Rabu, 04 September 2013

Cerita Sekadarnya

Kau datang pada kemarau dengan udara begitu dingin di pagi hari. Aku menjemputmu. Begitu saja kita kembali bertemu. Wajahmu kusut dan mengkilap berlumur asap bus kota. Ingin sekali rasanya aku tak mengenalmu lagi. Tapi segalanya kembali berjalan seperti biasa. Aku membantumu membersihkan kamar sementara kau menyeduh dua gelas kopi robusta Bali. Ada lagu dari gitar tanpa senar ketiga. Sebentar cium, masih bau asap bus kota. Seteguk peluk, sedikit menyisa aroma perempuan sepanjang perjalanan. Setelah kasur dijemur, menuntaskan pekerjaan tangan.

Kau membawakanku buku-buku. Novel-novel Duras, Proust, dan kumpulan cerpen Akutagawa. Aku sedang malas membacanya. Di sebelah kamarmu, seorang kekasih yang baik membuat kristik, menjalin benang bersilang-silang membentuk beruang lucu demi sebuah kado ulang tahun gadisnya. Ide untuk membahagiakan orang lain memang luar biasa, katamu. Tentu saja kau tak perlu melakukannya untukku. Aku cukup bahagia ketika kau berkenan mengunduh film-film apa saja yang kuinginkan.

Aku selalu ingin memperlakukanmu sebagai orang asing. Maka jangan heran kalau aku menonton Hiroshima, mon amour dengan reaksi seperti itu, meringkuk tanpa ekspresi di depan laptop. Alain Resnais selalu memukau dengan montase-montase cerdasnya. Sejak Night and Fog (1955) dan Last Year at Marienbad (1961), Resnais terlihat kerap mengeksplorasi waktu, fantasi dan ingatan, mengolah masa lalu dan masa depan. Namun dalam Hiroshima, mon amour, emosi yang solid menjadi semacam dasar yang kuat untuk membuatku terpaku atas gambar dan dialog dalam film itu sampai-sampai aku tak bisa menjelaskannya kepadamu. Film itu seperti menguasai, memakanku mentah-mentah dan pada akhirnya membuat seolah-olah aku telah mengerti sesuatu. Padahal, ketika gambar-gambar yang lekat itu menghilang, aku kembali merasa tak mengerti apapun. Bagimu barangkali itu hanya film membosankan tentang cinta-cintaan yang menye-menye. Entahlah.

Aku memang ingin kita saling merasa asing. Karenanya aku selalu menceritakan sesuatu dengan sepotong-sepotong. Kau tak akan mengerti apapun demikian juga denganku. Mencurahkan perasaan seolah-olah hanya akan membuatku semakin dekat.Bertahun-tahun kemudian, ketika aku telah melupakanmu, semua cerita dan tulisan tentangmu hanya akan menjadi simbol kisah untuk ditertawakan dan dilupakan. Karena selain kematian, satu hal yang pasti adalah bahwa kita akan berakhir.

Betapapun menyedihkannya kelak, saat ini kita masih bisa menertawakannya. Pada sebuah perbincangan sebelum makan malam, ketika kau memintaku mengambilkan nasi untuk piringmu, aku bercerita tentang tokoh utama novel Michelle. Begitulah, kita tidak akan menikah karena tak rela anak kita kelak bernasib nggrantes seperti tokoh utama novel itu. Bukankah ayah dan ibunya menikah beda agama? Hindu dan Islam pula.

Maka jalan satu-satunya untuk mengakhiri hubungan kita adalah dengan aku memakai legging bunga-bunga. Hahaha. Di jalanan, kita sering melihat mbak-mbak dengan legging bunga-bunga lalu kau bilang kita akan putus kalau aku memakainya. Ah, hanya dengan begitu kita masih bisa tertawa-tawa di lampu-lampu merah, pada setiap pemberhentian dan jeda. Di atas segala ekspektasi orang bahwa kita akan berakhir karena beda agama, atau karena tak direstui orang tua, dan ternyata pada akhirnya hanya karena aku memakai legging bunga-bunga.

Menonton film terbaru Wong Kar Way selalu mampu menciptakan efek khusus. Kita pun menamainya “Wkwkwkwkwkwkw...Effect” yang merupakan kependekan dari nama sutradara itu. The Grandmaster adalah versi lain atas dua film yang pernah dibuat tentang kisah kepahlawaan guru silat pertama China yang mengajar aliran Wing Chun. Dua film pertama berating 8,1 dan 7,5 di IMDb sedangkan film Wong Kar Way hanya mendapakan 6,6 saja. Peduli setan dengan rating. Kita tetap bisa menikmatinya dan menemukan sekian banyak adegan film lain dalam The Grandmaster: ada ciuman gaya Spiderman, gaya bertarung The Matrix dan Kungfu Hustle, stasiun kereta Harry Potter, dan sekian banyak film lain. Telapak tanganku pun jadi demikian terlatih menangkis seranganmu setelah menonton film itu. Betapa menyenangkan kebodohan-kebodohan kita.

Aku masih mendengarkan soundtrack film Magnolia. Aimee Mann sedang melantunkan lagu tentang angka satu yang paling kesepian. Kau datang menjemputku untuk bermalam minggu. Bercelana pendek dan belum mandi sementara aku begitu cantik dan wangi. Kau harus menunggui sebuah film selesai diunduh sebelum buru-buru menjemputku yang sudah kelaparan. Aku sendiri tak habis pikir kenapa aku mau dengan orang sepertimu. Kita makan dengan menu paling sederhana di akhir bulan. Kau sumpek karena tak juga tergerak untuk mengerjakan tanggungan proposal. Sama halnya sepertiku. Terus saja kau bicara tentang kesumpekanmu. Aku diam mendengarkan meskipun dalam hati bergemuruh entah karena apa. Tapi pada akhirnya kita tetap bersama menonton pertunjukan di tempat yang cukup jauh dari kota ini.

Mereka melakukan pertunjukan musik cangkem. Eksplorasi dilakukan dengan menyanyikan lagu-lagu dolanan yang sederhana dengan nada-nada dan perubahan bentuk lagu yang unik. Pertunjukan paruh pertama masih bisa dinikmati meskipun kita datang terlambat. Penonton penuh bahkan sampai tumpah. Pada paruh kedua, para penampil mulai aneh-aneh. Aku sendiri masih bisa menikmati suluk dan mantra kalacakara yang didengungkan pelan tapi dalam tempo cepat. Pertunjukan semakin terasa aneh ketika para perempuan berlagak berada di sebuah pesta dan mulai memainkan air dengan tenggorokan mereka. Tambah aneh lagi ketika dua orang saling beradu tanda dengan desah dan bahasa mata sambil memukul-mukul meja.

Aku mengagumi ide pertunjukan malam itu meski eksekusinya tak seperti yang diharapkan. Barangkali memang aku yang terlalu tinggi mengharapkan sesuatu yang mengejutkan bisa muncul. Kau yang orang Bali ikut ngamuk ketika ada gerakan tangan khas tari Bali seolah-olah diperlakukan semena-mena. Dalam hal-hal tertentu kau memang sedikit berlebihan. Kalau menurutku, meskipun mereka menggerakkan tangan seperti itu, tidak semata-mata menempatkannya dalam konteks tarian yang khusus. Mungkin bisa dibilang hanya semacam meminjam gerakan untuk digunakan sesuai dengan pesan yang ingin mereka sampaikan. Aku sendiri tak banyak mengerti tentang seni pertunjukan, juga orang-orang musikologi yang dengan rendah hati masih bersedia mengeksplorasi suara-suara dari mulut mereka sendiri. Selalu ada batas yang membuatku bertanya-tanya apakah hanya sampai di sana? Padahal seharusnya tentu bisa lebih dari sekadar itu.

Menemui kawan yang juga sama-sama kesepian menjadi salah satu rutinitas kita setelah makan malam. Sejak kedatanganmu, sudah dua kali kita menyambangi kostnya, minta kopi dan camilan. Senang rasanya punya teman seorang musisi masyur. Kita mendengarkan lagunya yang seram-seram penuh cinta. Selalu teman kita yang satu itu punya bahan bercanda yang membuat kita bisa tertawa. Setelah guyonan rasisnya, ia bercerita bagaimana ia mengalami dementia setelah menonton film-film tahun 50-an dan 60-an dariku. Dipertengahan film, ia kehilangan dirinya, siapa namanya, darimana ia berasal, dan teman sebelah kamarnya kemudian membantunya kembali mengenal kata-kata. Dia belajar bahwa benda-benda itu disebut pintu, gelas, meja.    

Sudah siang lagi di kontrakanmu. Semalam tanpa mimpi aku terlelap. Sampai dikostan, hardisk berisi film tak bisa dibuka. Maka demikianlah curhat kali ini harus diakhiri. Aku tak bisa berpikir lagi.


Kamar Kost, 4 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar