Jumat, 13 September 2013

Sekadarnya Cerita

Suatu kali aku terbangun dengan pipi yang berubah menjadi insang. Karena merasa sesak dan kesulitan bernafas, aku berlari menuju kamar mandi, mencelupkan wajahku ke dalam air dan baru merasa lega kembali. Sejak saat itu aku harus hidup di air. Aku berusaha bertahan di darat dengan sebuah toples berisi air di kepalaku. Kalau kau pernah melihat Spongebob berkunjung ke rumah Shandy si tupai, begitulah aku menirunya untuk bertahan hidup di darat sementara. 

Aku tak bisa berhenti menangis dan tak tahu apa yang harus kulakukan. Dengan terpaksa aku tinggal di sebuah kolam ikan di belakang kostan yang ditinggalkan pemiliknya. Kolam itu kotor, penuh lumpur dan sedikit berbau busuk. Aku terus saja menangis karena ingin sekali mengabarkan keadaanku kepadamu. Sehari saja tak ada kabar dariku, rupanya kau sudah mencariku. Memang sedikit aneh karena biasanya kita sering tak saling memberi kabar dan seolah-olah tak ada yang terjadi.

Kau benar-benar datang mencariku. Aku mendengar suara motor Shogun birumu berhenti di samping kost yang kebetulan dekat dengan kolam tempatku hidup sekarang. Tiba-tiba saja kau menengok ke arah kolam dan melihatku. Kau begitu kaget dan mulai mendekat. Aku hanya bisa sedikit saja memperlihatkan wajahku ke permukaan. Ah, rasanya kita sama-sama ingin berciuman tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kau mencondongkon tubuh dan kepalamu ke arah kolam tapi kita tetap tak bisa berciuman.

Lama kita berusaha agar bibir-bibir bisa saling bersentuhan tapi segala upaya sepertinya tak akan berhasil. Putus asa dengan usahamu, kau lalu menyuruhku segera mengenakan toples dan memboncengku dengan Shogun birumu, motor legendaris yang barangkali pernah memuat sekian banyak bokong perempuan sebelum aku datang. Jarak antara kostku dan kontrakanmu memang tak begitu jauh. Kau menurunkanku di sebuah kolam lain, bersama ikan-ikan yang dipelihara orang untuk usaha restoran dengan tempat-tempat makan mengambang di permukaannya. Air di sini memang lebih bersih tapi itu tetap saja tak bisa membuatku nyaman. Seorang kawan mendadak datang membawa seperangkat peralatan musik. Kebetulan kawan yang kita kenal itu memang sedang masyur dengan bandnya. Dia menyanyikan sebuah lagu untuk kita. “Duduk. Berdua. Di pinggir kolam. Ikan-ikan Berenang di kaki kita....” Lalu kau hanya bisa mencium toples di kepalaku setelah lagu itu selesai dinyanyikan.

Aku terbangun dan geragapan. Rupanya itu hanya mimpi setelah sebelumnya kita pernah mengkhayalkan hal serupa terjadi. Setelah bercinta, imajinasi kita seringkali melayang kemana-mana, dalam cerita-cerita komik, atau hanya khayalan-khalayan dari antah berantah.

Seperti biasa, sepagi kau berjuang mengeluarkan dahak dan melawan sesak. Setelahnya seharian kita terus saja tidak melakukan apa-apa kecuali membaca novel atau tenggelam dalam film-film. Kau banyak berkometar tentang Wong Kar Wai setelah menonton As Tears Go By, Days of Being Wild dan In The Mood for Love. Kau selalu melihat film-film itu dengan detail. Kau mengagumi bokong Maggie Cheung, menemukan properti seperti lampu dan kipas angin yang selalu hadir dari film ke film, juga menganalisa warna kertas dinding dan segala bentuk penataan ruang lainnya yang benar-benar dipikirkan oleh art director maupun sutradara. Kau bilang juga bahwa semua tulisan tentang film tidak akan sebanding dengan segala yang ada dalam film itu. Ya, itu benar, Bahkan Bazin sendiri mengakui bahwa menulis film itu sebenarnya hal yang sangat sulit. Apalagi tulisanku yang cuma bisa bikin hoaks orang yang membacanya.

Kita sempat saling diam ketika aku tak merasa perlu untuk mengurusmu saat sakit seperti itu. Kadang aku merasa sangat tidak ingin membahagianmu. Kepastian akan akhir dari kitalah yang membuatku seperti itu. Tapi ketika saling diam, sebentar saja, sudah membuatku demikian tak enak hati. Si Mbok malah menanyakanmu dalam teleponnya dan akupun bergegas menemuimu. Paginya, kau meninggalkanku dengan sisa sakitmu. Aku mengantarmu ke stasiun menuju Surabaya demi sebuah kesenangan mengerjai Maba. Aku tak rela kau pergi, tapi siapakah aku yang bisa tidak mengizinkanmu berangkat? Sudahlah.

Setidaknya hari ini pipiku tidak dikutuk berubah menjadi insang. Entah kenapa aku semakin keterlaluan bahkan kadang tidak mempu mengontrol diri. Semakin banyak perkataan bodoh, kelakuan gila, aku ingin menemui Si Mbok dan mencium kakinya. Tak mengapa jika mukaku sekalian di sepak, siapa tahu aku bisa melihat surga di sana.  


Kamar Kost, Jumat 13 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar