Tidak sengaja ketika saya pulang menuju kampung halaman, seorang laki-laki naik dari Terminal Tirtonadi, Solo. Tiba-tiba saja obrolan terjadi. Penumpang dalam bus ini hanya segelintir orang saja. Seperti layaknya sebuah perkenalan biasa antar penumpang, pertanyaan-pertanyaan dilontarkan seputar darimana dan mau kemana. Seorang laki-laki duduk dibangku sebelah kanan dengan tiga kursi. Sedangkan saya duduk di bangku sebelah kiri dengan dua kursi. Percakapan lalu berlanjut dengan,
“Kuliah dimana?”, tanyanya.
“UGM.”
“Jurusan?”
Ilmu Pemerintahan.”
“Bapak, darimana?,” tanyaku balik sekadar basa-basi.
“Saya mau pulang ke Sragen. Ikut kuliah S1 pendidikan olahraga di UNS,” jawabnya.
“Oh.” Jawabku singkat sambil menunjukkan wajah tanda mengerti, juga sedikit memberi kesan untuk tak melanjutkan percapakan. Tampaknya ini yang tak tertangkap olehnya.
Mendengar kata Ilmu Pemerintahan, Pak Guru itu menunjukkan mimik ingin tahu lebih banyak tentang apa yang saya pelajari. Ia kemudian menanyakan sekitar kalau sudah lulus mau kerja apa? Nanti bisa jadi apa saja? Apakah sama dengan IPDN? Apa saja yang dipejari? Dan pada puncaknya, pertanyaannya mengerucut pada bahasan tentang otonomi daerah.
Pak Guru memulai menjelaskan analisisnya tentang politik Indonesia. Bahasannya dibuka dengan kritik terhadap kepemimpinan SBY. Baginya, pemimpin yang satu ini kurang tegas dalam mengambil sikap. Terlalu banyak perhitungan dan tentu saja memperhitungakan banyak kepentingan, termasuk kepentingan asing yang baginya tampak lebih diutamakan. Pak Guru juga berkomentar tentang otonomi daerah di Indonesia. Sistem ini bukannya menjadikan pengelolaan pemerintahan yang lebih baik, namun justru cenderung banyak menimbulkan masalah.
Sedari tadi mendengarkan Pak Guru bicara, selayaknya murid yang baik, saya hanya manggut-manggut saja mendengarkan perkataannya. Tak satu kalimatnya pun saya sela. Dalam hati saya merasa ketar-ketir kalau Pak Guru akhirnya meminta pendapat saya tentang semua itu. Meskipun saya seorang mahasiswa Ilmu Pemerintahan, jujur saya mengaku tak banyak tahu tentang pokok bahasan ini. Politik lokal, otonomi daerah dan teman-temannya cenderung menjadi sesuatu yang tak manarik minat saya semasa kuliah. Mungkin ini yang menjadikan saya belum diperkenankan untuk lulus menjadi Sarjana Ilmu Pemerintahan.
Percakapan terhenti. Seorang perempuan muda duduk menyebelahi saya setelah naik dari sekitaran kampus UNS. Perempuan muda yang juga seorang guru itu kemudian turun di daerah Pungkruk, Sragen. Seperti terjadi secara spontan, Pak Guru duduk di samping saya.
Pada puncaknya, Pak Guru akhirnya menyuruh saya untuk menerangkan perihal otonomi daerah sekaligus implementasinya di Indonesia. Dengan pengetahuan yang serba sempit, saya mencoba percaya diri untuk menjelaskan. Tak yakin juga apa yang saya katakan adalah benar. Namun, perkataan seorang mahasiswa tingkat akhir dari UGM terasa lebih manis, dan Pak Guru mencecapnya tanpa ragu. Sekali lagi saya benar-benar tak bermaksud mengumbar pengetahuan yang salah.
Serba sedikit saya mengatakan bahwa otonomi daerah merupakan salah satu bentuk pelimpahan wewenang untuk urusan-urusan tertentu dari pusat ke daerah. Dalam hal ini, daerah memiliki kewenangan untuk mengurusi daerahnya sendiri dalam bidang-bidang tertentu.
“Kalau masalah keuangan bagaimana? Apakah kalau otonomi itu, daerah sudah tak berhak menerima uang dari pusat?,” tanya Pak Guru.
Apalagi yang saya tahu tentang pengaturan kebijakan fiskal, Pajak, Bagi Hasil, DAU, DAK, dan sebangsanya itu? Serba sedikit pula saya menjelaskan mengenai hal ini.
“Soalnya begini, Mbak, di Sragen saat ini kan sedang ramai demo. Selain soal ijazah palsu itu, pegawai negeri mau demo juga soal uang lauk pauk yang tak pernah turun. Padahal, itu sudah ada dalam SK Menteri,” lanjut Pak Guru.
“Wah, kalau itu ya di demo saja Pak,” jawab saya singkat sambil tersenyum.
Pak Guru juga ikut tersenyum. Percakapan kemudian dilanjutkan seputar ceritanya tentang keluarga dan anak-anaknya. Barangkali sebuah kehidupan yang bahagia. Tak lebih baik pula dengan kehidupan saya dan keluarga. Pak Guru segera beranjak dari tempat duduknya ketika tujuannya telah dekat. Sebelum pergi, tergambar selintas senyum seorang abdi negara. Saya pun menunduk sambil membalas senyumnya.
Beberapa hari kemudian, saya sadar bahwa ini adalah sebuah rancangan kejadian, runtutan jalinan peristiwa yang sangat indah. Memang saya diharuskan untuk belajar banyak tentang desentralisasi dan otonomi daerah, tak boleh asal bicara kepada orang lain tanpa basis pengetahuan. Sebuah kesempatan yang tidak terduga ketika bisa terlibat dalam pembuatan buku tentang hal itu. Salam hangat buat Pak Guru.
Jogja. 20 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar