Kamis, 02 September 2010

Surat dari Cempluk Buat Si Mboknya

“Udaraning rasa iki tansah nonjok, kudu kawetu,” kata Cempluk mengawali permintaannya kepada saya.

Saya dititipi Cempluk untuk menuliskan pesannya kepada Si Mbok. Cempluk tak pernah berani mengatakannya secara langsung. Bingung, katanya. Semoga saja dengan menuliskan surat ini, Si Mbok bisa mengerti keinginan Cempluk. Buat Si Mboknya Cempluk, saya pribadi ingin bertitip pesan. Mbok ya jangan memaksakan mimpi pada anakmu. Hanya karena tak ingin anakmu mengulang getir kehidupanmu dulu. Si Mbok mesti sadar, kalau Cempluk itu sedang dikejar takdirnya sendiri.

Sebelum tengah malam. Langit berhias gumpalan awan. Selintas berbentuk jamur tak jelas. Selintas kemudian seperti kepala raksasa lapar yang ingin menelan bulan. Begitu samar dalam terang separuh purnama dan beberapa titik bintang. Beberapa helai angin berkelebat sesaat. Daun belimbing di depan kamar Cempluk bergerak perlahan. Ikut mendengarkan. Dan Cempluk pun mulai bercerita dengan kepala menunduk.

“Mbok, apalah yang bisa kulakukan tiap malam selain bertopang dagu. Mendengar kata-katamu yang mendengung di seberang itu. Aku tak pernah ingin menyakitimu. Apalagi ketika kuputar kembali ingatan tentang ajaran bu guru. Dari es de sampai es em a, mereka mengharuskan tiap murid untuk menghormati ibunya, tak membantah kata-katanya, tak boleh bilang ‘ah’ ketika dengar suruhannya, bla bla bla. Anakmu ini tak pernah bisa. Aku ingin punya mimpi dan hidupku sendiri. Kau turuti semua mauku, tapi kau tak memberi pilihan agar aku memilih hidupku.

Mbok, mimpi anakmu ini sangat sederhana. Hidup di kaki bukit dengan seseorang yang dicintainya. Entah dengan Kang Bedjo atau siapapun itu. Rumah mungil berpagar bambu dengan halaman tak begitu luas dikelilingi beragam tanaman. Menghijau seindah taman. Selalu terbuka sebuah jendela besar di samping pintu untuk melihat cucu-cucumu berlarian berkejaran. Jendela yang akan memperlihatkan ketika ia pulang meladang. Aku menyambutnya dengan segenggam cinta dan sebaris lambaian tangan. Sepanjang sore akan kami habiskan dalam cangkir-cangkir teh dan pisang goreng hangat. Betapa akan ada kebahagiaan teramat sangat. Di sana akan kutuliskan kisah-kisah manusia, peradaban, sejarah dan cinta. Bercengkrama membakar penat. Di bawah atap yang menampung embun, panas, garis-garis gerimis, badai maupun hujan lebat.

Mbok, aku tak pernah ingin menjadi orang pinunjul seperti kau harapkan itu. Kau bilang impianku hanya igauan orang mabuk. Kau tak pernah bisa mengerti kalau kami akan hidup sederhana penuh cinta. Kau bilang itu khayalan belaka. Kau bilang kami tak akan pernah bisa bahagia. Kau bilang pertengkaran-pertengkaran kecil itu akan menjadi kerikil, lalu membatu, lalu menggunung dan melindas kami sampai tandas. Kau bilang juga, kami akan ribut soal perut. Dia tak akan bisa membahagiakanku, katamu. Membelikanku baju-baju, bedak dan gincu. Dan tanganku pun akan menjadi kasar karena terlalu banyak menumbuk padi dengan alu. Kau bilang juga, Kang Bedjoku akan pulang tiap malam dengan mulut bau ciu. Putus asa karena pekerjaan tak menentu. Tak membawa apapun ke rumah selain gerutu. Taruhannya di meja judi tak pernah menang. Pulang dengan membawa lubang galian baru. Sementara utang kami, sudah tiga bulan lalu jatuh waktu. Dan kau akan sia-sia menyelokahkanku. Tak ada artinya membesarkanku. Lalu kau akan mulai menyesali. Ketika aku tak bisa merawatmu saat senja mulai menyambangi usiamu.

Mbok, barangkali kau memang punya mimpi sendiri untukku. Impian yang kau rajut setiap malam. Di tengah redup lampu kamarmu, dalam setiap doa dan permohonan. Kau ingin aku membanggakanmu. Kau kembali tersenyum ketika bukan Kang Bedjo yang mendampingiku melainkan seseorang yang sederajat denganku. Ah, darimanakah kau mengukur cinta, Mbok. Dan dia yang pilihanmu itu. Akan menyiksaku dalam kelu. Sepah sudah tanpa cinta yang telah rebah. Aku mengerti Si Mbok ingin yang terbaik. Peta perjalanan dengan jelas telah kau gambarkan. Gambaran masa depan berulang kau putarkan dalam ingatan. Tapi, aku tak sedang beringin itu.”
Yah, dan beginilah Cempluk mengakhiri suratnya buat Si Mbok. Cempluk sedang ingin menuliskan sejarahnya sendiri. Cempluk akan mengutuki diri ketika ia tak bisa menjadi Cempluk. Kusut bertekuk lutut dalam angan-angan Si Mboknya sampai lunglai, takluk.

“Mbok, maafkan anakmu,” kata Cempluk sendu. Butiran bening meleleh membelah pipi Cempluk. Dari jauh, saya dititipi cium dan peluk dari anakmu, Cempluk. Bagaimanapun, Cempluk tetap ingin membahagiakan Si Mboknya. Seandainya saja kalian bisa untuk tidak meributkan masa depan sekarang. Karena selalu ada yang setia pada tugasnya. Membisikkan ketentuan-ketentuan itu di atas ubun-ubun kalian tiap malam.
Segera kemudian saya meraih, merengkuh tubuh Cempluk. Di atas sajadah doa pada ibunya, Cempluk memikul isak yang bertumpuk. Tubuhnya tergungcang karena tangis yang mencincang. Di perbatasan jarak, Si Mboknya Cempluk yang sedang hening dalam sila pun tergetar bersama getir yang tiba-tiba merasuk. Dalam duduk, ia pun terguguk.

Yogyakarta, Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar