Kau datang pada kemarau dengan udara begitu dingin di pagi
hari. Aku menjemputmu. Begitu saja kita kembali bertemu. Wajahmu kusut dan
mengkilap berlumur asap bus kota. Ingin sekali rasanya aku tak mengenalmu lagi.
Tapi segalanya kembali berjalan seperti biasa. Aku membantumu membersihkan
kamar sementara kau menyeduh dua gelas kopi robusta Bali. Ada lagu dari gitar
tanpa senar ketiga. Sebentar cium, masih bau asap bus kota. Seteguk peluk,
sedikit menyisa aroma perempuan sepanjang perjalanan. Setelah kasur dijemur,
menuntaskan pekerjaan tangan.
Kau membawakanku buku-buku. Novel-novel Duras, Proust, dan
kumpulan cerpen Akutagawa. Aku sedang malas membacanya. Di sebelah kamarmu,
seorang kekasih yang baik membuat kristik, menjalin benang bersilang-silang membentuk
beruang lucu demi sebuah kado ulang tahun gadisnya. Ide untuk membahagiakan
orang lain memang luar biasa, katamu. Tentu saja kau tak perlu melakukannya
untukku. Aku cukup bahagia ketika kau berkenan mengunduh film-film apa saja
yang kuinginkan.
Aku selalu ingin memperlakukanmu sebagai orang asing. Maka
jangan heran kalau aku menonton Hiroshima,
mon amour dengan reaksi seperti itu, meringkuk tanpa ekspresi di depan
laptop. Alain Resnais selalu memukau dengan montase-montase cerdasnya. Sejak Night and Fog (1955) dan Last Year at Marienbad (1961), Resnais
terlihat kerap mengeksplorasi waktu, fantasi dan ingatan, mengolah masa lalu
dan masa depan. Namun dalam Hiroshima,
mon amour, emosi yang solid menjadi semacam dasar yang kuat untuk membuatku
terpaku atas gambar dan dialog dalam film itu sampai-sampai aku tak bisa
menjelaskannya kepadamu. Film itu seperti menguasai, memakanku mentah-mentah
dan pada akhirnya membuat seolah-olah aku telah mengerti sesuatu. Padahal,
ketika gambar-gambar yang lekat itu menghilang, aku kembali merasa tak mengerti
apapun. Bagimu barangkali itu hanya film membosankan tentang cinta-cintaan yang
menye-menye. Entahlah.
Aku memang ingin kita saling merasa asing. Karenanya aku
selalu menceritakan sesuatu dengan sepotong-sepotong. Kau tak akan mengerti
apapun demikian juga denganku. Mencurahkan perasaan seolah-olah hanya akan
membuatku semakin dekat.Bertahun-tahun kemudian, ketika aku telah melupakanmu,
semua cerita dan tulisan tentangmu hanya akan menjadi simbol kisah untuk
ditertawakan dan dilupakan. Karena selain kematian, satu hal yang pasti adalah
bahwa kita akan berakhir.
Betapapun menyedihkannya kelak, saat ini kita masih bisa
menertawakannya. Pada sebuah perbincangan sebelum makan malam, ketika kau
memintaku mengambilkan nasi untuk piringmu, aku bercerita tentang tokoh utama
novel Michelle. Begitulah, kita tidak akan menikah karena tak rela anak kita
kelak bernasib nggrantes seperti tokoh
utama novel itu. Bukankah ayah dan ibunya menikah beda agama? Hindu dan Islam
pula.
Maka jalan satu-satunya untuk mengakhiri hubungan kita
adalah dengan aku memakai legging bunga-bunga. Hahaha. Di jalanan, kita sering
melihat mbak-mbak dengan legging bunga-bunga lalu kau bilang kita akan putus
kalau aku memakainya. Ah, hanya dengan begitu kita masih bisa tertawa-tawa di
lampu-lampu merah, pada setiap pemberhentian dan jeda. Di atas segala
ekspektasi orang bahwa kita akan berakhir karena beda agama, atau karena tak
direstui orang tua, dan ternyata pada akhirnya hanya karena aku memakai legging
bunga-bunga.
Menonton film terbaru Wong Kar Way selalu mampu menciptakan
efek khusus. Kita pun menamainya “Wkwkwkwkwkwkw...Effect” yang merupakan kependekan dari nama sutradara itu. The Grandmaster adalah versi lain atas
dua film yang pernah dibuat tentang kisah kepahlawaan guru silat pertama China yang
mengajar aliran Wing Chun. Dua film pertama berating 8,1 dan 7,5 di IMDb
sedangkan film Wong Kar Way hanya mendapakan 6,6 saja. Peduli setan dengan
rating. Kita tetap bisa menikmatinya dan menemukan sekian banyak adegan film
lain dalam The Grandmaster: ada
ciuman gaya Spiderman, gaya bertarung The Matrix dan Kungfu Hustle, stasiun
kereta Harry Potter, dan sekian banyak film lain. Telapak tanganku pun jadi
demikian terlatih menangkis seranganmu setelah menonton film itu. Betapa
menyenangkan kebodohan-kebodohan kita.
Aku masih mendengarkan soundtrack
film Magnolia. Aimee Mann sedang
melantunkan lagu tentang angka satu yang paling kesepian. Kau datang
menjemputku untuk bermalam minggu. Bercelana pendek dan belum mandi sementara
aku begitu cantik dan wangi. Kau harus menunggui sebuah film selesai diunduh
sebelum buru-buru menjemputku yang sudah kelaparan. Aku sendiri tak habis pikir
kenapa aku mau dengan orang sepertimu. Kita makan dengan menu paling sederhana
di akhir bulan. Kau sumpek karena tak juga tergerak untuk mengerjakan
tanggungan proposal. Sama halnya sepertiku. Terus saja kau bicara tentang
kesumpekanmu. Aku diam mendengarkan meskipun dalam hati bergemuruh entah karena
apa. Tapi pada akhirnya kita tetap bersama menonton pertunjukan di tempat yang
cukup jauh dari kota ini.
Mereka melakukan pertunjukan musik cangkem. Eksplorasi dilakukan dengan menyanyikan lagu-lagu dolanan
yang sederhana dengan nada-nada dan perubahan bentuk lagu yang unik.
Pertunjukan paruh pertama masih bisa
dinikmati meskipun kita datang terlambat. Penonton penuh bahkan sampai tumpah.
Pada paruh kedua, para penampil mulai aneh-aneh. Aku sendiri masih bisa menikmati suluk dan mantra
kalacakara yang didengungkan pelan tapi dalam tempo cepat. Pertunjukan semakin terasa aneh ketika para perempuan berlagak berada di
sebuah pesta dan mulai memainkan air dengan tenggorokan mereka. Tambah
aneh lagi ketika dua orang saling
beradu tanda dengan desah dan bahasa mata sambil memukul-mukul meja.
Aku mengagumi ide
pertunjukan malam itu meski eksekusinya tak seperti yang diharapkan. Barangkali
memang aku yang terlalu tinggi mengharapkan sesuatu yang mengejutkan
bisa muncul. Kau yang orang Bali
ikut ngamuk ketika ada gerakan tangan khas tari Bali seolah-olah diperlakukan semena-mena. Dalam
hal-hal tertentu kau memang sedikit berlebihan. Kalau menurutku, meskipun
mereka menggerakkan tangan seperti itu, tidak semata-mata menempatkannya dalam konteks tarian yang khusus. Mungkin bisa
dibilang hanya semacam meminjam gerakan untuk digunakan sesuai dengan pesan yang
ingin mereka sampaikan. Aku sendiri tak banyak mengerti tentang seni
pertunjukan, juga orang-orang musikologi yang dengan rendah hati masih bersedia
mengeksplorasi suara-suara dari mulut mereka sendiri. Selalu ada batas yang
membuatku bertanya-tanya
apakah hanya sampai di sana? Padahal seharusnya tentu bisa lebih dari sekadar itu.
Menemui kawan
yang juga sama-sama kesepian menjadi salah satu rutinitas kita setelah makan
malam. Sejak kedatanganmu, sudah dua kali kita menyambangi kostnya, minta kopi
dan camilan. Senang rasanya punya teman seorang musisi masyur. Kita
mendengarkan lagunya yang seram-seram penuh cinta. Selalu
teman kita yang satu itu punya bahan bercanda yang membuat kita bisa tertawa. Setelah
guyonan rasisnya, ia bercerita bagaimana ia mengalami dementia setelah menonton
film-film tahun 50-an dan 60-an dariku. Dipertengahan film, ia kehilangan
dirinya, siapa namanya, darimana ia berasal, dan teman sebelah kamarnya
kemudian membantunya kembali mengenal kata-kata. Dia belajar bahwa benda-benda
itu disebut pintu, gelas, meja.
Sudah siang lagi
di kontrakanmu. Semalam tanpa mimpi aku terlelap. Sampai dikostan,
hardisk berisi film tak bisa dibuka. Maka demikianlah curhat kali ini harus
diakhiri. Aku tak bisa berpikir lagi.
Kamar Kost, 4 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar