Senin, 02 Mei 2011

Ziarah Kubur Penyair yang Tak Pernah Mati

Di Bentara Budaya Yogyakarta, 27 April 2011, para seniman menziarahi kembali kenangan dan karya-karya Chairil Anwar si penyair besar. Obrolan digelar dengan tema “Chairil Anwar: Hidup dari Hidupku.” Hadir pula dalam acara ini anak perempuan Chairil bernama Evawani. Si Celurit Emas, D. Zawawi Imron, datang juga sebagai pembicara dan yang terakhir adalah Tia Setiadi, seorang esais dan penyair.

Acara dibuka dengan pertunjukan musik dari Untung Basuki bersama Sanggar Bambunya. Mereka membawakan musikalisasi puisi dari sajak “Di Tepian Brantas” karya Kirdjomulyo. Seiring lantunan musikalisasi puisi ini, foto-foto tafsir puisi Chairil jatuh beberapa. Tampaknya, Chairil sengaja datang menyaksikan bagaimana zaman ini mencoba untuk meminjam kembali semangatnya, di tengah puisi-puisi yang semakin tak puitis bertebaran dimana-mana.

Sepanjang denting gitar, pandanganku tak lepas dari Mbak Eva, tak menyangka kalau kesan saya tentang anak seorang penyair bisa dikacaukan dengan penampilannya. Zaman bergerak, berderak dengan suara yang semakin serak. Anak penyair itu ternyata sama sekali tak mewarisi bakat bapaknya. Padahal, keren juga kalau ada penyair perempuan seperti Chairil. Ah, kebanyakan penyair perempuan masih sentimentil dan melankolis sepertinya. Atau tak sadar saya hanya bicara tentang diri saya sendiri? Sepertinya yang terakhirlah yang benar.

Rambut dicat merah, bersepatu karet hijau model terbaru, memakai celana hitam dengan baju kuning bercorak bunga-bunga kecoklatan. Kacamata ditaruhnya di atas ubun-ubun kepala. Bibirnya merah sekali. Anak penyair itu melangkahkan kaki dengan sedikit pincang ke depan, duduk di bagian pinggir paling kiri setelah Pak Zawawi dan Tia Setiadi.

Untung Basuki masih melantunkan dua sajak berikutnya, “Sajak Kerinduan” dan “Elegi”. Masih ingat di telinga baris yang diulang-ulang dalam lagu Elegi dari sajak Linus Suryadi AG itu, “Pergi menggoreskan luka kembali.....”. Setelahnya, masih ada pembacaan puisi Chairil berjudul “Aku” oleh Anang Hanani, saya tak kenal juga siapa dia. Yang saya ingat adalah ekspresinya ketika membawakan sajak “Aku” dengan garang dan terlalu cepat. Tampaknya memang sajak ini yang saya kenal pertama kali, dulu.

Sepenggal Kenangan

Mbak Eva mulai dipersilakan untuk bicara setelah pembawa acara membacakan sajak Chairil berjudul “Doa”. Kenangan dan cerita-cerita kecil yang tersisa dari sosok Chairil mulai mengalir. Mbak Eva bukan penyair, dia bekerja di bidang hukum, menjadi notaris. Putri keduanya juga seorang notaris. Mbak Eva tinggal di Krawang dan putrinya di Bekasi, jadilah seperti sajak Chairil “Krawang Bekasi”. Mbah Eva ditinggal mati Chairil ketika dia masih kelas tiga es de. Ibunya kemudian menikah lagi dan nama Chairil dirahasikan dari putrinya itu. Suatu hari, buku Chairil diterbitkan dan dari situlah Mbak Eva tahu siapa ayahnya.

Mbak Eva melanjutkan cerita tentang rencana pemindahan makan Chairil dari Karet ke Krawang, mungkin biar Chairil bisa ikut merasakan berbaring bersama para pahlawan-pahlawan lain, tapi keluarga tak mengizinkan karena wasiat Chairil di salah satu puisinya, “di Karet-di karet daerahku yang akan datang”.

Chairil pernah bilang pada istrinya, kalau dia berumur panjang kepingin jadi menteri. Kalau dia berumur pendek, maka akan banyak orang yang akan berziarah ke kuburnya. Pada waktu itu masih dalam pemerintahan Belanda dan istrinya pun berkata, “boro-boro mau jadi menteri, malah masuk penjara.” Itulah sepenggal kisah yang pernah didengar Mbak Eva dari ibunya.

Chairil adalah orang yang sangat menggilai buku. Ia rela tak makan asal masih ada buku untuk dibaca esok. Bahkan, untuk sebuah buku, mencuri pun ia rela meskipun akan dikembalikan lagi ke toko setelah dibaca. Chairil menulis puisi secara otodidak, ia juga menguasai beberapa bahasa walaupun tak pernah menamatkan sekolahnya. Mbah Eva banyak juga mendapatkan cerita dari Asrul Sani dan HB. Jassin tentang ayahnya.

Cerita-cerita masih saja dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan pancingan yang dilontarkan pembawa acara. Hidup Chairil adalah hidup seorang seniman. Keluyuran setiap hari di antara stasiun Krawang dan Bekasi. Ia menikah ketika zaman perang, hingga harus melewati galengan atau pematang sawah hanya untuk bisa menikah. Bunga yang dipakai pada waktu itu adalah bungai teratai sampai setiap layu harus segera diganti dengan yang baru.

Meskipun dengan kehidupan ala seniman seperti itu, Chairil sangat menyayangi Eva. Ia seperti ingin membawa anak perempuannya itu pergi kemana-mana. Chairil ingin memiliki anak itu seutuhnya untuk dibawa berkelana. Ia sempat menculik anaknya sendiri. Bahkan, keluarga mengancam akan melaporkannya ke polisi. Dari tulisan Nasjah Jamin, pernah diceritakan bahwa ketika Chairil sedang sendiri, matanya berkaca-kaca, berbisik menyebut nama anak dan istinya.

Chairil hanya meninggalkan sebuah radio tua. Tapi, dari banyak cerita ini, Mbak Eva merasa sangat bangga terhadap ayahnya. Bersyukur sekaligus sedih juga kenapa dia yang hanya anak satu-satunya tak dituruni bakat ayahnya itu.

Entahlah, cerita ini terasa garing. Padahal, saya pun tak juga begitu mengenal Chairil. Hanya puisi berjudul “Aku” dan “Doa” saja yang masih sedikit teringat karena pernah saya bacakan ketika lomba baca puisi waktu kecil dulu. “ra kenal Chairil kok ngaku penyair,” saya mengejek diri saya sendiri. Saya mengaku memang tak begitu punya kemampuan untuk menyerap zaman dan bacaan-bacaan, atau saya tak menemukan, atau jangan-jangan...ah sudahlah, saya tak ingin berprasangka yang bukan-bukan tentang diri saya sendiri.

Wajah Chairil di Zaman ini

Inilah yang akan disampaikan oleh Tia Setiadi. Bagaimanakah Chairil di masa sekarang? Maka, dimulailah sebuah cerita.

Pada tahun 1946, ada seorang perempuan Amerika melakukan perjalanan dengan kereta dari Yogyakarta menuju Jakarta. Tiba-tiba, seorang pemuda berpakaian lusuh menghampirinya dan mengajak bicara. Ternyata perempuan itu adalah istri dari penyair besar Amerika, Ernest Hemingway.

Pemuda itu mengajaknya berdiskusi tentang kebudayaan Amerika. Tidak hanya menguasai soal kebudayaan secara umum saja, tapi juga mahir membicarakan pengarang Amerika, termasuk suaminya. Pemuda itu memahami setiap apa yang dikatakannya dan bicara dengan nada berapi-api. Istri Ernest Hemingway ternyata terus mengenang moment ini sampai di bawanya pulang ke Amerika. “Kalau saja banyak pemuda seperti itu, betapa hebatnya Indonesia setelah merdeka,” kata istri Ernest Hemingway. Dan pemuda itu adalah Chairil Anwar.

Pada wkatu itu, ia berumur sekitar 24 tahun. Pertanyaannya adalah bagaimana ia belajar? Tia sudah membaca sekitar 20 buku tentang Chairil. Setiap orang memandang Chairil dengan cara yang berbeda di waktu yang berbeda pula hingga tercipta sekian banyak wajah Chairil di zaman ini.
Tia ingin berbicara beberapa hal tentang Chairil. Pertama adalah elan. Iwan Simatupang mengatakan bahwa Chairil tidak hanya seorang pribadi yang kuat tetapi juga eksplosif seperti gunung berapi. Dari dirinya memancar kecerdasan, kegelisahan, ia terus bergerak dan bergerak dengan sangat cepat hingga akhirnya hilang.

Chairil adalah orang yang kuat berjalan kaki semalam suntuk sambil bicara. Hidupnya adalah membaca untuk kemudian dikeluarkan kembali lewat diskusi dan dituliskan dalam puisi-puisi. Alasan inilah yang mendasari sebuah pembelaan Asrul Sani terhadap Chairil dengan sajak “Krawang Bekasi” yang pernah dituduh plagiat dari sebuah sajak Amerika. Chairil adalah orang yang sangat cepat mencerap hingga tak sadar dengan apa yang dituliskannya. Secara pribadi, Tia pun memaafkan ketidaksengajaan ini.

Chairil juga seorang pemburu buku. Seorang Chairil mungkin hanya bisa dilahirkan di Jakarta dengan segala buku-buku yang bisa diakses hanya di ibu kota. Ia bisa menjadi Chairil karena telah menemukan buku-buku yang tepat. Kartini tidak bisa menjadi Chairil karena tidak menemukan buku-buku yang tepat. Buku yang dibaca tentu akan mempengaruhi apa yang dilahirkan oleh seorang penyair. Karena buku-buku yang tidak tepat, penyair sekarang tak bisa lagi membuat sajak semacam “Aku”. “Jadinya sekarang ya seperti buku ayat-ayat itulah....”, kata Tia sambil bercanda.
Chairil juga seorang yang memiliki etos kerja tinggi. Ia selalu terobsesi untuk terus berkarya. Hampir tidak ada seorang penyair yang menuliskan otokritik terhadap dirinya sendiri sebanyak Chairil. Ia terus saja merasa kurang. Sajak-sajak baginya adalah eksperimen dan hanya beberapa saja yang menurutnya berhasil.

Chairil adalah seorang yang romantik. Ketika Asrul Sani melakukan kritik terhadap dirinya dan Chairil tak sependapat dengan kritik itu, mereka saling bicara, di sebuah jalan yang berbeda, saling berteriak dan di ujung jalan itu, mereka berpelukan mesra.

Ada yang bilang kalau Chairil dipengaruhi oleh Rilke. Beberapa surat atau pidato dari keduanya memang kadang mirip karena ditujuan untuk perempuan, meskipun dengan arah pembicaraan yang berbeda.

Sitor Situmorang pernah menyatakan bahwa angkatan pujangga baru seperti STA adalah generasi yang cukup ilmu tapi kurang elan, sedangkan angkatan ’45 seperti Chairil, Asrul Sani, adalah angkatan yang cukup elan tapi kurang ilmu. Masa revolusi adalah hari-hari yang gelisah hingga tak cukup punya waktu untuk duduk menghadap meja. Ilmu membutuhkan objek dan objek ilmu adalah masyarakat. Sedangkan pada waktu, masyarakatnya masih terlalu sederhana.
Bagaimanakah dengan generasi sekarang? Apakah sudah cukup ilmu? Cukup elan?


Mengagumi Chairil

Berikutnya adalah giliran Pak D. Zawawi Imron. Singkatan di huruf D masih saja dirahasikan. Tapi kata Pak Zawawi, huruf D itu bebas saja kalau mau diterjemahkan sebagai “dinosaurus”. Hehehe... Tanggal lahir Pak Zawawi tak juga diketahui. Tapi katanya, ia lahir di zaman Jepang ketika belum mengenal nama-nama bulan tahun masehi. Yang diketahui hanya bahwa ia lahir pada tanggal 25 Ramadhan, dengan begitu, sambil berkelakar, “setiap orang bisa kasih kado ulang tahun kapan saja buat saya.” Beberapa kumpulan puisinya adalah “Bulan Tertusuk Ilalang”, “Nenek Moyangku Air Mata”, “Celurit Emas”, dan sebagainya. Banyak lah pokoknya.

Ketika harus berbicara tentang Chairil, Pak Zawawi merasa bagai embun yang harus bicara tentang luasnya samudra, bagai selembar daun yang harus berkata tentang luasnya hutan. Pak Zawawi mengaku bukan seorang kritikus tapi hanya seorang pengagum sehingga sulit mengadakan kajian kritis tentang karya Chairil. Ia memilih menjadi penghayat, daripada merasa benar di jalan yang sesat lebih baik merasa sesat di jalan yang benar. Chairil adalah orang hebat. Di usianya yang hanya 26 tahun 9 bulan itu, ia telah berhasil menjejakkan kakinya di bumi Indonesia dan jejaknya tak mungkin terhapus.

Syahrir adalah pengagum Chairil. Soekarno bahkan pernah bilang dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1964 yang judulnya berarti “Nyeremet-Nyerempet Bahaya” itu. Pak Zawawi kemudian menirukan gaya pidato Soekarno yang kurang lebih isinya; “Chairil mau hidup seribu tahun lagi. Soekarno mau hidup seribu tahun juga tapi 100 tahun pun belum tentu bisa, tapi cita-citaku untuk bangsa Indonesia akan ditanamkan sampai seribu tahun lagi.....” Tepukan tangan orang-orang langsung membahana setelah Pak Zawawi menirukan gaya Soekarno dalam pidatonya.

Ketika Tia di atas berbicara tentang elan, tak jauh beda Pak Zawawi mengungkapkan tentang apa yang disebutnya vitalitas yang dimiliki oleh Chairil. Chairil memiliki daya hidup yang luar biasa. Hidup tak boleh disia-siakan. Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan jasad dan karya. Tapi Chairil mengatakan, “Sekali berarti, sudah itu mati.”

“Sekali berarti, sudah itu mati. Kalau cuma jadi koruptor tak usah lahir sekalian, mendingan ikut kencing ayahnya. Jangan percuma hadir di dunia, hidup harus bermakna dan bernilai. Hidup dengan tingkah laku yang bisa menyenangkan orang lain. Semangat inilah yang menjadikan Chairil bisa bangkit dan menjadi penafsir zamannya,” kata Pak Zawawi.

Kalau kata orang jawa, ngerti sak durunge winarah. Chairil pun sebenarnya telah menuliskan sesuatu sebelum itu terjadi. Puisi “Aku” dibuat tiga tahun sebelum kejadian yang sebenarnya. Entah ini apakah bisa disebut inspirasi karena selain Chairil tidak ada yang pernah mengatakan demikian. “Seandainya, semua yang sedang tidur di taman makam pahlawam itu dulunya seperti Chairil,” kelakar Pak Zawawi kembali. Penyair satu ini sepertinya jago mbanyol juga.

Chairil bisa disebut sosialis kalau menyangkut bangsanya. Di sisi lain, ada juga puisi-puisi kamar yang ditulis dengan sangat lembut seperti “Cintaku Jauh di Pulau.” Puisi Chairil adalah lukisan kepadatan jiwa, seperti halnya yang terlihat dalam sajak “Senja di Pelabuhan Kecil.” Mirip juga dengan puisi Sapardi yang berjudul “Dalam Diriku.” Hal ini sesuai dengan teorinya Iqbal bahwa merdu suling bukan dari gesekan udara dan bilah bambu, melainkan dari getar hati peniupnya, demikian juga dengan puisi-puisi Chairil. Ia punya getaran batin sampai tahap meleburnya hamba tuhan dengan keindahan. Getaran ini bisa dirasakan dari puisi “Doa”, diumur 23 tahun Chairil telah bisa menciptakan puisi dengan kepadatan jiwa seperti ini.

Mbak Eva menambahkan cerita ketika ia bertemu dengan Sri Ayati. Ternyata gadis yang pernah ditaksir Chairil itu tak pernah tahu bahwa Chairil pernah menyukainya sampai terciptalah sajak indah berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil”.

Yang Mau Tahu Lebih Soal Chairil

Sesi diskusi pun dibuka. Namun, tak ada satu pun tangan diangkat untuk bertanya. Pak Zawawi kemudian membacakan salah satu pidato Chairil. Sebuah pidato tapi sangat puitis, karena saat ini banyak yang disebut puisi tapi tidak puitis, katanya. Sebuah pidato yang memuat persayaratan-persyaratan berat bagi seseorang ketika ia ingin menjadi penyair. Bagaimana seorang penyair bisa menjadi penafsir dunia dan membuat dunia-dunia baru, dunia puisi dan dunia penyair itu sendiri.

Pak Untung Basuki bertanya tentang latar belakang diciptakannya puisi “Aku” dan “Cerita Buat Dinta Maela”. Pak Zawawi menjawab bahwa ia lebih suka membaca puisi Chairil sebagai teks, meskipun tentu saja ada cerita di balik tercipatanya sebuah puisi. Memang banyak cerita di baliknya, yang tak enak juga ada. Namun, sajak “Aku” menjadi tidak sederhana, ia tidak hanya lahir dari pribadi seorang Chairil, tetapi pribadi orang Indonesia pada saat itu. Pengalaman pribadi yang menyakitkan berbaur dengan rasa sakit bangsa yang sedang dijajah dan ingin merdeka. Maka, jadilah puisi penuh semangat yang akan tetap abadi lebih dari seribu tahun lagi.

Seorang perempuan mengungkapkan rasa khawatirnya terhadap kehidupan sastra dan budaya Indonesia. Akankah Chairil bisa seribu tahun lagi? Ketika Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jassin sedang sekarat, ketika kebudayaan Indonesia banyak diakui oleh negara lain, ketika anak-anak lebih memilih belajar bahasa Inggris dan Mandarin daripada bahasa ibunya sendiri, akankah Chairil bisa hidup seribu tahun lagi?

Pak Zawawi menjawab pesimistis ini dengan sangat optimis. Ketika orang Indonesia sudah melupakan Chairil, maka jangan khawatir. Di belahan dunia lain masih akan ada yang tetap mengenangnya sebagai penyair besar. Karya-karya Chairil saat ini tersimpan rapi di salah satu perpustakaan besar di Amerika. Malaysia pun adalah pengagum Chairil.

Harapannya, Pusat Dokumentasi Sastra itu dijadikan musium saja, seperti musiumnya Basuki Abdullah. Dengan adanya musium sastra HB jassin, maka Chairil akan tetap bisa hidup dan dikenang selamanya. “Kalau masalah PDS, saya yang seharusnya khawatir karena karya saya juga ikut disimpan di sana, hehehe. Maka optimis sajalah. Memang dibutuhkan kerjasama, pemahaman bersama, bagaimana menghidupkan budaya Indonesia. Jangan sinis duluan lah..,” kata Pak Zawawi dengan logat khas Maduranya.

Seorang lagi bertanya tentang polemik sastra Chairil dan STA. Menurut Pak Zawawi, Chairil memang lebih vitalistik. Ia mampu menggetarkan dunia dengan sajak-sajaknya. Tak akan cukup waktu untuk membahas polemik kebudayaan di sini, di bukukan saja sudah setebal itu. Chairil adalah pewaris kebudayaan dunia, tapi tidak kehilangan budaya Indonesia-Melayunya. Chairil juga memiliki visi kebudayaan yang lebih jelas. Sedangkan STA, yang terkenal mungkin hanya majalah Pujangga Baru dan novel “Layar Terkembang”. “Orang boleh tua karena usia, tapi ia bisa tetap muda karena menjadi penyair dengan puisi-puisi yang selalu baru,” kata Pak Zawawi.

Tia ganti menjelaskan bahwa puisi Chairil mungkin memang bersifat personal, tapi dia bertaut dengan zamannya. Chairil adalah pencerap zaman yang sangat laik. Apabila ingin melihat orientasi budaya Chairil, maka tidak bisa dilepaskan dari konteks—orang sezamannya sebelum atau sesudah kemerdekaan. Orang-orang itu berada dalam kultur hibrid. Indonesia sendiri sedang dalam proses menjadi. Kebudayaan pribumi mengalami percampuran dengan kebudayaan Belanda. STA ketika melihat pilihan antara tradisi dan modernitas, ia memilih modernitas, tapi sepertinya hal ini belum dilakukan pada karya-karyanya.

Sedangkan Chairil, ia memang tidak punya cukup waktu untuk melakukan banyak hal, tetapi sudah dilakukan dalam karyanya. Chairil memiliki visi modernitas yang dipengaruhi oleh kebudayaan Eropa, lebih sempit lagi adalah Eropa Barat, lebih sempit lagi adalah Belanda. Namun, Chairil juga sangat memahami budaya Ambon. Ia adalah generasi manusia perbatasan. Sama halnya dengan Sitor Situmorang dan Ajip Rosidi yang juga bimbang dengan dunia itu.

Pertanyaannya kemudian adalah, sekarang kita mau kemana? Sudah banyak yang terjadi dan
mengakibatkan pergeseran peta budaya dan sastra. Seperti hadirnya pusat-pusat baru kebudayaan, dan Chairil mencoba untuk masuk dalam pusat-pusat itu.

Hal yang lebih penting lagi adalah sunbangan Chairil terhadap bahasa Indonesia. Tia mencontohkan bagaimana Chairil dan STA sama-sama membuat sajak tentang senja. Hasilnya ternyata sangat berbeda. STA lebih pada lukisan yang indah-indah, romantik, seperti hanya ada dalam mimpi. Sedangkan Chairil, melihat alam dalam sajaknya secara realis dan itu baru pertama kali. Bahasa Indonesia tanpa Chairil mungkin akan berjalan ke arah lain. Ketika penyair banyak bicara tentang takdir dan nasib, Chairil berkata bahwa nasib adalah kesunyian masing-masing dan ini baru pertama kali juga dituliskan. Pak Zawawi menambahkan bahwa Chairil menggunakan bahasa dengan sebebas-bebasnya. Ia tidak menulis kata yang telah dituliskan oleh penyair sebelumnya.

Solilokui

Sebelum acara ditutup, saya sudah pulang duluan. Sudah senang hanya melihat para penyair yang saya kenal meski mereka tak mengenal saya. Ada penyair yang menuliskan pesan sangat panjang di inbok facebook saya itu, ada cerpenis yang dulu pernah mengajak saya ngobrol karena melihat saya yang terus menulis selama acara berlangsung, tentu dia sudah lupa. Ada yang sering saya lihat membaca puisi itu, ada juga yang mungkin sudah menuliskan komentarnya di blog, itu juga kalau saya tak salah lihat. Wajah-wajah yang memang seperti sangat dekat.

Pulang. Saya jadi ingin menziarahi kubur puisi-puisi saya sendiri. Ah, tentu hanya kebanyakan sajak kamar yang sentimentil saja. Puisi-puisi yang hanya terkubur di buku catatan. Saya tahu mereka ingin dibaca orang. Tapi bagaimana lagi, harus kemana puisi ini saya bawa berlari? Sementara kaki penyairnya enggan menjejak jalan kepenyairannya sendiri. Penyairnya hanyalah orang yang gamang. Gamang berjalan. Gamang merambahi dunia baru. Gamang hanya berada dalam dunia yang diciptakannya sendiri dalam puisi-puisi. Gamang dan tak juga ada yang diputuskan.

Seperti laba-laba yang tak mengerti cara merajut jaringnya sendiri
Lapar tak bisa menjerat puisi.


Kamar Gelap, 29 April 2011

1 komentar:

  1. minta tulisan ini ya, untuk diposting di halaman mkartsyndicate.blogspot.com

    salam.

    BalasHapus