Senin, 19 Mei 2014

Semacam Emboh

Aku ini gampang sekali ditebak. Tulisan yang muncul di blog ini sebagian besar adalah tulisan galau. Kalau tidak ada tulisan, berarti aku sedang tidak galau, kawan. Sungguh kasihan bukan?

Kau tau apa jawaban Paijem ketika ditanya apa yang akan dilakukan setelah pesta pernikahannya? Bukan bulan madu, bukan mencari rumah baru, tapi membayar hutang. Paijem, perempuan sabahabatku itu akan menanggung sendiri seluruh biaya pernikahannya,  empat bulan lagi. Kau bisa bayangkan sepasang pengantin yang biasanya tak perlu banyak mengurus tetek bengek berbiaya, harus berpikir keras untuk tidak membuat malu keluarga di hadapan orang. Pernikahan memang tak hanya bisa diselesaikan ketika dua orang bersepakat untuk menjalani hidup bersama selamanya. Kau akan diributkan dengan urusan kadar kepantasan pesta. Semiskin-miskinnya dirimu, orang-orang itu tetap mengharapkan makanan yang layak di hari pernikahanmu. Tapi aku tak hendak memikirkannya. Rasanya cukup muskil untuk kita.

Masa depan macam apakah yang sudah nyata-nyata bisa ditebak seperti itu? Seperti kalau orang bertanya padaku apa rencanaku setelah lulus, maka dengan berat aku akan menjawab: berusaha mencri cara agar bisa putus denganmu. Masa depan semacam itu bukan masa depan. Itu hanya kenyataan yang kebetulan ada di waktu yang bukan sekarang atau masa lalu. Sejauh mana pula orang akan berharap pada masa depan yang tak tertebak itu, yang kalau kata orang di sebuah film diistilahkannya dengan l’avenir[i]. Kau pernah menonton TiMer[ii]? Film bodoh itu bahkan sudah mengkhayalkan berapa lama orang bisa menemukan belahan jiwanya dengan menanam alat semacam countdown timer di pergelangan tangan. Alat itu akan berbunyi ketika kau bertatapan dengan belahan jiwamu. Cerita film lalu dihias dengan beberapa kebohongan, serta konsekuensi-konsekuensi hubungan percintaan yang muncul gara-gara alat aneh itu. Lucu sekali bukan? Ketika semua hal sudah bisa diprediksi, dijadwalkan, direncanakan, ah, manusia tidak akan mengenal lagi kejutan.
  
Kau tahu, aku menangis menonton Scenes From a Marriage[iii]. Aku tak bisa membayangkan bisa serasional orang-orang itu. Aku selalu kesulitan menjelaskan apa yang kurasakan, seperti kehilangan semua majas yang mungkin diciptakan manusia untuk mengungkapkan permisalan-permisalan. Bayangkan seorang suami yang tiba-tiba meninggalkan istrinya, lalu mereka bertemu lagi beberapa tahun kemudian, menjadi sama-sama dewasa dengan kehidupannya sendiri-sendiri. Ah, kau memang harus menontonnya sendiri dan mulailah membayangkan aku yang menangis menonton film itu sambil mengumpat-umpat: Jancuk!

Tampaknya aku terlalu banyak menonton film-film yang tak kutahu lagi juntrungnya. Jarang sekali sekarang aku bisa menemukan film yang bisa kutonton sampai habis tanpa memencet keyboard bergambar panah ke kanan untuk mempercepat jalannya. Begitulah kuhabiskan waktu dan ini benar-benar gawat. Selalu ada kegelisahan yang tak bisa disembuhkan dengan menonton film atau membacai novel. Aku sudah tahu kenapa, tentu karena aku tak melakukan apa yang harus kulakukan. Aku tidak memaksa diriku hingga membentur dinding. Padahal dinding-dinding sudah demikian menghimpit. Ketika sudah membuka folder sialan itu, aku merasa begitu muak, dengan segera meng-klik tanda silang berwarna merah di pojok kanan layar laptop. Berapa banyak orang menasihati dan menyemangatiku, tapi entahlah. Bukan berarti aku tak menghargai perhatian mereka. Betapa bebal otak ini!

Beginilah, kalau kau ingin tahu apa yang kulakukan setelah kau pergi ke kota brengsek itu. Aku membiarkan waktu lewat begitu saja. Orang macam apa yang seolah-olah membiarkan waktu lewat di depannya, bahkan hampir menganggapnya tak ada. Aku hidup dari suara adzan ke suara adzan, antara makan, tidur dan berak. Betapa menyedihkan. Keadaan ini semakin melarat-larat, berlarut-larut dan aku tak bisa menghancurkan kurungan kebosanan pasif ini.

Mari sedikit melompat, kalau kau bandingkan cara orang bercerita, mungkin ini tak bisa dibandingkan, tapi cobalah kau tengok Tart di Bulan Hujan[iv] dan Surga Sungsang[v]. Yang pertama adalah kumpulan cerpen sedangkan yang disebut kedua adalah novel pendek yang pada awalnya aku sangka pula sebagai kumpulan cerpen yang disatukan. Sebut saja keduanya mencoba mengungkap absurditas manusia dan dunianya meski dengan cara yang sama sekali berbeda. Aku cukup suka keduanya. Bagiku cara bercerita bukan menjadi pokok persoalan. Entah apakah Surga Sungsang itu mampu mengambil alur dari Murakami, menggabungkannya dengan Lukisan Neraka Akutagawa lalu membuat latar mirip yang mirip dengan Seratus Tahun Kesunyian, dengan bumbu imajinasi surealis yang membuat otakku membayangkan bentuk-bentuk aneh dari gambaran itu, bagiku sungguh tak ada masalah. Memang tak ada yang benar-benar baru di permukaan bumi. Lain dengan Tart di Bulan Hujan yang menyuguhkan cerita-cerita ringan, dengan tokoh-tokoh tahun 80-an yang mungkin terasa berjarak untuk dibaca hari ini. Kadang kau bisa mengerutkan dahi di akhir cerita atau sekadar tersenyum kecut saja.

Tambera[vi]. Ya, Tambera. Bagi sebagain orang mungkin cerita itu tak beda jauh dengan kisah Hanafi yang mencintai Corrie. Tambera mencintai Clara. Meski sedikit beda konteksnya, tetap cuma Minke yang bisa menikahi Annelies. Lain kali akan kutuliskan kisah itu secara terpisah.

Rasanya tak ada yang menyenangkan kecuali membaca novel sambil leyeh-leyeh di sofa. Begitulah kebanyakan novel-novel abad ke-19 diciptakan untuk membuat orang bersantai. Sekarang? Entahlah saya masih membaca sendirian. Kesel tenan padahal tak berpikir apapun. Mungkin kalau kau kembali ke kota ini, aku sudah tidak mengerti lagi apa yang kau bicarakan. Bacaanmu sudah tingkat dewa begitu, lokal-global begitu. Wuah, kamu keren sekali pasti. Dan barangkali kau akan menjumpaiku menjelma perempuan biasa-biasa saja, dengan legging bunga-bunga, yang sudah melupakan semua bacaan dan hanya suka menonton film yang sedang tayang di bioskop. Saat itu, kau dengan yakin akan mulai menjauh, kembali ke kota brengsek itu. Seperti itukah cara membuatmu meninggalkanku.   

Arrrrrggghhh...... Aku tak bisa menghubungimu. Frustasi sekali kalau begini. Kota itu, dan saudara Y yang terhormat memang brengsek sekali. Lebay, ah. Embohlah.

Kamar Kost, 19 Mei 2014




[i] Film yang dimaksud adalah sebuah dokumenter berjudul Derrida (2002), disutradarai oleh Kirby Dick dan Amy Ziering Kofman. Istilah tersebut dipakai sekenanya dalam tulisan ini.
[ii] Disutradarai oleh Jac Schaeffer, rilis pada tahun 2009.
[iii] Film yang disutradarai Ingmar Bergman. Film ini ditayangkan dalam bentuk mini seri televisi dan versi film panjangnya dirilis tahun 1974. Kalau kau lihat trivia di IMDb, setelah film ini tayang di Swedia, kasus perceraian meningkat tajam dan jumlah pasangan yang menggunakan jasa konsultan pernikahan meningkat pula dua kali lipat.
[iv] Kumpulan cerpen Bakdi Soemanto, Jakarta: Penerbit Buku Kompas (2014).
[v] Buku cerita Triyanto Triwikromo, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama (2014).
[vi] Novel karya Utuy Tatang Sontani, Jakarta: Balai Pustaka (2002). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar