Keberadaan yang
semakin membusuk membuat saya mengingat sebab musabab segala hal di rumah kost
ini. Orang-orang datang membawa cerita lalu pergi setelah menyelesaikan
kuliahnya atau pindah. Silakan tanya saya kalau kalian melihat
pemandangan-pemandangan ganjil di rumah ini. Jaring-jaring berwarna biru yang
dipasang di atas meja makan bulat itupun ada sebabnya. Dulu, atap di atas meja
menjadi rumah bagi kelelawar yang datang tiap malam dan membikin kotor meja
tiap pagi. Lalu dipasanglah jaring-jaring itu agar kelelawar tak bisa
menggelantungkan dirinya pada kayu-kayu penyangga genting.
Kalian juga
boleh tanya kenapa ada lampu terpasang di tempat yang tidak penting seperti
itu. Sebabnya masih tentang kelelawar. Lampu itu dipasang agar mereka tak
datang, takut pada terang. Silakan tanya juga kenapa pohon belimbing yang dulu
banyak buahnya itu dipangkas habis sama ibu kost, nenek lampir berambut putih.
Atau kenapa bak mandi harus dihancurkan dan diganti dengan ember-ember. Boleh
kalian tanya juga tentang kematian bapak pemilik kost sekitar lebih dari setahun
lalu. Saya akan dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu.
Semua yang ada
di kost ini tiba-tba seperti ingin bercerita. Benda-benda kecil tanpa disadari
menemani setiap kejadian dan peristiwa. Barangkali kalian heran kenapa saya
betah tinggal dengan ibu kost cerewet dan konservatif, yang di tahun 2013 ini
masih memberlakukan jam malam. Kalian bisa bertanya juga tentang penjaga kost,
intrik dan perselingkuhannya. Tapi kali ini saya tak akan bercerita banyak tentang
itu semua. Saya sedang sakit dibalut sebuah lagu yang sakit pula. Melancholic
Bitch melantunkan Taman Bermain Waktu (Lagu Boikot untuk Para Pasifis), “Jangan
terjaga. Tak ada apa-apa di luar sana. Jangan terjaga. Di luar sana hanya ada
bahaya. Pejamkanlah mata.” Maka jangan pernah percaya dengan kata-kata orang
yang sedang bosan dan tidak bertanggung jawab seperti saya, juga tulisan ini.
Kembali saya
rela dikutuk karena tak pernah bercerita dengan benar, masih tentang diri
sendiri, melulu murung. Seberapapun egoisnya, sebenarnya saya masih tetap memikirkan
para pembaca. Setidaknya mereka tidak akan bunuh diri setelah menelan tulisan
ini. Saya juga tidak sehebat itu dalam membangun kesedihan lewat kata-kata. Cerita-cerita
buntu. Lalu sayapun akan kembali terkagum-kagum kalau ada orang yang bisa
membuat cerita demikian menyenangkan, menggugah, kekiri-kirian, semua cerita
yang memberi manfaat bagi seluruh manusia dan jagad raya. Sementara itu, jagad sastra juga
sedang ramai dengan kasus plagiasi dan soal Andrea Hirata yang menuntut pengkritiknya
ke pengadilan. Pejamkan mata.
Sepagi ini saya
sibuk rebutan segelas kopi dengan sekawanan semut hitam. Kalian tahu, ini racikan
kopi Bali terakhir yang saya punya. Semut-semut itu tak pernah mau peduli. Sambil
menahan kesal, semut-semut itu saya usir dengan lembut. Para semut yang sudah
mengapung dalam kopi saya ambil satu demi satu dengan jari. Sebagian mati. Sebagian
lagi masih mampu berjalan terseok-seok dengan kaki-kaki basah. Segera kopi itu
tandas. Kapan-kapan akan saya undang makhluk-makhluk Onet untuk berperang melawan
kerajaan semut di kamar ini. Kalian tahu Onet? Itu permainan tidak penting yang
hanya membutuhkan kejelian mata. Sudah sampai level lima saya memasangkan
makhluk-makhluk Onet sesuai jenisnya dan mereka tampak bahagia. Kalau saja
mereka saya undang, tentu dengan senang
hati makhluk-makhluk itu akan datang.
Lalu kemarin
pagi tepatnya, setelah semalam menonton film-film Wong Kar Wai, layar laptop
saya bergerak-gerak aneh tiba-tiba. Kabur. Cahaya-cahaya kehijauan berbaris horizontal
muncul memenuhi layar, naik dan turun dengan cepat. Saya mengira ini gara-gara
film Wong Kar Wai yang visualnya aneh-aneh itu. Barangkali film-film itu tak
mau pergi dan menempel di layar hingga pagi. Tapi bagaimana mungkin. Layar itu
sudah pernah saya ganti sekali. Kalau sampai rusak lagi, saya tak akan bisa
mengganti untuk menunggu kerusakan berikutnya. Barangkali memang karena Wong
Kar Wai.
Film-film Wong
Kar Wai memang berbeda dari film Hong Kong yang pernah saya tonton. Malam itu
saya menghabiskan empat filmnya sekaligus: Chungking
Express (1994), Fallen Angels (1995),
Happy Together (1997), dan My Blueberry Nights (2007). Sisa tulisan
ini akan bercerita tentang tiga film pertama saja karena yang terakhir sangat
berbeda dari tiga lainnya. Dari film-film itu—meski saya belum menonton semua
karya Wong Kar Wai—memang sudah tampak jelas kekhasan auteur-nya. Orang itu dengan indah menyeret kameranya, detail
memotret benda-benda. Dia menuntun manusia-manusia dalam moment-moment lambat
lalu menempatkan mereka di sebuah ruang dan peristiwa. Begitulah Wong Kar Wai
memainkan cahaya kota, mempercepat dan memperlambat gambar, mengambil shot dari sudut-sudut tak terduga, lewat
cermin, kepulan asap rokok, mengintip di celah kaca eskalator, entah apa lagi.
Keindahan gambar
Wong Kar Wai memang mempesona. Saya tak tahu banyak soal perdebatan studi film
sejak jaman dahulu kala itu. Tapi kalau saya mau meletakkan Wong Kar Wai,
barangkali dia memang berseberangan dengan film-film neo-realisme yang saya
tonton belakangan. Sungguh ini sangat subjektif. Tapi bagi saya, cara
neo-realisme memperlakukan realitas terasa lebih pas. Estetika Wong Kar Wai itu
mendistorsi, montase manipulatifnya serasa tidak memberi kesempatan kepada saya
untuk menerjemahkan segala yang ada di balik keindahan gambar. Sekali lagi
jangan percaya tulisan saya. Percayalah hanya pada tuhan. Setelah nonton film
jangan lupa sembahyang.
Dengan cara berbeda,
film-film Wong Kar Wai memang sangat menarik untuk dibahas. Sebut saja lewat kajian pop culture-pop culture-an itu. Kalian bisa melihat Hong Kong dalam film, sebuah
kota kosmopolitan, sosok kota yang tak bisa lepas dari pengaruh China dan bekas
jajahan Inggris. Di sanalah Hong Kong berada mencari dirinya, kota dan
manusia-manusianya penghuninya. Dari tiga filmnya, tema-tema cinta, kesepian,
kenangan dan harapan masa depan, tampak mendominasi. Karakter-karakternya
adalah orang-orang yang terasing dari kotanya sendiri.
Wong Kar Wai
memang ahli menghubungkan mood
tokoh dengan atmosfir lingkungan sekitarnya, biasanya dilengkapi dengan musik. Ia
lihai mempermainkan warna. Seorang perempuan duduk sendiri di bar sambil
menghisap rokok dan gambar pun perlahan dihitam putihkan. Shot itu langsung berefek pada kesedihan dan murung yang menjalar pelan.
Rangkaian gambar film seringkali menempatkan waktu dalam kenangan, ingatan dan kisah-kisah tokohnya, dan lebih jauh memperlihatkan perubahan Hong Kong itu sendiri. Sebuah kota yang keras lengkap dengan kriminalitas dan berbagai jenis penghuni; para imigran India di Chungking Express, misalnya. Film-film itu menggambarkan kesementaraan. “I do not know who these people are and I do not care, soon they will be history,” kata salah satu tokoh di Fallen Angels. Sebuah hubungan yang tak abadi, putus nyambung dalam kesementaraan, cerita unik itu akan kalian temukan dalam Happy Together. Para tokohnya berjuang untuk sesuatu yang lebih dari kesementaraan, mereka adalah tokoh-tokoh penuh kesedihan yang memperjuangkan sejarahnya sendiri.
Rangkaian gambar film seringkali menempatkan waktu dalam kenangan, ingatan dan kisah-kisah tokohnya, dan lebih jauh memperlihatkan perubahan Hong Kong itu sendiri. Sebuah kota yang keras lengkap dengan kriminalitas dan berbagai jenis penghuni; para imigran India di Chungking Express, misalnya. Film-film itu menggambarkan kesementaraan. “I do not know who these people are and I do not care, soon they will be history,” kata salah satu tokoh di Fallen Angels. Sebuah hubungan yang tak abadi, putus nyambung dalam kesementaraan, cerita unik itu akan kalian temukan dalam Happy Together. Para tokohnya berjuang untuk sesuatu yang lebih dari kesementaraan, mereka adalah tokoh-tokoh penuh kesedihan yang memperjuangkan sejarahnya sendiri.
Wong Kar Wai
bercerita dengan gaya khas monolog para tokohnya. Kedalaman personal tokoh
dapat tergali lewat cara ini. Mereka menarasikan kehidupan dan perasaan. Monolog mengalir bersama kamera yang bermain dengan shot,
warna serta gerak cepat atau lambat.
Kalian akan menjumpai musik-musik pengisi yang unik. Saya rasa ini tidak sekedar pelengkap melainkan ikut menghidupkan tokoh-tokoh dan peristiwa. Ada salah satu lagu The Cranberries dalam bahasa Kanton di salah satu filmnya. Gambar-gambar seperti menari bersama iringan musik-musik itu, mengiringi kesepian, masturbasi seorang perempuan, polisi yang mengejar penjahat di kerumunan. Kota menjadi metafor bagi keberadaan tokoh-tokoh dalam film itu. Di sanalah mereka hidup dan berjuang, kesepian di tengah kerumunan. Mari mainkan! Melancholic Bitch: Noktah Pada Kerumunan.
Kalian akan menjumpai musik-musik pengisi yang unik. Saya rasa ini tidak sekedar pelengkap melainkan ikut menghidupkan tokoh-tokoh dan peristiwa. Ada salah satu lagu The Cranberries dalam bahasa Kanton di salah satu filmnya. Gambar-gambar seperti menari bersama iringan musik-musik itu, mengiringi kesepian, masturbasi seorang perempuan, polisi yang mengejar penjahat di kerumunan. Kota menjadi metafor bagi keberadaan tokoh-tokoh dalam film itu. Di sanalah mereka hidup dan berjuang, kesepian di tengah kerumunan. Mari mainkan! Melancholic Bitch: Noktah Pada Kerumunan.
Kamar Kost, Setelah
Tengah Malam, 21 Februari 2013