Minggu, 23 Mei 2010

Cerita Juwanti Menegur Hati

Seperti tak bisa mengelak. Semacam ada kekuatan yang berusaha menggerakkan jari-jari untuk menuliskan cerita ini. Semua berhenti dan hanya cerita inilah yang sedari tadi meledak-ledak minta dituliskan. Dalam keadaan begini, ceritalah yang menjadi subyek sedangkan penulis hanya menjadi obyek dari keinginan cerita untuk dituliskan. Tak kuasa menahan desakan, memacu malam.

Pernah saya menceritakan tentang Juwanti sebelumnya. Seorang janda beranak satu yang ditinggal mati suaminya karena penyakit menggerogoti paru-paru. Juwanti menjadi pembantu rumah tangga dengan upah empat ratus lima puluh ribu rupiah per bulan. Tiga ratus ribu harus dikirimkannya ke kampung dan sisanya menjadi biaya makannya sehari-hari. Kalau dipikir memang terasa muskil dan tak mungkin cukup. Nyatanya, Juwanti tetap bertahan di sini. Sampai episode ini datang dalam hidupnya. Kisah yang sepertinya telah digariskan dan tinggallah Juwanti sebagai seseorang yang pasrah menjalani.

Wajah memelas anaknya itulah yang tak bisa terusir dari ingatan. Wajah itu pula yang sepertinya memaksa untuk menuliskan cerita, ketika seorang anak bernama Candra itu hadir di rumah ini. Seorang bocah hampir empat tahun umurnya. Kulitnya gelap. Kedua bola matanya menonjol keluar. Kepala lonjongnya dibiarkan tanpa rambut. Kata Juwanti, ia sengaja mencukur habis rambut anaknya karena selalu tumbuh seperti kembang Lamtoro. Rambut-rambut kaku yang menjulang menembusi langit. Bocah kecil yang selalu memakai kaos kebesaran itu tak bisa pergi dari ingatan. Bajunya sebagian besar adalah pemberian orang, cucu dari si tuan rumah. Karena itu, salah satu pundaknya selalu kelihatan karena bagian leher kaos yang berdimeter terlalu besar tak sepandan dengan badannya. Sudah dua malam ia di sini. Bocah yang tak pernah bisa bersuara pelan. Selalu berbicara dengan teriakan yang mengalun dengan nada khas anak desa dari Gunung Kidul. Wajah itu pula yang selalu menggantung di pikiran. Ketika Juwanti menyuapinya dengan telur dadar, anak yang tak mau duduk. Ia mengunyah makannya sambil nongkrong. Sementara kunyahan perlahan itu diperjuangkan oleh gigi-gigi geripis yang sebentar lagi tanggal.

Juwanti memandangi anaknya dengan tatapan kasih. Baru saja anaknya bisa tak rewel lagi. Sejak datang di rumah ini, Candra belum buang air besar. Inilah yang membuatnya menangis semalaman karena sakit perut. Candra kecil tak terbiasa untuk buang air besar di WC. Biasanya, Juwanti hanya membuat lubang di tanah halaman belakang. Di situlah Candra buang air besar. Lubang tinggal ditutup dan sekalian Candra menyenangkan si tanah dan si rumput. Di rumah ini, Juwanti tak mengerti bagaimana anaknya bisa buang air besar. Kami menyarani untuk melakukan hal yang sama di halaman belakang tapi Candra menolak. Akhirnya, Juwanti bisa bernafas lega. Candra bisa buang ir besar di kali Code. Malam itu juga, seorang tukang becak berkenan mengantarkan Juwanti dan anaknya turun ke kali. Setelah melewati jalan berkelok naik turun, lega sudah perut Candra membuang sisa makanan yang tertumpuk diusus besarnya.

Ia terpaksa ikut mamaknya karena tak mau ditinggal. Juwanti sempat pulang karena Candra sakit, kata dokter setempat, ia hanya terlalu lelah. Tapi, entah kenapa sampai muntah darah. Sempat juga salah obat karena sang nenek memberi tahu dokter bahwa cucunya hanya muntah biasa. Saat Juwanti mau meninggalkannya untuk kembali bekerja, Candra tak ingin lepas dari gendongannya. Terpaksalah Juwanti membawa anak semata wayang yang sangat dicintainya ke rumah tempatnya bekerja. Rumah ini.

Anak ini tak terurus karena hanya tinggal dengan neneknya. Tak pernah Candra menikmati suapan dari neneknya. Ketika makan, neneknya hanya mengambilkan. Apakah Candra akan memakannya atau tidak, neneknya tak peduli lagi. Saat Juwanti pulang, barulah Candra bisa menikmati makanan dari tangan mamaknya. Apapun keinginannya selalu dituruti oleh Juwanti. Baru merasakan mendapat perhatian, maka Candra tak akan membiarkan orang yang memperhatikan dan menyayanginya terlepas dari genggamannya. Perhatian Juwanti yang berlebihan juga tak bisa disalahkan. Ia merasa sangat bersalah karena harus menelantarkan anaknya demi pekerjaan. Tapi kalau berdiam di desa, tak ada juga yang bisa dikerjakannya. Para tetangga juga banyak yang menekannya, “Kowe ki mbok yo mesakne anakmu. Ra diurus kaya ngono. Kowe ki abot duit apa abot anak to?,”1 seperti itulah sindiran para tetanngga menghujaninya.

Candra harus masuk TK tahun ini. Inilah yang menjadi masalah bagi Juwanti. Ibunya telah mewanti-wanti, “Nek Kowe tetep kerja, aja salahne aku nek anamu dadi goblok.”2 Si nenek tak sanggup kalau harus mengantar dan menjemput Candra setiap hari. Sementara ia harus tetap mencari rumput untuk kambing-kambingnya yang juga tak seberapa banyak. Juwanti terpaksa membawanya. Nyonya di rumah ini belum mengizinkan Juwanti untuk keluar karena belum ada penggantinya. Rumah ini juga akan kedatangan tamu dalam jumlah banyak dan Juwanti harus ikut membantu kerepotan si nyonya rumah mengurusi tamu-tamunya.

Semakin repot saja Juwanti di rumah ini. Si nyonya rumah seperti tak mengizinkannya untuk berisitirahan barang sebentar. Sementara Candra juga suka bandel dan rewel. Segala kemauannya harus diikuti. Candra selalu mengekor keman juwanti pergi, bakhan sering minta digendong. Si nyonya rumah malah jadi ikut pusing karena Juwanti memang harus mendahulukan anaknya daripada pekerjaannya. Tak mungkin juga ia bekerja sementara anaknya sedang menangis. “Nek anakmu melu neng kene, wis Kowe metu wae, Ti,”3 kata si nyonya rumah. Juwanti memberanikan diri untuk mengajukan penawaran. Ia mau tetap tinggal asal gajinya dinaikkan. Terbersit juga dipikiran Juwanti untuk menyekolahkan anaknya di sini. Tentu saja tak akan cukup dengan gajinya yang sekarang. Semua juga tahu tabiat si nyonya rumah. Sampai mati pun, si nyonya tak akan mau untuk menaikkan gajinya.

Juwanti semakin pusing. Di tengah kerepotannya, Candra semakin bandel saja. Sebentar-sebentar menangis. Wajah Juwanti sudah tak bisa digambarkan. Antara kelelahan, sebel, jenes, sekaligus juga tak mau menyakiti anaknya. Sekali waktu, Juwanti pernah menyiwel anaknya yang tak mau berhenti menangis. Tangis anaknya semakin keras. Candra kecil duduk di lantai. Sedangkan Juwanti memandangi anaknya dari kursi lebih tinggi. Diam-diam, air matanya pun leleh. Candra kecil dan Juwanti sama-sama menangis.

Malam ini, Juwanti telah memutuskan. Ia akan kembali ke desa dan bertani, menjaga anaknya, dan hidup hanya demi Candra. Malam ini, tamu-tamu masih saja ribut meski telah larut. Candra kecil tak mau segara tidur. Di depan hingar bingar televisi, Juwanti meletakkan lelahnya dengan berbaring di atas karpet. Candra kecil berbaring pula di samping mamaknya. Mereka terbaring berhadapan. Saling memeluk. Juwanti telah memejamkan mata meski belum lelap. Candra yang berbaring di sampingnya tak juga bisa terpejam. Mata besarnya berkedip-kedip. Dahinya yang menonjol tampak mengilat terkena siratan lampu neon di atasnya. Juwanti membalik badannya, membelakangi dan Candra kecil justru menciumi punggung mamaknya dengan kasih. Ibu dan anak ini telah lekat tak terpisah. Candra kecil mungkin bandel tapi itu hanya karena ia tak ingin berpisah lagi dengan Juwanti. Wajah Juwanti mengeras. Badannya yang gempal seperti mencuatkan kekuatan untuk terus berjuang demi anaknya. Candra kecil berkata pelan dengan nada khasnya yang mengalun, “Mamak, endi tanganmu,”4 Juwanti menjulurkan tangannya. Candra kecil lalu mengusap-usapkan tangan mamaknya di depan hidung mungil itu.

Catatan:
1. Kamu itu sebaiknya kasihan sama anakmu. Tak terurus begitu. Kamu itu lebih milih anak atau uang?
2. Kalau kamu tetap bekerja, maka jang an salahkan saya kalau anakmu jadi bodoh.
3. Kalau anakmu ikut di sini, lebih baik kamu keluar saja.
4. Ibu, mana tanganmu.
Yogyakarta, 21 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar