Kamis, 29 Mei 2014

Buntu

Okay. Aku akan menulis kalau kamu balik. Okay. Kamu akan balik kalau aku menulis. Terus ini ketemunya di mana? Setiap hari aku membuka folder sialan itu dan tak lama kemudian menutupnya kembali. Dari seratus menit paket telepon yang gantian kita pasang tiap malam, berapa menit habis sudah untuk membahas persoalan menulis dan mengumpati kemacetan kota brengsek yang sekarang kau tinggali. Dan mas mu yang satu itu sungguh-sungguh menunjukkan perhatian terhadap nasib kita berdua. Beberapa kali dia mengirim pesan pendek secara tiba-tiba, selalu menanyakanmu juga.

Sebagian besar sudah kuceritakan padamu apa saja yang kulakukan kemarin. Aku menonton mas mas yang genjrang genjreng main gitar klasik. Suara gitarnya bersaing dengan orkes keriut kursi penonton. Sering sekali penonton memperbaiki duduknya, barangkali bosan, barangkali mengantuk. Komposisi-komposisi yang dimainkannya terasa lamaaaaaa sekali. Mas mas itu bermain gitar seperti tak mengeluarkan tenaga. Jari-jarinya panjang, bergerak dengan indah.

Dan aku teringat kamu. Kau bermain gitar dengan jari-jarimu yang mudah basah. Mas mas di panggung itu berubah menjadi kau. Karena terlalu rapatnya not dan mungkin tingkat kesulitan dari sonata-sonata yang kau bawakan terlalu tinggi, jari-jarimu menjadi terlalu basah. Sangat basah. Keringat mengucur dari ujung jari-jarimu. Benar-benar mengucur seperti air mancur, bercipratan kemana-mana, membasahi panggung, mengguyur muka penonton yang duduk tenang di barisan depan. Tapi kau sangat menikmati permainanmu, sedikit menggoyang kepala ketika memainkan nada dengan tekanan tertentu. Matamu sesekali terpejam ketika memainkan bagian dengan petikan lembut, membukanya kembali saat harus memetik dengan sedikit keras, lalu kau mengakhiri permainanmu. Kau berdiri sambil memegang gitarmu, membungkuk sedikit memberi hormat pada penonton, lalu melangkah mundur dan sedikit membungkuk sekali lagi. Tepuk tangan terdengar begitu meriah. Para penonton sangat menyukai kucuran keringat yang memancar dari jarimu itu. Rasanya asin-asin segar mirip minumam isotonik bermerk keringat. Adegan seperti itulah yang kulihat ketika sekian detik aku tak bisa menahan kantuk.  

Mungkin aku terlalu banyak membaca novel akhir-akhir ini. Jarang sekali aku berbicara dengan orang. Hidupku seperti fiksi. Juga ketika kemarin aku datang ke sebuah acara bedah novel Kelir Slindet. Ada banyak kesamaan-kesamaan yang kutemukan dari apa yang kubaca akhir-akhir ini dan memang begitulah yang dikatakan oleh pembicaranya. Pak Profesor menemukan bahwa novel itu penuh situasi paradoksal, bergaya mozaik, seperti kolase, menyelaraskan tradisionalisme dan modernisme. Novel itu, katanya adalah pemberontakan penulis yang diproyeksikan lewat tokoh-tokohnya.

Pembicara satunya lagi adalah orang yang sedang menulis ensiklopedia fiksi Indonesia. Dia banyak cerita soal tokoh-tokoh dalam novel itu. Novel itu sangat mirip dengan Ronggeng Dukuh Paruk, basis ceritanya menyangkut musik yang hidup di masyarakat. Caranya menggambarkan latar juga mirip, banyak menggarap soal kuburan, melibatkan roh yang masuk ke tubuh penari, tokoh utamanya perempuan, dan mungkin masih banyak kesamaan lain. Ada semacam kecenderungan yang sama dalam penulisan novel-novel berlatar agraris. Selain Ronggeng Dukuh Paruk, Pak Profesor juga menyebutkan beberapa kesamaan dengan Jatisaba.

Peruangan dalam novel dibangun atas kontradiksi yang terus bekerja. Ini bisa dilihat dari kata kunci yang muncul dari novel ini: tarling dangdut, kasidah, musholah, warung remang-remang, haji, telembuk/lonte, ustadz, pemabuk, intip, dakwah, judi, madrasah, TKW, Indramayu. Soal intip mengintip ini juga muncul di novel terbaru Eka Kurniawan. Sama-sama jadi adegan pembuka.  Dulu, PKI tak pernah menang di Indramayu meskipun menggarap soal-soal telembuk dan semacamnya itu.

Karena sudah dibahas sedemikian rupa, aku tak jadi membeli novelnya. Pengarangnya cerita juga soal proses kreatifnya. Novel itu sebenarnya hanya sepertiga bagian dari keseluruhan novel yang ditulis setebal kira-kira 750 halaman. Penerbit baru bersedia menerbitkan yang sepertiga itu atas alasan pemasaran dan sebagainya. Itupun sudah banyak dipotong, adegan coli sambil liat penyanyi tarling dangdut misalnya.

Entahlah, meskipun dibilang itu berdasarkan observasi langsung di kampungnya sendiri, bersifat etnografis, atau apapun sebutannya sama sekali tidak menarik minatku. Tawaran apakah yang diberikan novel itu? Model cerita penuh paradoks itukah? Kontras antara Haji, Bos Walet, telembuk dan pemabuk itukah? Lawas. Hmmm... sayangnya aku tidak mengerti soal kritik sastra. Tapi aku suka ada yang menulis tentang Indramayu, geografis dan budayanya tentu menarik. Okay Mas, istrimu cantik. Aku liat akting kalian di Mata Tertutup.

Dangdut pantura memang lagi tren sekarang, apalagi banyak yang bahas soal kultural kultural studisan, menyebut panggung dangdut Indramayu sebagai kenyataan hibrida. Asyek... Pertunjukan tarling (yang mungkn lebih klasik) seringkali diselipi pula dengan drama. Bahasanya dan ceritanya cukup menarik untuk dilihat lebih jauh. Kalau awalnya dari tarling begitu, terus sekarang yang banyak dikenal adalah dangdut pantura seperti Monata atau OM Sera, itu pergeserannya, jenisnya yang lain, atau percabangannya atau bagaimanakah? Kalau dari tonalitas, terdengar jelas ada percamuran Sunda dan Jawa, agak berbeda dengan dangdut. Ah, banyak pertanyaan mulai menggantung-gantung meskipun aku sudah mencoba tak mempedulikannya. Ini masih belum ngomong panggung. Dari fisiknya misalnya, dari yang cuma gelaran tikar hingga panggung dengan kubah melengkung di atasnya. Ah, tapi ini mau sampai di mana? Rasa-rasanya potret yang kuperoleh hanya permukaan, bahkan belum bisa disebut sebagai permukaan, begitu banyak label bertebaran.

Aku tak punya bayangan soal tarling. Jadinya ya buka Youtube meski cuma serampangan:

atau


Dengerin juga dramanya meskipun gak ngerti bahasanya:

Dan ini salah satu panggungnya:

Melihat-lihat semua itu, serasa banyak hal yang campur baur dan memang tidak nyambung. Tapi ya buat apa aku mencarinya lebih jauh. Aku jadi ingat Tubuh Ketiga meskipun pilihan visualisasi atas hasil riset mereka di Indramayu sedikit janggal. Sudahlah. Cukup.


Kamar Kost, 29 Mei 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar