Minggu, 23 Mei 2010

Dilema dalam Bilik Suara

Pilkada selalu menyisakan cerita yang menarik. Salah satunya adalah cerita tentang pemilihan Bupati di Kota N. Sebut saja namanya Melati. Gadis ini memiliki idealisme tertentu dalam berpolitik. Sebagai seseorang yang tak aneh lagi dengan teori-teori politik, Melati justru cenderung apatis dengan praktik demokrasi tingkat lokal macam begini. Di Kota N, struktur birokrasi dan politiknya memang sudah terkenal sakit. Banyak praktik korupsi dilakukan. Soal penerimana pegawai misanya, orang bisa membayar 150-180 juta hanya untuk menjadi pegawai negeri. Ke kantong siapa sajakah uang ini mengalir? Tak pernah ada yang berhasil menangkap siapa si ikan kakap meski sudah sama-sama tahu. Kebanyakan yang tertangkap dan sebenatar juga dilepaskan hanya para teri.

Di Kota N, ongkos untuk menjadi Bupati sepertinnya sangat mahal. Hingga pemimpin yang jadi akan berusaha sebaik-baiknya untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan. Pilkada di Kota N sepertinya akan berlangsung adem ayem saja. Tampak beragam para calon yang mau jadi pemimpin kota ini. Mulai dari trah bupati terdahulu sebagai elit kuat, calon independen yang mati-matian mencari dukungan, sampai artis yang selalu bisa menjadi pemanis dalam setiap pemilihan. Menurut Melati, tak ada calon yang benar-benar kompeten untuk membangun dan memimpin Kota N. Baginya, Kota N memang tak perlu menjadi maju. Biar saja tetap begini asal adem, ayem, tentrem, kerta raharja. Meskipun demikian, Melati sedikit respek terhadap wakil dari sang artis. Kebetulan Melati pernah melakukan wawancara singkat dengannya. Orang ini cukup memiliki visi yang kuat untuk Kota N, terutama dalam memanfaatkan potensi yang terdapat di Ngawi seperti bahan galian C.

Calon kuat lain adalah wakil bupati yang mencalonkan diri sebagai bupati, dan wakilnya adalah anak laki-laki dari bupati yang lama. Calon ini memang tampak lebih kuat memiliki basis massa. Selain didukung oleh beberapa partai besar sebagai koalisi pragmatis, calon ini juga merangkul tetua-tetua organisasi pencak silat yang ada di Kota N. Hampir semua pemuda menjadi anggota organiasasi pencak silat ini. Bapaknya Melati adalah salah satu dari tetua organiasasi ini. Setiap kali Si Calon X mengadakan doa bersama, para tetua organisasi pencak silat selalu tak pernah pulang dengan tangan kosong. Entah selembar atau dua lembar uang berwarna merah segar itu selalu diselipkan di saku mereka. Kalau dihitung-hitung, hampir lima ratus ribu yang diberikannya kepada Bapaknya Melati. Tinggal mengalikan saja berapa tetua yang diundang.

Demikian Bapaknya Melati secara tidak langsung ikut menjadi pendukung Si Calon X. Ia juga berusaha untuk merangkul keluarganya agar memilih Si Calon X. Melati bukanlah orang bodoh. Ia mencela politik uang dalam ruang-ruang kuliah. Tapi kalau dalam situasi seperti ini, membusuklah teori-teori. Menguaplah semua idealisme. Tawaran uang dari bapaknya cukup menggiurkan, meskipun uang itu tidak secara langsung didapatkan dari Si Calon X. Tetap saja, Bapaknya Melati mencoba untuk membeli suaranya. Melati semula memang tak ingin memilih. Kalau pun akhirnya memilih, ia akan memilih calon yang sesuai dengan kehendak hatinya. Lembaran berwarna merah segar itu terselip dipikirannya sesaat sebelum pemilihan. Bapaknya Melati sebelumnya sudah mengancam, akan berdosa kalau tak memilih Si Calon X. Tentu akan lebih berdosa lagi jika akhirnya setelah jadi, Si Calon semakin menggerogoti kota tercintanya.

Melati berangkat menuju tempat pemungutan suara. Dalam bilik suara itu, Melati sesaat memejamkan mata. Berdosakah kalau ia tak memilih? Benarkah suaranya bisa dibeli? Benar-benar baru kali ini Melati mengalami dilema hanya kerena hal begini. Idealismenya berubah menjadi pragmatisme. Setidaknya suara melati masih dihargai lebih tinggi. Penduduk sekitar mendapat amplop berisi sepuluh ribu. Dan di hari itu, diketahui bahwa Si Calon hampir menang di semua daerah di kota N.

Apabila terjadi sesuatu pada kotanya dikemudian hari, maka Melati akan sangat merasa ikut bertanggungjawab terhadapnya.

Kota N, 13 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar