-apa. Hanya penambah deretan kisah sedih yang pernah kukabarkan kepadamu. Senin pagi, setelah mengurus Jasa Raharja Bapak dan Ibuk, aku iseng pergi ke perpustakaan daerah di kota kecilku. Perpustakaan itu lebih mirip seperti rumah kontrakan. Sebuah rumah tanpa halaman. Motor dan kendaraan pengunjung masuk dan diparkir di samping bangunan.

Ketika menginjakkan kaki pertama kali, perpustakaan itu memang ramai, bukan oleh pengunjung melainkan ramai oleh pegawai-pegawainya sendiri. Bangunan sekecil itu berisi kurang lebih sepuluh orang pegawai berpakaian dinas. Satu-satunya pengunjung yang terlihat mengisi buku tamu adalah seorang anak kecil yang sedang menuliskan namanya sendiri. Ia datang bersama ibunya. Untuk bisa menuliskan namanya itu, si anak harus berdiri di atas papan yang mungkin memang sudah disediakan. Anak itu hendak mengembalikan sebuah buku cerita bergambar. Sampai di sini aku masih bisa tersenyum.  

Aku meletakkan tasku dalam loker yang kuncinya sudah tidak bisa dipakai lagi. Tanpa bertanya, aku langsung masuk ruang koleksi. Luasnya tidak lebih dari ruang tamu rumahku. Koleksi yang ada mungkin tidak mencapai sepuluh rak buku berukuran besar. Dua rak buku besar memanjang berhimpitan dengan dinding. Dua baris buku diletakkan dalam posisi berdiri dan berjajar. Jajaran buku yang belakang tentu saja sangat susah untuk dilihat. Judul dan sampulmya sama sekali tak terbaca.

Buku-buku itu disusun berdasarkan bidang ilmu; bahasa, seni, olahraga, peternakan, geografi, dan sebagainya. Aku langsung menghampiri rak bagian kesusastraan. Susunan bukunya sangat rapat dan berhimpitan. Susah sekali mengambil buku-buku yang sekiranya menarik untuk kulihat isinya sepintas lalu. Aku tak bisa mencerna bagaimana buku-buku itu dikelompokkan. Awalnya aku masih bisa tersenyum melihat beberapa koleksinya.

Aku menjumpai karya klasik Sir Walter Scott. Bukunya tipis dan berbahasa Inggris. Aku mendengar nama pengarang itu dari Borges. Borges sendiri baru kubaca beberapa cerita pendeknya beberapa hari lalu. Seorang pengarang yang bisa memecah fokus pembaca lewat lapis-lapis teks, menggiring untuk mengenali aku pengarang dan aku dalam cerita secara bersamaan. Aku tertidur membaca ceritanya. Tentang semesta. Teksnya mengaliriku hampir tanpa perlawanan yang berarti. Suatu kali kau harus berkenalan dengan Dunraven.  

Mari kembali pada Scott dan sejumlah koleksi lain. Salah satu novelnya yang berjudul Ivanhoe sudah pernah difilmkan pada tahun 1952. Ia bercerita juga tentang keluarga Skotlandia yang ingin menggulingkan tahta kerajaan Inggris. Ada pula Tumbangnya Seorang Diktator dari Gabriel Garcia Marquez. Sampulnya sudah rusak. Halamannya menguning dengan bau khas buku lama. Kutemukan pula Godot di Amerika dan di Indonesia: Suatu Studi Banding karangan Bakdi Soemanto. Sekilas daftar isinya memuat bagaimana Mbah Bakdi mengulas teks dramatik karya Beckett itu, lalu membandingkan respon atas naskah itu di Indonesia dan Amerika, membandingkan pula pementasan naskah itu selama perang dingin. Hmmm...

Koleksi lain sebagian besar diisi oleh buku-buku lawas Balai Pustaka, pujangga baru, dan lain-lain. Nama-nama pengarang seperti Nh. Dini, Achdiat Karta Miharja, dan teman-teman lainnya sangat mudah dijumpai di sini. Novel-novel tahun 90-an sampai 2000-an kebanyakan adalah terbitan Grasindo. Beberapa koleksinya sangat kukenali karena biasa dijual obral seharga lima ribu sampai sepuluh ribuan dalam pameran-pameran. Aku tidak mengenali koleksi di rak-rak lain. Bagian pojok terlihat awut-awutan, buku-buku tidak dikembalikan pada tempatnya dengan benar.

Satu lagi rak yang berhimpitan dengan dinding, isinya adalah buku-buku berlabel sejarah umum. Satu lapis rak tetap diisi dengan dua larik buku hingga larik kedua tak bisa terlihat. Kau tau kenapa aku bersedih? Dalam satu baris, buku The Secret of Super Junior disusun berhimpitan dengan memoar Sobron Aidit, salah satu buku Soekarno yang aku lupa judulnya, dan buku-buku sejarah lain. Masih sebaris juga dengan Kebudayaan Jawa dari Koentjaraningrat yang kemudian kupinjam untuk pertama kalinya di perpustakaan itu.  

Ruang sebelah adalah ruang baca. Para pengunjung wajib melepas alas kaki kalau hendak memasuki ruangan itu. Di dalam tidak ada apa-apa kecuali susunan meja dan kursi. Rak-rak yang bersandar pada dinding sebagian berisi buku anak-anak. Buku-buku yang diletakan sembarangan. Mungkin karena terlalu seringnya dibaca. Di dindingnya dipajang poster-poster bergambar organ tubuh manusia. Aku hanya mengintip ruangan itu lalu kembali.

Bau busuk tiba-tiba menyergap. Debu-debu menyerang. Bagian ruang depan terdengar berisik. Kau tahu apa yang terjadi? Para petugas sedang membersihkan bagian belakang loker yang ternyata berisi sobekan-sobekan kertas sisa tikus. Tempat itu jadi sarang tikus. Sungguh busuk baunya. Plastik-plastik entah darimana nyumpel di sana. Aku tak tahan lalu keluar sebentar.

Segera setelah debu-debu sedikit reda, aku bertanya kepada salah satu petugas tentang prosedur cara menjadi anggota. Mudah dan gratis. Cukup mengisi formulir, lalu difoto di salah satu ruangan pengap dan sumpek. Kartu anggotanya tidak langsung jadi. Katanya akan diberikan bersamaan dengan pengembalian buku. Pinjaman pertama hanya boleh meminjam satu buku.

Aku bertanya barangkali ada kajian-kajian tentang kotaku sendiri. Ternyata tak ada. Aku hanya disodori sebuah buku berisi sangat sedikit keterangan tentang kotaku. Informasi itu sangat mudah didapatkan dan dapat diakses gratis lewat web. Buku itu pun tak boleh dipinjam. Hanya boleh difotokopi. Aku sama sekali tak menemukan suatu kajian yang mirip-mirip deskripsi Geertz. Padahal, mungkin saja sudah banyak hal yang digali dari kota ini. Sekian banyak anak bersekolah di perguruan tinggi dari kota ini, masak tak ada dari mereka yang mencoba menuliskan sejarah kotanya sendiri. Payah! Aku juga, payah!

Aku sudahi saja ceritaku daripada hanya berkeluh kesah. Sekarang, akan kucoba menuliskan permintaanmu. Sungguh ini hanya sekadarnya. Demi kamu. Apa toh yang gak buat kamu? Kecuali; 1) Masuk Hindu, 2) Masuk Hindu, 3) Masuk Hindu. Hahaha... aku yakin tuhanku tak akan marah. Kau tahu ini bukan soal tuhan, sama sekali bukan, melainkan berbagai kondisi objektif yang tak memungkinkan: kultur, keluarga. Ah!

Saya Sasakhi Shiraisi ingin mengkaji makna menjadi orang Indonesia, dan apakah ada sesuatu yang disebut sebagai masyarakat Indonesia. Begitulah yang tertulis dalam kata pengantarnya. Ia lalu memulai dengan konsep keluarga Indonesia, produk sejarah pendidikan nasional yang menjadi salah satu tema utama dalam buku-buku pelajaran sekolah, mencerminkan gambaran yang membantu perumusan identitas Indonesia sebagai bangsa yang besar. Gagasan ini secara konstan teruji oleh reproduksi harian jaringan perluasan keluarga-semu, yang berperan penting dalam skenario nasional Orde Baru. Inipun bisa kau cari di kata pengantarnya.

Pendahuluan buku ini berisi kutipan otobiografi Soeharto yang menggunakan kata anak untuk menyebut para menteri kabinetnya. Dari otobiografi itulah Shiraishi melihat hubungan yang erat antara politik dan keluarga di Indonesia. Hubungan antara guru sekolah dan muridnya, pimpinan militer dan pasukannya, serta Presiden dan bangsanya bisa dibikin isomorfis satu sama lain. Prinsip-prinsip kepemimpinan Soeharto kemudian ditarik ke belakang, pada 1920-an ketika Dewantara merumuskan prinsip kepemimpinan dan demokrasi bagi gerakan pendidikankanya yang bersemangat nasionalis (Dewantara menyebut lembaga pendidikan Taman Siswa sebagai “keluarga” (hal. 5).

Sistem kekeluargaan Indonesia Orde Baru kemudian dikenal dengan istilah “Jawanisasi politik Indonesia” ataupun “Indonesianisasi Tradisi Jawa”. “Jawa” dan “Indonesia oleh karenya merupakan konstruksi sejarah dan budaya (Kenji Tsuchiya dan Pemberton menyatakan tradisi “Jawa” merupakan kreasiBelanda-Jawa (hal.6)). Mengkaji budaya politik Indonesia masa Orde Baru dapat dilihat melalui bagaimana keluarga “Indonesia” dibentuk dalam bahasa Indonesia secara historis, budaya, dan politik.

Uraian di bab-bab selanjutnya merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti; bagaimana Indonesia dapat dibayangkan sebagai keluarga? Bagaimana berbagai pengertian seperti bapak, ibu dan anak jadi memiliki arti politik yang penting di Indonesia dan dalam bahasa Indonesia? Bagaimana masa kanak-kanak dan keluarga dibentuk di Indonesia? Deretan pertanyaan tersebut digunakan untuk mengkaji keluarga Indonesia, gagasan tentang keluarga, dan bahasa politik-kekeluargaan dalam kehidupan sehari-hari dan berbagai tulisan (hal. 9).

Shiraishi memulai ilustrasinya sejak kedatangannya di bandara. Kau pasti mengingat bagian ini. Lalu dimulailah deskripisinya tentang datangnya Bapak Orde Baru lewat abstarksi peristiwa 65. Istilah-istilah penangkapan, pemanggilan, dan penculikan dibaca sebagai bagian jaringan antar-jemput keluarga yang sudah dilukiskan pada bab sebelumnya. Datangnya bapak Orde Baru berarti tidak ada penculikan. Keluarga kembali aman.

Bab selanjutnya adalah deskripsi relasi ibu dan anak yang digambarkan penuh sensasi kebahagiaan dan hangat. Hal ini terlihat lewat contoh-contoh yang dihadirkankannya melalui buku-buku pelajaran atau majalah anak-anak. Di bagian akhir, Shiraishi kembali lagi ke belakang dan menarik refleksi lewat penggambaran film G30S/PKI yang dinovelkan oleh Arswendo, bahwa kudeta pun menyerang keluarga.

Bagian berikutnya memuat silsilah Bapak. Konsep kekeluargaan dan famili-isme—bentuk abstrak keluarga atau famili—keberadaannya dalam masyarakat Indonesia Indonesia modern sangat amat kokoh, bahkan berkekuatan ideologis, demikian menurut McVey. Konsep ini dikaitkan dengan bangkitnya nasionalisme Indonesia pada kurun 1910-1920. Karena Mohammadijah dan sekolah rakyat Tan Malaka yang bernasib buruk, Taman Siswa menjadi salah satu sekolah yang dapat berkembang dengan jaringan yang menyebar luas baik di Jawa maupun luar Jawa. Pada masa inilah konsep famili-isme mulai berkembang lewat pidato-pidato dalam kongres nasional Taman Siswa.

Hubungan bapak-anak merupakan satu-satunya hubungan hierarkis yang berlaku di kalangan nasionalis Indonesia. maka tak heran jika revolusi Indonesia dimulai dari peristiwa anak menentang bapak (peristiwa Rengasdengklok). Selama masa revolusi, sebutan yang lebih setara seperti saudara dan bung, lebih disukai ketimbang bapak dan ibu. Namun, pada masa kemerdekaan, bapak dan ibu kembali menampakkan diri di kantor-kantor pemerintah. Lalu muncullah Soeharto sebagai bapak baru pada Oktober 1965, mengakhiri tradisi Peristiwa Rengasdengklok, tidak ada lagi anak yang berbeda pendapat atau menentang bapak.

Shiraishi melukiskan pula kehadiran potret-potret bapak Orde Baru lewat relasi di perusahaan-perusahaan, antara atasan dan bawahan. Bapak adalah kepala keluarga yang dengan gampang bilang semua bisa diatur. Toleransi dan kesewenang-wenangan mulai tumbuh subur. Skandal bisa dimaklumi: maaf, bapak khilaf. Bahasa dipakai untuk menegakkan kekosongan yang mengerikan, malarang anak untuk menentang bapak dan memperbolehkan bapak bilang, begitulah!

Bab-bab akhir menjelaskan proses belajar mengajar dalam kelas. Shiraishi mendeskripsikan ruang kelas Orde Baru, hubungan guru dan murid yang kalau kita membacanya, maka yang terjadi adalah kemunculan wajah-wajah seram guru-guru yang mengajari anak-anak membaca sekaligus membangun keluarga dalam kelas lewat caranya mengeja: Ini bapak budi. Ini ibu budi. Suara anak-anak adalah keramaian yang tak dihiraukan sedangkan suara guru wajib dipatuhi dan didengar dengan seksama. Hasilnya adalah remaja-remaja Indonesia yang dalam istilah Shiraishi disebut sebagai remaja ambivalen. Remaja yang jinak, bukan pemuda yang revolusioner.

Begitulah, apa yang bisa kutuliskan untukmu. Aku hanya bisa meringkas. Untuk tulisan lebih kerennya kau baca ini saja:http://c2o-library.net/2010/06/pahlawan-pahlawan-belia/. Pagi yang dingin dan sesekali gerimis. Salam hangat.   


Kamar Kost, 25 Desember 2013

Minggu, 15 Desember 2013

Maaf, Buang Sampah Sembarangan

29 November

Sejak kedatangan pertama di rumah sakit, patung punakawan yang dikelilingi taman dan air mancur menyambut saya. Semar tampak ramah dengan dandanan menor, tubuh sedikit bongkok, mengacungkan jempolnya tanda mempersilakan masuk. Penampilan Semar menjadi lain karena ia mengenakan jubah putih seperti punya para dokter. Senyum semar dan anak-anaknya adalah jeda bagi anak-anak kecil yang merengek minta susu dalam gendongan. Anak-anak yang kelelahan karena harus ikut menjaga si sakit di tempat yang sama sekali tak ramah bagi mereka.

Saya mulai mengakrabi selasar dan lorong-lorong khas bangunan tua rumah sakit. Di sebelahnya, sebentar lagi arsitektur berupa lorong-lorong itu akan berubah menjadi bangunan berbentuk gedung. Suara pekerja bangunan terdengar riuh. Debu-debu terbang menghinggapi apa saja, menari bersama virus dan bakteri di udara.

Saya datang bersama Bebeb (dulunya disebut teman sebelah) malam itu. Laki-laki brengsek yang sedikit berbaik hati mangantar saya. Pemandangan yang tak saya sukai mau tak mau melintas juga di hadapan mata. Orang sakit itu menyedihkan. Para penunggu kelelahan. Mereka tidur di mana saja. Ibuk tergeletak di ruang ICU sehabis operasi patah tulang. Hanya satu orang yang diperbolehkan masuk dengan mengenakan seragam khusus. Di ruangan yang cukup luas itu, sekitar lima orang pasien tergolek tak berdaya. Selang-selang menempel di tangan dan menyuruk ke dalam hidung mereka. Monitor-monitor menyala. Dingin dan desis oksigen membaur dengan suara bisikan, sesekali rintih kesakitan. Para penunggu harus bersiap sedia di luar kalau sewaktu-waktu pasien membutuhkan sesuatu dan itu tentu sangat melelahkan.

Sejak minggu pagi, saya serasa sudah membaui darah. Pada sawah-sawah, pada tubuh orang-orang yang menguapkan aroma kretek dan jerami. Apa yang saya alami di Minggu itu barangkali akan menjadi cerita sendiri yang saat ini sudah buyar karena berita kecelakaan Bapak dan Ibuk. Sama sekali tak menyangka kalau kematangan saya akan diuji sehebat ini. Sekitar seminggu saya menunggui Ibuk di rumah sakit itu. Begitu banyak hal yang bisa dituliskan tapi entah hanya berapa yang saya ingat dan bisa ceritakan. Ibuk selanjutnya akan disebut si pasien dalam tulisan ini.
*
Ketika harus dirawat di rumah sakit, si pasien tentu tahu bahwa keluarga adalah lingkaran pertama tempatnya bersandar. Di mulai dari kakaknya yang dianggap bisa mengurus segala sesuatu karena memang si pasien sudah tak punya orang tua. Lalu anak-anaknya bertugas untuk menjaga, memenuhi segala keperluannya. Suaminya sendiri sedang tekapar di rumah sakit yang lain, ditunggui adik-adiknya. Si pasien mempercayakan perawatan suaminya kepada mereka. Terlebih karena salah satu kerabatnya adalah perawat di rumah sakit itu. Memiliki orang dalam ternyata mampu menimbulkan sebentuk rasa aman ketika si sakit harus bergantung sepenuhnya kepada orang lain.

Pasien itu kebetulan mendapat jaminan Askes karena dia adalah pegawai negeri bergolongan tinggi. Kau tahu, mengurus Askes itu lebih mudah daripada mengurus Jamkesmas. Sementara perawat-perawat rumah sakit hanya menjadi orang-orang yang dicurigai. Ketika tiba waktu menyuntik, para perawat akan mengambil obat dari kamarnya dan membawanya keluar. Obat yang disuntikkan tidak sebanding dengan obat yang dibawa keluar. Itulah yang menimbulkan kecurigaan bagi si pasien.

Para Punakawan sudah tak terlihat dari lorong deretan kamar VIP. Dindingnya ganti dihias dengan sosok wayang ksatria. Tentu saja saya tak hafal siapa saja yang berbaris di dinding itu. Kemungkinan besar tentu Pandawa. Lorong VIP cukup bersih dengan fasilitas televisi, air hangat dan tentu saja AC. Namun fasilitas macam apapun tak akan mampu membuat nyaman si sakit. Ia ingin segera pulang, meninggalkan sakitnya di sana seandainya bisa.

Para pengunjung mengalir deras. Waktu kunjungan tidak dibatasi di kamar VIP itu. Mereka adalah keluarga jauh dan yang paling sering adalah teman sejawat. Kadang membawa buah-buahan, roti, makanan lain atau amplop berisi uang sekadar bantuan. Pasien akan mengidentifikasi siapa mereka. Orang-orang itu ada yang datang dengan tulus, tapi juga ada yang cuma lamis, ada yang datang dengan maksud-maksud tertentu (menjual obat misalnya), ada yang merasa harus datang karena mendengar beritanya, ada juga yang mendengar berita tapi tak sempat-sempat datang. Semua terbaca dengan mudah oleh si pasien.

Setiap pengunjung yang datang akan meminta pasien mengulang cerita seputar kronologis kejadian. Secara umum, obrolan akan berlanjut pada saling tukar pengalaman. Entah apakah pengunjung itu pernah mengalami hal yang sama, atau pengetahuannya tentang kenalan yang bernasib mirip pasien. Bisa dibayangkan berapa kali pasien akan mengulang ceritanya. Sepertinya ia juga tak bosan-bosannya bercerita. Orang-orang yang mendengar ceritanya akan bersimpati dengan ungkapan-ungkapan khas bernada kasihan, ngeri atau sambil mengelus perut dan mengucap amit-amit jabang bayi, tanda bahwa hal serupa jangan sampai terjadi pada diri mereka.

Pasien akan merasa dikasihani. Sebagai tanda bahwa ia tabah menghadapi cobaan, kalimat-kalimat seperti; menerima hal itu sebagai ujian, ada hikmah di balik setiap peristiwa, laku hidup yang memang harus dijalani—pun terlontar. Dan begitulah seterusnya.

Saya sebenarnya ingin bekerja keras menguraikan detailnya. Banyak sekali jaringan yang tampak dan bisa diuraikan. Hasilnya bisa dibaca macam-macam. Sungguh saya ingin menguraikannya, tapi susah sekali ternyata. Tulisan ini dipaksa untuk berhenti di sini.


9 Desember

Jika bisa disebut surat, bacalah! Jika sampah, buanglah!
Tenggorokanku selalu gatal akhir-akhir ini, terasa parah pada pagi hari setelah bangun tidur. Percakapan kita semalam lumayan melegakan meski tak pernah cukup. Akhirnya aku bisa mendengar suara sumbangmu melagukan Pulang dan Surrender dari Float, dengan permaian kunci yang masih salah-salah. Memang sengaja aku menelepon terus meski tahu ada siapa di dekatmu. Hehe... lama rasanya aku tak bicara hal-hal gak penting seperti itu. Tapi aku memang peduli padamu, Beb... peduli setan! Kau juga merasa lebih baik pastinya... lebih baik kalau gak ada aku? Fak!

Sepagi ini aku sudah menolong Ibuk untuk pipis lalu mengganjal kakinya dengan guling sebagai latihan menekuk lutut. Aku tak pernah bilang kalau apa yang kulakukan di rumah tak sebanding dengan minggu-minggumu yang sibuk. Kau bertemu banyak orang, mengobrol dengan mereka, menyiapkan acara diskusi dalam tiga hari, bertemu narasumber hingga berjam-jam. Sementara aku sibuk mencuci, menyapu lantai, merawat Bapak dan Ibuk. Ah, ya, minggu ini aku menyiapkan acara arisan keluarga, menata kursi-kursi dan berbasi-basi. Sekian banyak orang itu seperti ingin meletakkan segalanya di pundakku. Aku harus menjadi anak yang berbakti, gak boleh mengeluh, menerimanya sebagai ujian, dan blah..blah...blah...

Beb, aku takut kau tak menyukaiku lagi. Aku jarang membaca dan sangat sedikit menonton film. Satu film bisa kuhabiskan dalam dua hari. Itupun tanpa pengalaman menonton yang berkesan. Film-film sisa hanya sekadar dihabiskan untuk sebentar lari dari rutinitas yang membunuh. Sebentar, nanti kulanjutkan lagi. Ibuk memanggil karena kebelet.

*

Membuka pintu depan, daun-daun Mangga dan Matoa sudah bertebaran di halaman, sisa gerimis semalam merontokkan mereka yang sudah kekuning-kuningan. Itu artinya pekerjaan lagi. Aku tak ingin menjadikannya beban tapi betapa ingin aku bisa seenak-enaknya ngapain aja melakukan kesenangan-kesenangan yang tak pernah cukup. Iya, aku akui, isih penak jamanmu, Beb.

Bapak mendengkur dalam posisi miring yang terlihat sangat tidak nyaman. Bunyi langkah kaki dan suara-suara Ibuk sama sekali tak menggangu tidurnya. Bapak tak lebih cerewet kalau mau apa-apa. Beda dengan Ibuk. Kakinya dicokoti semut, seprei tidak rapi, sedikit ada bau di kolong tempat tidur, bau tai kucing, bau ayam yang ngeker-eker daun busuk di selokan luar bawah jendela, kelambu yang sedikit terbuka. Ibuk rewel sekali soal remeh temeh begitu.

Pagi-pagi aku sudah membuang tai di pawuhan (pembuangan akhir di kebun dekat rumpun bambu). Melewati beranda belakang, embun-embun menggantung di pucuk daun, bergelantungan pada wangi melati, kantil, mawar dan kaca piring. Kembali ke halaman depan, sengaja kubiarkan daun-daun jatuh itu. Ayam jantan, betina dan anak-anak mereka sudah berkeliaran, mematuki segala yang ditemukannya lalu nelek sembarangan begitu saja.

Ibuk memanggil lagi. Memintaku menyiapakan makan pagi. Kau tak usah berpikir bahwa aku akan sempat memasak. Aku hanya memasak untukmu, Beb, meski hanya membuatkan mie rebus jam dua pagi dan itupun cuma sekali. Ahai. Prek...

*

Tetanggaku mati kemarin pagi. Persis ketika acara arisan keluarga di rumah. Kenapa cerita ini akhirnya kuceritakan padamu? Setidaknya ini yang terlewat dari cerita-cerita semalam dan aku ingin menulis meski tak punya bahan. Tetanggaku ini fenomenal. Ia terkenal sebagai kepala preman terminal. Istrinya tak tahan dengan kelakuan kasarnya tiap kali mabuk, lari mencari uang ke negeri orang, meningglkan dua anaknya. Kisah kematiannya terus saja diulang orang-orang sejak kemarin.

Kalau sedang baik dan tak mabuk, ia bisa jadi ayah yang baik. Anaknya yang besar sudah SMA, cukup pintar untuk tidak mengikuti jejak ayahnya, dan diterima di salah satu sekolah keren di kota ini. Kalau sedang ditinggal anaknya sekolah, sang ayah biasa mencuci baju, bahkan memasak. Tapi pagi menjelang kematiannya menjadi lain.

Sebelumnya ia memang sempat mengalami kecelakaan hingga matanya yang sebelah melotot terus sebesar telur angsa (beginilah anak-anak kampung ini membuat persamaan untuk kejadian di matanya itu, seringkali malah jadi bahan guyonan). Barangkali karena sakit kepala yang tak tertahankan, ia minum puyer sebelum sarapan, lalu mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Sampai pada akhirnya, ia muntah, mulutnya berbuih. Anaknya yang kecil tidak tahu bahwa ayahnya sedang sekarat. Dikiranya hanya mabuk seperti biasa. Sesampainya kakaknya pulang, ia mendapati badan ayahnya sudah kaku. Kaki dan tangannya sudah mlungker. Almarhum tetanggaku itu sempat dilarikan ke rumah sakit. Sempat dirujuk harus operasi ke Madiun tapi nyawanya sudah tak tertolong lagi.

Ada lagi tambahan cerita. Malam sebelum kematiannya, ia sempat menelepon sang istri, memintanya untuk pulang. Istrinya tak ingin pulang kalau sampai di rumah hanya akan disakiti lagi seperti yang sudah-sudah. Cerita-cerita kampung ini kadang memang dangdut sekali, Beb.

Ibu memanggil lagi. Shit! Ups, Astaghfirullah... bahkan berkata “ah” saja ketika mendengar perintah dari Ibuk itu dilarang dalam Al Quran. Orang tua kita memang selalu benar. Anak harus patuh. Katamu, kita kan dibesarkan dalam keluarga Orba. Paviliun tempat Bapak dirawat saja namanya Cendana. 

*

Perintah Ibuk sudah dijalankan. Aku lupa akan bercerita apa lagi. Baiklah, akan kulanjutkan saja cerita soal kematian tetanggaku. Keluarganya memang seringkali menjadi sasaran kemarahan ketika ia kumat, mabuk dan jadi tidak waras. Ia pernah mengacungkan arit dan memburu anaknya sendiri. Anak itu lari bersembunyi di rumah saudara terdekat sampai reda kemarahan bapaknya. Ibunya sendiri pernah diacungi arit pula. Ya, arit memang banyak sekali ditemukan di kampung ini. Sasaran kemarahannya seringkali memang lingkungan keluarganya sendiri. Ia tak pernah menggangu atau berurusan dengan keluargaku. Bahkan Ibuk sendiri mengesankan ia sebagai seorang yang sopan. Selalu menyapa ketika lewat, juga membalas senyum ibuk ketika saling berpapasan.

Yang jadi bahan cerita kemarin adalah begini. Saudaraku datang dari Madiun untuk arisan keluarga di rumah. Ia turun di terminal Ngawi kemudian melanjutkan perjalanan dengan Bentor (becak motor yang sudah mulai marak di kota kecil ini). Ketika di tanya tukang becak dan menjawab bahwa tujuannya adalah ke kampungku, si tukang becak langsung saja menebak apakah tujuannya adalah untuk melayat. Saudaraku itu langsung kaku di tempat, dikiranya bahwa berita kematian itu terkait dengan keluargaku. Masuk ke gang, saudara jauh ini semakin terkejut karena bendera putih dikibarkan di jalan sebelum masuk ke gang. Lega ternyata bahwa berita itu bukan berasal dari rumah ini.

Menariknya lagi begini, keluarga tetanggaku yang mati itu tampak demikian ikhlas, meskipun anggota keluarga mereka yang mati itu tak sempat tobat. Terakhir ia menelepon istrinya dan mengabarkan bahwa baru saja ia mengadakan perpisahan dengan teman-teman preman, minum-minum juga tentu saja. Anaknya memangku jenazah bapaknya ketika dimandikan, memanggul jenazahnya seolah-olah apa yang dilakukan bapaknya itu telah sangat dimaafkannya. Ah, aku tak bisa menjelaskan kemenarikan ini dalam satu paragraf, jadinya kok tidak terkesan menarik sama sekali.

Pak Modin yang bertugas memimpin upacara dari memandikan hingga penguburan, adatnya memang harus menanyakan kepada para pelayat apakah almarhum adalah orang baik. Tapi tak semua orang menjawab. Antara bingung mau menjawab ya dan tidak. Ada yang menjawab spontan, “baik....” karena biasanya memang otomatis dijawab demikian. Lalu mereka menyembunyikan senyum masing-masing. Tentu kau tahu maksud senyum itu. Bu Bayan sedikit menyesal karena sempat melarang suaminya ketika hendak menguruskan Jamkesmas untuk almarhum, “ngopo to, Pak, wong kaya ngono wae kok diurusi,” maka menangislah ia barangkali ketika mengingat perkataannya itu.

Suara burung yang dimiripkan dengan sobekan kain kafan kali ini tetap menjadi penanda kematian, sebuah tanda yang tak pernah ketinggalan untuk diceritakan orang. Kisah yang kuceritakan padamu ini hanya kudengar dari orang-orang. Aku sama sekali tak sempat melayat karena acara keluarga di rumah. Kadang cerita-cerita begini ada yang ditambah-tambahi.

Banyak orang berspekulasi kalau almarhum mencampur puyer dengan arak. Ada pula cerita yang menyangkalnya ketika almarhum ditemukan hanya dengan muntahan, tanpa bau arak. Yang diingat orang adalah juga perutnya yang buncit. Gambaran cerita mereka itu mirip dengan model-model sinema pintu taubat atau pintu hidayah yang dulu sempat marak di televisi kita, mungkin juga sampai sekarang. Tubuh kakunya yang mengejang dibaca akibat aktifitas malaikat yang mempermainkan nyawanya, tak langsung mencabutnya tetapi ketika hampir dicabut lalu dikembalikan lagi, terus begitu berulang-ulang hingga tampak mayak sekali si malaikat pencabut nyawa ini.

Aku memang bukan pencerita yang baik. Hanya sampah macam begini yang sempat aku tuliskan di tengah ritme rutinitas yang membuatku semakin membusuk. Lebai memang, padahal baru beberapa minggu saja. Sudah jam delapan, Beb. Saatnya mencuci. Lain kali akan kuceritakan tentang surat-suratan antara Devuskhin dan Varvara atau tentang The Mirror dari Tarkovsky. 


10 Desember

Mmmh... Seharian aku belum makan, Beb. Kau adalah orang yang paling cerewet soal makan. Bahkan menyuruh-nyuruh perempuan itu untuk tidak telat makan juga. Dasar, kamu brengsek! Hari ini sangat mendung. Setelah memandikan Ibuk dan Bapak, memberi mereka sarapan dan minum obat, rumah kembali sepi. Saat-saat begini, Ibuk akan memangis dan diam-diam aku menangis pula. Sumpek dan bosan senang sekali mengikutiku akhir-akhir ini. Aku butuh menangis. Ibuk juga tak sekuat seperti perkataannya pada orang-orang.

Hari ini aku tak sempat membaca ataupun menonton. Segalanya mendung. Teman Bapak datang lagi dan menanyakan uang hasil penjualan pohon jati dari sekolah yang dibawanya sebelum kecelakaan. Bapak lupa dimana menaruh uang itu. Ditanya hanya bisa menjawab, “kakakakaka....”. Ibuk sempat muntab lalu mengeraskan volume radio lokal yang tak pernah punya koleksi lagu bagus. Bapak masih belum bisa ditanyai, bahkan hanya untuk menjawab ya atau tidak pun masih sulit. Bapak seperti ingin menjelaskan banyak hal. Aku tak tahu bagaimana rasanya ketika kita ingin bicara sesuatu tapi tak bisa keluar. Nggondhok di dalam, mbededeg dalam hati dan pikiran.

Bapak sering minta ke rumah belakang untuk mencari uang itu meski tak pernah ketemu. Laci yang ditunjuknya sudah diobrak-abrik puluhan kali. Tas yang biasa digunakan kerja juga masih tetap kosong. Tak ada uang di sana. Entahlah, memang harus menunggu sampai Bapak bisa bicara agar uang itu bisa ketemu. Kapan? Semoga tak terlalu lama. 

Siangnya datang berita dari Budhe bahwa KTP Bapak dan Ibuk, juga dua buah buku tabungan tak ketemu, ketlisut entah dimana. Seingat Ibuk, Budhe sudah meminjam barang-barang itu demi mengurus Jasa Raharja dan belum mengembalikannya. Tapi Budhe ingat kalau sudah mengembalikannya. Ah, ruwet. Tidak ada orang yang mengingat sesuatu dengan benar. Demi mendapat asuransi Jasa Raharja yang memang sudah jadi hak, uang tak seberapa itu harus ditebus dengan ruwetnya birokrasi, juga pelicin untuk polisi-polisi.

Orang yang mau membantu merawat Bapak dan Ibuk datang juga. Dia minta sehari digaji empat puluh ribu, jadi sebulan satu koma dua juta. Memang terhitung tinggi untuk ukuran gaji pembantu di desa. Ibuk sudah mencoba menawar satu juta saja. Tapi dia bilang kalau Ibuk nggondheli duit segitu, dia akan berangkat ke Jakarta. Di sana sudah ada yang menunggunya jadi pembantu dengan gaji satu koma enam juta. Posisi tawarnya memang tinggi mengingat susahnya cari pembantu di sini. Aku sendiri merasa tak sanggup kalau harus berada di rumah terlalu lama. Bukan karena aku tak ingin merawat Bapak dan Ibuk tapi ya, begitulah. Bolehlah kalau kau mau menyebutku durhaka.

Entah kenapa aku sama sekali tak terbiasa dengan kehadiran orang asing di rumah. Sambil menunggu Ibuk menerima tamu lain, orang itu bercerita tentang latar belakang keluarganya. Sumianya minggat demi perempuan lain. Ketika melihat-lihat sampai ke rumah belakang dan melihat pohon kanthil sedang kembang, orang itu memetik setangkai. Siapa tahu suminya bisa kembali, kembali terkanthil-kanthil. Ah, anaknya juga pernah mengalami kecelakaan, patah pula kakinya. Ia sudah terbiasa merawat orang sakit. Tapi entahlah, tidak semua orang dalam waktu dekat bisa mengerti bagaimana merawat Ibuk. Aku sendiri agak gimana gitu ketika membayangkan Ibuk atau Bapak dirawat orang lain. Ibuk akhirnya menyetujui tawarannya, setidaknya sampai Ibuk bisa kembali berjalan. Aku tak betah di sini, Beb tapi juga tak bisa meninggalkan rumah apalagi dengan satu orang asing dan dua orang sakit.

Tulisanku semata cuma sampah, Beb. Maka aku tak ingin membuang waktumu yang berharga untuk membaca ini. Maka akupun tak pernah mengirimkannya. Sama sekali bukan untuk dibandingkan dengan surat panjang berupa novel berjudul panjang yang masuk nominasi KLA.
Bebeb, jerawatku bermunculan di dahi. Banyak banget. Kamu tahu kan, perawatan dan obat apa yang bisa mengahaluskan lagi kulit wajahku. I really miss you, Beb. Langit masih mendung. Satu-satunya hal yang membuat lega hari ini adalah ditemukannya buku tabungan dan KTP yang hilang. Oh, thank, God

11 Desember

Tidak ada yang istimewa hari ini. Aku hanya akan mengulang peristiwa dan cerita tak penting lainnya. Seharian perutku hanya menggiling sebungkus rujak petis. Makanan yang kubeli di tempat yang sama sewaktu kita masih bisa makan berdua di kota ini. Rasanya memang tak sama lagi. Itu karena aku tak memakannya denganmu, Beb. Prek! Tulisanku yang demikian semakin menegaskan kecengengan, bahwa aku terlalu rapuh, demikian bahasa pun tak mampu membuat sesuatu yang terjadi menjadi hal yang tampak lain dalam tulisan. Meski setidaknya ini membuatku lega. 

Pagi tadi Pak Puh datang. Ibuk mencurahkan isi hatinya. Aku tak paham bagaimana Ibuk mengatur kebutuhan dan ekonomi rumah tangga sebelum kecelakaan. Yang aku tahu bahwa kami tak pernah kekurangan, bahkan selalu ada tabungan. Ibuk rajin mengirim makanan ke panti asuhan. Katanya, Allah akan melipat gandakan rejekinya. Sayang sekali kalau aku tak pernah mendengar ceramah Yusuf Mansyur dan belum pernah pula membuktikan perkataan-perkataan seperti itu.

Sehari-hari duit mengalir mbanyu mili. Meskipun Ibuk dan Bapak tetap menerima gajinya, pengeluaran beberapa bulan ke depan akan sedikit berat. Tabungan Ibuk juga tipis. Aku sendiri sama sekali tak yakin bisa lulus semester ini, siap-siap juga harus membayar uang semesteran lagi.  
Ibuk tak pernah bisa mendengar sambatan orang untuk meminjam uang. Siapapun yang perlu pinjaman, kalau Ibuk ada uang pasti dipinjami. Kalau duit itu balik ya memang duit itu masih rejekinya. Kalau tidak, berarti duit itu menjadi rejeki orang yang meminjam. Kemurahan hati, ikhlas kehilangan, pikirian-pikiran seperti itu kadang belum bisa aku pahami sepenuhnya. Budhe sempat melihat buku tabungan lalu bertanya kenapa Ibuk mengambil uang begitu banyak, Ibuk berusaha berpikir keras. Berusaha menyelamatkan muka si peminjam, yang kata Ibuk adalah orang yang telah mengentaskannya dari jurang penderitaan.

Aku tak memintamu untuk memahami apa yang aku tuliskan. Sungguh maafkan ketidakramahanku padamu.

Berapa banyak perbedaanku dengan orang-orang malang itu. Orang-orang yang digambarkan Dostoevsky hidup dengan pinjaman, ingin membahagiakan orang lain dengan mengorbankan dirinya sendiri. Kau tahu apa yang dikatakan orang malang itu kepada kekasihnya, “Manisku! Ketika aku memikirkan kamu, seakan-akan aku mengusapkan balsam yang menyembuhkan jiwaku yang sakit, dan walau aku menderita bagimu, aku menemukan bahwa menderita bagimu itu mudah,” Beb, manis sekali bukan? Taek! Jadi, apa menurutmu yang membuat penderitaanku ini—seharusnya aku tak boleh berkata demikian—menjadi mudah?

Kau punya satu kata mutiara buatku: lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuki kegelapan. Berapa banyak lagi yang kau punya, Beb? Aku kehilangan sesuatu untuk bisa tergugah dengan kata-kata. Temanku bisa demikian cepat baik-baik saja setelah diputus pacarnya hanya dengan mencari kata-kata bijak di internet. Kenapa aku tak bisa?

Pagi ini seorang pengamen datang. Ia sosok perempuan dengan gaya pesindhen, lengkap mulai dari sanggul, make up, kebaya dan jarik. Aku tak membayangkan berapa biaya untuk melengkapi dandanannya dan berapa yang didapatnya dari hasi mengamen. Apakah ia punya anak? Masih sekolahkan anaknya? Jadi apakah suaminya? Sejak kapan ia mengamen? Darimana ia mendapatkan sitar tak bernada itu? Tiap malam, apa saja yang yang muncul dalam mimpinya? Apakah ia bermimpi menjadi sindhen terkenal?

Pengamen itu memang beberapa kali muncul dengan sitarnya. Tapi kurasa itu bukan sitar. Hanya sebentuk kayu dengan bentangan-bentangan kawat yang berbeda panjangnya, berurutan dari yang panjang hingga pendek. Bagian tertentu memang menghasilkan nada yang berbeda dengan bagian lain ketika dipetik, namun tak jelas tangga nadanya.

Ia membawakan langgam jawa, “Upama sliramu sekar melati, aku kumbang nyidam sari...” Aku meraih receh sekenanya dari meja. Setelah menerima uang, ia masih terus melanjutkan lagunya. Cengkok nadanya sedikit berbeda dari lagu asli dan sama sekali tidak sambung dengan petikan sitarnya. Perempuan itu mencoba membawakan musik avant garde gaya Jawa, barangkali. Suaranya memang keras dan meliuk. Ibuk suka. Tiba-tiba lagunya berhenti ketika Mak Lampir menghampirinya.

Mak Lampir adalah tetangga depan rumah kami. Nenek-nenek itu tinggal di belakang rumah anaknya, rumah yang lebih mirip kandang. Mak Lampir biasa hidup dengan kucing dan ayam-ayam. Ia sering berbicara dengan binatang-binatang itu. Orang-orang kampung menganggapnya sinting. Bicaranya keras dan kadang-kadang ngawur. Hal yang paling khas adalah tawanya, itu pula yang membuatnya mendapat julukan sebagai Mak Lampir. Seringkali ia memetik bunga-bunga kenanga dan mawar yang hidup di halaman rumah anaknya lalu menjualnya ke pasar dengan berjalan kaki sejauh hampir 5 km. Uang yang didapatkannya dari menjual bunga tentu tak seberapa. Mungkin hanya cukup untuk membeli lembaran gerih abang, ikan kering yang biasanya dipakai sebagai makanan kucing. Sering Ibuk membawakan lauk untuknya. Mungkin itu pula yang membuatnya sayang dengan keluarga ini. Apakah yang diimpikan Mak Lampir tiap malam? Mungkin ia hanya sanggup memimpikan ayam-ayam dan kucingnya.

Mak Lampir berusaha memperingatkan pengamen itu supaya pergi. Rupanya pengamen itu tidak mendengar suara Mak Lampir dan tetap melanjutkan lagunya. Mak Lampir tampak tak sabar lalu menghampirinya. Dengan suara seraknya yang khas, Mak Lampir bilang jangan menggangu di sini, dua orang di rumah ini sedang sakit, dua-duanya kecelakaan dan tak bisa jalan. Mak Lampir juga bercerita tentang kematian tetangga yang pernah kuceritakan padamu namun dengan tambahan kalimat yang cukup mengerikan kedengarannya, “Wis ngaleh kana, wong sak lurung iki mati kabeh,” yang kira-kira berarti begini: sudah, pergilah, orang satu gang ini sedang mati semua.

Beb, aku berada dalam kondisi yang mengerikan pula. Aku hampir kehilangan ketertarikanku terhadap apapun. Aku membacai tulisan orang yang lagi suka nyinyir-nyinyiran. Biasanya aku akan bilang padamu sedikit pendapatku tentang mereka, tapi kali ini tidak. Aku tak punya pendapat apapun. Satu tulisan menghadirkan data-data objektif, lalu direspon dengan menghadirkan pengalaman subjektif seolah-olah data dalam tulisan pertama itu tidak menggambarkan apa-apa karena penemu data tidak bersinggungan langsung dengan konteks dan hal yang terjadi waktu itu. Anehnya, respon itu sendiri bahkan tak menjelaskan apapun tentang temuan objektif dari tulisan pertama, tentang surat-surat itu. Tulisan respon itu bercerita tentang suatu hal yang mungkin hanya dia dan tuhan yang tahu. Aku hanya bisa tersenyum, dan tentu saja aku tak akan pernah bisa menulis seperti mereka. Tulisanku bahkan tak punya gaya, gak mutu dan bukan tentang apa-apa. 

Aku ingin keluar sebentar saja. Melihat orang berlalu lalang adalah hal sederhana yang bisa membuatku senang. Kau tahu bukan, ketika melihat orang-orang, kita biasa mengarang cerita soal mereka. Apakah mereka pasangan yang baru jadian, sepasang teman yang sedang dalam proses pendekatan, juga cerita aneh-aneh lain yang mungkin mereka alami. Toh akhirnya aku hanya di rumah saja malam ini. Ada guntur yang terdengar menggelegar di langit jauh. Gerimis sudah tidak tampak.

Rasanya ingin menelan sesuatu yang dingin. Di rumah ini tidak ada kulkas, Beb. Sumpah, sumpek banget. Aku ingin menelanmu mentah-mentah, sekarang, tidak perlu menunggu hujan hingga basah. 


12 Desember

Hujan tidak memperlakukan kami dengan benar. Dia datang terlalu sering dan lama. kelelahan semakin menggerogotiku, Beb. Kelelahan tidak sanggup membaringkan tubuhku dengan baik. Tidurku tak pernah nyenyak. Mungkin karena sekarang aku tak menggunakan dipan, hanya menggelar kasur beralas karpet dan tikar plastik. Seharian aku belum mandi. Belum juga kemasukan nasi. Perutku hanya sanggup menggiling roti atau makanan-makanan kecil lainnya. Selain itu, rasanya ingin muntah.

Pikiranku sering kosong. Seperti pagi ini, aku ke pasar untuk membeli masakan jadi. Aku mengambil masakan-masakan yang dibungkus plastik itu tanpa berpikir. Tiba di rumah, aku baru sadar banyak sekali makanan yang kubeli, beragam, masing-masing satu, seribuan; sayur nangka dibumbu lodeh, sayur asem, oseng tempe, oseng kembang pisang, oseng pare, bothok lamtoro dan tempe, sepuluh biji tahu (kata sebuah lagu: siapa bilang bapak dari Blitar, bapak kita dari Prambanan, siapa bilang rakyat kita lapar, Indonesia banyak makanan). Entah dari jam berapa si penjual mulai memasak masakan-masakan itu. Jam tujuh pagi aku ke pasar, masakan-masakan yang dijualnya sudah hampir habis saja. Bersyukurlah orang-orang yang malas memasak.

Sebagai satu-satunya orang yang sehat di rumah ini, pekerjaan rumah dan merawat dua orang itu membuatku benar-benar ingin menghilang, kemudian muncul seolah-olah kecelakaan itu tidak pernah terjadi. Dunia kecilku mendadak sangat riuh, mendadak kembali sunyi. Aku bahkan tak mampu membedakannya lagi.

Keriuhan kadang datang dari orang-orang asing. Aku selalu khawatir ketika ada teman Bapak atau Ibuk, dengan masih berseragam datang pagi-pagi ke rumah ini. Mereka selalu membawa persoalan baru yang membuatku jengah. Selalu ada dokumen yang diminta. Mau tak mau aku harus mencarinya. Bapak tidak bisa ditanyai. Ibuk sering marah dan kesal sendiri.

Bagi orang sakit, birokrasi yang terkait dengan dunia pendidikan kedua orang tuaku selalu punya toleransi. Apalagi mereka sudah menjadi abdi negara selama puluhan tahun lamanya. Ibuku sudah menjadi guru selama tiga puluh dua tahun, sama lamanya dengan masa Soeharto berkuasa. Sejauh manakah toleransi itu bekerja? Tugas-tugas bapak diambil alih anak buahnya, tapi tetap saja mereka masih datang ke sini untuk menanyakan ini dan itu, hal-hal yang sama sekali tak kumengerti. Ujung-ujungnya adalah usaha untuk mencari, dan jarang sekali bisa menemukan apa yang dicari karena Bapak tak pernah rajin menata dokumen-dokumen pentingnya dalam satu tempat.

Sore hari, penjual emas di depan pasar datang menjenguk Bapak dan Ibuk. Adik dari penjual emas itulah yang mengenal Sinsei penjual ramuan seharga satu juta demi mempercepat kesembuhan Bapak. Ia pula yang akan mengantarkan Budhe mengambil ramuannya. Ia datang membawa dua buah roll tart rasa coklat dan vanila dalam bungkus kardus besar berwarna putih. Bicaranya lugas dan entah darimana ia tiba-tiba bercerita tentang ayahnya yang didatangi tentara setelah Gestok.  

Rasaya cukup untuk hari ini. Aku sudah tidak tahu akan menuliskan apalagi. Kau menonton pameran ilustrasi cerpen malam ini. Aku baru saja meminumkan ramuan sejuta untuk Bapak, berusaha agar seduhan dalam gelas itu tak menyisa. Satu tetesnya begitu berharga. Hahaha. Entahlah, Beb. Kaki kiri Bapak memar. Baru ketahuan malam ini.  Tidak ada yang tahu sebabnya. Kemungkinan terantuk dipan ketika mau pindah dari kursi roda. Dia tak pernah bilang juga kalau mau pindah-pindah, seperti tak ingin merepotkanku. 

Di langit-langit kamar, seekor cecak berhasil memangsa capung yang sedari tadi berkeliaran di sekitar lampu. Cecak lain yang lebih kecil ukurannya mengintai di belakang, hendak merebut capung yang sudah berada di mulut temannya. Sudah hampir separuh tubuh capung masuk ke mulut cecak. Sayap capung tak kelihatan lagi. Tenggelam sepenuhnya dalam mulut cecak. Cecak lain hanya bisa melihat dengan kepingin. Cecak di sekitar lampu tinggal satu. Perutnya sudah gembung tapi ia tetap menunggu mangsanya, serangga-serangga kecil yang malang.

Bapak tak bisa tidur. Ia menghidupkan lagi televisi, satu-satunya kesenangannya menonton tayangan tak bermutu yang betapa aku ingin menangis ketika kisah Arok Dedes dibuat dengan begitu menjijikan.

Aku lelah dengan keluhan-keluhanku sendiri. Bahuku pegal sekali rasanya. Lengan kanan atasku sedikit njarem pula, entah karena mengangkat apa. Beb, aku ingin meneleponmu tapi tampaknya kamu cukup sibuk. Yasudahlah. 


13 Desember

Aku tak bisa menjangkaumu seharian. Kau sangat sibuk? Pada akhirnya, Beb, setelah mereka saling berkirim surat sejak bulan April hingga September, Varenka meninggalkan Devushkin demi menerima pinangan Tuan Bykov. Aku tak menyukai akhir cerita novel itu. Selalu begitu. Akhir cerita yang tak bahagia adalah suatu hal yang menyebalkan. Bahkan dalam cerita pun, orang pada akhirnya tak bisa bahagia. Bagaimanakah kemudian Varenka atau Varvara atau siapapun namanya itu akan memperlakukan Devuskhin, sebagai masa lalunya? Aku sendiri tak bisa membayangkan. Masa depan kita terlalu buram. Bisakah aku menghapusmu seperti dalam Eternal Sunshine of The Spotless Mind?

Tiba-tiba Ibuk bertanya bagaimana kalau akhirnya kita menikah? Aku bilang kita akan menikah di luar negeri. Lalu ia bertanya lagi, bagaimana dengan anak kalian? Dia akan memilih setelah dewasa. Ibuk sendiri tak mampu membayangkannya, menginginkan cucu yang bisa diasuhnya, betapa tak mungkin bukan?

Perutku tak pernah menginginkan nasi. Rasanya penuh. Seperti saat kita terlalu banyak minum kopi. Aku tak bisa tidur lagi. Gelisah dengan detak jantung yang sedikit cepat.

Orang yang akan membantu di sini sudah datang. Aku tak suka bau keringatnya. Seharian dia bercerita soal nasib buruk karena ditinggal suaminya. Aku tak bisa tidur siang. Beb, kamu dimana? Hapemu mati. Huft.  


14 Desember

Ada perasaan sedikit terbebas ketika orang yang mau membantu merawat kedua orang tuaku sudah ada di sini. Seumur hidup kami tak pernah punya pembantu. Kehadiran orang asing di rumah ini memberikan satu kesan yang aneh. Sudah kubilang kalau aku tak suka bau keringatnya. Ibuk merasa pusing juga ketika orang itu membantunya pipis atau mandi. Baunya bertebaran di rumah ini. Sungguh aku tak bermaksud apa-apa, sekadar ingin memberitahumu meskipun mungkin kau tak mau tahu.

Kami tak boleh bilang terus terang, apalagi menyuruhnya memakai deodorant. Aku dan Ibuk terus saja berbisik-bisik di belakang, berusaha menemukan bahasa terbaik untuk memberitahukan keberatan-keberatan kami. Lantai rumah ini tak disapunya dengan benar. Bau bekas memasak di dapur membuatku semakin tak berselera makan. Ada bau-bauan baru di rumah ini, bergentayangan sejak pagi.

Setiap orang di rumah ini punya kamar sendiri-sendiri. Orang itu tak diperlakukan sebagai tamu. Dia tak diperlakukan juga sebagai anggota keluarga. Dia orang lain, yang berdiri di ambang pintu, berkeliaran seharian, lalu tertidur lelah di sebuah sudut tak bernama di rumah ini. Matanya terpejam tapi dia tetap mendengar detak jarum jam. Dingin mengerubutinya dan kami tidak berbuat apa-apa, sama sekali tak berniat membelikannya selembar kasur.

Suaranya keras, berbicara lugas dengan ungkapan-ungkapan yang menurut Ibuk bisa dibilang kasar. Ia mengumpat seleganya, ketika bercerita betapa sakit ia ditinggal suami. Bagaimana ia menghadapi perempuan lain yang mencari suaminya, sampai ke pintu rumahnya sendiri. Aku tidak tahu kenapa ceritanya itu tidak mengundang simpati. Dia perempuan bernasib malang, menderita, mungkin itu benar. Ia duduk di depan ketika para tamu datang, ikut mendengarkan pembicaraan. Menurut Ibuk itu tidak sopan. Ia orang belakang, wong pawon yang seharusnya hanya berada di belakang. Yah, barangkali ini tidak manusiawi. Semoga orang itu juga membaca tulisan ini lalu menuntut kami. Aku tidak membencinya, sungguh kami sangat berterima kasih karena kesediaannya membantu keluarga kami. Hanya saja kami belum terbiasa. 

Aku tak bisa menulis lebih banyak lagi. Dimana aku bisa menemukanmu malam ini? Kau jarang sekali muncul dalam mimpi. Aku tak yakin pula bisa menulis begini setiap hari. Semoga kau selalu baik-baik saja. Menulislah, musnahkanlah in the mood for killing mu itu.

Jumat, 15 November 2013

Hoaaammmm

Mata begitu berat. Rasanya seperti sudah bertahun-tahun tak bisa terpejam. Gonggong anjing di pagi hari. Roti tawar dan susu coklat. Mandi. Makan siang murah. Lalu hujan. Lalu petang. Lalu malam. Siapa yang ingin terpejam ketika semakin segera kita akan berjauhan. Betapa bodoh membicarakan orang-orang itu selepas percintaan yang tak begitu enak dan perih. Tambah perih dalam tawa yang tiba-tiba tangis.

Mendadak semuanya menjadi mendung. Pembicaraan-pembicaraan kita sambil menunggu pesanan makanan tiba atau setelahnya, juga tentang orang-orang di sekitar yang tak pernah kita kenal, sebelumnya tak pernah mengarah kemanapun. Namun akhir-akhir ini, semua seperti sudah jelas akhirnya. Hahaha. Kita masih ragu. Sangat.

Dua helai rambut tumbuh pada tahi lalat di perutmu. Kau tahu apa artinya? Tidak ada. Aku sedang tidak paham dengan tulisan yang baru saja kubaca. Penulisnya seperti ingin menumpahkan banyak hal dalam artikel yang cuma lima puluh halaman saja. Suka sekali ia tak menyelesaikan penjelasannya dan meloncat ke hal lain. Utang penjelasan di depan banyak yang tak terbayarkan sampai tulisan selesai. Orang Jawa itu menyedihkan. Ngawurnya, kalau boleh dibilang, dengan kebudayaan meraka yang sudah banyak dijelaskan para ahli, Bagaimanakah mereka bisa bertahan di tengah jaman amburadul macam begini?

Sementara itu, Paolo Sorrentino sudah membuat film seperti The Great Beauty. Saya sendiri begitu kesulitan membayangkan keberadaan orang-orang yang digambarkan dalam film. Sekumpulan penulis, pelukis, yang setiap malam kerjaannya adalah berpesta. Kosong di dalamnya. Seorang seniman menampilkan sebuah pertunjukan di atas panggung yang menyerupai jalan dengan ujungnya berdiri sebuah tembok. Perempuan itu telanjang, mengecat merah kemaluannya dengan aksen palu arit kecil di sudutnya. Ia mengenakan selendang putih transparan membelit longgar kepalanya. Berteriak, berlari, menabrak tembok hingga kepalanya terluka. Begitu saja. Para penonton bertepuk tangan. Katanya kemudian, begitulah cara dia menangkap vibrasi dunia. Entah apa maksudnya. Tambah aneh-aneh saja kelakukan manusia. Seorang anak bisa tiba-tiba muncul di hadapan ibunya. Telanjang dan mengecat merah seluruh tubuhnya. “Ibu, pipiku selalu bersemu merah ketika melihatmu,” begitu kira-kira katanya. Sudah bisa ditebak, seperti katamu, orang-orang seperti itu pun sudah membusuk. Ah, lawas. Tapi kita juga tak bisa menemukan penjelasan lain. Seperti khayalan yang tak bisa terjangkau.

Menonton Pina juga demikian. Kalau kesemuanya dikatakan sebagai seni tinggi, kebudayaan adiluhung (seandainya itu masih ada), yang ngEropah begitu, bandingan seperti apakah yang bisa kita temukan di sini? Hihihi. Mana berani saya melanjutkan. Lha wong saya ini cuma penonton ludruk, penggemarnya Kartolo yang suka sekali saya kutip dialognya. “Kowe arep opo?” dan dijawablah, “opo-opo arep.”

Orang itu menyebut seni tinggi hanya karena ketika ia datang mengunjungi galeri, atau pameran misalnya, lukisan-lukisan digantung terlalu tinggi. Kita-kita yang pendek ini jadi harus sedikit mendongakkan kepala untuk bisa melihatnya. Begitulah asal mula kenapa suatu seni bisa disebut seni tinggi. Percayalah, cerita ini bukan karangan saya melainkan berasal dari sumber yang heibat sekali.

Menyeruput kopi sambil mendengarkan Faith No More melantunan I Started a Joke. Pada awalmya cuma bercanda. Pada akhirnya, beginilah, seperti yang telah kita duga sebelumnya. Karena kita seringkali menertawakan sesuatu, kita pun boleh jadi sedang ditertawakan, entah oleh siapa dan karena apa.

Hei, apa kau sudah bangun? Jum’atan lho. Eh ya, kamu ndak Islam jadi ya ndak Jum’atan.



Kamar Kost, 15 November 2013

Kamis, 07 November 2013

Sepintas Lalu Soal Festival Teater Yogyakarta 2013

Konon katanya, Festival Teater Yogyakarta 2013 yang diselenggarakan tanggal 16-18 Oktober kemarin berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kalau tahun lalu panitia mengajukan tema dan siapa saja boleh mengajukan proposal untuk kemudian diseleksi menjadi peserta, tahun ini panitia memanggil kembali sutradara-sutradara terbaik dari festival sebelumnya. Dari sini, para juri dan pengamat akan melihat apakah pilihan mereka di tahun-tahun sebelumnya memang tepat. Tidak akan ada pemenang dalam festival kali ini. Para juri dan pengamat akan memberikan catatan tertulis sebagai bentuk apresiasi terhadap seluruh peserta yang tampil.

Konsep ini memang terkesan tertutup karena tidak memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh kelompok teater untuk memanggungkan karya mereka. Penggunaan konsep seperti ini tentu sudah dipertimbangkan dengan matang dan mungkin tetap ada baiknya, ketika kita bisa melihat proses kreatif dan perkembangan penyutradaraan dari mereka-mereka yang diberi kesempatan untuk menampilkan karyanya.

Saya di sini hanya menjadi penonton yang kebetulan punya banyak waktu luang sehingga bisa menonton semua kelompok yang tampil. Kalau saja saat ini orang seperti Asrul Sani itu masih hidup. Barangkali ia bisa melengkapi kertas kerja yang ditulisnya pada tahun 1973 soal pemikiran dan saran-saran pengembangan seni pertunjukan kontemporer atau modern. Rasanya sulit kita temui orang seperti Asrul di masa ini. Sedangkan saya cuma bisa menuliskan omong kosong macam sampah begini.

Pada saat itu, Asrul meringkas bentuk-bentuk teater yang muncul di Indonesia mulai dari teater yang lahir dari kehidupan masyarakat desa sehari-hari, entah yang bersifat adat maupun agama sampai yang disebutnya sebagai teater modern. Bentuk terakhir itulah yang dulu dikatakannya masih mencari bentuk dan isi. Barangkali sampai sekarang pun teater modern kita masih juga mencari bentuk dan isi. Lalu seperti apakah bentuk dan isi dari teater-teater peserta festival tahun ini?

Di bandingkan dengan tahun lalu, sebagai penonton awam, saya bisa melihat beberapa capaian meskipun saya tidak bisa membandingkan secara utuh bagaimana perkembangan dan capaian dari masing-masing sutradara. Hal ini tentu karena saya bukan orang yang mengamati hasil karya mereka dari waktu ke waktu melainkan hanya cuilan-cuian kecil yang kebetulan melintas di benak saya ketika menulis catatan ini.

Perihal Naskah dan Pementasan
Saya cukup senang ketika seluruh peserta festival teater kali ini tidak ada yang mengadaptasi naskah dari luar secara utuh. Bukannya saya anti sama naskah-naskah yang berbau Eropa atau Amerika melainkan kondisi ini menggambarkan usaha mencari idiom-idiom baru dalam seni pertunjukan yang dekat dengan masyakatnya sendiri. Saya cukup jenuh melihat banyaknya adaptasi naskah-naskah asing yang justru gagal dibawakan karena kesenjangan konteks dan latar cerita. Tentu saja ini tidak menafikan keberhasilan-keberhasilan yang sudah ada, meskipun tidak dapat saya sebutkan karena keterbatasan pengalaman menonton saya.

Hampir seluruh peserta menggunakan langgam Bahasa Jawa dalam pertunjukan mereka. Dekor yang dipakai sebagian masih berbau naturalis dengan usaha menghadirkan kondisi yang kita lihat sehari-hari di atas panggung. Cerita yang dibangun memang cukup beragam, dari yang paling realis, eksperimentasi menghadirkan cerita berlapis di atas panggung dengan men-Jawa-kan naskah Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer, juga usaha untuk membaurkan dua cerita yang berasal dari adaptasi cerpen Gabriel Garcia Marquez dengan kehidupan petani garam di pesisir Pulau Jawa.

Saya akan memulai dari Kapai-Kapai (Atawa Gayuh) yang disutradarai oleh Ibed Surgana Yuga. Naskah Kapai-Kapai sendiri bagi saya cukup menarik dengan lapis-lapis ceritanya. Kalanari Theater Movement menampilkannya di panggung terbuka dan mengadapatasinya dalam Bahasa
Jawa. Karakter Emak diganti dengan Dhalang, tokoh yang membikin skenario untuk mempermainkan nasib Abu, wong cilik yang malang. Dalam skenario asli, perpindahan babak ditandai dengan penutupan layar. Namun, pertunjukan ini mampu mengalirkan perpindahan babak tanpa layar, bahkan dengan pemain utama yang terus-menerus berada dalam jangkauan mata penonton, tanpa mengurangi kadar penyampain pesan bagaimana cerita yang berlapis tersebut dapat sampai dengan baik.

Pertunjukan panggung terbuka memang membawa masalah teknis tersendiri. Beberapa kali dialog tokoh tidak terdengar jelas dan keruwetan panggung yang hanya diterangi cahaya-cahaya kecil dari obor membuat penonton seringkali kehilangan beberapa detail kecil pertunjukan. Pencahayaan dibantu dengan kru yang membawa senter besar di beberapa sudut panggung. Saya cukup terkesan dengan teknik ini. Bahkan, untuk menambah kesan dramatis, seorang kru mengucurkan air lewat selang dari bagian atas panggung untuk mengguyur tubuh Abu beserta istrinya yang kebingungan mencari “kaca tipu daya” (sebuah benda yang dalam naskah bisa dibeli di toko Nabi Sulaiman dan mampu mewujudkan semua impian Abu). Jujur saja saya baru pertama kali menyaksikan hujan buatan dalam teater.

Terlalu muluk kalau dikatakan pencarian dan eksperimentasi seperti ini akan berujung pada mitos total teater dimana usaha untuk menyempurnakan kejanggalan-kejanggalan panggung demi menghadirkan efek hujan misalnya, hanya bisa dilakukan oleh film. Namun, bangunan yang tampak di panggung, maupun yang tak kelihatan, tata musik dari gamelan, dan peradeganan memang bisa sedemikian mengalir dan sangat membantu membangun suasana sepanjang pertunjukan.

Saya tak akan banyak membahas soal naskah dimana Arifin C. Noer manghadirkan nasib Abu, mempertunjukkan mimpinya menjadi seorang pangeran, tipu daya dan persekongkolan. Ah, kalian harus membaca naskah itu. Yang pasti, Dhalang dalam cerita masih otoriter. Dia yang mengarang tipu daya dan akhirnya membunuh Abu sekaligus mimpi-mimpinya. Butuh ruang khusus untuk membedah naskah-naskah Arifin C. Noer, apalagi sebelumnya saya sempat menyaksikan Madekur dan Tarkeni dipentaskan. Kalau saya boleh berlebihan, membaca naskah-naskah Arifin C. Noer itu serasa menemukan permata dalam sajian makan malam di tanggal tua, yang murah dan itu-itu saja.

Berikutnya, Citra Pratiwi adalah sutradara terbaik pada festival teater tahun lalu. Citra punya ide-ide cemerlang namun terasa selalu ada yang janggal dalam pengeksekusian panggungnya. Teaternya tahun lalu sudah pernah saya bahas dalam tulisan sebelumnya. Dan kali ini, Citra tampil dengan adaptasi cerpen Gabriel Garcia Marquez yang justru menjadi aneh ketika dikontekskan dengan latar petani garam di pesisir Pulau Jawa dan Bali. Kejanggalan utama terletak pada dekor yang memasang kincir angin besar di sisi belakang panggung. Barangkali di Indonesia juga ada yang seperti itu, tetapi ketika melihatnya pertama kali, pikiran saya langsung diarahkan ke negeri-negeri Eropa sana. Sedangkan di hadapan kincir besar itu, pemain-pemain dengan memakai kostum pakaian petani sehari-hari, properti seperti caping dan sebagainya berusaha menggiring penonton bahwa peristiwa itu terjadi di Indonesia. Bentuk dekor apapun sebenarnya sah dalam teater, namun kesatuan citraan dalam satu panggung bagi saya tetap penting.

Dua kontras dari latar dan suasana yang ingin diciptakan masih diperparah dengan gerak dan gestur yang tidak bisa sampai dengan mudah kepada penonton. Kalau penonton tidak membaca cerpen yang dimaksud, juga dengan bantuan sinopsis cerita, orang tidak akan tahu bahwa gerakan yang dilakukan pemain adalah gerakan mengusir kepiting di musim hujan yang merajalela. Seorang perempuan berselendang merah itu juga tidak jelas siapa. Barangkali memang saya saja yang bodoh dan tidak jeli.

Citra menyisipkan nuansa pesisir yang ditandai dengan permainan judi para petani sehabis panen dan ratapan seorang pemain perempuan sambil menyanyikan lagu dangdut. Sayang sekali, musik dangdut yang digunakan masih sangat Melayu, bukan dangdut pantura. Dialek Bahasa Jawa yang digunakan sepertinya juga bukan pesisiran. Selebihnya, musik yang mengisi pertunjukan sebenarnya cukup membantu mengangkat suasana. Kemampuan aktor dalam menampilkan teater tubuh cukup mumpuni juga. Tetapi gerak-gerak itu ingin menampilkan apa? Apakah demi menguatkan apa yang disebut dalam sinopsis sebagai sisi realis fantasi dari cerpen yang diadaptasi?

Menerjemahkan ide dalam panggung memang bukan perkara mudah. Perkara yang tak hanya berada di tangan sutradara melainkan juga melibatkan tata panggung, musik dan aktor-aktornya. Dengan demikian, ide yang baik saja jelas tidak cukup untuk bisa membuat pertunjukan yang baik. Baik di sini pun menurut selera saya, sebuah pertunjukan yang dapat memuaskan saya sebagai penontonnya.

Satu kasus menarik hadir dalam lakon Ora Isa Mati: Isih Akeh Wong Jujur Nang Ngisor Wit Jambu Air. Jarang-jarang saya bisa menyaksikan dua lakon yang sama sebanyak dua kali. Pertama kali saya menyaksikan naskah ini dipentaskan di Balai Budaya Samirana. Konsep yang disuguhkan cukup menarik. Mempertunjukkan teater di tengah kampung menjadi suatu cara untuk mendekatkan seni ke masyarakat. Sayang sekali pada saat itu penonton teaternya lumayan sepi. Barangkali karena bersamaan dengan acara pengajian yang digelar di masjid tak jauh dari tempat pertunjukan. Dua kali pertunjukan itu saya saksikan dan dua kali pula saya masih tertawa-tawa karena dialog dan adegan-adegan aktor yang dibawakan dalam Bahasa Jawa.


Lakon ini cukup komikal, demikian juga dekor yang dibuat lebih sebagai penanda. Pertunjukan kedua dari lakon ini memang terasa lebih matang, baik dari sisi pengolahan adegan (khususnya di akhir) dan penataan musiknya. Pertunjukan pertama yang diadakan di tengah kampung terasa lebih santai. Penonton dari Teater Teman-Temanmu kemungkinan juga dalah teman-teman sendiri. Ketika tampil di gedung yang cukup representatif, jumlah penonton memadati kursi, pertunjukanpun terasa lebih serius meski ia tak kehilangan banyolan yang didukung oleh karikatural para pemainnya. Para aktor seperti menerima energi dari banyaknya penonton yang datang, membantu memaksimalkan pemeranan mereka di atas panggung.

Berbeda halnya dengan lakon Watara dari Teater Slenk, Ora Isa Mati memiliki kedinamisan dialog dan karakter tokoh yang mampu membangun suasana, konflik, hingga penyampaian pesan-pesannya. Sementara itu, Watara tampil dengan sangat datar, sebagaimana hanya selingan di kala senggang. Dekor disajikan dengan memasang dua rumah di atas panggung, yang satu mengesankan terbuat dari tembok, dan satunya terbuat dari anyaman bambu. Pilihan kontras ini mengesankan bahwa kemungkinan cerita akan berisi konflik sosial karena kesenjangan ekonomi. Tapi ternyata tidak. Cerita mengalir dengan sangat datar. Konflik disajikan di akhir, tak terduga dan terkesan dipaksakan. Nyanyian dan tarian memang menyampaikan kehidupan masyarakat petani dengan gerakan-gerakan ketika mereka menanam dan memelihara padi. Fungsinya tidak dilekatkan pada cerita melainkan sebagai selingan yang memisahkan antar babak cerita. Bentuk seperti itu mengingatkan saya pada uraian tentang model-model teater lama. Meskipun karena kemasannya, lakon Watara kemudian bisa disebut sebagai teater baru.

Demikian halnya dengan cerita Nggoleki Jimate Basiyo dari Kandangjaran Teater. Pertunjukannya dibuka dengan tembang lalu mulailah monolog berlama-lama dari seorang tua yang memegangi keris. Sebelumnya saya tidak membaca sinopsis cerita dan baru sadar di bagian akhir bahwa para pemainnya adalah keluarga Basiyo. Bagi mereka yang tidak mengenal Basiyo, teater ini kehilangkan ikatan dengan penontonnya. Pertama karena dialog yang berlama-lama dan kedua karena guyonan yang tidak bisa membuat saya tertawa. Kisah tentang tokoh Basiyo sebagai legenda pertunjukan di Jogja memang menarik. Namun, cerita dan guyonan sepertinya hanya berlaku bagi penonton yang mengerti konteks cerita.

Penonton Teater dan Sawerannya
Keberadaan festival teater seperti ini tampaknya mampu membuka kemungkinan perluasan publik teater. Pertunjukan teater kampus misalnya, kadang hanya mampu menarik penonton yang terdiri dari teman-teman sendiri. Di sini, saya bisa melihat bahwa penonton yang hadir tidak hanya mereka yang setiap harinya bergelut dan akrab dengan teater. Para mahasiswa yang baru datang ke Jogja, yang kemungkinan tak tahu apa-apa tentang teater bisa datang dan ikut menyaksikan pertunjukan. Siapa saja boleh masuk ke gedung pertunjukan. Bagi yang bersandal jepit juga dipersilakan. Kita tak pernah punya budaya untuk mempermasalahkan siapa yang boleh menonton teater sebagaimana yang di Barat sana, hanya mereka yang berjas dan bergaun rapi yang diperbolehkan masuk ke gedung opera.

Festival teater ini kebetulan bersamaan dengan festival film yang digelar di gedung yang bersebelahan. Acara ini masih bersamaan pula dengan konser-konser musik dan sekian banyak peristiwa seni lainnya. Publik akhirnya terpecah untuk menghadiri acara sesuai ketertarikan masing-masing. Meskipun begitu, pengunjung festival teater tak pernah sepi. Kualitas teater tentu tak ditentukan oleh banyaknya penonton. Namun, teater bisa ada karena ada yang menontonnya. Satu orang penonton pun tetap bisa disebut sebagai penonton.

Sebab inilah mengapa teater tetap bisa bertahan. Sejelek-jeleknya sebuah pertunjukan, ia akan tetap punya penontonnya sendiri. Teman saya pernah bercerita. Kebetulan ia adalah mantan aktor teater. Katanya kemudian, teater tak bisa memenuhi idealismenya dalam berkesenian, sepertinya hanya berputar di situ-situ saja. Juga bahwa menjadi pemain teater itu tak bisa menghasilkan uang. Tapi toh, teater tak mati juga. Para seniman teater tentu saja tak bisa menggantungkan hidup dari pertunjukan. Lain soal dengan pentas teater tradisional dimana para pemainnya hanya hidup dari hasil penjualan tiket. Seniman teater, khususnya di Jogja mungin memang tak kehabisan akal untuk dapat sekian proyek, sekian hibah seni, dan sekian-sekian lainnya. Mereka bisa juga mengarang naskah sinetron atau bahkan aktor teater seringkali bisa menjadi artis film. Rasanya hal ini sudah biasa dalam dunia perteateran.

Asalkan masih ada kelompok teater yang pentas, mereka tak akan kekurangan penonton. Entah mereka yang hanya menonton atau yang punya banyak waktu luang untuk sekadar menuliskan celaan dan pujian. Dua kelompok teater yang pentas menyisipkan adegan minta saweran ke penonton. Sekadar buat ongkos jalan, hal ini tentu sah untuk dilakukan karena semua pertunjukan teater dibuka gratis. Saya tidak tahu juga apakah panitia ikut menyediakan ongkos produksi bagi para peserta.

Sampai di sini, saya kehilangan arah untuk melanjutkan tulisan. Seperti halnya pertunjukan-pertunjukan teater kita yang juga tidak tahu mau kemana. Kadang ke sini, kadang ke sana. Kita sama sekali tidak punya arah yang jelas soal yang satu itu. Tapi ya sudahlah. Akhirnya saya tetap bisa bahagia hanya dengan menjadi penonton dan memulis omong kosong seperti ini. Setidaknya bisa membuat lega ketika satu dari sekian banyak hal yang nyumpel bisa keluar dari kepala.

Oktober-November 2013


Rabu, 25 September 2013

Catatan Singkat Menonton Street Ballad: A Jakarta Story

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan menonton Street Ballad: A Jakarta Story di IFI Yogyakarta bersama seorang kawan. Pada awalnya, saya menonton film ini karena rasa penasaran yang lebih bersifat emosional, bahwa subjek utama dalam film adalah tetangga saya sendiri yang sama-sama berasal dari Ngawi. Film dokumenter bagi saya memiliki tantangan tersendiri untuk tidak membuat bosan penontonnya sehingga saya pun berharap bahwa dokumenter kali ini mampu disajikan dengan tidak membosankan. Dari segi ini, Street Ballad berhasil mengangkat sosok Titi Juwariyah sebagai seseorang pengamen jalanan di Jakarta. Dengan tampilan adegan-adegan yang dibangun naik turun, penonton seringkali ikut tertawa atau larut dalam kesedihan ketika Titi mencurahkan isi hatinya.

Film ini memang diperuntukkan bagi tayangan dokumenter televisi Amerika. Benar saja, adegan pertama ketika Titi menceritakan kehidupannya dengan nada yang terdengar dibuat-buat langsung menggiring saya pada kesan tayangan dokumenter televisi kita yang dikemas sangat dramatis dan penuh air mata. Untungnya, tidak keseluruhan film dituturkan dengan cara yang sama. Penonton masih bisa menikmati variasi tuturan baik dari cerita Titi, orang-orang dekatnya, maupun gambar-gambar dalam film yang berbicara dengan sendirinya.

Sepanjang film berdurasi hampir satu jam tersebut, tampak usaha Daniel Ziv untuk melekatkan subjek dengan kota lengkap dengan segala bentuk permasalahan yang dihadapi seorang Titi. Narasi seperti ini sebenarnya lazim kita temui, bahwasannya persoalan orang-orang pinggiran tersebut masih begitu menarik di mata orang asing. Selama lima tahun kamera mengikuti kehidupan Titi, cerita yang terbangun sebenarnya tidak menawarkan hal baru. Penonton bisa saja kagum dengan sosok Titi, bisa juga bersimpati dengan nasibnya, lalu setelahnya?

Dokumenter ini memuat rekaman momen-momen dalam hidup Titi yang terjadi selama lima tahun sang sutradara mengikuti dan merekam subjeknya. Dalam rentang waktu tersebut, keberadaan kamera seharusnya sudah tidak lagi dirasakan subjek. Namun sebagai penonton, ada kesan-kesan janggal di beberapa adegan ketika kehadiran kamera terasa masih berjarak dan tidak mampu melebur seperti sewaktu Titi mengunjungi keluarga dan anaknya di desa. Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi karena intensitas kamera dengan kota tentu lebih banyak daripada ketika Titi pulang ke kampungnya. Tetapi saya tetap terganggu dengan beberapa adegan seperti ketika Titi membawa kedua orang tua dan anaknya ke sebuah pematang sawah, lalu menyanyikan lagu Wuyung dengan gitar, bapaknya mengelus kepala Titi sementara ibunya menangis sesenggukan mengingat masa kecil Titi. Betapa dramatis!

Kita bisa membayangkan berapa banyak gambar diambil dan berapa banyak sudah dibuang demi mendapatkan momen-momen menarik dalam kehidupan Titi selama rentang waktu pembuatan film. Isian musik dalam film yang cukup banyak dan sebagian berasal dari lagu-lagu ciptaan Titi sebenarnya telah ikut menghidupkan susana, menjadikan beberapa bagian terkesan seperti fiksi drama. Meskipun sebuah dokumenter pasti akan memuat kadar fiksinya sendiri, harapan saya sebagai penonton tetap tertuju bahwa realitas yang hadir adalah realitas yang terkesan wajar, yaitu segala keseharian Titi yang kemungkinan juga berisi rutinitas paling membosankan. 

Kisah Titi mengingatkan saya pada Keluarga Joad dalam novel The Grapes of Wrath karya John Steinbeck. Ketika desa tak mampu lagi menawarkan apapun untuk mengubah hidup sesorang, kota menjadi salah satu harapan, meskipun kehidupan di kota bisa jadi lebih berat. Desa menjadi masa lalu dan kota adalah masa kini dan masa depan. Titi memilih kehidupan keras di kota, lengkap dengan persoalan si suami yang tak bekerja tapi juga tak merelakan Titi hidup di jalanan hingga malam. Setiap hari, Titi naik turun metro mini dan bus kota setelah memandikan anak dan memberinya sarapan. Persolan ekonomi dihadapi karena si suami tidak memiliki penghasilan tetap sementara keluarganya di kampung juga masih membutuhkan kiriman uang. Di kota, ia tinggal di rumah mertuanya yang mewajibkannya mengekan jilbab. Titi dengan bandelnya mengenakannya dari rumah lalu dilepaskannya sebelum mengamen. Karakter Titi tampak kuat dalam adegan ini. Demikian juga ketika ia bicara soal pendidikan atau keharusannya untuk hidup mandiri meskipun menderita.

Gambaran bahwa pendidikan masih menjadi tempat gantungan nasib seseorang tampak muncul di film ini. Bagi Titi, hal yang bisa mengubah nasibnya adalah selembar ijazah. Untuk itulah ia belajar mati-matian demi lulus ujian kejar paket C. Setidaknya ketika ia tidak banyak bisa mengirim uang ke kampung, membawa selembar ijazah adalah kebanggaan tersendiri. Film ini menggambarkan bagaimana Titi berusaha keras untuk belajar, berjuang mengubah nasibnya. Ia membaca buku di bus kota, belajar bersama teman di kamar kontakannya sampai pada akhirnya ia lulus dan berpidato di hari penerimaan ijazah.  

Pertanyaan salah satu penonton di akhir film seakan membuka ruang di balik gambar dan adegan. Jadi apakah Titi sekarang? Kita banyak mendengar kisah pengamen yang tiba-tiba jadi terkenal karena ajang pencaian bakat, ditemukan seorang produser, ditelan industri hiburan lalu tak berapa lama kemudian sudah menghilang. Apa yang didapatkan subjek dalam film ini selama lima tahun hidupnya tak lepas dari kamera? Sang sutradara kemudian bercerita bahwa Titi beberapa kali juga mendapatkan bagian ketika produksi filmnya mendapatkan dana. Meskipun demikian, uang yang didapatkan selalu tak bisa bertahan lama. Entah karena kebutuhan mendesak atau dipinjamkan kepada saudara atau tetangga yang lebih membutuhkan.

Persoalan tentang identitas muncul juga di sesi tanya jawab. Para pengamen, anak jalanan adalah mereka yang selalu mencari identitasnya di tengah hiruk pikuk perkotaan. Karakter Titi dalam usaha mencari identitasnya, salah satunya agar ia menjadi seseorang yang berijazah memang cukup kuat hadir. Hal serupa juga terlihat dari bagaimana ia mengungkapkan pendapat-pendapatnya di beberapa adegan.

Tapi bagi saya yang menarik adalah Daniel sendiri, orang asing yang membuat film pertamanya dengan mengangkat kisah Titi. Apakah karena Daniel orang asing, yang tentu juga menarik bagi Titi sehingga ia mau menerima tawaran sebagai bintang film atas hidupnya sendiri? Selain persoalan dana, yang katanya selalu tekor itu, Daniel menjawab pertanyaan bahwa selama ia membuat film, tak ada kisah-kisah seram seperti diganggu preman. Apakah ini juga karena Daniel orang asing? Jakarta di sepanjang film tampak selalu aman. Kota dan orang-orangnya tampak bersahabat dengan beberapa gambar bernuansa kekuningan. Seseorang yang bertanya seolah tak percaya mengingat Jakarta yang sepengetahuannya begitu menyeramkan.

Film dokumenter akan selalu memuat transisi bahwa yang kita lihat sehari-hari akan tetap menjadi konstruksi. Kita bisa mendapati semacam jenjang dari kehidupan sehari-hari dengan keseharian Titi dalam film. Kamera menangkap keseharian, mengikuti subjek, berlari, menangkap momen-momen, lalu masuk proses editing dan sampai ke penonton yang akan membanding-bandingkan kehidupan dalam film dan kehidupan sebagaimana adanya. Sebagai penonton, saya pun sebenarnya mengharapkan eksperimentasi lebih dari sebuah film dokumenter, terlepas dari film tersebut adalah film pertama yang dibuat oleh sang sutradara. 

Film ini hadir pula dengan versi panjang yang mengangkat kehidupan dua pengamen lain yang akan segera tayang di bioskop. Jarang-jarang rasanya ada film dokumenter yang bisa masuk bioskop. Gambaran karakter Titi adalah gambaran masyarakat yang umum dijumpai di negeri ini. Kalaupun film ini dianggap mampu keluar dari karakter subjek dan berbicara lebih luas tentang masyarakat kita, maka gambaran itulah yang akan disaksikan sekian banyak orang yang entah akan ditangkap sebagai sekadar simpati, menginspirasi, sedikit gelap atau menangkap semburat optimisme dari orang-orang yang susah hidupnya tapi bisa tetap bahagia dengan bernyayi sepanjang hari.


Kamar Kost, 24 September 2013