Rabu, 25 September 2013

Catatan Singkat Menonton Street Ballad: A Jakarta Story

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan menonton Street Ballad: A Jakarta Story di IFI Yogyakarta bersama seorang kawan. Pada awalnya, saya menonton film ini karena rasa penasaran yang lebih bersifat emosional, bahwa subjek utama dalam film adalah tetangga saya sendiri yang sama-sama berasal dari Ngawi. Film dokumenter bagi saya memiliki tantangan tersendiri untuk tidak membuat bosan penontonnya sehingga saya pun berharap bahwa dokumenter kali ini mampu disajikan dengan tidak membosankan. Dari segi ini, Street Ballad berhasil mengangkat sosok Titi Juwariyah sebagai seseorang pengamen jalanan di Jakarta. Dengan tampilan adegan-adegan yang dibangun naik turun, penonton seringkali ikut tertawa atau larut dalam kesedihan ketika Titi mencurahkan isi hatinya.

Film ini memang diperuntukkan bagi tayangan dokumenter televisi Amerika. Benar saja, adegan pertama ketika Titi menceritakan kehidupannya dengan nada yang terdengar dibuat-buat langsung menggiring saya pada kesan tayangan dokumenter televisi kita yang dikemas sangat dramatis dan penuh air mata. Untungnya, tidak keseluruhan film dituturkan dengan cara yang sama. Penonton masih bisa menikmati variasi tuturan baik dari cerita Titi, orang-orang dekatnya, maupun gambar-gambar dalam film yang berbicara dengan sendirinya.

Sepanjang film berdurasi hampir satu jam tersebut, tampak usaha Daniel Ziv untuk melekatkan subjek dengan kota lengkap dengan segala bentuk permasalahan yang dihadapi seorang Titi. Narasi seperti ini sebenarnya lazim kita temui, bahwasannya persoalan orang-orang pinggiran tersebut masih begitu menarik di mata orang asing. Selama lima tahun kamera mengikuti kehidupan Titi, cerita yang terbangun sebenarnya tidak menawarkan hal baru. Penonton bisa saja kagum dengan sosok Titi, bisa juga bersimpati dengan nasibnya, lalu setelahnya?

Dokumenter ini memuat rekaman momen-momen dalam hidup Titi yang terjadi selama lima tahun sang sutradara mengikuti dan merekam subjeknya. Dalam rentang waktu tersebut, keberadaan kamera seharusnya sudah tidak lagi dirasakan subjek. Namun sebagai penonton, ada kesan-kesan janggal di beberapa adegan ketika kehadiran kamera terasa masih berjarak dan tidak mampu melebur seperti sewaktu Titi mengunjungi keluarga dan anaknya di desa. Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi karena intensitas kamera dengan kota tentu lebih banyak daripada ketika Titi pulang ke kampungnya. Tetapi saya tetap terganggu dengan beberapa adegan seperti ketika Titi membawa kedua orang tua dan anaknya ke sebuah pematang sawah, lalu menyanyikan lagu Wuyung dengan gitar, bapaknya mengelus kepala Titi sementara ibunya menangis sesenggukan mengingat masa kecil Titi. Betapa dramatis!

Kita bisa membayangkan berapa banyak gambar diambil dan berapa banyak sudah dibuang demi mendapatkan momen-momen menarik dalam kehidupan Titi selama rentang waktu pembuatan film. Isian musik dalam film yang cukup banyak dan sebagian berasal dari lagu-lagu ciptaan Titi sebenarnya telah ikut menghidupkan susana, menjadikan beberapa bagian terkesan seperti fiksi drama. Meskipun sebuah dokumenter pasti akan memuat kadar fiksinya sendiri, harapan saya sebagai penonton tetap tertuju bahwa realitas yang hadir adalah realitas yang terkesan wajar, yaitu segala keseharian Titi yang kemungkinan juga berisi rutinitas paling membosankan. 

Kisah Titi mengingatkan saya pada Keluarga Joad dalam novel The Grapes of Wrath karya John Steinbeck. Ketika desa tak mampu lagi menawarkan apapun untuk mengubah hidup sesorang, kota menjadi salah satu harapan, meskipun kehidupan di kota bisa jadi lebih berat. Desa menjadi masa lalu dan kota adalah masa kini dan masa depan. Titi memilih kehidupan keras di kota, lengkap dengan persoalan si suami yang tak bekerja tapi juga tak merelakan Titi hidup di jalanan hingga malam. Setiap hari, Titi naik turun metro mini dan bus kota setelah memandikan anak dan memberinya sarapan. Persolan ekonomi dihadapi karena si suami tidak memiliki penghasilan tetap sementara keluarganya di kampung juga masih membutuhkan kiriman uang. Di kota, ia tinggal di rumah mertuanya yang mewajibkannya mengekan jilbab. Titi dengan bandelnya mengenakannya dari rumah lalu dilepaskannya sebelum mengamen. Karakter Titi tampak kuat dalam adegan ini. Demikian juga ketika ia bicara soal pendidikan atau keharusannya untuk hidup mandiri meskipun menderita.

Gambaran bahwa pendidikan masih menjadi tempat gantungan nasib seseorang tampak muncul di film ini. Bagi Titi, hal yang bisa mengubah nasibnya adalah selembar ijazah. Untuk itulah ia belajar mati-matian demi lulus ujian kejar paket C. Setidaknya ketika ia tidak banyak bisa mengirim uang ke kampung, membawa selembar ijazah adalah kebanggaan tersendiri. Film ini menggambarkan bagaimana Titi berusaha keras untuk belajar, berjuang mengubah nasibnya. Ia membaca buku di bus kota, belajar bersama teman di kamar kontakannya sampai pada akhirnya ia lulus dan berpidato di hari penerimaan ijazah.  

Pertanyaan salah satu penonton di akhir film seakan membuka ruang di balik gambar dan adegan. Jadi apakah Titi sekarang? Kita banyak mendengar kisah pengamen yang tiba-tiba jadi terkenal karena ajang pencaian bakat, ditemukan seorang produser, ditelan industri hiburan lalu tak berapa lama kemudian sudah menghilang. Apa yang didapatkan subjek dalam film ini selama lima tahun hidupnya tak lepas dari kamera? Sang sutradara kemudian bercerita bahwa Titi beberapa kali juga mendapatkan bagian ketika produksi filmnya mendapatkan dana. Meskipun demikian, uang yang didapatkan selalu tak bisa bertahan lama. Entah karena kebutuhan mendesak atau dipinjamkan kepada saudara atau tetangga yang lebih membutuhkan.

Persoalan tentang identitas muncul juga di sesi tanya jawab. Para pengamen, anak jalanan adalah mereka yang selalu mencari identitasnya di tengah hiruk pikuk perkotaan. Karakter Titi dalam usaha mencari identitasnya, salah satunya agar ia menjadi seseorang yang berijazah memang cukup kuat hadir. Hal serupa juga terlihat dari bagaimana ia mengungkapkan pendapat-pendapatnya di beberapa adegan.

Tapi bagi saya yang menarik adalah Daniel sendiri, orang asing yang membuat film pertamanya dengan mengangkat kisah Titi. Apakah karena Daniel orang asing, yang tentu juga menarik bagi Titi sehingga ia mau menerima tawaran sebagai bintang film atas hidupnya sendiri? Selain persoalan dana, yang katanya selalu tekor itu, Daniel menjawab pertanyaan bahwa selama ia membuat film, tak ada kisah-kisah seram seperti diganggu preman. Apakah ini juga karena Daniel orang asing? Jakarta di sepanjang film tampak selalu aman. Kota dan orang-orangnya tampak bersahabat dengan beberapa gambar bernuansa kekuningan. Seseorang yang bertanya seolah tak percaya mengingat Jakarta yang sepengetahuannya begitu menyeramkan.

Film dokumenter akan selalu memuat transisi bahwa yang kita lihat sehari-hari akan tetap menjadi konstruksi. Kita bisa mendapati semacam jenjang dari kehidupan sehari-hari dengan keseharian Titi dalam film. Kamera menangkap keseharian, mengikuti subjek, berlari, menangkap momen-momen, lalu masuk proses editing dan sampai ke penonton yang akan membanding-bandingkan kehidupan dalam film dan kehidupan sebagaimana adanya. Sebagai penonton, saya pun sebenarnya mengharapkan eksperimentasi lebih dari sebuah film dokumenter, terlepas dari film tersebut adalah film pertama yang dibuat oleh sang sutradara. 

Film ini hadir pula dengan versi panjang yang mengangkat kehidupan dua pengamen lain yang akan segera tayang di bioskop. Jarang-jarang rasanya ada film dokumenter yang bisa masuk bioskop. Gambaran karakter Titi adalah gambaran masyarakat yang umum dijumpai di negeri ini. Kalaupun film ini dianggap mampu keluar dari karakter subjek dan berbicara lebih luas tentang masyarakat kita, maka gambaran itulah yang akan disaksikan sekian banyak orang yang entah akan ditangkap sebagai sekadar simpati, menginspirasi, sedikit gelap atau menangkap semburat optimisme dari orang-orang yang susah hidupnya tapi bisa tetap bahagia dengan bernyayi sepanjang hari.


Kamar Kost, 24 September 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar