Jumat, 09 Mei 2014

Karena Aku Tak Lebih Pintar Dari Tembok

Orang yang lebih pintar daripada tembok tentu saja tak akan menulis hal semacam ini. Fak! Sudah tanggal sembilan saja sementara halaman tesis tak kunjung bertambah. Bulan kemarin sudah tak nulis di blog. Sekarang malah isinya cuma kepengen mengumpat saja.

Kau tahu, pagi tadi ada orang ngomongin identitas, desertasinya tentang orang Dayak. Semua yang datang ke acara itu mendapat buku. Kertas bukunya bagus, dari jenis yang mengkilat dan licin itu. Kau tahu, lebih dari separuh isinya adalah deskripsi wilayah penelitian: luas wilayah, jumah penduduk. Bukan berarti itu tak penting, apalagi penelitiannya dilakukan di lima Kabupaten. Konon katanya, orang Dayak yang sudah mengalami marginalisasi sekian tahun lamanya sejak jaman Belanda mulai bangkit karena terpilihnya seorang gubernur dari orang Dayak. Tapi ibu itu tak bisa menjelaskan kenapa si gubernur bisa menang dengan lonjakan suara yang cukup signifikan di hari menjelang pemilihan. Orang yang diwawancara sebagian besar birokrat sementara tokoh masyarakat cuma beberapa orang saja. Hal yang kecil-kecil jadi tak kelihatan. Ah, tapi aku ini tahu apa. Desertasi itu sudah diujikan dihadapan sembilan orang profesor dan tak diragukan lagi kesahihannya, bisa dipertanggungjawabkan kadar keilmiahannya. Salamku buat ibu-ibu penulis desertasi itu. Penampilannya sungguh sangat dharma wanita sekali.

Malam ini tak ada yang bisa kupikirkan dengan jernih. Membaca Percikan Revolusinya Pram membuatku merasa murung, tercenung lama sekali. Beralih ke 1Q84 Murakami juga tidak bisa memperbaiki pikiranku yang kacau. Kenapa bisa kacau? Barangkali karena kurang dipakai untuk berpikir. Semua kejadian begitu cepat dan lewat-lewat begitu saja tanpa bekas berarti. Alasan-alasan untuk tak segera menulis tesis semakin tak bisa kutemui dan aku tak selamanya bisa lari. Katamu, sudah cukup kita bahagia. Sudah saatnya kita membahagiakan para Ibu yang bersedih dan khawatir cukup lama.

Lalu akupun teringat Huzun. Seorang kawan memberikan film pendek itu dengan catatan kaki: proses penyuntingannya belum selesai. Di tengah film masih ada suara kamera jeprat jepret dan mixingnya juga belum dilakukan dengan sempurna. Awalnya aku tak tahu apa artinya Huzun. Mesin pencari menautkan kata itu dengan bagaimana Orhan Pamuk menggambarkan Istanbul yang diungkapkan dengan adegan seorang anak kecil yang membuka jendela dan melihat kota. Huzun punya akar kata yang sedikit berbeda dengan penggunaannya sekarang. Dulunya lebih menggambarkan sesuatu yang transendental, melibatkan manusia dengan tuhannya. Sekarang, Huzun barangkali dekat dengan melankolia. Aku tak tahu lebih banyak lagi.

Teguh Hari, sutradara film itu membawa Huzun ke wilayah personal, tentang seorang pria yang ditinggal mati istrinya. Kritikus film yang keren-keren mungkin bisa bicara banyak tentang film ini. Soal keterbelahan manusia, keterasingan yang disembunyikan di wilayah paling dalam. Kemurungan yang membabi buta dan berujung pada kegilaan, atau apapunlah istilahnya.

Catatan saya sederhana. Film ini seperti tak kuat menanggung beban berat dari judul yang dipanggulnya. Film ini gak Huzun banget deh. Ekspetasi orang menonton film pendek tentu berbeda dengan menonton film panjang. Lewat durasinya itu, film pendek dituntut untuk menyajikan gambaran peristiwa maupun cerita dengan kuat. Orang mengharapkan kejutan atau sesuatu yang menohok dalam momentum yang pas. Dan karena durasinya itu pula penonton bisa lebih detail memperhatikan dan menangkap kesan. Tidak ada persoalan dengan visualisasi ide. Orang yang ditinggal mati istri yang sangat dicintainya, yang baru 13 tahun menikah memang bisa berkelakuan seperti itu, menciumi baju-bajunya atau menciptakan percakapan imajiner seolah-olah istrinya masih ada. Tapi pilihan untuk bertumpu pada satu aktor ini cukup beresiko, bahkan fatal ketika si aktor gagal membangun suasana.

Narasi dalam film inipun janggal. Unsur puitiknya terkesan dipaksakan. Saya tak bisa membayangkan pasangan suami istri berbicara dengan nada seperti itu. Maka bukan melankolia yang bisa ditangkap ketika menonton film ini melainkan seorang mas-mas yang membuatku bertanya, “Mas-mase iki gak pa pa ta?”.

Saat acara makan malam imajiner, mas mas pemain film ini mengenangkan adegan ciuman pertama mereka di sebuah rumah sakit ketika menunggui teman mereka yang sakit. Narasi pada bagian ini terasa genit sekali. Bahwa ciuman itu rasanya seperti pulang ke rumah setelah lelah mencari arah. Aku tak bisa membayangkan metafor ini. Lain kali mungkin aku akan berciuman sambil memikirkan kalimat tersebut. Kalimat berikutnya juga menampilkan perbandingan sesuatu yang seolah bertolak belakang, “entah mana yang lebih keras, debar jantung kita atau kesunyian malam.” Itu juga kalau aku tak salah dengar.

Cukup sudah dengan Huzun. Aku masih tak mengerti apakah ikan di film itu sebenarnya mati atau hidup. Setelah si aktor meletakkan sepatu di atas televisi, jam menunjukkan pukul setengah sebelas lebih sedikit, telepon genggam tergeletak di atas meja lalu terlihat seekor ikan mengambang, jatuh perlahan ke dasar toples yang menampungnya. Di tengah film, ikan itu sempat terlihat hidup dan di akhir film diperlihatkan bahwa ikan itu mati. Mungkin memang kematian si istri ingin digambarkan akan terus dihidupi oleh si suami, yang kebetulan Islam dan punya tradisi berkirim doa atau selamatan setelah tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, dan seterusnya, atau dengan terus menghidupkannya lewat benda-benda peninggalan sang istri, misalnya dengan mengajak berdansa atau mengajak bicara baju istrinya yang disampirkan pada sandaran kursi. Hmmm. Usaha untuk menampilkan sense puitik ketimbang depresi yang terus menggerogoti manusia memang patut di hargai tapi ya itu, film ini kurang huzun (sebagai sebuah konsep dalam bayanganku). 

Film Ifa Isfansyah yang berjudul Mayar (2003) juga tak terlalu berkesan. Aku nggak ngerti dia ini mau ngomong apa. Bahwa hidup manusia memang serba tak jelas, bahwa Jogja itu tak lebih baik dari Jakarta, mencampurkan urusan cinta dengan politik menjelang pilihan kepala desa, antara gambar petai dan cabe. Hufff. Aku memang payah. Seolah-olah hanya mau bilang kalau film yang aku tonton belakangan ini elek kabeh gara-gara tesis yang tak kunjung ditulis. Sungguh tak adil memang. Tapi ini cuma tulisan orang yang tak lebih pintar dari tembok. Ah, tapi tidak. Film Sugiharti Halim (2008) karya Ariani Darmawan cukup lumayan kok. Gambar dan pesannya sederhana. Tak terlalu ruwet dan terasa pas dengan durasinya. Setidaknya itu film-film pendek yang aku tonton belakangan. Film-film pendek baru entah bisa didapat dimana. Orang-orang itu sudah jauh sekali berlari. Aku masih membusuk di sini. 

Rasanya ingin sekali ikut kelas menulis kritik film. Biar bisa bener kalau nulis. Gak cuma ngasal dan tergantung mood macam begini. Keingingan tinggal keinginan. Kurang niat sebenarnya. "Alah, ngomong thok, ngomong seng, duduk blek," Kata semut yang nyelonong lewat. Aku mau cerita lebih banyak tapi males ngetik. "Yaelah mbak, molas males ae, durung males urip toh? Mbake kurang piknik nih. Ahihihihihi....," tiba-tiba ada suara Bernard Bear yang muncul dari gambar di atas meja laptop di kontrakan Indra, suara tawanya masih terngiang sampai sekarang. Ahihihihihi... Dasar beruang sialan!

Kamar Kost, 9 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar