Hari ini sengaja saya mengikuti sebuah kuliah umum bertema
politik uang dengan pembicara Edward Aspinall dan Mada Sukmajati. Dua-duanya
adalah profesor politik kenamaan, yang disebut pertama berasal dari Australia
dan yang satunya lagi dari negara kita tercinta. Niat mengikuti kuliah
umum itu sebenarnya sebatas menjadikannya pancingan agar saya sedikit demi
sedikit mulai mendekati lagi disiplin ilmu politik yang semakin hari semakin
menjauh dari hidup saya.
Ilmuwan politik luar negeri barangkali memang banyak yang
senang dengan studi komparatif. Tampaknya mereka itu tak pernah kekurangan
biaya riset, bahkan sampai dibuang-buang dan dijadikan bahan proyek kerjasama
di sini. Kita bisa bayangkan berapa banyak biaya untuk penelitian yang
dilakukan di banyak negara. Aspinall sendiri melakukan risetnya di beberapa
negara yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina. Inti dari risetnya
adalah mencari modus-modus politik uang dalam pemilu di negara-negara tersebut.
Istilah politik uang ternyata juga dikenal di lain negara.
Di awal presentasinya, Aspinall memperlihatkan beberapa spanduk berisi kampanye politik dan pesan-pesan untuk menolak politik uang. Di Penang misalnya,
Aspinall memperlihatkan sebuah spanduk bertuliskan, “Tolak Politik Wang.” Kalau di Indonesia ada yang dinamakan“serangan
fajar”, istilah serupa ternyata juga ditemukan di Thailand dengan sebuatan “the night of the barking dogs”, atau di
Papua Nugini yang dikenal dengan istilah “malam setan”. Istilah-istilah
tersebut biasanya mengacu pada kondisi sebelum pemilihan dimana uang mulai
disebar kepada pemilih agar mereka memilih kandidat tertentu.
Dalam politik uang, muncul istilah patronase dengan ciri
penggunaan sumber-sumber material. Modusnya bisa bermacam-macam mulai dari
dibagi secara langsung kepada pemilih, diberikan kepada orang yang berpengaruh,
atau disampaikan kepada komunitas tertentu dalam jumlah yang terbatas: misalnya
sumbangan semen untuk pembangunan jalan. Istilah lain dalam politik uang yang
kerap muncul adalah klientelisme. Istilah ini mengacu pada jaringan yang
digunakan untuk pendistribusian materal tersebut. Bentuknya bisa dari patron ke
klien atau face to face (hubungan
yang saling kenal, ada mekanisme pertukaran, loyalitas, dsb).
Apa yang kemudian diperbandingkan dari banyak negara yang
menjadi fokus kajian adalah kapan bentuk-bentuk
tertentu dianggap efektif dan kapan politisi akan mengambil strategi lain; bagaimana bentuk-bentuk jaringan yang muncul, dan perbandingan penyebab serta
dampak dari politik uang di masing-masing daerah.
Studi literatur banyak menyebutkan bahwa politik uang di
Filipina cenderung dimainkan olah klan, di Indonesia lebih banyak karena
pengaruh bos lokal dan politik dinasti, di Thailand dimainkan oleh broker
sementara di Malaysia muncul karena kebijakan dan mekanisme partai.
Di Indonesia, jaringan yang dipakai biasa disebut dengan “tim
sukses”. Ada banyak ragam istilah yang mengacu pada struktur yang mirip,
seperti di NTT disebut sebagai “tim keluarga”. Tim Sukses merupakan struktur
yang fungsi dasarnya menghubungkan calon dan pemilih lewat beberapa level mulai
dari tim inti yang kemudian dibagi secara teritorial (koordinator kecamatan,
koordinator desa, koordinator TPS, sampai relawan yang langsung berhubungan
dengan pemilih). Struktur ini digambarkan mirip dengan piramida dan hampir
bisa ditemukan di banyak daerah di Indonesia yang kemudian disebut Aspinall sebagai “brokerage pyramid”.
Siapakah para tim sukses ini? Mereka adalah orang awam yang
memiliki skill tertentu, orang yang
memiliki dana seperti kontraktor dengan kepentingan jelas: mendapat proyek
setelah si calon menang, dan orang-orang yang memiliki pengaruh di masyarakat. Mereka
yang tergabung dalam tim pemenangan calon berfungsi untuk mengetahui preferensi
pemilih (yang mendukung, yang abu-abu, yang menolak), serta mengidentifikasi apa yang
mereka butuhkan.
Muncul dilema ketika seorang calon terlalu bergantung pada
anggota tim. Bagaimana menjaga loyalitas mereka? Orang yang bergabung dalam tim
tentu memiliki motivasi yang bermacam-macam. Aspinall memilahnya menjadi tiga.
Pertama, aktivist broker yang
mendukung calon karena kedekatan ideologi, hubungan keluarga, kesamaan etnis,
dimana mereka cenderung setia terhadap calon. Kedua, clientelist broker yang motivasi utamanya adalah materi tetapi
berorientasi pada masa depan. Mereka biasanya bergabung ke calon yang memiliki
peluang untuk menang. Ketiga, opportunist
broker yang bergabung dengan seorang calon dengan kalkulasi jangka pendek.
Mereka biasanya bergabung ke calon yang memiliki banyak uang.
Permasalahannya kemudian adalah struktur tim sukses tersebut
menjadi sangat rapuh. Dua persoalan yang sering muncul dikategorikan Aspinall
dalam predation dan defection. Predation terkait dengan semua perilaku predatory macam korupsi, pencurian, penipuan, intinya adalah mereka
yang memakan uang calon untuk kepentingannya sendiri. Sementara defection merupakan sebutan untuk mereka
yang bermain di dua kaki, perilaku pengkhianatan, dan sebagainya.
Pada bagian selanjutnya, Aspinall menyampaikan rencana riset
kerjasama dengan Polgov untuk melakukan penelitian terkait praktik politik uang
di 30 daerah di Indonesia termasuk tingkat 1, tingkat 2 dan 3. Riset ini akan
melibatkan 60 orang peneliti dengan metode observasi langsung, pendampingan
atau shadowing terhadap anggota tim
dan wawancara. Fokus risetnya adalah melihat struktur tim dan strategi
pemenangan calon serta penggunaan jaringan, baik formal maupaun informal. Hayo,
buat yang mau nulis tesis atau skripsi terkait bisa kontak-kontak Polgov.
Tidak ada yang mengejutkan dari temuan Aspinall. Entah
karena politik yang sudah tidak seksi lagi seperti pacar senja yang sekarang
sering kehujanan atau karena saya yang sedang suka sinis saja.
Saya tak memperhatikan moderatornya berbicara. Mari kita
lanjutkan, mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Prof. Mada. Saya tak akan berpanjang
lebar menuliskannya. Intinya adalah melawan politik uang bisa dilakukan dengan
meningkatkan rasionalitas pemilih. Caranya? Polgov saat ini sedang
mengembangkan instrumen yang disebut dengan rasiometri. Apakah itu? Semacam
pendidikan politik dimana seorang pemilih akan memilih berdasaran informasi
yang didapatkannya: mulai dari mengumpulkan informasi, mengolah informasi
sampai menentukan keputusan.
Sebenarnya banyak hal yang membuat saya tambah buntu dengan
ide-ide seperti ini. Tapi ya apa boleh buat. Saya sangat salut dengan semua
pihak yang masih optimis bahwa negara ini bisa diperbaiki. Sip lah pokoknya.
Pertanyaan-pertanyaan diskusi sebenarnya sangat menarik tapi
tak banyak yang bisa ditanggapi dalam forum. Teman saya seangkatan yang mirip
intel lengkap dengan penyamarannya menggunakan rambut palsu itu ternyata cukup
setia mengikuti kuliah sampai sesi pertanyaan tiba. Ia duduk paling belakang,
dipojokan, dan tak terlihat. Dia itu benar-benar seperti intel dengan kebiasaan
mencurigakan: langsung menghilang setelah kelas usai. Kali ini dia
berkomentar bahwa temuanmu itu, wahai Aspinall, hanya sedikit saja yang bisa
menggambarkan realitas yang sebenarnya. Ia lalu menyodorkan fakta-fakta yang seolah-olah
berasal dari tim sukses itu sendiri.
Satu lagi teman seangkatan saya angkat bicara. Ia bercerita tentang hasil temuan risetnya bahwa duit yang dibagikan saat pemilu bisa
demikian beragamnya di setiap daerah, berkisar dari 50 sampai 100 ribu untuk
daerah Jawa, bisa sampai 500 ribu per kepala untuk daerah Buton, apa Belitung
ya? Haduh, saya kurang menyimak.
Bapak-bapak yang sedang studi S3 di Brawijaya berkomentar
juga. Betapa tidak enaknya ketika ia harus mempresentasikan hasil risetnya,
yang juga berarti membuka banyak kejelekan negerinya, beberapa hari lagi di Flinders
University.
Beberapa hal barangkali luput dari catatan karena obrolan
saya dengan teman yang duduk di sebelah soal riset tesisnya. Wow, dia masih baca Hegel sodara-sodara.
Luar biasa! Tidak sopannya, dia langsung pergi begitu saja setelah mengatakan
pada saya bahwa dia punya koleksi seratus film yang harus ditonton sebelum
mati.
Sungguh tulisan ini tidak seperti judulnya. Harusnya diberi
judul “Manambah Sumpek”. Hari ini saya seperti ditampar juga. Begitu lho seharusnya anak politik itu, mari
bicara patronase, mari bicara politik uang, mari bicara rasiometri, lalu
ngapain saya ini muter-muter Rusia mencari bagaimana pabrik cinema mencetak
bentuk film-filmnya, melakukan sensor, mengganyang film-film luar, merancang
tema-tema tertentu yang harus disetujui negara. Sebenarnya ini juga politik
yang mirip dengan apa yang ada di buku Khrisna Sen itu. Ah, ndak ngerti saya. Mari bobok saja.
Kamar Kost, 16 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar