Kamis, 05 Mei 2011

Obrolan Para Penyair dalam Sekaleng Bir

Ini warung kopi tapi banyak yang minum bir di sini. Yang tak mabuk tak bisa bikin puisi. Biar sesak di kepung asap rokok, saya akan tetap setia dengan pena dan buku catatan kecil ini, duduk dipojokan bersama seorang teman. Yang saya lakukan hanya merekam, berusaha tak melewatkan obrolan dan diskusi ini. Bukankah akan hilang kalau tak dicatatkan? Bukankah bisa basi kalau hanya ditanak dalam ingatan?

Senin malam, 2 Mei 2011 di sebuah warung kopi, seorang penyair muda Y. Thendra BP melaunching buku kumpulan puisi keduanya. Puisi-puisi ini ditulis sejak tahun 2004-2011. Sebuah usaha yang berat katanya untuk membuat puisi-puisi ini. Hadir sebagai pemantik diskusi adalah Saut Situmorang dan Alwi Atma Ardhana.

Kalau ada orang bersuara berat dengan kaleng-kaleng bir di depannya itu, saya sudah menduga kalau nantinya pembicaraan ini akan mengarah pada perang-perangan yang dimainkan para penyair di dunia mereka. Dunia perang kalian memang sering saya dengar dari kabar yang dibawa angin, beberapa esay Saut dan wacana postkolonial yang sering didengung-dengungkan itu. Seandainya bukan orang yang bergelut dengan sastra, tentu tidak akan tahu permaian perang-perangan seru. Entahlah, sebenarnya saya pun tak begitu paham dengan pintu yang saya masuki malam ini. Ah, setidaknya saya bisa nyangkut, pada seuntai rambut gimbal Saut.

Acara dimulai dengan pembacaan beberapa puisi Thendra. Sulur-sulur asap masih mencekik dari luar dan dalam ruangan. Saya terus merasa sesak sampai mengalihkan pandangan pada seorang pemuda berkaos merah. Dari belakang, hanya punggungnya saja yang kelihatan bertuliskan kutipan kata-kata Sutan Sjahrir yang berbunyi “Hidup yang tak pernah dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan.”

Bicara soal pertaruhan, saya sampai detik ini entah kenapa selalu kalah main judi soal cinta, bertaruh kepingan cinta. Habis sudah cinta, tinggal sedikit saja menyisa. Soal hidup, rasanya tak banyak juga yang sudah saya pertaruhkan, tak banyak pula yang bisa saya menangkan. Wajah orang-orang yang datang dalam acara seperti ini rasanya memang hanya mereka-mereka saja dan entah cerpenis atau penyair berambut gondrong diikat itu datang lagi juga. Masih dengan kaos putih yang sama seperti yang dipakai di acara malam minggu bersama Chairil di Stasiun Tugu. Kaos bergambar salah satu pemimpin dunia bertuliskan ‘he is my hero’ di bawahnya. Apakah seniman memang tak sering ganti baju? tanggalkah inspirasi ketika mereka ganti baju? Barangkali bau keringat bisa memicu urat-urat syaraf kepala untuk melahirkan karya. Tanya saya aneh-aneh saja. Barangkali juga dia punya banyak kaos yang seperti itu.


Romantisme Kedaerahan sampai Dunia Lipstik Perkotaan

Sambil berusaha untuk fokus, saya menyimak apa yang dibicarakan oleh Alwi. ‘Aku’ dalam puisi-puisi Thendra katanya tidak satu, apalagi dalam beberapa puisi yang bernada protes atau mengangkat tema-tema sosial politik. Puisi-puisi Thendra mengandung dua tema besar. Ia memiliki kesadaran sebagai manusia pasca kolonial. Ia sadar pula berada dalam masyarakat yang dihajar sampai mampus oleh liberalisme dan kapitalisme.

Penggunaan ‘aku’ yang sangat cinta merupakan bentuk ironi, melihat Indonesia sebagai succeed state. Thendra memiliki banyak ironi yang bisa dimainkan untuk menggarap tema-tema besar tersebut.

Thendra menjadi salah satu penyair daerah yang memiliki imajinasi tentang kejayaan atau romantisme masa lalu di daerahnya. Misalnya dari sajak “Manusia Utama” yang diterjemahkan dari bahasa suku Amungme yang mulai tergeser. Ia memainkan ironi yang agak romantis tentang lubang-lubang tambang, dan sebagainya.

Tema besar kedua adalah ketika Thendra banyak menyoroti masalah-masalah perkotaan. Ia menggambarkan keindahan yang hanya lipstik, hanya kebohongan. Puisinya menggunakan diksi-diksi yang khas perkotaan. Misalnya saja dalam puisi “April Haiku Chairil”, Thendra menggunakan bentuk ortodoksi Haiku untuk melukiskan imajinya.

Sayangnya, saya tak beli buku kumpulan puisi Thendra jadi mohon dimaklumi kalau tak maksimal menggambarkan penjelasan Alwi.



Masih Nyangkut di Rambut Saut

Dari kumpulan puisi Thendra, Saut berani memberikan klaim sensasional bahwa ini adalah dobrakan dalam sastra Indonesia. Bagi mereka yang hanya menjadi pemuja berhala sastra koran minggu, akan mencret baca buku ini.

Puisi Indonesia Saat ini didominasi oleh puisi-puisi lirik romantik yang bersifat otobiografi. Apa yang sudah dimulai oleh Amir Hamzah, sedikit Gunawan Mohammad, Sitor Situmorang, Rendra, Subagyo Sastrowardoyo seperti dirusak oleh puisi yang hanya indah-indah itu. Para penyair itu sering bermain dengan kata majemuk yang dia sendiri tidak mengerti. Puisi telah dirusak oleh bentuk-bentuk repetisi yang terus direproduksi oleh sampah koran minggu.

Puisi Thendra menjadi angin segar dalam phrasing-nya. Ia telah selesai dengan kata, berbeda dengan para penyair koran minggu yang masih memiliki persoalan dengan kata. Ketika penyair masih memiliki persoalan dengan kata, bagaimana ia akan bicara melalui puisinya. Kesalahan ini diteruskan oleh beberapa nama itu. Padahal, sensasi bunyi pun sebenarnya tidak bisa mereka temukan. Thendra menjadi seperti gelombang kecil karena pengaruh kuat media.

Thendra memberikan penjelasan pertanyaan salah satu peserta diskusi. Barangkali terlalu dekat mikropon itu di mulutnya sampai apa yang dibicarakan menjadi tak jelas, tak sempat terekam. Ada juga pertanyaan tentang seberapa pengaruh Saut terhadap Thendra.

Tema-tema yang diangkat Thendra sedikit banyak mungkin memang mirip dengan Saut. Tema dimana-mana memang bisa sama tetapi kata Saut yang berbeda adalah phrasing-nya, bagaimana seorang penyair mengekspresikannya.

Kembali lagi ke pembicaraan sampah koran minggu. Kata Saut lagi, mereka itu telah salah dalam melakukan eksperimen kata untuk bunyi. Mereka banyak menggunakan repetisi kata atau kalimat dalam karya-karya puisi di koran minggu. Namun, mereka menggunakan fomula yang gagal. Lisensia puitika tetapi gagal juga. Menyerap bahasa Jawa ke Melayu-Indonesia tetapi gagal lagi. Kesalahan ini menjadi sesuatu yang diulang-ulang dan secara tak sadar dianggap benar. Ini terjadi pada pengulangan kata untuk jamak yang seharusnya diulang secara utuh. Untuk menunjukkan banyak daun seharusnya ditulis dengan ‘daun-daun’ dan bukan ‘dedaun’. Kata ‘pepintu’ itu tidak ada karena yang benar adalah ‘pintu-pintu’.

Entah mengapa hal ini bisa terjadi. Mereka seperti ingin menciptakan neo-pujangga baru-isme dengan menciptakan efek bunyi pada kata yang mirip lagu. Dari kata, mereka ingin menciptakan efek bunyi seperti musik. Nada menjadi komposisi paling tinggi dan kata sepertinya ingin dipaksakan untuk bisa menyeimbangi nada.

Seorang penyair adalah kekasih kata. Ketika seorang penyair ingin melesapkan makna dari kata berarti ia tak lagi menjadi kekasih kata. Lebih kacaunya lagi, bahkan para redaktur koran minggu itu ada yang tidak menulis puisi. Tambah parahnya, para penyair ada yang menganggap status jurnalistik sebagai standar status estetik. Mereka tak bangga karyanya masuk KR tiap bulan, tapi bangga ketika bisa masuk Kompas setahun sekali. Semua puisi menjadi seragam padahal redaktur koran minggu banyak yang mempropagandakan pluralisme. Kalau tak percaya bisa dicoba. Sekali-kali tulislah puisi bernada protes seperti puisi Wiji Thukul, bisa dijamin tak akan masuk koran. Sementara itu, ketika kau tulis puisi tentang diri sendiri, pasti masuk.

Pertanyaan lagi tentang apakah Thendra berhasil memasukkan kritik sosial dengan gayanya? Alwi kemudian menjawab bahwa kata ‘tambang’ yang digunakan, mungkin menjadi haram bagi banyak MNC di Indonesia, jarang juga digunakan oleh penyair. Kulon Progo mungkin banyak dilukiskan dengan pantainya yang indah tapi jarang yang mengangkat ironi pasir besi, misalnya. Thendra telah berhasil menggunakan ironi sebagai poetry device. Puisi-puisinya datang dari satu tradisi dan ironi-ironi yang digunakannya bisa sampai ketika ia bisa memilih diksi-diksi yang justru haram.

Kata Thendra tentang puisinya yang mirip Saut itu, semua orang pernah terluka tapi yang menjadikannya beda adalah bagaimana mengungkapkan luka itu. Dia mengaku belajar dari Saut tapi tak merasa terpengaruh dengan Saut. Puisi-puisi Saut, juga khasanah pengatahuan dunianya telah ikut membuatnya kaya.

Saut menyahut bahwa isu pengaruh itu menarik, seperti dalam kumpulan puisinya “Saut Kecil Bicara tentang Tuhan”. Ada semacam kecemasan tentang pengaruh. Seorang penyair bisa beranggapan bahwa supaya dia bisa hidup dalam puisi maka harus membunuh dewa-dewa mereka sebelumnya. Kecemasan ini khas dialami oleh kaum romantik sekitar abad ke-18 yang menentang habis rasionalisme pada abad sebelumnya (ini kalau saya tidak salah dengar).

Para penyair berambisi untuk menciptakan kredo sendiri dan menemukan orisinalitas. Jamal D. Rahman pernah bertanya kepada Sutardji, “semua gaya puisi telah ditulis, lalu saya nulis apa?” Sautlah yang menjawab, “Bunuh diri saja kau,” diiringi dengan derai tawa berat Saut dan yang lain.

Apa yang sudah dilakukan Saut adalah mencoba memasukkan semua penyair ke dalam dirinya dan kemudian memberinya nama baru. Inilah yang disebut sebagai intertekstualitas. Inilah yang disebut orisinalitas bagi Saut. Mencontek itu mungkin tapi siapa yang bisa mencontek. Mencontek adalah pekerjaan yang tidak mudah, bahkan Taufik pun hanya bisa plagiat. Pengaruh itu justru harus dimiliki oleh penyair.

Kekal kemudian menanggapi bahwa pasca ia menerbitkan buku, justru banyak hantu-hantu menggagu. Penyair muda sangat sulit untuk tumbuh menjadi dirinya. Ada sistem feodal yang telah diamini bersama, bahkan oleh beberapa jaringan sastra. Seorang penyair muda kalau harus berdiri bahkan harus menghancurkan dirinya. Koran minggu tidak hanya mempengaruhi tetapi juga menakut-nakuti dan akhirnya sampai pada yang merusak itu. Ia kemudian bercerita produktifitasnya ketika masih berada di kampung halaman dan sekarang entah kenapa malah menjadi tidak produktif, mungkin setelah mengenal Kompas juga. Yang mau jadi nabi menjadi semakin sulit karena harus menghadapi sabda nabi-nabi yang lain.

Saut kembali menyahut tentang sebuah jalan alternatif. Sebagaimana di Selandia Baru, dimana terdapat dua arus yang sama kuat antara sastrawan akademis dan satrawan kafe. Sastrawan akademis biasanya mempublikasikan karya mereka lewat majalah-majalah sastra sedangkan sastrawan kafe ini biasa membacakan sajaknya di kafe-kafe. Dua kubu ini memang saling berantem juga tetapi bisa bersama-sama berjalan dan sama-sama meriahnya. Tidak ada keharusan suatu karya diterbitkan. Ada semacam tradisi membaca karya secara lisan sebagai alternatifnya.

Para penyair yang tidak ingin memberhalakan sastra koran harus mampu menciptakan arus lain seperti live poetry. Sayangnya, tradisi ini belum terlalu kelihatan di sini. Bayangkan bagaimana meriahnya ketika para penyair bisa saling membacakan karyanya di kafe-kafe, di depan wanita-wanita cantik yang datang minum kopi. Arus ini bisa menjadi semacam perayaan bagi mereka-mereka yang ingin hidup di luar sastra koran. Lalu, ketika tradisi ini bisa berjalan di sini, sanggupkah para penyair itu tidak diundang ke acara-acara penerimaan hadiah sastra? Sanggupkah mereka untuk tidak dinilai dengan penghargaan-penghargaan? Memang ada persyaratan utama yaitu menjadi bintang merah komunis. “Hahaha....,” Saut kembali tertawa, kali ini lebih renyah.

Derai tawa berat Saut disahut yang lain. Saya menutup catatan kecil ini. Kembali merenung-renung. Perang kalian itu masih terlalu abstrak. Saya rasa biar saya di sini saja. Belum waktnya saya ikut perang-perangan sementara persoalan puisi saya pun belum terselesaikan. Benar juga, bagaimana ingin berkata kalau masih banyak persoalan dengan kata? Bagaimana mau maju perang jika tak punya senjata? Saya merasa tak pernah cukup hingga tak pernah berani keluar. Dan saya juga belum memutuskan akan berdiri di kubu yang mana. Akan saya leburkan saja dua kubu itu jadi satu dan menjelma puisi Ratna. sementara itu, biarlah saya melanjutkan ini dulu, mencari diri sendiri dengan lirisisme, romatisisme, puisi-puisi gombal tentang kesepian yang kekanak-kanakan.

Puisi adalah ekspresi. Tak ada yang salah dengan semua puisi. Berat memang ketika membawa kuasa dan politik dalam puisi. Akan ada yang dominan dan akan ada yang menjadi korban. Pasalnya, hukum alam memang mengatakan demikian. Jangan-jangan yang menghegemoni itu tak sadar telah menindas belahan jiwanya. Biarlah dunia kalian menjadi seru dengan ramainya resistensi puisi-puisi anak muda penuh ironi. Biarlah bapak-bapak pembaca harian minggu sedikit dilenakan dengan sajak-sajak indah sastra koran. Bukankah itu baik juga menjadi hiburan setelah seminggu jadi buruh, nguli cari uang. Sayangnya, memang harus mencapai titik seimbang. Mengalahkan yang dominan memang tak mudah dan inilah yang sedang diperjuangkan para penyair muda di sini.

Tentang alternatif membacakan sajak itu, sepertinya dari dulu saya juga sudah sering melakukan. Sayangnya hanya didengar hujan, didengar malam.

Yogyakarta, 4 Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar