Suatu kali aku terbangun dengan pipi yang berubah menjadi
insang. Karena merasa sesak dan kesulitan bernafas, aku berlari menuju kamar
mandi, mencelupkan wajahku ke dalam air dan baru merasa lega kembali. Sejak
saat itu aku harus hidup di air. Aku berusaha bertahan di darat dengan sebuah
toples berisi air di kepalaku. Kalau kau pernah melihat Spongebob berkunjung ke
rumah Shandy si tupai, begitulah aku menirunya untuk bertahan hidup di darat sementara.
Aku tak bisa berhenti menangis dan tak tahu apa yang harus
kulakukan. Dengan terpaksa aku tinggal di sebuah kolam ikan di belakang kostan
yang ditinggalkan pemiliknya. Kolam itu kotor, penuh lumpur dan sedikit berbau
busuk. Aku terus saja menangis karena ingin sekali mengabarkan keadaanku
kepadamu. Sehari saja tak ada kabar dariku, rupanya kau sudah mencariku. Memang
sedikit aneh karena biasanya kita sering tak saling memberi kabar dan
seolah-olah tak ada yang terjadi.
Kau benar-benar datang mencariku. Aku mendengar suara motor
Shogun birumu berhenti di samping kost yang kebetulan dekat dengan kolam
tempatku hidup sekarang. Tiba-tiba saja kau menengok ke arah kolam dan
melihatku. Kau begitu kaget dan mulai mendekat. Aku hanya bisa sedikit saja
memperlihatkan wajahku ke permukaan. Ah, rasanya kita sama-sama ingin berciuman
tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kau mencondongkon tubuh dan kepalamu ke
arah kolam tapi kita tetap tak bisa berciuman.
Lama kita berusaha agar bibir-bibir bisa saling bersentuhan
tapi segala upaya sepertinya tak akan berhasil. Putus asa dengan usahamu, kau
lalu menyuruhku segera mengenakan toples dan memboncengku dengan Shogun birumu,
motor legendaris yang barangkali pernah memuat sekian banyak bokong perempuan
sebelum aku datang. Jarak antara kostku dan kontrakanmu memang tak begitu jauh.
Kau menurunkanku di sebuah kolam lain, bersama ikan-ikan yang dipelihara orang
untuk usaha restoran dengan tempat-tempat makan mengambang di permukaannya. Air
di sini memang lebih bersih tapi itu tetap saja tak bisa membuatku nyaman. Seorang
kawan mendadak datang membawa seperangkat peralatan musik. Kebetulan kawan yang
kita kenal itu memang sedang masyur dengan bandnya. Dia menyanyikan sebuah lagu
untuk kita. “Duduk. Berdua. Di pinggir kolam. Ikan-ikan Berenang di kaki
kita....” Lalu kau hanya bisa mencium toples di kepalaku setelah lagu itu
selesai dinyanyikan.
Aku terbangun dan geragapan. Rupanya itu hanya mimpi setelah
sebelumnya kita pernah mengkhayalkan hal serupa terjadi. Setelah bercinta,
imajinasi kita seringkali melayang kemana-mana, dalam cerita-cerita komik, atau
hanya khayalan-khalayan dari antah berantah.
Seperti biasa, sepagi kau berjuang mengeluarkan dahak dan
melawan sesak. Setelahnya seharian kita terus saja tidak melakukan apa-apa
kecuali membaca novel atau tenggelam dalam film-film. Kau banyak berkometar
tentang Wong Kar Wai setelah menonton As
Tears Go By, Days of Being Wild
dan In The Mood for Love. Kau selalu
melihat film-film itu dengan detail. Kau mengagumi bokong Maggie Cheung,
menemukan properti seperti lampu dan kipas angin yang selalu hadir dari film ke
film, juga menganalisa warna kertas dinding dan segala bentuk penataan ruang
lainnya yang benar-benar dipikirkan oleh art
director maupun sutradara. Kau bilang juga bahwa semua tulisan tentang film
tidak akan sebanding dengan segala yang ada dalam film itu. Ya, itu benar, Bahkan
Bazin sendiri mengakui bahwa menulis film itu sebenarnya hal yang sangat sulit.
Apalagi tulisanku yang cuma bisa bikin hoaks orang yang membacanya.
Kita sempat saling diam ketika aku tak merasa perlu untuk
mengurusmu saat sakit seperti itu. Kadang aku merasa sangat tidak ingin
membahagianmu. Kepastian akan akhir dari kitalah yang membuatku seperti itu. Tapi
ketika saling diam, sebentar saja, sudah membuatku demikian tak enak hati. Si
Mbok malah menanyakanmu dalam teleponnya dan akupun bergegas menemuimu. Paginya,
kau meninggalkanku dengan sisa sakitmu. Aku mengantarmu ke stasiun menuju
Surabaya demi sebuah kesenangan mengerjai Maba. Aku tak rela kau pergi, tapi
siapakah aku yang bisa tidak mengizinkanmu berangkat? Sudahlah.
Setidaknya hari ini pipiku tidak dikutuk berubah menjadi
insang. Entah kenapa aku semakin keterlaluan bahkan kadang tidak mempu
mengontrol diri. Semakin banyak perkataan bodoh, kelakuan gila, aku ingin
menemui Si Mbok dan mencium kakinya. Tak mengapa jika mukaku sekalian di sepak,
siapa tahu aku bisa melihat surga di sana.
Kamar Kost, Jumat 13
September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar