Kamis, 02 September 2010

Dari Sepi Menjelma Puisi

Dari Sepi Menjelma Puisi
Diceritakanlah sebuah percakapan di tengah malam. Antara gadis dan pria yang sama-sama kesepian. Persahabatan mereka menjelma kata-kata. Dalam sepi lewat pesan-pesan pendek, sejenak melepaskan buntalan kata yang terpenjara. Mungkin ini tak bisa disebut sebagai puisi. Hanya ungkapan-ungkapan yang terdengar klise dari para pecandu malam dan penikmat kesepian. Selamat menikmati saja, semoga Anda menyukainya...

Sebelumnya, mereka bercakap tentang acara humor di televisi, ditayangkan hampir tiap hari. Dua manusia itu tak ada yang tertawa menatap layar kaca di depan mereka. Sama-sama bosan melewati malam, terasa sangat biasa. Si Gadis Sepi kemudian menjajal kemampuan Si Pria Sepi mencipta puisi.

Gadis Sepi : “Coba we gawe puisi, in English, maybe...hehe..”

Pria Sepi : “Lagi gak enek inspirasi. Kamu ae yang bikin.”

Meskipun mengaku sedang tak ada inspirasi, Pria Kesepian beberapa saat kemudian mengirimkan pesan pendek puitis pertamanya kepada Si Gadis Kesepian

Pria Sepi : “Lonely season in this night. Banyak orang menyanyikan kesepian. Try to sing but silent. Musim ini telah menyelimuti diri setiap insan. The moon try to give a joke, but not fun. Hanya bisa diam dan terpaku berteman sepi.”

Gadis Sepi : “Cieehhh...selamat datang pujangga baru.”

Pria Sep : “Time for you to make the great words.”

Gadis Sepi : “Ngko sik, rung metu kie..”

Pria Sepi : “Okay..antrian huruf demi huruf telah menanti kau ajak berbaris menuju lantunan keindahan.”

Gadis Sepi : “Wah, ternyata kau berbakat juga.”

Pria Sepi : “Bakat terpendam paling, hehe...”

Tak lama, Pria Kesepian pun beraksi lagi dengan kata-katanya.

Pria Sepi : “Mencoba menerawang tapi tak tampak. Mencoba berpikir tapi tak bisa terpikirkan. Mencoba menulis tapi tak muncul. Mencoba menunggu tapi tak datang-datang. Inspirasi..oh...inspirasi. Kemanakah dirimu kini bersandar. Seorang penyair telah menantimu. Datanglah kepadanya. Supaya dia bisa mengajak anak-anak kata bernyanyi dengan keindahan.”

Gadis Sepi : “Si Gadis tak sedang menunggu pesan angin itu datang. Barangkali, pada sebuah detik beku. Angan memang sengaja tak mau mengetuk pintu kamarnya. Barangkali, dia tak mau lagi meminjamkan malam untuk menampung bualan puisi. Barangkali, dia akan datang nanti. Membawa sekeranjang kata untuk menuliskan catatan kesepian. Betapa panjang sebuah penantian...never feel sure, waiting for something blur.”

Pria Sepi : “Seorang gadis menanti di ujung malam. Dia selalu menanti dan menanti sampai kapan malam yang sepi ini bisa bernyanyi untuknya. Sampai lelah jiwanya berharap kapan penantian itu akan berakhir. Oh, malam...temanilah dirinya dan bernyanyilah untuknya. Ajaklah bintang berdansa dengannya.

Gadis Sepi : “Si Gadis tak ingin ditemani malam. Ia tak mau menari bersama bintang. Ia berharap ada yang meruapkan separuh nyawa untuknya. Menjadikan beku ini kembali menganak sungai. Mengaliri kering nadi. Memuara pada lelana jiwa-jiwa tanpa pegangan. Mencari pasak di tengah isak yang sesak.”

Pria Sepi : “Dan dia pun berharap ada separuh jiwa anak manusia dipersembahkan untuknya. Dia terdiam dan bernyayi dalam hati. Sampai kapankah hatinya membeku?”

Gadis Sepi : “Sampai ada yang mengembunkan uap nyawa untukknya. Sampai ada sebuah pertemuan tak disengaja. Barangkali di sebuah stasiun kereta. Dia akan melanjutkan perjalanan yang tertunda. Pun ketika apa yang ditunggunya tak juga menyambangi bilik mimpi.”

Pria Sepi : “Di stasiun kereta itu dia berdiri. Kereta itu telah berlalu tetapi dia tetap berdiri. Di tengah keramain itu dia merasa sepi. Di tengah antrian itu dia tetap menanti.

Gadis Sepi : “Dia menjelmakan diri menjadi stasiun itu. Orang-orang lalu lalang dalam perjalanan. Kereta-kereta menampakkan selintas bayangan samar tertahan. Di tengah keramaian itu, dia mencari dirinya sendiri. Luput dari perhatian, menghilang dalam lekuk pertemuan dan perpisahan. Gadis itu tetap saja dirajam sendu. Menanti lambaian tangan. Memanggilnya pulang.”

Pria Sepi : “Gadis itu pun mengajak untaian huruf untuk bernyanyi. Mereka menyanyikan suara kesepian. Huruf-huruf itu berbaris menari indah menghibur si gadis. Hanya untaian kata yang indah itu yang selama ini bisa merubah kesepian menjadi pesta hati yang terbelenggu.”

Gadis Sepi : “Si Gadis tetap bernyanyi sumbang. Membiakkan rintih pada hatinya yang gamang. Si Gadis tak bahagia dengan tipu dan gombalan kata. Si Gadis merengut, lalu menggantungkan larut sepinya pada selintas kabut. Ini waktu sedang bermuka dua. Membelai dan mencekiknya bersama-sama.”

Pria Sepi : “Great words..”

Gadis Sepi : “Juga untuk kata-katamu..”

Pria Sepi : “:-)”

Pria Sepi : “Kapan-kapan pinjemi novel yang maknane dalem, hehe..po ngerti aq nduwe bakat terpendam.”

Gadis Sepi : “Okay..”

Pria Sepi : “Ndang merangkai kata-kata neh, ben kamu ndang bisa buat buku sendiri..hehe..judule “Lantunan Kidung Keheningan Jiwa”...

Gadis Sepi : “Kadang aku memang butuh pancingan kayak tadi, meskipun jadinya agak klise begini. Seru juga lho, bagaimana kalau tak publikasi untuk kalangan sendiri?”

Pria Sepi : “Sip...tapi namaku gak usah terlalu tampak, hehe..ntar nek karyaku dijiplak orang gimana?hehehe...”

Gadis Sepi : “Kamu mau inisial apa untuk namamu?”

Pria Sepi : “LM: Lonely Man, hehe....”

Malam berlalu begitu saja. Percakapan mereka usai. Masing-masing sibuk melantunkan lamunan ke negara awang-uwung. Nun jauh dengan segala imajinasi dan bayang-bayang. Enggan mereka beranjak dari malam dan sepi. Sudah terlanjur menikmati.

Pagi datang tiba-tiba. Tak terasa seperti menyentuh ubun-ubun mereka. Matahari menampakkan diri di tengah kerumunan dan sisa kantuk orang-orang. Jari-jari cahaya bertengger di pucuk reranting. Menegak embun. Mengeringkan lembab tanah dan awan semalam yang tak jadi hujan.

Puisi kembali menyapa mereka lewat sepenggal percakapan pendek.

Pria Sepi : “Mencoba bersanding dengan hangatnya terik matahari. Selamat pagi jiwa-jiwa yang bersemangat. Sandingkanlah hangatnya jiwa sejajar dengan hangatnya sang surya.”

Gadis Sepi : “Matahari baru saja akan merangkak. Tapi awan menelannya begitu saja. Keping-keping cahaya itu mulai surut. Tak mampu lagi menyusup di sela rimbun dedaun. Seperti hujan anak panah yang sekejap menghilang sebelum menusuki pori-pori. Siang meredup. Mengungsikan hangat. Menebarkan penat.”

Operator seluler akan tetap menjadi Pak Pos setia. Mengirimkan setiap kata untuk manusia-manusia kesepian di seluruh dunia. Kalian tentu bisa membayangkan, berapa juta pesan yang sedang beterbangan di udara. Betapa sesak langit dan musim.

Percakapan ini akan selalu diteruskan. Kepada lain orang yang sama-sama sedang butuh teman. Ada Si Gadis Sepi di sini. Barangkali, diantara kalian ada yang berminat menghiburnya dengan puisi. Bagi orang yang dikutuk sepi macam begini, puisi tak perlu indah atau menyayat hati. Hanya sesuatu yang bisa sekadar mengisi. Kawan, tak bosan menanti denting kata dan puisi terkirimkan untuk kami.

catatan:
Perkenalkan, Pria Sepi ini tampaknya sedang mencoba menjadi penyair. Meskipun, hanya bisa terilhami dan merangkai kata ketika merasa sepi. Karya hasil kolaborasinya dengan Gadis Sepi ini bisa dibilang merupakan karya perdana. Pria berinisial A asal Kota Ngawi ini sedang gencar mengejar pujaan hati yang tak tahu masih berlari kemana. Sedangkan gadis yang dicintainya sejak es em a itu masih saja enggan menjawab harapannya. Aktifitasnya saat ini masih menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Kota M. Anggota Laskar Senja ini masih aktif nongkrong di angkringan, bercakap soal cinta dan hidup. Meski sayang, intensitas pertemuannya semakin jarang karena kesibukan masing-masing. Kita nantikan saja karya-karya selanjutnya dari Sang Pria Sepi.

Beberapa malam berikutnya.....
Seorang teman (HD) mengirimkan pesan,
“Bila aku tidak menyukai kehidupanku, siapakah yang harus aku salahkan tentang semua ini? Apakah aku harus menyalahkan ibuku, karena telah melahirkanku sebagai anaknya. Atau aku harus menyalahkan Sesuatu yang tak memberiku kepandaian agar aku dapat menang dalam berperang dengan kehidupan. Atau diriku hanya orang bodoh yang menanyakan hal yang bodoh. Mungkin ini hanya pemikiran khilaf sesaat, dimana setan sedang menghampiri hati yang sesat.”

Gadis Sepi pun menjawab,
“Pun halnya aku sempat berpikir sesat. Tapi akupun tak bisa menyalahkan siapapun. Ini hidup seperti mimpi. Siapa yang bisa menyalahkan mimpi. Hah, memang susah mengalahkan diri sendiri. Yang sesat, yang selalu terikat dengan keinginan-keinginan, yang tak bisa lepas dari lekat nafsu, yang selalu ingin memburu. Tak pernah ada yang salah. Bukankah salah pun bagian dari yang benar? Sebagian diri kita memang diciptakan untuk menjadi hitam. Tak pernah ada yang salah. Berbuat, bersyukur, nrima, pasrah dan nikmatilah.”

Dan Pria Sepi pun ikut menjawab,
“Hidup itu aneh tapi nyata, gak ada yang gak mungkin. Hidup itu misteri dan kejutan. Jadi, misteri kehidupan akan lebih mengejutkan.”

Demikianlah setiap pesan memaknai kehidupan. Seperti inilah kekuatan kata-kata yang dituliskan. Tak akan sampai bila hanya dengan lisan. Dan beginilah kami biasa mengeja malam.

Pada suatu malam di Jogja, Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar