Kamis, 02 September 2010

Hujan Bualan dari Para Pembual

Hujan Bualan dari Para Pembual

Pembual I : Biar aku memunguti remah-remah hatiku setelah sepasang mata menelanjanginya hingga tercecer dihadapanmu.. kususun lagi, ah mana tau besok kau yang mau membeli

Pembual II : Hei, kau ini penyair darimana?

Pembual I : Aku cuma sekedar membual, bukan menyair

Pembual II : Ah, seperti tak tau saja. Aku suka kau buali, lagi

Pembual I : Sontak kurangkai bualan dan kau mengaggapnya syair semalam. Ah, apa lagi kubuat bahwa inilah sekarang sudut pandang “aku”

Pembual II : Dari planet maya itukah kau? Entah syair atau bualan. Aku butuh sajak untuk kuhirup tiap malam

Pembual I : Dari malam-malam bualanku tercipta, membentuk senyawa-senyawa kesepian, partikel-partikel kedinginan, jadi kata, jadi rindu, jadi sajak dalam setiap malammu.., ah, kau pura-pura melupa zat dan malam-malam yang kita tiduri dulu

Pembual II : Siapakah? Kaukah itu? Ah, entahlah. Ingatanku penuh sesak oleh tumpukan utang, buku-buku kuliah dan detak-detak kedinginan

Pembual I : Tak perlu sesak hidupmu jadi ragu untuk kembali mengingat namaku, hutangmu pada dunia, buku-buku kehidupan, lebih bisa mengajari betapa kita tetap beruntung dengan nafas ini,
Ini memang aku

Pembual II : Ternyata ingatanku tak terlalu lapuk untuk membuka kembali brankas yang berisi namamu. Kawan, pekabaranmu tak pernah sampai padaku. Kemana saja puisi kau bawa lari?

Pembual I : Aku tengah duduk-duduk dengan puisi suatu malam dan tiba-tiba “yang seperti aku” mengajak bercinta dengan dunia. Kutanggalkan malam makai topeng hingga kuingat sebait kata. Malam, kau dan bualanku

Pembual II : “Yang seperti aku” lagi kebingungan nyari topengnya. Hei, jangan-jangan sedang kau pakai. Tapi wajahku bukan itu. Bukan topengmu. Bukan wajah yang itu. Hei, aku telanjang tanpa topeng itu? Dimana?

Pembual I : Di sini, dengan malam lagi. Bergumul mencumbui puisi..mencari topeng baru agar kau tak begitu sesak melihatku. Mencari topeng baruku di laci lama, laci tua aku lahir dan menetes mata
Hiruplah setiap bualanku. Topengku tinggal satu untuk nyamar menyebar sendu. Begitu kuat hasratku menetes mata, lagi dan lagi.. tapi ku tau cuma ada puisi, jadi biarlah kau kubohongi

Pembual II : Aku suka setiap kebohongan. Aku suka setiap bualan. Jadi, terus saja pakai topengmu. Terus saja buali dan bohongi aku. Sampai mabuk sama sajak-sajak terkutuk. Sampai takluk sama puisi-puisi tak punya bentuk

Pembual I : Akan kutusukkan pedang ke ulu hati agar tak lagi aku memiliki kebosanan membohong dan membual. Terus dan terus, lagi dan lagi, hingga tersisa labirin hampa hanya aku dan bualanku

Pembual II : Aku yang mau mati dengan pedang menancap di ulu hati. Bosan juga lama-lama dengar bualan. Para penyair lahir dari kata-kata tak berakhir. Bawa aku. Bawalah aku. Ke tempat dimana tak lagi ada bualan dan kebohongan

Pembual I : Di lorong hitam masih aku memijak kaki, sunyi dari siul panggilmu. Gelap dari suar rayumu. Di lorong dan dinding-dinding menatihku ini, aku baru melahirkan bualan, belum kata-kata perawan
Seperti apa tempat tanpa bualan dan kebohongan itu? Jika mampu, biar kupintal mulai dari sekarang

Pembual II : Entah seperti apa. Aku pun tak pernah tau. Barangkali seperti kau tanpa topengmu. Seperti hening dini hari. Tempat itu tak perlu kau pintal. Temukan kau tanpa. Tanpa dalam segala ada

Pembual I : Aku tanpa topengku akan seperti benang-benang transparan hingga semua luka dan nanahku bisa memilukanmu, tempat tanpa bualan apakah itu? Aku masih meraba

Pembual II : Jangan lagi kau pusingkan tempat macam itu. Tempat itu mungkin juga hanya bualanku

Pembual I : Ah kau... aku terlanjur bermimpi tentang tempat tanpa bualan itu. Ah, mimpiku bualanku

Pembual II : Siapa bilang bualanku tak benar. Siapa bilang mimpi-mimpi pasti jadi samar. Bisa jadi bualanku benar-benar samar. Bisa jadi tempat itu nyata-nyata benar

Pembual I : Ada tira-tirai kegalauan masih menutupiku. Mungkin dua kali punama, atau tiga. Aku bisa menyibak samar-samar tempat itu

Pembual II : Malam-malam bikin galau. Dua tiga purnama aku menjelma gila. Aku mau pinjam jam sepuluh lewat sembilan belas menit ini. Boleh kutukar sama sekeranjang bualan puisi

Pembual I : Beranjaklah dahulu memejam mata. Jam sepuluh belasan menit ini usah kau lewatkan. Berhentilah dengan waktu dan terbuai mimpi di situ. Boleh kuiringi bualanku untuk menemanimu

Pembual II : Mataku terpejam, tapi tidak dengan mimpi di balik jam. Tersungkur oleh dengkur manusia-manusia lupa tukang tidur. Mendongkrak-dongkrak mimpi sampai tinggi. Ketinggian, bahkan. Sampai lupa cara menjejak bumi. Biarkan saja. Nada teratur dari nafas berhembus keras itu itu membuatku tersaruk kembali. Hei, sampai aku pada pintumu?

Pembual I : Biar kukatakan, aku menipumu berkali. Tak wujud pintu kecuali hayalanmu, bisa kau buka. Tapi ada di dalamnya tiada rupa. Payah oleh usia, tua oleh kata-kata

Kembali tersaji bualan dari hasil saling berbalas pesan. Para pembual sedang menyiapkan bualannya untuk dijual kepada Anda. Maka, jangan sampai ditipu, dibuali, dibohongi seperti selalu aku. Suka dibuali sama Pembuai I itu. Masih lagi kunantikan bualanmu.

Pembual I : Ah, lama rasa tak kau kirim kata, sepertinya baru semalam... Atau dua atau tiga kata tak bersapa

Pembual II : Kau mau kubuali lagi? Ah, ini malam awal-awal ramadhan. Orang-orang lagi sibuk melawan kantuk dan kekenyangan. Huruf-huruf tak terpahami dibca merdu. Bergelantungan dimana-mana. Di ujung lidah, tertelan kerongkongan. Juga di ceruk wajahmu yang masih bertopeng itu. Kau tak ikutan mereka rebutan tuhan?

Pembual I : Au ah helap.. Mending bual merdumu nyenyak di telingaku. Toh tuhan tak tidur. Mana mau menjadi rebutan
Malam belum sepenuhnya terlelap, jadi jeda bualanku kunjungimu

Pembual II : Gelap juga harus membual apa lagi. Rasanya ini otak butuh direnovasi. Kau tak balik ke kampung halaman? Kunjungi kota kita yang sunyi. Bacai lagi catatan dan malam-malam yang kita buat bersama sepi

Pembual I : Terperangkap kesendirian di kamar kecil ini, tau mau meraba sunyi kampungku. Menikmati sunyi tiap malam, merangkai syair-syair rindu pada seseorang. Rindu setengah mati. Rindu yang tak jadi

Pembual II : Kenapa selalu sunyi dan rindu yang membaluti setiap puisi. Aku, kau, sama sama kita memerangkap malam. Rindu selalu indah. Tapi rindu malah jadi tak indah. Dalam pertemuan membuncah ruah

Pembual I : Enggan aku menitik mata lagi. Jangan sesali rinduku terobati tiap merayu mesra sunyi. Tak lagi, tak lagi, tapi lagi lagi, datang lagi. Aku, kau, juga malam mereka. Mau apa?

Pembual II : Kita membunuhi saja sunyi. Kita siksai saja rindu. Sampai belur. Sampai tak bisa mengoyakiku lagi. Hancur enggan lagi bertutur. Aku lagi kalah main catur soal cinta

Pembual I : Tak kau letak bidak bidak catur cintamu pada kotak yang tepat? Peluncur rindumu? Kemana kau arahkan? Benteng cemburumu, pion pion rayumu? Ah, bahkan aku belum memiliki ratu untuk bertaruh. Keburu permainanku disidak malam. Jadi tuli lagi aku. Jadi bisu lagi. Kembali hanya bernarasi. Tak henti, tak henti, tak henti

Sekian saja bualan dari kami. Terimakasih bagi saudara-saudara yang sudah berkenan membaca.

Ps: Pembual I adalah teman saya berpuisi sejak SMA. Semoga tak keberatan secuil karyanya nampang di sini.


Awal Ramadhan, Yogyakarta, Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar