Jagad gedhe tampaknya memang mulai kacau. Musim dan cuaca sedang tak ingin berdamai. Manusia-manusia mulai merasa penat, lelah, jenuh, rusuh dan segala keluh menumpahi dunia hingga semakin lusuh. Demikian halnya dengan Cempluk. Jagad cilik-nya ikut merasakan sakit. Sudah dua hari ini demam menguasai tubuhnya. Kepalanya tak berhenti berdenyar-denyar seperti ingin meletupkan sesuatu. Maka, tak ada obat yang bisa menyembuhkannya selain rahim Si Mbok. Rahim Si Mbok memang tempat paling nyaman untuk kembali menyerap saripati kasih. Maka, kereta senja itu mengantarkan Cempluk kembali pulang. Cempluk selalu merasa tak sendiri dalam kereta, meski ia hanya satu-satunya penumpang. Kereta selalu memberinya kesan. Cempluk dan kereta sama-sama meraung dan menderu bersamaan selama perjalanan.
Cempluk duduk di gerbong paling depan. Dua kursi dekat pintu. Ia tak ingin merasa sendiri ketika duduk di empat bangku berhadapan sedang tiga orang lainnya saling mengenal dan bercerita sepanjang perjalanan. Cempluk pun mulai mengamati. Kereta semakin penuh manusia di akhir pekan yang lebih panjang dari biasanya. Satu per satu orang naik dengan menenteng lelah sekaligus keinginan untuk segera sampai tujuan. Seperti melihat banyak sekali dunia hanya dalam satu gerbong kereta. Dan kali ini Cempluk memutuskan untuk menceritakan orang-orang dengan buku yang mereka baca dalam kereta. Hanya gerbong itu saja karena pengamatan Cempluk tak akan menjangkau gerbong lain yang mungkin lebih penuh sesak dan cerita.
Gambar pertama yang ditangkap Cempluk adalah dua gadis remaja dengan komik jepang di tangan mereka. Judul-judulnya khas seperti ‘Falling from Heaven’, ‘Lover’s Piano’, ‘Hanna’s Card’, setidaknya itu yang bisa dilihat Cempluk. Dalam tas dua gadis itu sepertinya masih banyak menyimpan judul-judul sejenis. Menariknya, dua gadis ini adalah bagian dari keluarga muda. Dua orang tua dan tiga adiknya duduk di bangku berlainan. Dua gadis ini sama-sama menggunakan jilbab lebar. Begitu juga dengan ibunya. Jilbab yang dikenakannya lebih lebar lagi. Bapaknya berjanggut panjang. Tiga adik laki-lakinya bercelana dengan panjang tak sampai mata kaki. Setidaknya pakaian mereka masih berwarna-warni bukan yang serba hitam dan bercadar itu.
Lalu Cempluk pun mulai bermimpi. Dongeng apa sajakah yang dikisahkan sang ibu setiap malam? Cerita macam apakah yang selau diulang-ulang? Apakah mereka hanya mendengar kisah para nabi? Berapa jam kah waktu yang harus dan wajib dihabiskan untuk menghapal ayat-ayat suci? Apakah mereka bisa mendengar dongeng lain seperti Oedipus? Pernahkah mereka mendengar kutukan yang menimpa Sisyphus? Ah, Cempluk hanya bisa menebak-nebak tanpa mengerti apakah rumput harus berwarna hijau kalau ibu dan ayah mereka bilang begitu. Entah seberapa jauh anak-anak itu bisa bebas memilih menentukan warna rumputnya sendiri. Cerita macam apa yang akan selalu mereka ingat dan bawa hingga dewasa. Cempluk hanya bisa bertanya-tanya. Dan apalah arti cerita dalam komik-komik Jepang itu untuk mereka?
Di stasiun berikutnya, kereta berhenti dan seorang perempuan dengan berat badan hampir 200 kg naik. Perempuan itu dengan mudah menutup pemandangan tentang dua gadis pembaca komik itu dengan bersandar pada palang besi yang kebetulan berada di depan Cempluk. Perempuan itu membawa sebuah novel populer. Cempluk tak bisa melihat judulnya. Yang tampak kemudian adalah pandangan aneh dari orang-orang di sekitar. Seorang remaja di samping Cempluk bereaksi dengan langsung memandang teman di sebelahnya. Tak perlu bicara pun semua orang tahu apa makna mata dua teman yang saling berpandangan tadi dengan obyek si perempuan gendut. Yang lain sekilas tampak acuh, sekilas tampak memandang aneh, beberapa memandang sinis dan beberapa orang merasa kasihan saat perempuan itu kesulitan untuk duduk lesehan karena kursi telah penuh.
Perempuan gendut ini memang nyentrik. Dengan percaya diri ia memakai jeans biru tua dengan dua lipatan di bagian bawahnya. Kaos oblong berlengan pendek dan lebar warna senada. Aksesoris yang dikenakannya memang lengkap. Dari bawah, sepatu hak tinggi sekitar sepuluh centi berwarna ungu menyala. Jarinya dihiasi cincin kuning emas berantai hingga bisa melingkari jari tengah, manis dan kelingkingnya. Mirip punya Syahrini dengan batu hitam besar berkilau di tengah. Perempuan itu seperti tak peduli dengan mata-mata yang diam-diam memperhatikannya. Tetap saja matanya tertuju pada barisan kata dalam bukunya. Kata adalah salah satu tempatnya sembunyi, barangkali. Dengan begitu, ia tak perlu lagi berurusan dengan mata-mata orang. Cempluk sempat mengintip bawaanya yang penuh dengan pernak-pernik natal. Perempuan gendut ini bukan ingin mencari sensasi. Ia hanya ingin tampil dengan nyaman dan percaya diri. Entah dunia macam apakah yang kemudian menjadikannya obyek pandangan mata-mata manusia yang tak dikenalnya dan tak ingin pula dikenalnya.
Pandangan Cempluk beralih. Bocah itu sudah naik dari stasiun pertama. Tapi Cempluk baru bisa melihat judul buku di tangannya itu. sebuah buku bersampul merah dan putih dengan judul yang kalau tidak salah intip adalah ‘Pemikiran Karl Marx’. Bocah itu lebih mirip dengan anak es em a atau kalau tidak, ia adalah seorang mahasiswa semester pertama. Mungkin saja bocah ini sedang jatuh cinta pada pelajaran filsafat pertama yang diberikan kakak tingkatnya. Atau baru saja memasuki pintu kemana saja yang dikeluarkan dari kantung ajaib Doraemon dan mulai menyesatkan diri pada ide-ide yang disampaikan lebih mirip seperti propaganda. Menjadi menarik ketika mengkontraskan penampilan bocah itu dengan buku yang dibacanya. Gayanya lebih mirip dengan anak-anak gaul yang muncul di acara musik tiap pagi. Kacamatanya dibingkai lensanya berwarna hitam dengan tangkai berwana merah menyala yang mengait di dua telinganya. Memang tak ada yang salah dengan bocah itu. Anak gaul zaman sekarang memang harus tetap baca Marx.
Manusia memang tak pernah bisa menebak dengan pasti apa yang ada di pikiran orang lain. hanya bisa menebak. Itu saja. Satu lagi seorang penumpang kereta dengan buku di tangannya. Tampaknya ia sedang membaca novel lanjutan dari ‘5 CM’ yang fenomenal itu. Cempluk tak bisa dengan mudah membaca pemuda itu karena jaraknya terlalu jauh untuk bisa mengamatinya dengan detail. Kereta lama berhenti. Sangat lama berhenti. Laki-laki di bangku depan menoleh ke belakang. Cempluk menyesal kenapa ia tadi tidak duduk di dekat laki-laki itu yang ternyata bertampang lumayan. Ia mulai berimajinasi tentang episode pertama dalam drama Korea. Selalu saja ada cerita tentang pertemuan tidak terduga. Kereta masih berhenti. Menunggu kereta lain yang lebih ekslusif melintas terlebih dahulu.
Cempluk mengalihkan pandangan pada seorang ibu dengan sindrom parkinson dan anak laki-lakinya yang sepertinya juga berkebutuhan khusus atau istilah kerennya children with special need. Tangan sang ibu selalu bergetar tanpa bisa dikendalikan. Mereka beberapa saat lalu terlihat berdiri tanpa seorang pun yang mau menyerahkan tempat duduknya. Sementara si anak laki-laki itu sepintas akan terlihat jahat ketika selalu berteriak pada ibunya ketika berkata- kata. Cempluk tak terlalu jelas mendengar mereka bicara. Tetapi, ada seorang perempuan di sebelah anak laki-laki itu yang selalu mengajaknya bicara sehingga sang ibu tak dibentak-bentak lagi. Dunia macam apalagi ini?
Perempuan berjilbab di sebelah Cempluk mulai mengeluarkan buku. Ternyata buku motivasi berjudul ‘Kekuatan Berpikir Positif’. Entah sejak kapan buku-buku motivasi mulai laris di pasaran. Di buru manusia-manusia yang merasa lemah dengan tekanan hidup dan macam persoalan. Entah sejak kapan mereka begitu percaya dan menyandarkan diri mereka pada buku yang ditulis orang lain. Mereka tiba-tiba saja percaya bahwa buku-buku itu seperti bisa menyelesaikan persoalan, membangkitkan semangat, mendorong mereka untuk melanjutkan hidup. Entah bagaimana mereka percaya bahwa buku motivasi itu seakan-akan ditulis hanya untuk diri mereka sendiri. Padahal, buku itu dicetak ribuan eksemplar dan ditujukan untuk banyak orang dengan persoalan hidup yang sangat berbeda. Cempluk lagi-lagi tak mengerti.
Fragmen cerita dalam kereta itu dibungkus dengan soundtrack lagu dari anak-anak te ka di belakang Cempluk. mereka tetap menyanyikan lagu permainan yang sama. Lagu yang sama meskipun ribuah lagu pop telah diproduksi di negeri ini. Lagu anak-anak yang dinyanyikan tetap sama dengan apa yang Cempluk lagukan sewaktu kecil. Dengan saling bertepuk tangan dengan teman di sebelahnya,
Donal bebek mau kemana? Mau ke pasar
Membeli apa? Membeli baju
Warnanya apa? Warnanya putih
Putih-putih melati..........Alibaba
Merah-merah delima.........Pinokio
Siapa yang baik hati.......Cinderella
Pasti di sayang mama
Predikat gadis baik hati itu tetap dipegang Cinderella. Hanya tokoh itulah yang baik hati sementara tak ada yang lain. Padahal tidak juga karena Cinderella telah berciuman dengan pangeran yang bukan muhrimnya sebelum menikah. Cinderella sering mengeksploitasi para tikus untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ia juga oportunis karena menerima jasa seorang peri untuk menolak kehidupannya yang tertindas dan menderita. Ah, selalu akan ada peri baik hati. Cerita seperti inilah yang akan membuat anak-anak ini berpikir bahwa peri baik hati akan datang, bukan bagaimana mengubah diri mereka sendiri menjadi Cinderella tanpa bantuan peri.
Cerita Cempluk semakin tak jelas saja. Meloncat-loncat hingga ia sendiri tak tahu kemana arah kisah ini. Kereta masih berhenti di sebuah stasiun entah. Di luar begitu gelap. Hanya ada titik-titik cahaya di tengah hamparan sawah. Cempluk masih setia bersama kereta. Membawa kembara pikirannya menuju dongeng-dongeng yang malam itu berkenan menceritakan kisahnya sendiri.
Jogja-Ngawi, Desember 2011
Rabu, 28 Desember 2011
Jumat, 25 November 2011
Dongeng Senja Max Lane
Sejarah atau ‘His’story
Sesi kuliah di ambang senja, begitu muram ketika mata tak mampu menahan untuk memejam. Max Lane telah duduk di deretan kursi terdepan, menopang dagu dengan sebelah tangan sambil melirik kiri kanan kepada para mahasiswa yang berdatangan. Tak satu pun ada yang menemaninya. Seperti kelas kita tadi pagi kawan, seorang Max Lane pun menunggu para mahasiswa berdatangan memenuhi ruangan. Ruangan pun tak penuh. Barangkali banyak dari teman-teman tak bisa datang karena beragamnya kesibukan. Sementara saya masih sibuk melakukan perlawanan terhadap sikap infantil dan melankolia yang menyerang akhir-akhir ini. Mengapa orang ingin menari dan saya ingin menangis ketika mendengar lagu yang sama? Semoga tulisan ini sanggup menjadi koda dalam puisi saya selanjutnya. Karena saya adalah orang yang baik hati, maka akan sedikit saya ringkaskan isi kuliah ini. Maaf kalau mungkin sedikit ngawur dalam menuliskannya sehingga bahasa lisan Om Lane bisa tereduksi maknanya, bisa tak lengkap rekamannya.
Sayang sekali hanya sempat mengikuti kuliah terakhir. Tapi jangan khawatir, kemungkinan isinya akan sama dengan yang disampaikan Pak Ari dan Pak Har di kelas Kajian Politik Indonesia. Lalu apa yang menarik di sesi ini? Awalnya saya hanya sibuk mengamati. Beberapa orang malah asyik berbincang dengan teman sebelah sementara Pak Lane begitu saja dicuekin ketika bicara di depan. Padahal, mungkin banyak dari mereka, termasuk saya yang gagap dengan sejarah bangsa sendiri.
Om Lane kemudian mengawali kuliahnya dengan mengutip Bung Karno, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Inilah yang terus-menerus diulanginya selama kuliah. Sejarah manakah yang dimaksud Bung Karno sementara kalimat ini diucapkan pada tahun 1956an-1970an. Kemerdekaan Indonesia pada waktu itu masih menjadi peristiwa politik kontemporer dan belum menjadi sejarah. Barangkali yang dimaksudkannya adalah sejarah perlawanan terhadap Belanda. Makhluk yang hidup di Indonesia sebenarnya adalah hasil dari perlawanan. Sejarah kita adalah sejarah perlawanan. Seharusnya salah satu teman di kelas kita bisa ikut kuliah ini karena pengetahuannya tentang perlawanan mungkin bisa di-share dalam forum ini, asal menggunakan bahasa ‘sederhana’.
Berbicara tentang sejarah Indonesia, barapa persenkah yang berisi cerita zaman Orde Baru. Perubahan apa yang terjadi? Bagaimana gejolak-gejolaknya? Memori sejarah Indonesia menjadi sesuatu yang sangat dikuasai oleh sang penguasa. Kita bisa melihat bagaimana semua materi dan pengetahuan umum tentang sejarah diproduksi oleh pusat sejarah milik militer. Semua disusun atas petunjuk pusat sejarah tersebut. Sejarah yang dituliskan kemudian hanya bercerita tentang sejarah para pemenang dimana pertarungan dimenangkan mutlak oleh satu kubu.
Kita belajar sejarah dari es de sampai kuliah master begini. Lalu apakah ini benar-benar sejarah? Pak Dhe Lane kemudian menceritakan satu lagi keunikan. Indonesia adalah satu-satunya negara yang tidak mempunyai pelajaran Sastra Indonesia. Hal yang diajarkan di sekolah adalah Bahasa Indonesia, bukan Sastra Indonesia. Kita tak pernah diwajibkan membaca 10 novel, 10 drama, 50 syair seperti apa yang dilakukan di lain negara. Kita hanya diminta untuk menghafalkan novel apa, pengarangnya siapa, dan diterbitkan oleh siapa pada tahun berapa. Tak pernah substansi dari karya-karya tersebut diperbincangkan dan diperdebatkan di kelas.
Sastra adalah mekanisme utama untuk merekam ingatan sejarah. Kita bisa membaca Tolstoy yang menyampaikan keluhan-keluhan kaum tertindas dalam karya-karyanya yang luar biasa. Ia menulis The Cossacks dan mahakaryanya War and Peace (1862-1869) yang menggambarkan kejadian pada masa pendudukan Napoleon dan kekaisaran Russia pada PD I tahun 1812. Novel itu sekaligus membuktikan bahwa Tolstoy adalah juga seorang penulis yang dapat melihat sisi-sisi dari sejarah yang tak disadari orang lain. Kita bisa melihat Walt Whitman yang dalam syair dan biografinya berceceran sejarah Amerika. Sastra mampu menjadi hasil proyeksi dan perekam perubahan-perubahan yang bergerak di sekitar para penulisnya. Kita punya Pramodya, Tan Malaka, Multatuli tapi percuma karena tak banyak dari orang Indonesia yang membacanya. Kapitalisme cetak selalu berada dalam mekanisme kontrol budaya sejak zaman kolonial.
Sebenarnya saya ingin membahas kapitalisme cetak zaman kolonial yang sangat di dominasi oleh Balai Pustaka. Keberadaan Balai Pustaka sekaligus membantu perkembangan wacana tentang literatur yang “boleh” dan “tidak boleh” diakses oleh masyarakat. Dalam ranah kesusastraan dapat ditemukan adanya karya-karya yang digolongkan sebagai “roman picisan” dan “bacaan liar”. Sastra mampu menawarkan akses dalam bentuk berbeda ketika bacaan politik dilarang. Ini juga terjadi dalam era rezim Orde baru ketika Seno Gumira Ajidarma menerbitkan karyanya, “Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara”. Mungkin lain kali saja karena sejak tadi saya semakin menarik diri ke sastra daripada menuliskan penjelasan Om Lane. Saya ini mungkin keturunan Narciscuss yang memberikan perhatian kuat dan terus-menerus pada kebutuhan dan ketertarikan tertentu. Jadi, mohon segera diingatkan kalau saya sudah terlalu lama melihat bayangan sendiri dalam cermin.
Ingatan tentang sejarah memang perlu digali, dipelajari dan bukan sesuatu yang bisa diwariskan secara genetik. Berkuasanya satu rezim ini bahkan mampu mengkonstuksi semacam mental otomatis, semacam gorvern mentality dalam istilah Foucoult. Sejarah di Indonesia menjadi semacam hegemonic periodisation, dalam istilah Om Lane. Satu periode sejarah akan dibahas dalam satu pertemuan kuliah. Pertarungan memang terlalu lama dimenangkan oleh satu kubu yang kemudian sangat berperan menentukan masa depan negeri kita sampai sekarang.
Indonesia: Industrialisasi Tak Pernah Jadi
Bung Max Lane kemudian kembali melanjutkan kuliahnya. Pemaparannya kali ini tentang sejarah kasta ke kelas patron, munculnya kelas patron dan sejarah budaya serta mental yang melingkupinya. Istilah kasta berasal dari negeri-negeri yang sebagian besar menganut agama Hindu. Kasta berhubungan dengan fungsi sosialnya di masyarakat, bukan sekadar karena keturunan. Pendeta, pada waktu itu menguasai semua ilmu pengetahuan tertulis sedangkan rakyat biasa hampir semuanya buta huruf. Ksatria berfungsi untuk memegang senjata. Fungsi yang melekat itulah yang kemudian menjadi sumber kekuasaan.
Hal ini berbeda dengan istilah kelas. Ilmwuwan sosial mendefinisikannya secara berbeda, terutama Max Weber dan Karl Marx. Pak Lane kemudian bercerita panjang tentang sejarah industrialisasi di Eropa, bagaimana kelas Aristokrat dengan basis tanahnya kemudian bersaing dengan para pedagang dengan kapitalnya. Di mulailah babak sejarah tentang revolusi Perancis dan Revolusi Industri yang tentu kalian semua sudah sangat memahaminya.
Bagaimana dengan Indonesia? Om Lane bercerita pengalamannya masuk ke sebuah pabrik garmen besar di Jakarta. Ada sekitar tiga ribu orang yang bekerja di sana dengan teknologi paling modern. Teknologi yang dimaksud adalah mesin jahit singer, dimana seorang pekerja duduk di satu meja dihadapan satu mesin jahit dengan bahan-bahan pakaian yang menumpuk di sebelahnya. Ini bukan industri. Sangat sedikit sekali industri bisa berkembang di Indonesia. Industri seharusnya mampu menggantikan tangan sedang di Indonesia hanya ada manufaktur yang masih menggunakan tangan.
Ekonomi Indonesia kalau dalam istilah Om Lane disebut sebagai ‘ekonomi ojek’. Bandingkan produktifitas tukang ojek dengan sopir bus yang bisa mengangkut sekian banyak orang dalam waktu yang sama. Sifat kelas kapitalis di Indonesia sangat sedikit yang berskala nasional. Kelas kapitalis yang ada hanyalah kapitalis dalam negeri berisi para pengusaha lokal. Pertumbuhan ekonomi, angka GDP Indonesia sebenarnya mirip dengan Australia tapi bandingkan dengan jumlah penduduknya yang sepuluh kali lipat itu. Pada intinya, kelas kapitalis Indonesia dapat dikategorisasikan dalam tiga kelompok; segelintir kepitalis besar seperti Bakrie, Paloh, Keluarga Cendana; lautan perusahaan-perusahaan kecil; dan kapitalis luar negeri, terutama Jepang dan Amerika Serikat. Lautan kelas kapitalis kecil di Indonesia itu terus saja bertambah jumlahnya tetapi bukan bertambah besar skalanya.
Dari aspek budaya, industrialisasi memunculkan perbedaan kelas sosial sangat tajam. Pembilahan ini memunculkan serikat buruh yang berurusan dengan pemilik perusahaan melalui negosiasi atau bahkan konflik. Dua kubu itu pun terrepresentsikan dalam partai politik. apabila yang satu berkuasa maka yang lain mengambil peran oposisi. Indonesia memang memiliki struktur masyarakat yang terbilah jelas dalam bidang ekonomi. Tetapi dalam politik dan budaya, keterbelahan itu tidak terlalu jelas. Parpol semakin lemah sementara golput justru menguat. Tak banyak dari kita yang bisa dengan spontan mengidentifikasikan diri dengan partai tertentu. Tidak ada kesan adanya pemimpin politik yang baik, bahkan sebagai patron pun dia tidak bisa terlihat baik.
Kalau kita sedikit mengingat kembali, zaman dahulu kala Indonesia mempunyai organisasi massa yang kuat seperti Sarekat Islam. Pada puncaknya organisasi tersebut mampu menjadi organisasi massa modern paling besar di seluruh dunia. Pada masa ini, rakyat tidak memiliki organisasi massa yang kuat. Ada yang pura-pura membentuk oraganisasi massa tapi pada ujungnya malah menjadi partai juga.
Om Lane melanjutkan dongengnya tentang fase sejarah Orde Baru. Saya mulai menguap. Cerita masih berlanjut mulai dari konsolidasi sampai perlawanan-perlawanan yang terjadi pada masa Orde Baru. Mulai dari bangkitnya lagi PKI tahun 1968 kemudian direpresi sedemikian rupa, demonstrasi-demonstrasi mahasiswa pada tahun 1970an, peristiwa Malari, gelombang demonstrasi kedua tahun 1978, manifestasi perlawanan Rendra dengan sajak-sajaknya, peristiwa Jogja, dan serentetan kejadian-kejadian panjang. Kuliah ditutup dengan cerita tentang gerakan Mega-Bintang-Rakyat pada pemilu Mei 1997.
Betapa banyak ingatan yang perlu digali lagi dari buku-buku sejarah yang memang harus benar-benar menampilkan sebenar-benarnya sejarah. Sebuah bangsa pasti memiliki ingatan kolektif, bagaimana ingatan tersebut dikonstruksikan oleh penguasa lewat berbagai hal yang mungkin tidak kita sadari. Ben Anderson telah memberi celah perspektif bagaimana kekuasaan dan perlawanan dimanifestasikan, bahkan melalui kartun dan monumen. Martin and Deutsche mengembangkan teori kausal ingatan dimana pengalaman masa lalu bisa beroperasi secara kausal dalam menghasilkan keadaan-keadaan yang menghasilkan pengalaman rekolektif masa kini. Maka, baginilah kita. Jejak-jejak ingatan terpotong dan jembatan temporal telah direkayasa sedemikian rupa. Ingatan itulah yang perlu dilacak dalam keseluruahan narasi melewati rute ruang dan waktu. Tak layak untuk meninggalkannya, meski hanya sebuah jejak.
Kamar Kost, 24 November 2011
Sesi kuliah di ambang senja, begitu muram ketika mata tak mampu menahan untuk memejam. Max Lane telah duduk di deretan kursi terdepan, menopang dagu dengan sebelah tangan sambil melirik kiri kanan kepada para mahasiswa yang berdatangan. Tak satu pun ada yang menemaninya. Seperti kelas kita tadi pagi kawan, seorang Max Lane pun menunggu para mahasiswa berdatangan memenuhi ruangan. Ruangan pun tak penuh. Barangkali banyak dari teman-teman tak bisa datang karena beragamnya kesibukan. Sementara saya masih sibuk melakukan perlawanan terhadap sikap infantil dan melankolia yang menyerang akhir-akhir ini. Mengapa orang ingin menari dan saya ingin menangis ketika mendengar lagu yang sama? Semoga tulisan ini sanggup menjadi koda dalam puisi saya selanjutnya. Karena saya adalah orang yang baik hati, maka akan sedikit saya ringkaskan isi kuliah ini. Maaf kalau mungkin sedikit ngawur dalam menuliskannya sehingga bahasa lisan Om Lane bisa tereduksi maknanya, bisa tak lengkap rekamannya.
Sayang sekali hanya sempat mengikuti kuliah terakhir. Tapi jangan khawatir, kemungkinan isinya akan sama dengan yang disampaikan Pak Ari dan Pak Har di kelas Kajian Politik Indonesia. Lalu apa yang menarik di sesi ini? Awalnya saya hanya sibuk mengamati. Beberapa orang malah asyik berbincang dengan teman sebelah sementara Pak Lane begitu saja dicuekin ketika bicara di depan. Padahal, mungkin banyak dari mereka, termasuk saya yang gagap dengan sejarah bangsa sendiri.
Om Lane kemudian mengawali kuliahnya dengan mengutip Bung Karno, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Inilah yang terus-menerus diulanginya selama kuliah. Sejarah manakah yang dimaksud Bung Karno sementara kalimat ini diucapkan pada tahun 1956an-1970an. Kemerdekaan Indonesia pada waktu itu masih menjadi peristiwa politik kontemporer dan belum menjadi sejarah. Barangkali yang dimaksudkannya adalah sejarah perlawanan terhadap Belanda. Makhluk yang hidup di Indonesia sebenarnya adalah hasil dari perlawanan. Sejarah kita adalah sejarah perlawanan. Seharusnya salah satu teman di kelas kita bisa ikut kuliah ini karena pengetahuannya tentang perlawanan mungkin bisa di-share dalam forum ini, asal menggunakan bahasa ‘sederhana’.
Berbicara tentang sejarah Indonesia, barapa persenkah yang berisi cerita zaman Orde Baru. Perubahan apa yang terjadi? Bagaimana gejolak-gejolaknya? Memori sejarah Indonesia menjadi sesuatu yang sangat dikuasai oleh sang penguasa. Kita bisa melihat bagaimana semua materi dan pengetahuan umum tentang sejarah diproduksi oleh pusat sejarah milik militer. Semua disusun atas petunjuk pusat sejarah tersebut. Sejarah yang dituliskan kemudian hanya bercerita tentang sejarah para pemenang dimana pertarungan dimenangkan mutlak oleh satu kubu.
Kita belajar sejarah dari es de sampai kuliah master begini. Lalu apakah ini benar-benar sejarah? Pak Dhe Lane kemudian menceritakan satu lagi keunikan. Indonesia adalah satu-satunya negara yang tidak mempunyai pelajaran Sastra Indonesia. Hal yang diajarkan di sekolah adalah Bahasa Indonesia, bukan Sastra Indonesia. Kita tak pernah diwajibkan membaca 10 novel, 10 drama, 50 syair seperti apa yang dilakukan di lain negara. Kita hanya diminta untuk menghafalkan novel apa, pengarangnya siapa, dan diterbitkan oleh siapa pada tahun berapa. Tak pernah substansi dari karya-karya tersebut diperbincangkan dan diperdebatkan di kelas.
Sastra adalah mekanisme utama untuk merekam ingatan sejarah. Kita bisa membaca Tolstoy yang menyampaikan keluhan-keluhan kaum tertindas dalam karya-karyanya yang luar biasa. Ia menulis The Cossacks dan mahakaryanya War and Peace (1862-1869) yang menggambarkan kejadian pada masa pendudukan Napoleon dan kekaisaran Russia pada PD I tahun 1812. Novel itu sekaligus membuktikan bahwa Tolstoy adalah juga seorang penulis yang dapat melihat sisi-sisi dari sejarah yang tak disadari orang lain. Kita bisa melihat Walt Whitman yang dalam syair dan biografinya berceceran sejarah Amerika. Sastra mampu menjadi hasil proyeksi dan perekam perubahan-perubahan yang bergerak di sekitar para penulisnya. Kita punya Pramodya, Tan Malaka, Multatuli tapi percuma karena tak banyak dari orang Indonesia yang membacanya. Kapitalisme cetak selalu berada dalam mekanisme kontrol budaya sejak zaman kolonial.
Sebenarnya saya ingin membahas kapitalisme cetak zaman kolonial yang sangat di dominasi oleh Balai Pustaka. Keberadaan Balai Pustaka sekaligus membantu perkembangan wacana tentang literatur yang “boleh” dan “tidak boleh” diakses oleh masyarakat. Dalam ranah kesusastraan dapat ditemukan adanya karya-karya yang digolongkan sebagai “roman picisan” dan “bacaan liar”. Sastra mampu menawarkan akses dalam bentuk berbeda ketika bacaan politik dilarang. Ini juga terjadi dalam era rezim Orde baru ketika Seno Gumira Ajidarma menerbitkan karyanya, “Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara”. Mungkin lain kali saja karena sejak tadi saya semakin menarik diri ke sastra daripada menuliskan penjelasan Om Lane. Saya ini mungkin keturunan Narciscuss yang memberikan perhatian kuat dan terus-menerus pada kebutuhan dan ketertarikan tertentu. Jadi, mohon segera diingatkan kalau saya sudah terlalu lama melihat bayangan sendiri dalam cermin.
Ingatan tentang sejarah memang perlu digali, dipelajari dan bukan sesuatu yang bisa diwariskan secara genetik. Berkuasanya satu rezim ini bahkan mampu mengkonstuksi semacam mental otomatis, semacam gorvern mentality dalam istilah Foucoult. Sejarah di Indonesia menjadi semacam hegemonic periodisation, dalam istilah Om Lane. Satu periode sejarah akan dibahas dalam satu pertemuan kuliah. Pertarungan memang terlalu lama dimenangkan oleh satu kubu yang kemudian sangat berperan menentukan masa depan negeri kita sampai sekarang.
Indonesia: Industrialisasi Tak Pernah Jadi
Bung Max Lane kemudian kembali melanjutkan kuliahnya. Pemaparannya kali ini tentang sejarah kasta ke kelas patron, munculnya kelas patron dan sejarah budaya serta mental yang melingkupinya. Istilah kasta berasal dari negeri-negeri yang sebagian besar menganut agama Hindu. Kasta berhubungan dengan fungsi sosialnya di masyarakat, bukan sekadar karena keturunan. Pendeta, pada waktu itu menguasai semua ilmu pengetahuan tertulis sedangkan rakyat biasa hampir semuanya buta huruf. Ksatria berfungsi untuk memegang senjata. Fungsi yang melekat itulah yang kemudian menjadi sumber kekuasaan.
Hal ini berbeda dengan istilah kelas. Ilmwuwan sosial mendefinisikannya secara berbeda, terutama Max Weber dan Karl Marx. Pak Lane kemudian bercerita panjang tentang sejarah industrialisasi di Eropa, bagaimana kelas Aristokrat dengan basis tanahnya kemudian bersaing dengan para pedagang dengan kapitalnya. Di mulailah babak sejarah tentang revolusi Perancis dan Revolusi Industri yang tentu kalian semua sudah sangat memahaminya.
Bagaimana dengan Indonesia? Om Lane bercerita pengalamannya masuk ke sebuah pabrik garmen besar di Jakarta. Ada sekitar tiga ribu orang yang bekerja di sana dengan teknologi paling modern. Teknologi yang dimaksud adalah mesin jahit singer, dimana seorang pekerja duduk di satu meja dihadapan satu mesin jahit dengan bahan-bahan pakaian yang menumpuk di sebelahnya. Ini bukan industri. Sangat sedikit sekali industri bisa berkembang di Indonesia. Industri seharusnya mampu menggantikan tangan sedang di Indonesia hanya ada manufaktur yang masih menggunakan tangan.
Ekonomi Indonesia kalau dalam istilah Om Lane disebut sebagai ‘ekonomi ojek’. Bandingkan produktifitas tukang ojek dengan sopir bus yang bisa mengangkut sekian banyak orang dalam waktu yang sama. Sifat kelas kapitalis di Indonesia sangat sedikit yang berskala nasional. Kelas kapitalis yang ada hanyalah kapitalis dalam negeri berisi para pengusaha lokal. Pertumbuhan ekonomi, angka GDP Indonesia sebenarnya mirip dengan Australia tapi bandingkan dengan jumlah penduduknya yang sepuluh kali lipat itu. Pada intinya, kelas kapitalis Indonesia dapat dikategorisasikan dalam tiga kelompok; segelintir kepitalis besar seperti Bakrie, Paloh, Keluarga Cendana; lautan perusahaan-perusahaan kecil; dan kapitalis luar negeri, terutama Jepang dan Amerika Serikat. Lautan kelas kapitalis kecil di Indonesia itu terus saja bertambah jumlahnya tetapi bukan bertambah besar skalanya.
Dari aspek budaya, industrialisasi memunculkan perbedaan kelas sosial sangat tajam. Pembilahan ini memunculkan serikat buruh yang berurusan dengan pemilik perusahaan melalui negosiasi atau bahkan konflik. Dua kubu itu pun terrepresentsikan dalam partai politik. apabila yang satu berkuasa maka yang lain mengambil peran oposisi. Indonesia memang memiliki struktur masyarakat yang terbilah jelas dalam bidang ekonomi. Tetapi dalam politik dan budaya, keterbelahan itu tidak terlalu jelas. Parpol semakin lemah sementara golput justru menguat. Tak banyak dari kita yang bisa dengan spontan mengidentifikasikan diri dengan partai tertentu. Tidak ada kesan adanya pemimpin politik yang baik, bahkan sebagai patron pun dia tidak bisa terlihat baik.
Kalau kita sedikit mengingat kembali, zaman dahulu kala Indonesia mempunyai organisasi massa yang kuat seperti Sarekat Islam. Pada puncaknya organisasi tersebut mampu menjadi organisasi massa modern paling besar di seluruh dunia. Pada masa ini, rakyat tidak memiliki organisasi massa yang kuat. Ada yang pura-pura membentuk oraganisasi massa tapi pada ujungnya malah menjadi partai juga.
Om Lane melanjutkan dongengnya tentang fase sejarah Orde Baru. Saya mulai menguap. Cerita masih berlanjut mulai dari konsolidasi sampai perlawanan-perlawanan yang terjadi pada masa Orde Baru. Mulai dari bangkitnya lagi PKI tahun 1968 kemudian direpresi sedemikian rupa, demonstrasi-demonstrasi mahasiswa pada tahun 1970an, peristiwa Malari, gelombang demonstrasi kedua tahun 1978, manifestasi perlawanan Rendra dengan sajak-sajaknya, peristiwa Jogja, dan serentetan kejadian-kejadian panjang. Kuliah ditutup dengan cerita tentang gerakan Mega-Bintang-Rakyat pada pemilu Mei 1997.
Betapa banyak ingatan yang perlu digali lagi dari buku-buku sejarah yang memang harus benar-benar menampilkan sebenar-benarnya sejarah. Sebuah bangsa pasti memiliki ingatan kolektif, bagaimana ingatan tersebut dikonstruksikan oleh penguasa lewat berbagai hal yang mungkin tidak kita sadari. Ben Anderson telah memberi celah perspektif bagaimana kekuasaan dan perlawanan dimanifestasikan, bahkan melalui kartun dan monumen. Martin and Deutsche mengembangkan teori kausal ingatan dimana pengalaman masa lalu bisa beroperasi secara kausal dalam menghasilkan keadaan-keadaan yang menghasilkan pengalaman rekolektif masa kini. Maka, baginilah kita. Jejak-jejak ingatan terpotong dan jembatan temporal telah direkayasa sedemikian rupa. Ingatan itulah yang perlu dilacak dalam keseluruahan narasi melewati rute ruang dan waktu. Tak layak untuk meninggalkannya, meski hanya sebuah jejak.
Kamar Kost, 24 November 2011
Sabtu, 05 November 2011
Membaca Panggung: Meraba ‘Diri’ Para Pecinta Korea
Aku berpikir di mana aku tidak ada, karena itu aku ada dimana aku tidak berpikir. Apa karena yang berpikir menggantikan aku lalu aku menjadi yang lain?
(Jacques Lacan)
Rasanya tak cukup waktu untuk melihat lebih dalam. Dua hari berada dalam kerumunan para pecinta Korea di Korean Day UGM, 1-2 November 2011 memang belum bisa mengatakan apa-apa. Setidaknya, ada sesuatu yang menjadi lebih jelas dan mungkin bisa menjelaskan tesis seorang teman tentang hegemoni simbolik dari beberapa icon yang diidentifikasikan sebagai bagian dari budaya Korea. Penting untuk memperjelas bahwa istilah Korea yang dipakai merujuk pada sub budaya pop tertentu seperti cover dance competition yang menjadi salah satu bagian acara. Cover dance adalah istilah yang digunakan untuk tarian yang meniru gaya boyband dan girlband Korea sebagaimana aslinya.
Kesempatan dua hari ini menempatkan saya dalam sebuah kolektifitas yang memiliki kesamaan nilai, ketertarikan, pemaknaan dan bersimpul pada satu idol figure yang sama. Dalam ruang gedung Purna Budaya tersebut, segala bentuk simbol saling berseliweran, berkelindan, tumpang tindih, berpotongan, bergesekan satu dengan yang lain. Kolektifitas membuat individu berada dalam sebuah struktur yang mau tidak mau akan ikut mempengaruhi tindakan. Saya sudah membuktikan, sebagai orang yang hanya tahu permukaan, tidak terjun terlalu dalam, dengan sedikit sensitifitas dan kepekaan, ternyata bisa ikut pula merasakan.
Kolektifitas yang dibungkus dengan hegemoni simbolik ini mampu membangun semacam ‘ruh’ yang menggerakkan individu-individu di dalamnya. Setiap individu mungkin telah menyaksikan tarian, lagu, atau video klip artis korea pujaannya itu ratusan kali. Tetapi, ketika berada dalam kolektifitas, satu lagu diperdengarkan dengan suara keras, musik menghentak dan tarian gadis-gadis ayu bergaya harajuku itu muncul, serentak sepertu ada gemuruh yang ingin meledak, lalu menjadi teriak, bersama-sama dengan sangat kompaknya. Teori kejangkitan barangkali bisa berlaku di sini. Saya bisa merasakan ‘sesuatu’ itu meski saya tak pernah lulus mata kuliah ‘Sujunisme’—istilah untuk pendalaman pengetahuan tentang salah satu boyband Korea bertajuk Super Junior—yang diberikan seorang teman. Perasaan ini sangat riil tetapi tidak dapat dikuantifikasi dan dilokalisasi. Ia bisa menjadi semacam ‘bukan sesuatu’ dalam hal ini.
Perasaan ini juga bisa dijelaskan dengan apa yang sebut Carl Gustav Jung sebagai bawah sadar kolektif. Bawah sadar bisa menjadi semacam lumbung yang menyimpan banyak kekuatan, simbol dan kearifan. Bawah sadar bisa menjadi sesuatu yang positif karena mampu memberikan energi yang bekerja demi harmoni setiap individu-individu. Diri sebagai sebuah pengalaman kolektif tidak hanya sebatas pada prokreasi tetapi kembali pada masing-masing individu ketika mereka mencobai banyak peran, berhadapan dengan orang dalam situasi yang berbeda-beda sampai menemukan siapakah “aku” yang riil. Hanya dengan luapan teriakan kolektif, orang-orang bisa menumpahkan segala sesuatu yang pada awalnya tertimbun, menyalurkan energi mereka dan menjaga kembali keseimbangan.
Hari kedua, ada sesuatu yang lain terlihat. Momentum hari sebelumnya ternyata tak bisa terulang. ‘Ruh’ kolektifitas tak dapat dirasakan lagi. Beberapa hal menarik justru muncul di sini. Acara dibuka dengan tarian tiga orang laki-laki yang gerak tubuhnya bisa jadi lebih lentur dari seorang perempuan. Mereka dengan fasih menirukan tarian SNSD—salah satu girlband Korea—lengkap dengan ekspresi dan gesture khas “kemayu”-nya.
Di atas panggung, mereka menampilkan apa yang diistilahkan Erving Goffman sebagai wilayah muka. Mereka tertarik dengan kostum, gaya rambut, aksesoris yang dipakai dan tentu saja sangat dipengaruhi Korea. Saya pun menduga, wilayah belakang mereka kemungkinan tak akan jauh berbeda. Mereka tidak akan dengan mudah menanggalkan peran mereka di atas panggung dalam kehidupan sehari-hari, apapun bentuknya. Makna simbol ditentukan tidak melalui proses yang soliter tetapi menitik beratkan pada interaksi. Banyak bentuk simbol masih dikenakan dan melekat meski dalam ranah-ranah privat dan mewarnai pula interaksi sosial mereka.
Simbol dalam bentuk icon-icon Korea yang telah memenuhi benak mereka menjadi semacam sentrum eksistensi dimana keberadaan mereka akan selalu dilekati oleh berbagai produk budaya tersebut. Idol figure menjadi semacam ideal ego dalam istilah Lacan yang dibentuk oleh tatanan simbolis yang lebih luas. Ketika mereka tampil sebagai artis idolanya dengan meniru semua gerakan, meraka seakan ingin bercermin dan melihat bayangan mereka sebagai orang lain. Meskipun demikian, berbagai penampilan dan simbol tersebut menunjukkan sintesis dimana individu diandaikan sebagai subyek yang aktif sekaligus sebagian dibentuk oleh berbagai proses hegemoni simbol dan makna yang berlangsung dinamis dan sangat cepat di luarnya.
Proses pendefinisian diri menjadi sangat beragam. Tatanan simbol dan makna yang belum menyelesaikan pertarungannya ikut membentuk identitas dan mendefinisikan diri seseorang. Berbagai proses ini barangkali menjejalkan riwayat panjang yang tidak mudah dimengerti orang. Ketika mengidentifikasi ‘diri’ sebagai bias Super Junior misalnya, ada banyak orang tidak bisa memahami pola interaksi simbol yang terjadi dalam kepalanya. Mereka tidak akan mengerti atau tidak bisa merasakan ‘ruh’ macam apa yang menancap kuat dalam otak karena memang berada dalam ranah ego yang berbeda.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana orang bisa memahami kesadaran orang lain sementara mereka hidup dalam arus kesadarannya sendiri? Jawaban yang mungkin adalah menciptakan ruang-ruang intersubyektifitas. Hubungan dialektis yang diciptakan menjadi salah satu peluang dimana wacana, simbol, dan pemaknaan bisa diperebutkan dalam posisi setara.
Kamar Kost, 2 November 2011
(Jacques Lacan)
Rasanya tak cukup waktu untuk melihat lebih dalam. Dua hari berada dalam kerumunan para pecinta Korea di Korean Day UGM, 1-2 November 2011 memang belum bisa mengatakan apa-apa. Setidaknya, ada sesuatu yang menjadi lebih jelas dan mungkin bisa menjelaskan tesis seorang teman tentang hegemoni simbolik dari beberapa icon yang diidentifikasikan sebagai bagian dari budaya Korea. Penting untuk memperjelas bahwa istilah Korea yang dipakai merujuk pada sub budaya pop tertentu seperti cover dance competition yang menjadi salah satu bagian acara. Cover dance adalah istilah yang digunakan untuk tarian yang meniru gaya boyband dan girlband Korea sebagaimana aslinya.
Kesempatan dua hari ini menempatkan saya dalam sebuah kolektifitas yang memiliki kesamaan nilai, ketertarikan, pemaknaan dan bersimpul pada satu idol figure yang sama. Dalam ruang gedung Purna Budaya tersebut, segala bentuk simbol saling berseliweran, berkelindan, tumpang tindih, berpotongan, bergesekan satu dengan yang lain. Kolektifitas membuat individu berada dalam sebuah struktur yang mau tidak mau akan ikut mempengaruhi tindakan. Saya sudah membuktikan, sebagai orang yang hanya tahu permukaan, tidak terjun terlalu dalam, dengan sedikit sensitifitas dan kepekaan, ternyata bisa ikut pula merasakan.
Kolektifitas yang dibungkus dengan hegemoni simbolik ini mampu membangun semacam ‘ruh’ yang menggerakkan individu-individu di dalamnya. Setiap individu mungkin telah menyaksikan tarian, lagu, atau video klip artis korea pujaannya itu ratusan kali. Tetapi, ketika berada dalam kolektifitas, satu lagu diperdengarkan dengan suara keras, musik menghentak dan tarian gadis-gadis ayu bergaya harajuku itu muncul, serentak sepertu ada gemuruh yang ingin meledak, lalu menjadi teriak, bersama-sama dengan sangat kompaknya. Teori kejangkitan barangkali bisa berlaku di sini. Saya bisa merasakan ‘sesuatu’ itu meski saya tak pernah lulus mata kuliah ‘Sujunisme’—istilah untuk pendalaman pengetahuan tentang salah satu boyband Korea bertajuk Super Junior—yang diberikan seorang teman. Perasaan ini sangat riil tetapi tidak dapat dikuantifikasi dan dilokalisasi. Ia bisa menjadi semacam ‘bukan sesuatu’ dalam hal ini.
Perasaan ini juga bisa dijelaskan dengan apa yang sebut Carl Gustav Jung sebagai bawah sadar kolektif. Bawah sadar bisa menjadi semacam lumbung yang menyimpan banyak kekuatan, simbol dan kearifan. Bawah sadar bisa menjadi sesuatu yang positif karena mampu memberikan energi yang bekerja demi harmoni setiap individu-individu. Diri sebagai sebuah pengalaman kolektif tidak hanya sebatas pada prokreasi tetapi kembali pada masing-masing individu ketika mereka mencobai banyak peran, berhadapan dengan orang dalam situasi yang berbeda-beda sampai menemukan siapakah “aku” yang riil. Hanya dengan luapan teriakan kolektif, orang-orang bisa menumpahkan segala sesuatu yang pada awalnya tertimbun, menyalurkan energi mereka dan menjaga kembali keseimbangan.
Hari kedua, ada sesuatu yang lain terlihat. Momentum hari sebelumnya ternyata tak bisa terulang. ‘Ruh’ kolektifitas tak dapat dirasakan lagi. Beberapa hal menarik justru muncul di sini. Acara dibuka dengan tarian tiga orang laki-laki yang gerak tubuhnya bisa jadi lebih lentur dari seorang perempuan. Mereka dengan fasih menirukan tarian SNSD—salah satu girlband Korea—lengkap dengan ekspresi dan gesture khas “kemayu”-nya.
Di atas panggung, mereka menampilkan apa yang diistilahkan Erving Goffman sebagai wilayah muka. Mereka tertarik dengan kostum, gaya rambut, aksesoris yang dipakai dan tentu saja sangat dipengaruhi Korea. Saya pun menduga, wilayah belakang mereka kemungkinan tak akan jauh berbeda. Mereka tidak akan dengan mudah menanggalkan peran mereka di atas panggung dalam kehidupan sehari-hari, apapun bentuknya. Makna simbol ditentukan tidak melalui proses yang soliter tetapi menitik beratkan pada interaksi. Banyak bentuk simbol masih dikenakan dan melekat meski dalam ranah-ranah privat dan mewarnai pula interaksi sosial mereka.
Simbol dalam bentuk icon-icon Korea yang telah memenuhi benak mereka menjadi semacam sentrum eksistensi dimana keberadaan mereka akan selalu dilekati oleh berbagai produk budaya tersebut. Idol figure menjadi semacam ideal ego dalam istilah Lacan yang dibentuk oleh tatanan simbolis yang lebih luas. Ketika mereka tampil sebagai artis idolanya dengan meniru semua gerakan, meraka seakan ingin bercermin dan melihat bayangan mereka sebagai orang lain. Meskipun demikian, berbagai penampilan dan simbol tersebut menunjukkan sintesis dimana individu diandaikan sebagai subyek yang aktif sekaligus sebagian dibentuk oleh berbagai proses hegemoni simbol dan makna yang berlangsung dinamis dan sangat cepat di luarnya.
Proses pendefinisian diri menjadi sangat beragam. Tatanan simbol dan makna yang belum menyelesaikan pertarungannya ikut membentuk identitas dan mendefinisikan diri seseorang. Berbagai proses ini barangkali menjejalkan riwayat panjang yang tidak mudah dimengerti orang. Ketika mengidentifikasi ‘diri’ sebagai bias Super Junior misalnya, ada banyak orang tidak bisa memahami pola interaksi simbol yang terjadi dalam kepalanya. Mereka tidak akan mengerti atau tidak bisa merasakan ‘ruh’ macam apa yang menancap kuat dalam otak karena memang berada dalam ranah ego yang berbeda.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana orang bisa memahami kesadaran orang lain sementara mereka hidup dalam arus kesadarannya sendiri? Jawaban yang mungkin adalah menciptakan ruang-ruang intersubyektifitas. Hubungan dialektis yang diciptakan menjadi salah satu peluang dimana wacana, simbol, dan pemaknaan bisa diperebutkan dalam posisi setara.
Kamar Kost, 2 November 2011
Rabu, 19 Oktober 2011
Puisi yang Ditemukan dari Sesobek Catatan Kuliah KPI
sebentar berolok tentang dosamu di masa lalu
sembunyi-sembunyi ada juga sisi lain untuk dikagumi
memunguti sepahnya sejarah
berkicau soal demokrasi yang tak pernah jadi
barang mainan dalam pestamu,
kau suruh kami sebut itu pemilu
dulu, kita dipaksa bungkam
sekarang pun rasanya masih bungkam
terkantut-kantuk mengorek kerak bangsa ini
para penganut teori konspirasi hanya bisa berucap 'jangan-jangan...'
sedang imajinasi terlalu sulit menjadi bukti
kau hanya mesem saja
teori semakin apak
analisis ini hampir mampat
andai bisa mengundangmu kembali
dan kau masih saja mesem sambil melambai penuh simbol dan arti
tambah mesem
mendengar celotehan teman di pojokan
katanya kau ini...
ah, aku masih takut melanjutkan
mata-matamu jangan-jangan masih memata-matai
di pojokan kelas, mesem saja
capai mendengar omong kosong semakin hangat menderai
seperti kantuk, masih mengutuk
dimana kudapati lagi
kau yang bisa buat orang tunduk
hanya dengan sekali batuk
sembunyi-sembunyi ada juga sisi lain untuk dikagumi
memunguti sepahnya sejarah
berkicau soal demokrasi yang tak pernah jadi
barang mainan dalam pestamu,
kau suruh kami sebut itu pemilu
dulu, kita dipaksa bungkam
sekarang pun rasanya masih bungkam
terkantut-kantuk mengorek kerak bangsa ini
para penganut teori konspirasi hanya bisa berucap 'jangan-jangan...'
sedang imajinasi terlalu sulit menjadi bukti
kau hanya mesem saja
teori semakin apak
analisis ini hampir mampat
andai bisa mengundangmu kembali
dan kau masih saja mesem sambil melambai penuh simbol dan arti
tambah mesem
mendengar celotehan teman di pojokan
katanya kau ini...
ah, aku masih takut melanjutkan
mata-matamu jangan-jangan masih memata-matai
di pojokan kelas, mesem saja
capai mendengar omong kosong semakin hangat menderai
seperti kantuk, masih mengutuk
dimana kudapati lagi
kau yang bisa buat orang tunduk
hanya dengan sekali batuk
Selasa, 27 September 2011
Para Peminang Kerja
Kepada kalian,
Sejak pagi sudah berdandan habis-habisan
Duduk berjajar menunggu panggilan
Apakah kalian benar-benar menginginkan uang?
Sejak pagi sudah berdandan habis-habisan
Duduk berjajar menunggu panggilan
Apakah kalian benar-benar menginginkan uang?
Senin, 26 September 2011
Pagi di Sebuah Kereta
Kereta pagi dimandi matahari
Perjalanan mengintip beranda belakang
Menyaksikan pameran jemuran basah
Juga deretan panci gosong pantatnya
Menuju barat
Ladang dan sawah
Kali mampat penuh sampah
Para petani menuai padi garing tanpa isi
Orang-orang menunggu palang rel dinaikkan
Pelepah-pelepah pisang patah
Menimpa zahirku menjelma serumpun bambu
Gerbong ini,
Entah kemana akan membawaku menuju
Ngawi-Yogya, 26 September 2011
Perjalanan mengintip beranda belakang
Menyaksikan pameran jemuran basah
Juga deretan panci gosong pantatnya
Menuju barat
Ladang dan sawah
Kali mampat penuh sampah
Para petani menuai padi garing tanpa isi
Orang-orang menunggu palang rel dinaikkan
Pelepah-pelepah pisang patah
Menimpa zahirku menjelma serumpun bambu
Gerbong ini,
Entah kemana akan membawaku menuju
Ngawi-Yogya, 26 September 2011
Perempuan Senja
Perempuan senja,
laju di atas beku kereta.
Perjalanan tertunda
lindap semakin gamang
mengunjungi petang.
Ia sedang menunggu
barangkali sedang menunggu
menunggu pinangan malam.
Yogya-Ngawi, 24 September 2011
laju di atas beku kereta.
Perjalanan tertunda
lindap semakin gamang
mengunjungi petang.
Ia sedang menunggu
barangkali sedang menunggu
menunggu pinangan malam.
Yogya-Ngawi, 24 September 2011
Distorsi Demokrasi: Ketika Kesejahteraan Berada di Atas Awan
Relasi Demokrasi dan Kesejahteraan
Dinamika politik dan demokrasi di Indonesia menyisakan pertanyaan besar yang sering diperdebatkan. Ketika demokratisasi direlasikan dengan kesejahteraan, maka perdebatan yang muncul akan terkait dengan apakah demokratisasi berkorelasi positif atau negatif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Banyak pendapat mengatakan bahwa demokratisasi yang berlangsung sejak 1998 tidak membawa kesejahteraan. Di lain kubu, banyak pula pendapat menyatakan bahwa demokrasi telah membawa angin baru perubahan dan bergerak menuju peningkatan kesejahteraan. Dari dua pendapat tersebut, tulisan ini memiliki posisi yang jelas dan sepakat terhadap pendapat pertama bahwa demokratisasi sampai saat ini belum mampu membawa kesejahteraan masyarakat.
Bangunan tulisan ini didasarkan pada tesis bahwa kesejahteraan masyarakat sampai pada saat ini belum mengalami peningkatan karena demokratisasi yang berlangsung baru sampai pada tataran prosedural. Tataran demokrasi prosedural yang dimaksud dalam bahasan tulisan ini adalah penguatan pilar-pilar dan lembaga demokrasi formal sebagai lanjutan dari demokrasi elektoral. Argumen tersebut akan dibangun dengan berbagai data baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif melalui penelusuran berbagai referensi.
Uraian dalam tulisan ini tidak hanya melihat struktur-struktur yang mengungkung (constraining) sehingga demokrasi tidak dapat berjalan seiring dengan kesejahteraan. Dalam segi aktor, tulisan ini akan menjelaskan bagaimana peran elit di satu sisi dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengontrol atau bahkan mengakses sumber daya di sisi lain. Dua mekanisme besar inilah yang kemudian menjadi titik tolak dalam mengkerangkai relasi antara demokrasi dan kesejahteraan.
Hubungan antara demokrasi dan kesejahteraan sebenarnya tidak bersifat linier dan kausalistik. Hubungan dua hal tersebut bersifat kondisional dan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti struktur sosial masyarakat, pendidikan, kemantapan institusi politik, dan sebagainya. Lebih jauhnya, masih banyak pula prasayarat yang harus dipenuhi agar demokrasi dapat memuluskan jalan menuju kesejahteraan selain sekadar pemenuhan prasyarat formal-prosedural.
Demokrasi Elektoral dalam Distorsi
Ignas Kleden (2003:160) dalam salah satu analisisnya mengatakan bahwa dinamika politik Indonesia pasca reformasi 1998 masih didominasi oleh politik makro yang berfokus pada hubungan politik antaraktor. Substansi politik yang sedang berlangsung masih berat bertitik pada kepentingan negara daripada kepentingan masyarakat. Tingkat kesejahteraan masyarakat tidak mengalami perubahan. Desentralisasi pun belum mampu menunjukkan sisi positifnya ketika sentralisme politik hanya berpindah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Hal inilah yang membuat substansi demokrasi menjadi terabaikan ketika semua energi terpusat pada pembentukan instrumen-instrumen demokrasi dalam kerangka prosedural.
Proses elektoral menjadi salah satu syarat pelembagaan prosedur politik yang dianggap demokratis. Pilkada misalnya, sebenarnya memiliki tujuan positif untuk menghidupkan demokrasi di tingkat lokal, mengelola pemerintahan daerah dan mendorong bekerjanya institusi-institusi politik lokal. Namun, banyak realitas dan kajian yang memperlihatkan sisi gelap demokrasi elektoral dalam pemilu maupun pilkada seperti adanya money politics dan korupsi, konflik, black campaigne, kandidat yang miskin program, oligarki elit dan sebagainya (Lihat misalnya Supeno, 2009; Irtanto, 2008; Haris, 2005). Proses-proses elektoral dalam berbagai kajian di atas menunjukkan ketidakmampuannya memberikan kontribusi secara fundamental bagi konsolidasi demokrasi secara lebih substantif.
Pemilihan umum di Indonesia justru menjadi bukti empirik terjadinya krisis demokrasi elektoral dan politik biaya tinggi. Komisi Pemilihan Umum menghitung biaya penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah 2010-2014 mencapai Rp 15 triliun. Ada lima komponen biaya Pilkada dilihat dari pengeluaran, yakni KPU, Panitia Pengawas Pemilu, Kepolisian, Calon Kepala Daerah dan Tim Kampanye. Khusus untuk KPU dan Panwas, KPU Kabupaten/Kota tahun 2010 menganggarkan sekitar Rp. 7 miliyar sampai Rp. 10 miliyar, sedangkan KPU Provinsi menganggarkan sekitar Rp. 50 miliyar sampai Rp. 70 miliyar. Fenomena mahalnya biaya politik dalam pilkada ini memperlihatkan demokrasi di Indonesia masih materialistis dan belum substansial (Kompas, 24 Juli 2010). Pilkada biaya tinggi kemudian sering diikuti dengan fenomena korupsi ketika para calon sudah mendapat legitimasi kuasa untuk mengembalikan modal mereka saat mencalonkan diri. Rentetan peristiwa pemilu dan berbagai persoalan yang melekat di dalamnya menunjukkan bhahwa perubahan politik di Indonesia sebenarnya tidak pernah mengikuti jalur formal-prosedural seperti disyaratkan dalam konsep demokrasi.
Demokrasi elektoral di Indonesia mengasilkan sejumlah patologi yang salah satunya ditandai dengan oligarki. Sutoro Eko (2004:53-56) mencatat beberapa kecenderungan oligarki yang muncul dalam konteks hubungan antara pemerintah, partai politik dan rakyat pasca reformasi. Rakyat hanya dilibatkan dalam proses pemilihan sementara ketika para minoritas telah memegang kekuasaan, ia terisolasi dari rakyat dan tidak lagi mewakili kepentingan mayoritas. Ketika berkuasa, mereka dibentengi oleh kostitusi sehingga rakyat tidak mudah menyentuhnya. Konstitusi dan aturan legal lainnya selalu merupakan hasil dominasi dan ekspliotasi terhadap massa.
Konsep demokrasi yang diadaptasi dari negara maju ternyata tidak dengan mudahnya bisa diterapkan di Indonesia. Kuatnya struktur patronase di Indonesia tidak dengan mudah dikikis dengan mekanisme demokrasi. Demokrasi elektoral di Indoneisa justru ditandai dengan crafting elit seperti birokrat untuk menentukan kebijakan yang tidak pro-rakyat. Para elit justru mampu beradaptasi dengan mekanisme demokrasi dengan mempertahankan pola relasi lama mereka sehingga tetap dapat memenuhi kepentingannya. Menurut penelitian Demos (2009-2011) mengenai ‘Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial-Budaya’ dan mengenai ‘Politik Anggaran’ menunjukkan tiadanya niat negara menyejahterakan rakyatnya. Jikapun terdapat program-program pembangungan, kesejahteraan belum merupakan tujuan dari kebijakan tersebut.
Dari studi Demos (2009-2011), di tingkat yang paling keras, yaitu penganggaran dana publik, ternyata politik alokasi anggaran (APBD) mencerminkan tiga pilar kepentingan elit oligarkis tersebut: populisme semu, birokrasi, dan rente. Anggaran digunakan untuk ‘royal pada diri sendiri’. Kajian ini memperoleh data bahwa lebih dari 75% anggaran belanja lokal digunakan untuk membiayai keperluan birokrat. Di atas kertas memang anggaran daerah dikemas dalam skema anggaran kinerja yang menampakkan anggaran publik lebih besar daripada anggaran aparatur. Akan tetapi secara substantif dan struktrural, birokrasi daerah (yang sebelumnya menyedot anggaran rutin lebih besar) belum berubah, sehingga memaksa sebagian besar anggaran publik dialokasikan untuk Belanja Administrasi Umum (BAU) Dalam pos belanja publik, BAU dapat diserap dalam bentuk gaji dan tunjangan pegawai, biaya barang dan jasa, biaya makanan dan minuman, biaya perjalanan dinas, hingga biaya pemeliharaan bangunan gedung, alat angkutan, serta alat kantor dan rumah tangga.
Para elit yang mendapat legitimasi kekuasaan melalui proses pemilihan ternyata malah menghasilkan kebijakan yang berlawanan dengan tujuan kesejahteraan. Lahirnya kebijakan yang mempromosikan kesejahteraan sangat ditentukan oleh kemenangan koalisi pro-poor melawan koalisi pro-elite. Kenyataannya, sistem politik demokrasi di Indonesia dewasa ini masih dikuasai para elit-dominan. Hampir seluruh proses politik dimonopoli dan dikendalikan oleh meraka. Dalam konteks inilah pengertian demokrasi di Indonesia dapat dikatakan bersifat oligarkis. Ketika posisi elit lebih kuat dalam mengendalikan proses kebijakan, maka rakyat hanya bisa melihat dari jauh bagaimana kebebasan hak politik mereka tidak menghasilkan suatu kondisi di mana para pejabat publik dan lembaga-lembaga representasi dalam demokrasi menjadi responsif, akuntabel, kredibel, transparan, dan sebagainya.
Perubahan dan masifnya instalasi demokrasi modern melalui berbagai institusi seperti partai, parlemen, pemilu sebagaimana asumsi demokrasi Scumpeterian berbenturan dengan struktur lama yang bersifat patologis dan tidak berubah. Demokratisasi seperti berhenti pada proses intitusionalisasi dan cenderung abai terhadap tujuan penyejahteraan rakyat.
Ketidakberdayaan Rakyat: Jalan Panjang Menuju Kesejahteraan
Paparan di atas menggambarkan bahwa demokratisasi di Indonesia masih berfokus pada demokrasi politik dan belum merambah pada substansi demokrasi sosial dan ekonomi. Mekanisme demokrasi yang telah berkembang sampai saat ini belum mampu menjamin rakyat dalam voice, akses dan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pelayanan maupun anggaran. Ruang partisipasi mungkin telah dibuka tetapi hal ini tidak sebanding dengan perubahan hubungan-hubungan kekuasaan yang memungkinkan mereka dapat menikmati sumber-sumber daya politik dan ekonomi. Bagian ini setidaknya akan mengungkap beberapa penjelasan bagaimana posisi rakyat yang terjebak dalam ketidakberesan konsolidasi demokrasi yang masih terus berlanjut sampai saat ini. Ketidakberdayaan inilah yang membuat kesejahtraan masih jauh dari harapan.
Di Indonesia, istilah kesejahteraan sosial dapat ditemukan dalam UU No. 11 tahun 2009 terntang Kesejahteraan Sosial. Kesejahteraan sosial dapat dimaknai sebagai terpenuhinya kondisi material, spiritual dan kebutuhan sosial masyarakat. Selain itu, kesejahteraan sosial juga dimaknai dalam aktivitas terorganisasi sebagai bentuk pembangunan atau penyelenggaraan sosial yang diimplementasikan dalam pelayanan sosial seperti rehabilitasi sosial, keamanan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial (Suharto, 2009). Dua ranah konsep kesejahteraan yang telah dijamin dalam undang-undang di atas sudah selayaknya menjadi kewajiban negara. Meskipun demikian, sampai saat ini Inodnesia masih menghadapi multifaset persoalan kesejahtraan sosial yang tak kunjung habis.
Salah satu indikator yang paling sering dibahas ketika membicarakan kesejahteraan rakyat adalah kemiskinan. Berbagai penelitian dan studi menunjukkan bahwa demokrasi tidak berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan. Angka kemiskinan yang menurun menurut BPS tidak semata-mata menjadi indikator peningkatan kesejahteraan. Walaupun BPS mengklaim pada 2010 lalu pemerintah berhasil mengurangi penduduk miskin hingga 1,5 Juta penduduk, tetapi di lapangan terungkap angka orang miskin yang berhak mendapatkan beras untuk rakyat miskin (raskin) tahun lalu jumlahnya masih berkisar 70 juta orang. Sementara, jika digunakan data penduduk yang berhak menerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) jumlahnya 76,4 juta, sedangkan apabila menggunakan data Bank Dunia, jumlahnya mendekati 100 juta orang atau sekitar 42 persen penduduk (Kompas, 10 Januari 2011).
Persoalan kemiskinan menjadi bagian kecil dari banyaknya indikator kesejahteraan yang tidak juga menunjukkan indikasi positif. Hasil riset Demos dalam Subono (2007) menunjukkan pandangan negatif terhadap instrumen pemenuhan kesejahteraan sosial dan ekonomi. Lebih dari 80 persen informan mengatakan bahwa instumen yang mendukung pemenuhan hak tenaga kerja, kemanan sosial dan kebutuhan dasar lain menunjukkan performance buruk dan memiliki ruang jangkauan terbatas.
Berbagai kebijakan pro-poor maupun pro-jobs telah diimplementasikan dan diturunkan dalam skema desentralisasi ke daerah. Daerah bahkan memiliki lebih banyak lagi program penanggulangan kemiskinan. Pemerintah pusat menjalankan program PNPM Mandiri yang digunakan sebagai program induk, BLT, sekolah gratis, ASKES-KIN, ketahanan pangan, kredit UMKM, akselerasi desa tertinggal, infrastruktur perdesaan, dan sebagainya. Guna menjamin sinergi antar kementerian, antar sektor, antar program pemerintah membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK).
Sejumlah kebijakan ini didominasi oleh kebijakan yang berorientasi pada persoalan ad-hoc, parsial tanpa ada upaya pencegahan. Beberapa kalangan menilai bahwa sejumlah program tersebut cenderung sentralistis. Selain itu, program-program tersebut bersifat kuratif dan rehabilitatif. Kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak mampu mencegah rakyat menjadi miskin tetapi justru mengharuskan rakyat miskin terlebih dahulu agar dapat menikmati program anti-kemiskinan yang ditawarkan pemerintah.
Desentralisasi pun cenderung menunjukkan keterbatasan pemerintah daerah dalam kapasitas dan responsibilitas terkait dengan penyelesaian masalah sosial. Abbas dalam Suharto (2009) mengatakan bahwa dari 100 Perda yang dihasilkan daerah, 85 persen merupakan Perda yang berfungsi untuk meningkatkan PAD, 10 persen untuk melakukan klaim terhadap aset pemerintah lokal dan hanya 5 persen yang benar-benar merupakan kebijakan pro-poor.
Kemiskinan di Indonesia terjadi karena proses eksklusi, peminggiran yang mengabaikan partisipasi dan pada akhirnya melupakan akuntabilitas pemerintah terhadap rakyat. Lebih jauhnya, kemiskinan terjadi karena relasi kuasa yang tidak seimbang antara negara, masyarakat dan sektor privat. Dari tiga aktor tersebut, rakyatlah yang memiliki posisi tawar paling rendah dalam akses sumber daya.
Banyak kasus menunjukkan bagaimana ketidakberdayaan rakyat ketika mainstream pendekatan pembangunan nasional di Indonesia menitikberatkan pada intervensi kebijakan neoliberalisme dalam rangka mencapi pertumbuhan ekonomi. Sebut saja beberapa kasus seperti Blok Cepu, kasus PT Newmont, privatisasi air yang justru membuat air semakin mahal dan sulit diakses, dan sebagainya, sekadar menyebut contoh. Deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi mendorong terjadinya monopoli di berbagai sektor produksi, distribusi, dan konsumsi. Keuntungan hanya akan dinikmati para kapitalis yang berselingkuh dengan negara, sementara rakyat tetap saja miskin.
Dari berbagai data di atas, terlihat bahawa salah satu penyebab ketidakberdayaan rakyat dalam akses dan kontrol sumberdaya salah satunya disebabkan oleh rendahnya kualitas keterwakilan sedangkan kualitas keterwakilan itu sendiri ditentukan oleh proses elektoral. Partisipasi rakyat terhadap berbagai kebijakan tidak dapat berjalan secara maksimal karena persoalan keterwakilan. Mekanisme demokrasi elektoral yang bermasalah setali tiga uang dengan ketidakberdayaan rakyat membuat penyelenggaraan sistem pemerintahan dan implementasi kebijakan jauh dari kesan peningkatan kesejahteraan.
Sebuah Simpul
Demokrasi dan kesejahteraan memiliki hubungan non linier dengan berbagai faktor dan variabel yang melekat antar keduanya. Tulisan ini mungkin tidak dapat menjelaskan secara komprehensif kompleksitas hubungan antara demokrasi dan kesejahtaraan masyarakat. Namun setidaknya, paparan dalam tulisan ini menunjukkan semacam benang merah bahwa demokrasi elektoral gagal menjamin mekanisme representasi yang benar-benar mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat.
Struktur patronase yang masih kuat, budaya korupsi yang semakin menggurita, tidak dapat dihilangkan begitu saja dengan konsolidasi demokrasi yang hanya berhenti pada tahap institusional. Dari segi aktor, kemunculan elit yang mampu meng-crafting demokratisasi membuat pemenuhin subtansi demokrasi untuk mensejahterakan rakyat terabaikan. Elit mempu bersifat fleksibel terhadap struktur yang baru sedangkan rakyat masih tetap terkungkung dalam struktur yang memiskinkan mereka.
Dengan demikian, demokratisasi perlu segera digeser ke ranah yang lebih substantif dengan pelibatan masyarakat atau perluasan ruang partisipasi. Demokrasi perlu menyediakan seperangkat insrtumen untuk menjamin bahwa representasi dapat benar-benar berjalan. Rakyat membutuhkan saluran yang mampu mengantarkan suara mereka untuk terlibat aktif dalam proses politik dan kebijakan. Subtansi demokrasi yang seharusnya menjadi pusat sasaran adalah bagaimana menempatkan posisi rakyat pada tempat strategis dalam perumusan, pembuatan, dan penentukan kebijakan. Selain penyediaan sistem dan mekanisme sebagai perangkat agar kepentingan rakyat dapat direpresentasikan dengan baik, permasalahannya tentu akan berbalik pada kesiapan dan kemampuan rakyat sendiri dalam mentransformasikan hak-hak mereka dalam institusi demokrasi secara substantif dan implementatif.
Setiap negara seharusnya memiliki tipe demokrasinya sendiri yang disesuaikan dengan struktur sosial ekonomi masyarakat, sebuah struktur yang telah lama hadir jauh sebelum kemunculan konsep demokrasi itu sendiri. Tawaran model seperti demokrasi deliberatif misalnya, berupaya untuk memperkuat legitimasi demokrasi daripada sekadar demokrasi formal melalui proses elektoral yang hanya menjangkau legalitas formal-prosedural.
Konsep ini pada akhirnya ingin mengembangkan “demokrasi inklusif” yang membuka akses partisipasi warga. Jika pandangan demokrasi liberal sangat percaya pada kompetisi melalui agregasi politik (misalnya pemilihan umum), maka pandangan demokrasi deliberatif lebih menekankan forum publik sebagai arena diskusi politik menuju kebaikan berasama (Elster, 1998; Gutman dan Thompson, 1996; Warren, 1996 dalam Eko, 2004). Meskipun demikian, belum tentu juga konsep ini akan membawa kesejahteraan jika diterapkan di Indonesia. Hubungan antara demokratisasi dan kesejahteraan sangat dimungkinkan bersifat kasuistik dan tidak dapat digeneralkan.
Sudah seharusnya institusionalisasi demokrasi diikuti dengan pemenuhan hak-hak rakyat, distribusi akses dan kontrol yang merata, perubahan relasi politik yang lebih adil, serta reorientasi kekayaan dan ekonomi untuk kepentingan rakyat. Tidak ada model general terbaik untuk mengelola negara dengan kompleksitas dan kekhasan yang melekat. Demokrasi berikut segala perangkatnya harus bisa lebih lentur dijalankan dalam struktur masyarakat Indonesia dengan keragamannya yang luar biasa untuk mencapai tujuan di atas.
Tulisan ini hanya sekadar gambaran umum dengan tidak menafikan kasus-kasus spesifik yang menunjukkan keberdayaan rakyat di berbagai daerah dalam proses demokratisasi. Konsolidasi demokrasi masih akan terus berlangsung. Optimisme masih bisa dibangun dan kembali ke model otoritarian tentu bukan suatu penyelesaian terhadap persoalan belum tercapainya kesejahteraan rakyat sampai pada saat ini. Keberadaan masyarakat sipil perlu diperkuat dan pemberdayaan masyarakat mendesak harus dilakukan untuk mengisi berbagai distorsi demokrasi elektoral, salah satunya melalui mekanisme partisipasi dan representasi yang tepat.
Daftar Pustaka:
Biaya Pilkada Rp. 15 Triliun, dalam http://cetak.kompas.com/read/2010/07/24/03414390/biaya.pilkada.rp.15.triliun, diakses pada tanggal 20 september 2011, 20:19 WIB.
Eko, Sutoro. Menuju Kesejahteraan Rakyat Melalui Rute Desentralisasi, dalam http://ireyogya.org/sutoro/kesejahteraan_melalui_desentralisasi.pdf, diakses pada 20 September 2011, 20:22 WIB.
¬¬¬__________. 2004. Krisis Demokrasi Elektoral. Jurnal Mandatory, Krisis Demokrasi Liberal, Edisi 1/Tahun 1/2004. Yogyakarta: IRE.
Saparini, Hendri. Si Miskin Harus Bekerja. Harian Kompas (10/01/2011) dalam http://cetak.kompas.com/read/2011/01/10/02542922/si_miskin_harus_bekerja, diunduh pada tanggal 20 September 2011, 20:15 WIB.
Irtanto, 2008, Dinamika Politik Lokal Era Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kartasasmita, Ginandjar. 2008. Strategi Pembangunan Ekonomi: Antara Pertumbuhan dan Demokrasi. Orasi Ilmiah Dalam Acara Wisuda Sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ahmad Dahlan Jakarta 26 April 2008, dalam http://www.ginandjar.com/public/STIE%20Ahmad%20Dahlan_GK.pdf, diakses pada tanggal 19 September 2011, 19:46 WIB.
Kleden, Ignas. 2003. Indonesia Setelah Lima Tahun Reformasi (Mei 1998-Mei 2003), Analisis CSIS, Lima Tahun Reformasi: Proses Demokrasi yang Lamban, Tahun XXXII/2003 No. 2.
Pradjasto, Antonio, Ironi Demokrasi, Pesta Kaum Elit, dalam http://www.demosindonesia.org/laporan-utama/4353-ironi-demokrasi-pesta-kaum-elit-antonio-pradjasto.html, diakses pada tanggal 21 September 2011, 19:48 WIB.
Priyono, A.E, dkk. 2007. Making Democracy Meaningful: Problem and Option in Indonesia. Yogyakarta: PCD Prees dan Demos
Suharto, Edi, PhD. 2009. Development of Social Welfare in Indonesia: Situation Analysis and General Issue, dalam http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/Development%20of%20Social%20Welfare%20in%20Indonesia.pdf, diakses pada tanggal 22 September 2011, 20:30 WIB.
Supeno, Hadi. 2009. Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman dan Pengakuan. Yogyakarta: Kreasi Total Media.
Syamsuddin Haris (ed). 2005. Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai. Proses Nominasi dan Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Dinamika politik dan demokrasi di Indonesia menyisakan pertanyaan besar yang sering diperdebatkan. Ketika demokratisasi direlasikan dengan kesejahteraan, maka perdebatan yang muncul akan terkait dengan apakah demokratisasi berkorelasi positif atau negatif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Banyak pendapat mengatakan bahwa demokratisasi yang berlangsung sejak 1998 tidak membawa kesejahteraan. Di lain kubu, banyak pula pendapat menyatakan bahwa demokrasi telah membawa angin baru perubahan dan bergerak menuju peningkatan kesejahteraan. Dari dua pendapat tersebut, tulisan ini memiliki posisi yang jelas dan sepakat terhadap pendapat pertama bahwa demokratisasi sampai saat ini belum mampu membawa kesejahteraan masyarakat.
Bangunan tulisan ini didasarkan pada tesis bahwa kesejahteraan masyarakat sampai pada saat ini belum mengalami peningkatan karena demokratisasi yang berlangsung baru sampai pada tataran prosedural. Tataran demokrasi prosedural yang dimaksud dalam bahasan tulisan ini adalah penguatan pilar-pilar dan lembaga demokrasi formal sebagai lanjutan dari demokrasi elektoral. Argumen tersebut akan dibangun dengan berbagai data baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif melalui penelusuran berbagai referensi.
Uraian dalam tulisan ini tidak hanya melihat struktur-struktur yang mengungkung (constraining) sehingga demokrasi tidak dapat berjalan seiring dengan kesejahteraan. Dalam segi aktor, tulisan ini akan menjelaskan bagaimana peran elit di satu sisi dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengontrol atau bahkan mengakses sumber daya di sisi lain. Dua mekanisme besar inilah yang kemudian menjadi titik tolak dalam mengkerangkai relasi antara demokrasi dan kesejahteraan.
Hubungan antara demokrasi dan kesejahteraan sebenarnya tidak bersifat linier dan kausalistik. Hubungan dua hal tersebut bersifat kondisional dan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti struktur sosial masyarakat, pendidikan, kemantapan institusi politik, dan sebagainya. Lebih jauhnya, masih banyak pula prasayarat yang harus dipenuhi agar demokrasi dapat memuluskan jalan menuju kesejahteraan selain sekadar pemenuhan prasyarat formal-prosedural.
Demokrasi Elektoral dalam Distorsi
Ignas Kleden (2003:160) dalam salah satu analisisnya mengatakan bahwa dinamika politik Indonesia pasca reformasi 1998 masih didominasi oleh politik makro yang berfokus pada hubungan politik antaraktor. Substansi politik yang sedang berlangsung masih berat bertitik pada kepentingan negara daripada kepentingan masyarakat. Tingkat kesejahteraan masyarakat tidak mengalami perubahan. Desentralisasi pun belum mampu menunjukkan sisi positifnya ketika sentralisme politik hanya berpindah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Hal inilah yang membuat substansi demokrasi menjadi terabaikan ketika semua energi terpusat pada pembentukan instrumen-instrumen demokrasi dalam kerangka prosedural.
Proses elektoral menjadi salah satu syarat pelembagaan prosedur politik yang dianggap demokratis. Pilkada misalnya, sebenarnya memiliki tujuan positif untuk menghidupkan demokrasi di tingkat lokal, mengelola pemerintahan daerah dan mendorong bekerjanya institusi-institusi politik lokal. Namun, banyak realitas dan kajian yang memperlihatkan sisi gelap demokrasi elektoral dalam pemilu maupun pilkada seperti adanya money politics dan korupsi, konflik, black campaigne, kandidat yang miskin program, oligarki elit dan sebagainya (Lihat misalnya Supeno, 2009; Irtanto, 2008; Haris, 2005). Proses-proses elektoral dalam berbagai kajian di atas menunjukkan ketidakmampuannya memberikan kontribusi secara fundamental bagi konsolidasi demokrasi secara lebih substantif.
Pemilihan umum di Indonesia justru menjadi bukti empirik terjadinya krisis demokrasi elektoral dan politik biaya tinggi. Komisi Pemilihan Umum menghitung biaya penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah 2010-2014 mencapai Rp 15 triliun. Ada lima komponen biaya Pilkada dilihat dari pengeluaran, yakni KPU, Panitia Pengawas Pemilu, Kepolisian, Calon Kepala Daerah dan Tim Kampanye. Khusus untuk KPU dan Panwas, KPU Kabupaten/Kota tahun 2010 menganggarkan sekitar Rp. 7 miliyar sampai Rp. 10 miliyar, sedangkan KPU Provinsi menganggarkan sekitar Rp. 50 miliyar sampai Rp. 70 miliyar. Fenomena mahalnya biaya politik dalam pilkada ini memperlihatkan demokrasi di Indonesia masih materialistis dan belum substansial (Kompas, 24 Juli 2010). Pilkada biaya tinggi kemudian sering diikuti dengan fenomena korupsi ketika para calon sudah mendapat legitimasi kuasa untuk mengembalikan modal mereka saat mencalonkan diri. Rentetan peristiwa pemilu dan berbagai persoalan yang melekat di dalamnya menunjukkan bhahwa perubahan politik di Indonesia sebenarnya tidak pernah mengikuti jalur formal-prosedural seperti disyaratkan dalam konsep demokrasi.
Demokrasi elektoral di Indonesia mengasilkan sejumlah patologi yang salah satunya ditandai dengan oligarki. Sutoro Eko (2004:53-56) mencatat beberapa kecenderungan oligarki yang muncul dalam konteks hubungan antara pemerintah, partai politik dan rakyat pasca reformasi. Rakyat hanya dilibatkan dalam proses pemilihan sementara ketika para minoritas telah memegang kekuasaan, ia terisolasi dari rakyat dan tidak lagi mewakili kepentingan mayoritas. Ketika berkuasa, mereka dibentengi oleh kostitusi sehingga rakyat tidak mudah menyentuhnya. Konstitusi dan aturan legal lainnya selalu merupakan hasil dominasi dan ekspliotasi terhadap massa.
Konsep demokrasi yang diadaptasi dari negara maju ternyata tidak dengan mudahnya bisa diterapkan di Indonesia. Kuatnya struktur patronase di Indonesia tidak dengan mudah dikikis dengan mekanisme demokrasi. Demokrasi elektoral di Indoneisa justru ditandai dengan crafting elit seperti birokrat untuk menentukan kebijakan yang tidak pro-rakyat. Para elit justru mampu beradaptasi dengan mekanisme demokrasi dengan mempertahankan pola relasi lama mereka sehingga tetap dapat memenuhi kepentingannya. Menurut penelitian Demos (2009-2011) mengenai ‘Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial-Budaya’ dan mengenai ‘Politik Anggaran’ menunjukkan tiadanya niat negara menyejahterakan rakyatnya. Jikapun terdapat program-program pembangungan, kesejahteraan belum merupakan tujuan dari kebijakan tersebut.
Dari studi Demos (2009-2011), di tingkat yang paling keras, yaitu penganggaran dana publik, ternyata politik alokasi anggaran (APBD) mencerminkan tiga pilar kepentingan elit oligarkis tersebut: populisme semu, birokrasi, dan rente. Anggaran digunakan untuk ‘royal pada diri sendiri’. Kajian ini memperoleh data bahwa lebih dari 75% anggaran belanja lokal digunakan untuk membiayai keperluan birokrat. Di atas kertas memang anggaran daerah dikemas dalam skema anggaran kinerja yang menampakkan anggaran publik lebih besar daripada anggaran aparatur. Akan tetapi secara substantif dan struktrural, birokrasi daerah (yang sebelumnya menyedot anggaran rutin lebih besar) belum berubah, sehingga memaksa sebagian besar anggaran publik dialokasikan untuk Belanja Administrasi Umum (BAU) Dalam pos belanja publik, BAU dapat diserap dalam bentuk gaji dan tunjangan pegawai, biaya barang dan jasa, biaya makanan dan minuman, biaya perjalanan dinas, hingga biaya pemeliharaan bangunan gedung, alat angkutan, serta alat kantor dan rumah tangga.
Para elit yang mendapat legitimasi kekuasaan melalui proses pemilihan ternyata malah menghasilkan kebijakan yang berlawanan dengan tujuan kesejahteraan. Lahirnya kebijakan yang mempromosikan kesejahteraan sangat ditentukan oleh kemenangan koalisi pro-poor melawan koalisi pro-elite. Kenyataannya, sistem politik demokrasi di Indonesia dewasa ini masih dikuasai para elit-dominan. Hampir seluruh proses politik dimonopoli dan dikendalikan oleh meraka. Dalam konteks inilah pengertian demokrasi di Indonesia dapat dikatakan bersifat oligarkis. Ketika posisi elit lebih kuat dalam mengendalikan proses kebijakan, maka rakyat hanya bisa melihat dari jauh bagaimana kebebasan hak politik mereka tidak menghasilkan suatu kondisi di mana para pejabat publik dan lembaga-lembaga representasi dalam demokrasi menjadi responsif, akuntabel, kredibel, transparan, dan sebagainya.
Perubahan dan masifnya instalasi demokrasi modern melalui berbagai institusi seperti partai, parlemen, pemilu sebagaimana asumsi demokrasi Scumpeterian berbenturan dengan struktur lama yang bersifat patologis dan tidak berubah. Demokratisasi seperti berhenti pada proses intitusionalisasi dan cenderung abai terhadap tujuan penyejahteraan rakyat.
Ketidakberdayaan Rakyat: Jalan Panjang Menuju Kesejahteraan
Paparan di atas menggambarkan bahwa demokratisasi di Indonesia masih berfokus pada demokrasi politik dan belum merambah pada substansi demokrasi sosial dan ekonomi. Mekanisme demokrasi yang telah berkembang sampai saat ini belum mampu menjamin rakyat dalam voice, akses dan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pelayanan maupun anggaran. Ruang partisipasi mungkin telah dibuka tetapi hal ini tidak sebanding dengan perubahan hubungan-hubungan kekuasaan yang memungkinkan mereka dapat menikmati sumber-sumber daya politik dan ekonomi. Bagian ini setidaknya akan mengungkap beberapa penjelasan bagaimana posisi rakyat yang terjebak dalam ketidakberesan konsolidasi demokrasi yang masih terus berlanjut sampai saat ini. Ketidakberdayaan inilah yang membuat kesejahtraan masih jauh dari harapan.
Di Indonesia, istilah kesejahteraan sosial dapat ditemukan dalam UU No. 11 tahun 2009 terntang Kesejahteraan Sosial. Kesejahteraan sosial dapat dimaknai sebagai terpenuhinya kondisi material, spiritual dan kebutuhan sosial masyarakat. Selain itu, kesejahteraan sosial juga dimaknai dalam aktivitas terorganisasi sebagai bentuk pembangunan atau penyelenggaraan sosial yang diimplementasikan dalam pelayanan sosial seperti rehabilitasi sosial, keamanan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial (Suharto, 2009). Dua ranah konsep kesejahteraan yang telah dijamin dalam undang-undang di atas sudah selayaknya menjadi kewajiban negara. Meskipun demikian, sampai saat ini Inodnesia masih menghadapi multifaset persoalan kesejahtraan sosial yang tak kunjung habis.
Salah satu indikator yang paling sering dibahas ketika membicarakan kesejahteraan rakyat adalah kemiskinan. Berbagai penelitian dan studi menunjukkan bahwa demokrasi tidak berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan. Angka kemiskinan yang menurun menurut BPS tidak semata-mata menjadi indikator peningkatan kesejahteraan. Walaupun BPS mengklaim pada 2010 lalu pemerintah berhasil mengurangi penduduk miskin hingga 1,5 Juta penduduk, tetapi di lapangan terungkap angka orang miskin yang berhak mendapatkan beras untuk rakyat miskin (raskin) tahun lalu jumlahnya masih berkisar 70 juta orang. Sementara, jika digunakan data penduduk yang berhak menerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) jumlahnya 76,4 juta, sedangkan apabila menggunakan data Bank Dunia, jumlahnya mendekati 100 juta orang atau sekitar 42 persen penduduk (Kompas, 10 Januari 2011).
Persoalan kemiskinan menjadi bagian kecil dari banyaknya indikator kesejahteraan yang tidak juga menunjukkan indikasi positif. Hasil riset Demos dalam Subono (2007) menunjukkan pandangan negatif terhadap instrumen pemenuhan kesejahteraan sosial dan ekonomi. Lebih dari 80 persen informan mengatakan bahwa instumen yang mendukung pemenuhan hak tenaga kerja, kemanan sosial dan kebutuhan dasar lain menunjukkan performance buruk dan memiliki ruang jangkauan terbatas.
Berbagai kebijakan pro-poor maupun pro-jobs telah diimplementasikan dan diturunkan dalam skema desentralisasi ke daerah. Daerah bahkan memiliki lebih banyak lagi program penanggulangan kemiskinan. Pemerintah pusat menjalankan program PNPM Mandiri yang digunakan sebagai program induk, BLT, sekolah gratis, ASKES-KIN, ketahanan pangan, kredit UMKM, akselerasi desa tertinggal, infrastruktur perdesaan, dan sebagainya. Guna menjamin sinergi antar kementerian, antar sektor, antar program pemerintah membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK).
Sejumlah kebijakan ini didominasi oleh kebijakan yang berorientasi pada persoalan ad-hoc, parsial tanpa ada upaya pencegahan. Beberapa kalangan menilai bahwa sejumlah program tersebut cenderung sentralistis. Selain itu, program-program tersebut bersifat kuratif dan rehabilitatif. Kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak mampu mencegah rakyat menjadi miskin tetapi justru mengharuskan rakyat miskin terlebih dahulu agar dapat menikmati program anti-kemiskinan yang ditawarkan pemerintah.
Desentralisasi pun cenderung menunjukkan keterbatasan pemerintah daerah dalam kapasitas dan responsibilitas terkait dengan penyelesaian masalah sosial. Abbas dalam Suharto (2009) mengatakan bahwa dari 100 Perda yang dihasilkan daerah, 85 persen merupakan Perda yang berfungsi untuk meningkatkan PAD, 10 persen untuk melakukan klaim terhadap aset pemerintah lokal dan hanya 5 persen yang benar-benar merupakan kebijakan pro-poor.
Kemiskinan di Indonesia terjadi karena proses eksklusi, peminggiran yang mengabaikan partisipasi dan pada akhirnya melupakan akuntabilitas pemerintah terhadap rakyat. Lebih jauhnya, kemiskinan terjadi karena relasi kuasa yang tidak seimbang antara negara, masyarakat dan sektor privat. Dari tiga aktor tersebut, rakyatlah yang memiliki posisi tawar paling rendah dalam akses sumber daya.
Banyak kasus menunjukkan bagaimana ketidakberdayaan rakyat ketika mainstream pendekatan pembangunan nasional di Indonesia menitikberatkan pada intervensi kebijakan neoliberalisme dalam rangka mencapi pertumbuhan ekonomi. Sebut saja beberapa kasus seperti Blok Cepu, kasus PT Newmont, privatisasi air yang justru membuat air semakin mahal dan sulit diakses, dan sebagainya, sekadar menyebut contoh. Deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi mendorong terjadinya monopoli di berbagai sektor produksi, distribusi, dan konsumsi. Keuntungan hanya akan dinikmati para kapitalis yang berselingkuh dengan negara, sementara rakyat tetap saja miskin.
Dari berbagai data di atas, terlihat bahawa salah satu penyebab ketidakberdayaan rakyat dalam akses dan kontrol sumberdaya salah satunya disebabkan oleh rendahnya kualitas keterwakilan sedangkan kualitas keterwakilan itu sendiri ditentukan oleh proses elektoral. Partisipasi rakyat terhadap berbagai kebijakan tidak dapat berjalan secara maksimal karena persoalan keterwakilan. Mekanisme demokrasi elektoral yang bermasalah setali tiga uang dengan ketidakberdayaan rakyat membuat penyelenggaraan sistem pemerintahan dan implementasi kebijakan jauh dari kesan peningkatan kesejahteraan.
Sebuah Simpul
Demokrasi dan kesejahteraan memiliki hubungan non linier dengan berbagai faktor dan variabel yang melekat antar keduanya. Tulisan ini mungkin tidak dapat menjelaskan secara komprehensif kompleksitas hubungan antara demokrasi dan kesejahtaraan masyarakat. Namun setidaknya, paparan dalam tulisan ini menunjukkan semacam benang merah bahwa demokrasi elektoral gagal menjamin mekanisme representasi yang benar-benar mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat.
Struktur patronase yang masih kuat, budaya korupsi yang semakin menggurita, tidak dapat dihilangkan begitu saja dengan konsolidasi demokrasi yang hanya berhenti pada tahap institusional. Dari segi aktor, kemunculan elit yang mampu meng-crafting demokratisasi membuat pemenuhin subtansi demokrasi untuk mensejahterakan rakyat terabaikan. Elit mempu bersifat fleksibel terhadap struktur yang baru sedangkan rakyat masih tetap terkungkung dalam struktur yang memiskinkan mereka.
Dengan demikian, demokratisasi perlu segera digeser ke ranah yang lebih substantif dengan pelibatan masyarakat atau perluasan ruang partisipasi. Demokrasi perlu menyediakan seperangkat insrtumen untuk menjamin bahwa representasi dapat benar-benar berjalan. Rakyat membutuhkan saluran yang mampu mengantarkan suara mereka untuk terlibat aktif dalam proses politik dan kebijakan. Subtansi demokrasi yang seharusnya menjadi pusat sasaran adalah bagaimana menempatkan posisi rakyat pada tempat strategis dalam perumusan, pembuatan, dan penentukan kebijakan. Selain penyediaan sistem dan mekanisme sebagai perangkat agar kepentingan rakyat dapat direpresentasikan dengan baik, permasalahannya tentu akan berbalik pada kesiapan dan kemampuan rakyat sendiri dalam mentransformasikan hak-hak mereka dalam institusi demokrasi secara substantif dan implementatif.
Setiap negara seharusnya memiliki tipe demokrasinya sendiri yang disesuaikan dengan struktur sosial ekonomi masyarakat, sebuah struktur yang telah lama hadir jauh sebelum kemunculan konsep demokrasi itu sendiri. Tawaran model seperti demokrasi deliberatif misalnya, berupaya untuk memperkuat legitimasi demokrasi daripada sekadar demokrasi formal melalui proses elektoral yang hanya menjangkau legalitas formal-prosedural.
Konsep ini pada akhirnya ingin mengembangkan “demokrasi inklusif” yang membuka akses partisipasi warga. Jika pandangan demokrasi liberal sangat percaya pada kompetisi melalui agregasi politik (misalnya pemilihan umum), maka pandangan demokrasi deliberatif lebih menekankan forum publik sebagai arena diskusi politik menuju kebaikan berasama (Elster, 1998; Gutman dan Thompson, 1996; Warren, 1996 dalam Eko, 2004). Meskipun demikian, belum tentu juga konsep ini akan membawa kesejahteraan jika diterapkan di Indonesia. Hubungan antara demokratisasi dan kesejahteraan sangat dimungkinkan bersifat kasuistik dan tidak dapat digeneralkan.
Sudah seharusnya institusionalisasi demokrasi diikuti dengan pemenuhan hak-hak rakyat, distribusi akses dan kontrol yang merata, perubahan relasi politik yang lebih adil, serta reorientasi kekayaan dan ekonomi untuk kepentingan rakyat. Tidak ada model general terbaik untuk mengelola negara dengan kompleksitas dan kekhasan yang melekat. Demokrasi berikut segala perangkatnya harus bisa lebih lentur dijalankan dalam struktur masyarakat Indonesia dengan keragamannya yang luar biasa untuk mencapai tujuan di atas.
Tulisan ini hanya sekadar gambaran umum dengan tidak menafikan kasus-kasus spesifik yang menunjukkan keberdayaan rakyat di berbagai daerah dalam proses demokratisasi. Konsolidasi demokrasi masih akan terus berlangsung. Optimisme masih bisa dibangun dan kembali ke model otoritarian tentu bukan suatu penyelesaian terhadap persoalan belum tercapainya kesejahteraan rakyat sampai pada saat ini. Keberadaan masyarakat sipil perlu diperkuat dan pemberdayaan masyarakat mendesak harus dilakukan untuk mengisi berbagai distorsi demokrasi elektoral, salah satunya melalui mekanisme partisipasi dan representasi yang tepat.
Daftar Pustaka:
Biaya Pilkada Rp. 15 Triliun, dalam http://cetak.kompas.com/read/2010/07/24/03414390/biaya.pilkada.rp.15.triliun, diakses pada tanggal 20 september 2011, 20:19 WIB.
Eko, Sutoro. Menuju Kesejahteraan Rakyat Melalui Rute Desentralisasi, dalam http://ireyogya.org/sutoro/kesejahteraan_melalui_desentralisasi.pdf, diakses pada 20 September 2011, 20:22 WIB.
¬¬¬__________. 2004. Krisis Demokrasi Elektoral. Jurnal Mandatory, Krisis Demokrasi Liberal, Edisi 1/Tahun 1/2004. Yogyakarta: IRE.
Saparini, Hendri. Si Miskin Harus Bekerja. Harian Kompas (10/01/2011) dalam http://cetak.kompas.com/read/2011/01/10/02542922/si_miskin_harus_bekerja, diunduh pada tanggal 20 September 2011, 20:15 WIB.
Irtanto, 2008, Dinamika Politik Lokal Era Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kartasasmita, Ginandjar. 2008. Strategi Pembangunan Ekonomi: Antara Pertumbuhan dan Demokrasi. Orasi Ilmiah Dalam Acara Wisuda Sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ahmad Dahlan Jakarta 26 April 2008, dalam http://www.ginandjar.com/public/STIE%20Ahmad%20Dahlan_GK.pdf, diakses pada tanggal 19 September 2011, 19:46 WIB.
Kleden, Ignas. 2003. Indonesia Setelah Lima Tahun Reformasi (Mei 1998-Mei 2003), Analisis CSIS, Lima Tahun Reformasi: Proses Demokrasi yang Lamban, Tahun XXXII/2003 No. 2.
Pradjasto, Antonio, Ironi Demokrasi, Pesta Kaum Elit, dalam http://www.demosindonesia.org/laporan-utama/4353-ironi-demokrasi-pesta-kaum-elit-antonio-pradjasto.html, diakses pada tanggal 21 September 2011, 19:48 WIB.
Priyono, A.E, dkk. 2007. Making Democracy Meaningful: Problem and Option in Indonesia. Yogyakarta: PCD Prees dan Demos
Suharto, Edi, PhD. 2009. Development of Social Welfare in Indonesia: Situation Analysis and General Issue, dalam http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/Development%20of%20Social%20Welfare%20in%20Indonesia.pdf, diakses pada tanggal 22 September 2011, 20:30 WIB.
Supeno, Hadi. 2009. Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman dan Pengakuan. Yogyakarta: Kreasi Total Media.
Syamsuddin Haris (ed). 2005. Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai. Proses Nominasi dan Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Senin, 19 September 2011
Sementara Bertapa: Berguru di Padepokan Gunung Reksamuka (1)
Alkisah di sebuah negeri, dua orang cantrik ingin kembali berguru untuk memperdalam ilmu mereka. sebuah pilihan telah ditetapkan dan mereka memutuskan untuk memperdalam ilmu di Padepokan Khayangan Gunung Reksamuka.
Mereka memasuki wilayah baru yang sebelumnya hanya bisa dilihat dari luar. Meskipun demikian, sedikit banyak mereka telah tahu tantangan apa saja yang akan mereka hadapi. Setahun telah dilalui dengan pengembaraan tanpa arah dan sekarang saatnya untuk kembali menemukan Sang Guru yang bisa membimbing dan menunjukkan jalan. Tak banyak mimpi dan harapan mereka ketika masuk ke padepokan itu. Sebenarnya motivasi itu muncul lebih karena keinginan untuk kembali menemukan jalan.
Maka, bertemulah mereka dengan para murid lain dari seluruh penjuru negeri. Latar belakang mereka pun beragam sehingga memungkinkan proses diskusi dan dialektika untuk menemukan apa yang mereka cari. Para begawan di padepokan itu tentu bukan orang sembarangan. Mereka telah melanglang buana ke seluruh penjuru dunia untuk menemukan jurus-jurus, ilmu dan pengetahuan baru.
Seperti sedikit mengalami shock culture ketika dua orang cantrik itu menginjakkan kaki kembali ke dunia keilmuan setelah sebelumnya tersesat di entah pada alamat mana mereka menapakkan kaki. Para begawan langsung memberi mereka tantangan dengan berbagai latihan-latihan keras yang menguras pikiran dan tenaga. Sempat mereka merasa tersesat karena situasi dan saudara-saudara seperguruan baru dengan keberbedaan mereka.
Dua orang cantrik itu hanya bisa memenuhi pikiran mereka dan selalu saja kesulitan untuk mengeluarkannya, seperti asap yang bergulung-gulung di paru-paru namun tak bisa dihembuskan. Kadang merasa sesak, kadang hal ini memang butuh pemakluman dan pembiasaan. Kadang mereka merasa asing dengan segala bentuk kesenjangan. Sudah hari kesekian tapi tak juga mereka menemukan jembatan. Guyonan yang sangat seru bagi teman-teman rasanya seperti hampa, dan dua cantrik itu hanya bisa tersenyum dengan terpaksa.
Banyak teman-teman seperguruan yang memiliki banyak pengalaman di bidang mereka masing-masing. Mereka mempunyai stock of knowledge berdasarkan realitas dan pengalaman praktis sedangkan dua cantrik itu hanya sedikit mengerti teori-teori. Itupun tak sepenuhnya dipahami dan sebagian besar sudah menguap. Pengalaman mereka masih sangat kurang sehingga pergolakan dan pemikiran hanya berhenti dalam otak.
Salah satu cantrik baru ini sangat menyukai dunia kapujanggan. Sementara para begawan di padepokan itu, tentu akan lebih banyak menuntutnya bisa menuliskan hal lain dengan standar penulisan yang sudah ditentukan.
Ah, letak padepokan yang mirip berada di khayangan, Gunung Reksamuka yang seperti tak terjangkau. Akankah dua orang cantrik itu bisa menemukan jalan pulang dengan menyunggingkan senyuman?
Mereka memasuki wilayah baru yang sebelumnya hanya bisa dilihat dari luar. Meskipun demikian, sedikit banyak mereka telah tahu tantangan apa saja yang akan mereka hadapi. Setahun telah dilalui dengan pengembaraan tanpa arah dan sekarang saatnya untuk kembali menemukan Sang Guru yang bisa membimbing dan menunjukkan jalan. Tak banyak mimpi dan harapan mereka ketika masuk ke padepokan itu. Sebenarnya motivasi itu muncul lebih karena keinginan untuk kembali menemukan jalan.
Maka, bertemulah mereka dengan para murid lain dari seluruh penjuru negeri. Latar belakang mereka pun beragam sehingga memungkinkan proses diskusi dan dialektika untuk menemukan apa yang mereka cari. Para begawan di padepokan itu tentu bukan orang sembarangan. Mereka telah melanglang buana ke seluruh penjuru dunia untuk menemukan jurus-jurus, ilmu dan pengetahuan baru.
Seperti sedikit mengalami shock culture ketika dua orang cantrik itu menginjakkan kaki kembali ke dunia keilmuan setelah sebelumnya tersesat di entah pada alamat mana mereka menapakkan kaki. Para begawan langsung memberi mereka tantangan dengan berbagai latihan-latihan keras yang menguras pikiran dan tenaga. Sempat mereka merasa tersesat karena situasi dan saudara-saudara seperguruan baru dengan keberbedaan mereka.
Dua orang cantrik itu hanya bisa memenuhi pikiran mereka dan selalu saja kesulitan untuk mengeluarkannya, seperti asap yang bergulung-gulung di paru-paru namun tak bisa dihembuskan. Kadang merasa sesak, kadang hal ini memang butuh pemakluman dan pembiasaan. Kadang mereka merasa asing dengan segala bentuk kesenjangan. Sudah hari kesekian tapi tak juga mereka menemukan jembatan. Guyonan yang sangat seru bagi teman-teman rasanya seperti hampa, dan dua cantrik itu hanya bisa tersenyum dengan terpaksa.
Banyak teman-teman seperguruan yang memiliki banyak pengalaman di bidang mereka masing-masing. Mereka mempunyai stock of knowledge berdasarkan realitas dan pengalaman praktis sedangkan dua cantrik itu hanya sedikit mengerti teori-teori. Itupun tak sepenuhnya dipahami dan sebagian besar sudah menguap. Pengalaman mereka masih sangat kurang sehingga pergolakan dan pemikiran hanya berhenti dalam otak.
Salah satu cantrik baru ini sangat menyukai dunia kapujanggan. Sementara para begawan di padepokan itu, tentu akan lebih banyak menuntutnya bisa menuliskan hal lain dengan standar penulisan yang sudah ditentukan.
Ah, letak padepokan yang mirip berada di khayangan, Gunung Reksamuka yang seperti tak terjangkau. Akankah dua orang cantrik itu bisa menemukan jalan pulang dengan menyunggingkan senyuman?
Kamis, 11 Agustus 2011
Sedikit Membincang Serial TV Drama Korea: Siapa Bilang Hanya Ada Romantisme dan Melankolia
Akhir-akhir ini budaya pop Korea telah mewabah sampai ke Indonesia. Kehadiran boyband, girlband sampai pada acara-acara TV mereka mulai dari reality show sampai drama menjadi makanan lezat bagi masyarakat yang sedikit bosan dengan dunia hiburan tanah air. Efeknya bisa dilihat dari munculnya boyband serupa atau banyaknya fansclub artis-artis korea dikalangan remaja.
Rasa bosan dengan tontotan sinetron tanah air yang sangat kurang menghibur membuat saya berpaling untuk mengintip drama Korea. Hasilnya, drama Korea ternyata memang lebih menarik dengan pesan dan ceritanya yang lebih fokus dan jelas. Banyak waktu kemudian terbuang hanya untuk menyimak cerita dalam setiap episodenya. Demikianlah tulisan ini ingin sekadar menampilkan kesan dari apa yang saya lihat, dengar dan rasakan dari beberapa drama Korea tersebut.
Entah sudah berapa jam waktu yang saya habiskan di depan laptop. Episode demi episode tanpa terasa telah menggerus hari-hari yang terlewatkan begitu saja dalam dunia yang diciptakan oleh drama-drama. Bukankah kata Burke, hidup bukan seperti drama tapi hidup itu sendiri adalah drama? Setiap episode membawa ceritanya sendiri. Setiap drama membekaskan kesan yang tak mudah hilang. Setiap tokoh dan karakter membawa tarikan untuk menautkannya dengan realitas yang sebenarnya. Drama bisa menjadi cermin bisa juga hanya kesatuan ide yang sangat imajis tapi tentu sebuah naskah tidak akan terlahir dari ruang kosong.
Drama mengandung kesatuan antara waktu, tempat dan kejadian dimana masing-masing berkembang menjadi alur cerita yang kadang bisa menghibur, membuat menangis, tertawa, melambung ke langit dan beraneka rasa entah apa namanya. Dalam Aristotelian Drama, hal ini disebut sebagai khatarsis dimana alur cerita drama mampu membawa efek atau sensasi bagi penonton yang terbawa oleh karakter atau adegan dalam drama tersebut. Serba sekilas tulisan ini ingin sedikit memberikan kesan tentang drama Korea mulai dari sisi cerita, karakter tokohnya, sampai penggunaan lagu tema yang bisa mendukung suasana.
Dari sisi cerita, drama korea selalu menampilkan satu tema tertentu dengan jelas. Tak jarang naskah cerita ditulis berdasarkan riset dan kajian mendalam. Konsep dan detail sepertinya dipersiapkan dengan sangat matang. Kalau ingin tahu tentang semangat rock and roll dan band indie Korea, bisa lihat dalam drama Merry Stay Out All Nights. Tak hanya itu, cerita drama ini juga menampilkan proses detail pembuatan drama mulai dari persiapan naskah, menyusun jadwal sampai proses produksinya. Apabila ingin mengintip tentang kelas sosial di Korea, sedikit bisa dilihat dalam Secret Garden. Menariknya, drama ini berhasil memadukan komedi, romantisme dan tragedi dalam satu alur cerita. Alur cerita yang tidak sederhana menampilkan kisah tentang orang super kaya yang jatuh cinta kepada seorang stunt women miskin dan karena ramuan ajaib jiwa mereka tertukar.
Jika ingin melihat sistem politik dan electoral process di Korea, bisa dinikmati dalam drama berjudul Presiden. Drama ini cukup tense dalam setiap episodenya ketika menghadirkan proses pemilihan calon presiden dari partai oposisi sampai proses pemilihan nasional. Segala hal berkaitan dengan pencitraan politik, stretegi mendulang suara, sampai upaya-upaya black campaigne disajikan dalam satu alur penuh konflik.
Demikian halnya dengan City Hunter, drama ini menyajikan seorang pahlawan tersesat yang ingin membalas dendam dengan menangkapi para koruptor. Kasus-kasus seperti penyelewengan dana yayasan anak yatim piatu, korupsi proyek perlengkapan militer, korupsi dana pendidikan, pengusaha yang membangun berbagai anak perusahaan dengan jaminan kredit sehingga sistem ekonominya hanya berdiri di atas buih yang sangat rapuh, semua diramu menjadi satu cerita menarik. Plotnya menghadirkan ramuan cerita aksi dan dilema cinta yang menyentuh. Berbagai kasus tersebut rasanya tak jauh juga dengan realitas politik di negeri ini bukan?
Drama Korea juga kerap menampilkan cerita-cerita kolosal tentang sejarah Korea. Sebut saja beberapa judul seperti Dong Yi: Jewel in The Crown, The Great Queen Seondeok dan Jung Geum (saya lupa judulnya). Uniknya, tiga cerita ini menghadirkan sosok tokoh-tokoh perempuan penginspirasi. Dong Yi dan Jang Geum menjadi inspirasi dimana seorang perempuan di tengah struktur patriarkhi yang sangat kuat pada waktu itu mampu menembusnya dan berhasil mencapai posisi penting dalam kerajaan. Tokoh Misil dan Deokman dalam The Great Queen Seondeok menjadi gambaran bagaimana pada masa lalu, seperti kata Foucoult, pengetahuan bisa menjadi instrumen politik yang cukup signifikan. Siapa mampu menguasai astrologi, menggunakannya untuk memanipulasi masyarakat yang masih sangat mempercayai mitos, maka dialan yang akan mencapai kekuasaan.
Cerita dalam Drama Korea sepertinya juga sangat memperhatikan segmentasi dan target penontonnya. Beberapa judul seperti Dream High dan Playfull Kiss lebih cocok dinikmati para remaja dengan pesan cerita khasnya bahwa seseorang akan bisa meraih impiannya dengan kerja keras. Berbeda halnya dengan Cruel Temptation atau You Are My Destiny yang telah ditayangkan di televisi Indonesia. dua drama ini lebih berorientasi untuk menghibur ibu-ibu rumah tangga dengan hanya menghadirkan cerita tentang berbagai persoalan keluarga dalam kemasan konflik-konflik kecil yang menyelimuti kehidupan. Dua judul terakhir ini memang sedikit mirip dengan sinetron-sinetron di Indonesia. Tentu masih banyak judul lain dengan keunikan kisahnya masing-masing yang tak sanggup saya sebutkan semua.
Drama Korea biasanya dikemas dengan padat. Satu drama hanya terdiri dari 16-20 episode. Untuk drama kolosal, memang lebih panjang sekitar lebih dari 30 episode. Namun, untuk drama keluarga, kadang bisa sangat panjang sampai ratusan episode seperti sinetron tanah air. Drama-drama yang dikemas secara padat itulah yang bisa menampilkan konteks cerita dengan lebih jelas. Alurnya tidak melebar kemana-mana. Rangkaian adegannya cukup realistis tanpa terlalu banyak adegan kecelakaan, hilang ingatan, atau bayi yang tertukar di rumah sakit.
Dari sisi karakter para tokohnya, drama Korea mampu membangun watak tokoh yang lebih manusiawi. Rasanya tidak ada tokoh yang terlalu baik seperti malaikat atau terlalu jahat seperti iblis. Antagonisnya digambarkan masih punya perasaan sedangkan protagonisnya digambarkan secara lebih manusiawi, tidak sesuci malaikat. Meskipun banyak juga cerita tentang cinta yang terhalang kelas sosial, rasanya tidak ada seorang mertua yang sangat kejam terhadap menantunya hanya karena ia berasal dari keluarga miskin. Tentu berbeda dengan mertua di sinetron Indonesia yang menggunakan segala cara mulai menyewa pembunuh bayaran, menggunakan racun, merusak rem mobil agar terjadi kecelakaan, sampai teror-teror buta yang semakin lama justru membuat cerita menjadi tidak masuk akal.
Satu hal yang menarik lagi adalah penggunaan bahasa. Bahasa Korea memiliki kesan yang terdengar lebih ekspresif ketika digunakan. Ungkapannya mengandung nada-nada tertentu sesuai dengan apa yang ingin disampaikan. Barangkali unsur inilah yang membuat akting para tokoh bisa terlihat natural. Misalnya, ketika sama-sama berakting marah. Orang Indonesia akan cenderung menggunakan rentetan kata-kata untuk mengekspresikannya. Hal ini sedikit lain dengan akting tokoh drama korea yang memaksimalkan ekspresi dengan ungkapan-ungkapan bahasa Korea yang terdengar khas.
Apabila diperhatika lebih detail, banyak ungkapan tentang filsafat hidup, cinta dan kata-kata bijak yang diselipkan dalam dialog. “Cinta seperti sumber air. Sekali kau gali, maka akan sulit untuk menutupkan kembali.” Ini adalah salah satu ungkapan Presiden Direktur Group Mondo ketika menasehati anaknya yang jatuh cinta pada seorang perempuan yang pada awalnya ingin memanfaatkannya untuk melupakan masa lalunya yang kelam. Kata-kata ini bisa dijumpai dalam drama berjudul Miss Ripley. “Mana yang lebih penting, cinta, harapan atau kehormatan? Maka jawabannya adalah kesetiaan.” Kalimat ini diucapkan oleh Merry dalam Merry Stay Out All Nights. Tentu masih banyak lagi kalimat-kalimat semacam ini dalam drama seri Korea.
Kesan kuat dari drama Korea juga ditimbulkan dari penggunaan musik pengiring dan lagu tema. Insrumen musik digunakan secara tepat untuk menguatkan kesan dramatis di setiap adegan. Mereka juga membuat lagu tema khusus yang disesuaikan dengan cerita. Dari lagu inilah penonton bisa digiring masuk ke dalam alur cerita, seperti bisa ikut merasakan kepedihan atau kegembiraan tokoh. Musik pengiring ini juga bisa dibandingkan dengan beberapa penggunaanya di sinetron Indonesia yang mungkin sedikit monoton. Beberapa lagu yang sudah populer kadang digunakan begitu saja sebagai lagu tema. Inipun hanya muncul dalam opening sehingga tidak ada perkawinan sempurna antara isi cerita dan lagu tema.
Dimensi fisiologis dalam drama Korea juga penting untuk diperhatikan. Kita bisa melihat bagaimana penempatan seorang aktor pembantu yang berperan sebagai ayah atau ibu akan tampak natural. Apabila dibandingkan dengan sinetron kita, kadang yang berperan sebagai ibu sebenarnya lebih pantas menjadi kakak. Secara subyektif, drama Korea cukup menarik karena bertebaran dengan para aktor tampan. Selain itu, dimensi psikologis dari para aktor dengan wataknya masing-masing tampak menarik karena dibuat sedikit rumit. Kerumitan watak tokoh bukanlah hal yang mudah untuk dibangun. Unsur ini juga tergantung pada kemampuan aktor membawakan peran meraka masing-masing.
Jalinan cerita dalam plot Aristotelian klasik mulai dari protasis, epitasio, catastasis sampai catastrope akan sangat menentukan keberhasilan suatu drama. Dalam rangkaian inilah kekuatan naskah diuji, juga kekuatan penyutradaraan, setting dan keaktoran menjadi penentu. Meskipun demikian, beberapa drama Korea tersebut sedikit kurang memuaskan dalam hal ending. Mungkin ini juga masalah subyektif ketika setiap penonton akan menginginkan akhir cerita dalam versi mereka sendiri. Aktor utama yang hidup bahagia atau akhir cerita yang mengambang kadang memang sedikit mengecewakan ketika dibandingkan dengan berbagai jalinan konflik sampai klimaksnya yang menggebu-gebu.
Di Indonesia, sangat jarang produksi drama untuk ukuran layar kaca yang bisa dikatakan memuaskan. Tak banyak sineas berani menentang arus. Berbagai usaha telah dilakukan seperti munculnya beberapa cerita FTV yang menarik atau Sinema Wajah Indonesia yang lebih realistis dan bermutu. Meskipun demikian, jumlah tersebut sangat tidak mencukupi sebagai penyeimbang membanjirnya jumlah sinetron-sinetron panjang dengan cerita sama, yang tak satupun episode terlewatkan oleh para ibu-ibu rumah tangga.
Terlepas dari semua yang telah saya tulisakan, hal ini hanyalah sebuah kesan, tidak lebih. Beruntunglah para aktor yang bisa bereinkarasi berkali-kali dalam satu putaran kehidupan. Mungkin juga yang sedikit ini bisa menjadi masukan bagi para penulis naskah drama untuk membuat cerita yang lebih berkwalitas. Meskipun sudah banyak menghabiskan waktu, setidaknya saya tidak hanya sekadar menjadi penonton, tapi bagaimana bisa menjadi lebih kritis dan reflektif. Saranghaeyo...
(Research Idea: Kehidupan politik tak jauh dari dunia panggung. Hal ini akan menarik apabila dikaji dengan dramaturgi Erving Goffman. Siapa tahu ada seorang politisi yang mau dikuntit kemana-mana sampai peneliti bisa memaknai bagaimana perannya ketika berada di Front Stage dan perbedaannya ketika berada di Back Stage. Kajian ini bisa sangat mendalam dengan melihat kostum apa yang dikenakan, kata yang dipilih sampai tindakan non verbal yang dilakukan dan bagaimana semua digunakan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan, khususnya kekusaan. Tapi, kalau begini politisi mana yang mau ya?hehehe...)
Sabtu, 30 Juli 2011
Membaca Politik Sembari Minum Kopi*
Hampir setiap pagi saya mengakrabi aroma kopi. Mulai dari biji kopi yang disangrai dan ditumbuk, kopi Bengkulu dari Eka, sampai berbagai rasa kopi dalam kemasam yang dicampur dengan susu, cream, mocca, vanila dan sebangsanya itu. Hanya saja siang ini sedikit ada kopi berasa sangat berbeda menyentuh indera saya. Silakan saja kalau ingin membilang saya kurang gaul atau apa karena sudah lima tahun di kota ini tapi baru hari ini bisa mengambah dunia lain dari aroma kopi.
Di sebuah tempat, apapun namanya. Ruap asap kopi ternyata bisa menampilkan berbagai realitas politik. Asap rokok berkepulan melukiskan pikiran-pikiran orang yang beraneka macam. Sayang sekali saya sendiri tak tahan dengan ruang baru ini. Rasanya sedikit asing karena sebagian dari mereka menggunakan dialek yang hanya mampu saya pahami sepatah-sepatah. Padahal, akan lebih banyak yang bisa diceritakan ketika saya bisa menahan diri untuk duduk lebih lama.
Angkringan, tempat nongkrong atau warung kopi mungkin sudah pernah menjadi kajian politik ketika dihubungkan dengan konsep ruang publik. Setidaknya, akan sedikit berbeda kalau saya bisa melihatnya sendiri. Pak Habermas berkata bahwa di ruang publik yang bebas macam beginilah orang-orang dalam posisi mereka yang setara bisa melakukan transaksi-transaksi wacana (discursive transactions) dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran, ini kalau saya tidak salah ingat. Lalu kata orang di depan saya tadi, di tempat ini banyak sekali keputusan dieksekusi. Orang bisa betah ngobrol dari jam delapan pagi sampai warung tutup jam dua belas malam tanpa henti. Mereka merancang konsep, mungkin stratak kalau konteksnya gerakan mahasiswa, membicarakan politik kampus, isu-isu mutakhir yang akan diangkat dan sebagainya. Tempat ini menjadi semacam arena bertemunya pemikiran para intelektulitas muda dari berbagai universitas.
Aroma politik dari uap kopi dan asap rokok semakin lama akan semakin mengental. Di ruang publik ini pun katanya banyak intrik yang menuntut para peminum kopi** untuk selalu pasang mata dan telinga, karena siapa yang tidak peka akan tersingkir dengan sendirinya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ruang publik yang bebas pun tidak menjamin para penghuninya terlepas dari keberadaan kuasa, posisi-posisi yang terlihat setara tapi tidak setara dan seliweran-seliwaran kepentingan yang bisa datang dari mana saja.
Aspek yang muncul kuat di ruang publik jenis ini dan paling terlihat adalah unsur informality. Aspek informality membuat hubungan sosial menjadi tidak terlalu formal atau kaku sehingga tempat ini menjadi semacam public sphere yang dinamis. Para peminum kopi bisa keluar dari struktur-struktur tertentu yang constraining dan membuatnya enabling. Hal yang dibicarakan ketika rapat dalam sebuah organisasi dengan pola hubungan formal dan vertikal bisa menjadi cerita lain ketika dibahas dalam suasana yang lebih horizontal seperti ini. Banyak proses terjadi di dalamnya. Ada eksplorasi persamaan dan perbedaan persepsi, reframing ide dan perspektif, mobilisasi sumber daya dan tentu masih banyak hal yang saya tidak tahu. Beberapa yang saya sebutkan pun sebenarnya hanya kemungkinan dari banyak hal yang dilakukan para peminum kopi di tempat ini.***
Melihat sepintas relasi-relasi antar peminum kopi, dalam pikiran saya seperti tergambar jaring-jaring yang saling berpotongan, saling melingkari, atau membentuk semacam pola-pola tertentu. Jaring-jaring ini mengandung banyak sekali endapan ideologi, ekspresi beragam ide, rasa solidaritas sampai perasaan senasib sepenanggungan**** antar peminum kopi. Jaring relasi ini pun tak dapat dihindari memiliki banyak retakan, bahkan patahan ketika lempeng-lempeng pemikiran tidak hanya dieskpresikan melainkan menjadi sesuatu yang diskursif dan terus diperdebatkan. Proses semacam inilah yang sebenarnya bisa membawa kematangan berpikir bagi para peminum kopi.
Dari kepulan asap gulungan tembakau berbagai merk yang dilukis dengan ampas-ampas kopi, bisa dilihat bagaimana teori-teori Arend Lipjhart, Ustadz Satori atau Pak Maurice Duverger menemukan signifikansinya dalam ranah politik praktis. Para peminum kopi dengan wajah-wajah serius bicara soal sistem pemilu dan partai, electoral threshold yang harus dicapai dan entah apalagi yang tidak saya pahami karena selalu membuat puisi ketika Pak Ketut dan Mas Sigit menyampaikan kuliah tentang tetek bengek ini.
Lalu apa tujuannya? Saya sendiri juga tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Mungkin untuk mencounter negara (dalam ruang yang lebih sempit barangkali mengkritisi pejabat-pejabat rektorat), mungkin untuk misi yang lebih mulia demi kebangkitan bangsa, mungkin juga menjadi strategi untuk mencapai kekuasaan yang lebih tinggi. Beberapa peminum kopi yang menonjol bisa berkesempatan menjadi pengurus parpol lalu berkiprahlah mereka dalam politik praktis di daerah atau bahkan di senayan. Bagaimanapun mereka adalah bagian dari sebuah alur. Saya tidak tahu juga bagaimana kelanjutan cerita para peminum kopi ketika sudah masuk dalam sistem tertentu. Apakah mereka tetap akan memperjuangkan idealisme yang dibicarakan siang malam itu? Apakah karakter mereka cukup kuat juga untuk tidak terseret arus? Apakah mereka kemudian bisa mewujudkan visi dengan mengubah sistem dari dalam? Entahlah.
Satu hal lagi yang ingin saya katakan atau seperti apa yang dikatakan orang di depan saya siang tadi. Di sini memang tempatnya orang-orang yang telah matang aspek psikomotor dan afektifnya tapi serasa kurang sumber daya untuk menggenapi aspek kognitif. Mereka, para aktivis ini mungkin sudah ahli ketika turun ke lapangan namun lemah ketika harus menjadi konseptor yang bisa merangkai, mensistematisasikan suatu ide dan menurunkannya pada wilayah praksis. Tukang membuat konsep sebenarnya bisa dilakukan oleh para akademisi maupaun peneliti. Namun, mereka yang berbekal teori-teori langit itu kadang enggan turun dari menara gadingnya untuk melihat wilayah praktis dimana teori-teori itu dapat mewujud atau bahkan menemukan penyempurnaan wujudnya.
Sebagai sebuah ruang publik yang bebas, tempat ini sepertinya masih membutuhkan adanya sharing sumber daya. Peminum kopi bisa jadi tidak hanya terbatas pada para aktivis tapi bagaimana networking bisa dikembangkan sampai para peneliti, akademisi, atau menantang bahaya dengan memasukkan aktor-aktor “negara”, tentu dalam batas dan skema hubungan yang informal tadi. Ketika semua aktor bisa menjadi peminum kopi yang baik, dengan misi kebaikan bersama yang ingin dicapai, bukankah sekat-sekat bisa semakin tidak terlihat?
Hanya inilah yang sempat saya rekam. Tulisan ini sangat mungkin terkontaminasi dengan imajinasi yang saya buat sendiri sehingga tidak seutuhnya sesuai dengan senyatanya.
*Tulisan ini barangkali menjadi geje alias gak jelas untuk pembaca yang tidak mengetahui konteks yang saya bicarakan. Tapi ya sudahlah, setidaknya saya bisa merekam untuk diri saya sendiri. Hanya interpretasi sepihak tanpa dikonfirmasikan ulang atau mencoba menggalinya lebih dalam. Soalnya kalau digali lebih dalam bisa jadi tesis.hehehe...
**Hanya sebutan untuk orang-orang yang suka ngopi di sini.
***Untuk bagian ini saya memang sedikit sok tahu.
****Yang ini muncul ketika mereka menggunakan logat yang hampir sama ketika berbicara, dengan wajah-wajah serupa, bibir menghitam kebanyakan menghisap asap, ah entahlah bagaimana melukiskan kemiripan orang-orang itu dalam kata-kata.
30 Juli 2011
Kamis, 30 Juni 2011
Ingin Makan Siang Tanpa Geram
Lengang
Tak ada yang menyahut
Kata tak juga memenuhi undanganku
untuk datang
Kembali bertualang
Sampai kapan harus kuabadikan kejahatan
Dengan hanya kagum pada pikiran orang-orang
Buku-buku yang mereka baca
Sedang aku di sini setia merawat luka
Memenuhi pelupuk mata
Geram tak hendak rebah begitu saja
Di sebuah perpustakaan
30 Juni 2011, 11:06 am
Tak ada yang menyahut
Kata tak juga memenuhi undanganku
untuk datang
Kembali bertualang
Sampai kapan harus kuabadikan kejahatan
Dengan hanya kagum pada pikiran orang-orang
Buku-buku yang mereka baca
Sedang aku di sini setia merawat luka
Memenuhi pelupuk mata
Geram tak hendak rebah begitu saja
Di sebuah perpustakaan
30 Juni 2011, 11:06 am
Rabu, 22 Juni 2011
Catatan dalam Gelap Malam Gerhana Bulan
TBY, Sabtu 18 Juni 2011
Beberapa hari yang lalu, gerhana bulan terjadi dini hari. Orang-orang selalu menghubungnya dengan pertanda-pertanda. Dan malam ini, saatnya Sanggar Nuun menggelar lakon “Gerhana Bulan Ketiga “ karya Wahyudi dan disutradai oleh Mukhosis Noor. Setelah berkeliling menikmati berbagai benda dan makanan yang dihadirkan kembali dari masa lampau lewat Pasar Kangen di halaman TBY, saatnya untuk mengerutkan dahi menikmati suguhan teater surealis yang lahir dari paduan alam nyata dan imaji.
Panggung mulai gelap. Setting panggung dibuat cukup sederhana dengan kain putih yang dijereng setengah lingkaran seperti sosok bulan sebagai latar belakang. Di depannya terdapat sebuah menara menjulang dengan aksen ranting-ranting pohon pada puncaknya. Seseorang kemudian muncul di puncak menara sambil menari-nari. Sayang sekali olah tubuhnya kurang sempurna sehingga tarian yang seharusnya menyajikan kesan magis itu jadi terlihat kaku.
Orang-orang datang membawa kursi, saling mendesis dengan gerakan menakutkan. Kursi selalu membawa persepsi saya pada cerita tentang kekuasaan. Ternyata memang benar. Alkisah di sebuah negeri, seorang pemimpin baru saja meninggal dunia. Wilayah itu jadi kacau setelah ditinggal pemimpinnya. Orang-orang saling berbisik tentang siapa yang akan menggantikan kedudukan pemimpin itu. Perekonomian semakin kacau, membuat rakyat kecil tambah sengsara, sementara para pejabat masih sibuk sendiri mencari pengganti sang penguasa.
Sepasang pemain membawa lilin dan menari perlahan. Lilin itu menerangi samar balai pertemuan dimana ratu dan ketiga anaknya saling berdialog. Ketiga anaknya itu ternyata buta dan salah satunya adalah perempuan bernama Samina. Sang ratu duduk di atas kursi roda dengan baju keperakan beraksen futuristik. Adegan ini sedikit terlalu lama dan membosankan, bercerita tentang tiga orang yang memiliki darah pemimpin dalam tubuhnya tapi tak bernyali untuk memimpin negeri hanya karena keterbatasan mereka. Tiga orang yang mewakili rasa keraguan, ketakutan dan kecurigaan.
Setelah perdebatan para pewaris tahta, saatnya rakyat bicara. Muncul seorang gila yang sedang berakting mimpi basah di tengah pasar yang masih sepi. Tak lama kemudian, mulailah para pedagang pasar yang menjual obat, pakaian dan barang pecah belah ramai menawarkan dagangannya, saling berebut pembeli. Para pembeli terdiri dari kekek tua dan dua orang perempuan. Mereka ingin mencapai kesepakatan harga dengan kepentingannya masing-masing dan akhirnya tak tercapai pula. Tiba-tiba suasana mulai meninggi dan mereka semua berakting seperti kera, meninggalkan panggung dengan tiba-tiba pula.
Adegan berikutnya adalah rapat dewan agung untuk menentukan siapa yang menjadi pemimpin negeri itu. Tak jelas juga bagaimana akhirnya. Dua orang pewaris tahta mati terbunuh, termasuk juga Samina yang juga dibunuh entah oleh siapa. Sepertinya ada satu lagi pewaris tahta yang sebelumnya tidak muncul di adegan, tapi entahlah. Pikiran saya kadang melayang kemana sehingga tak seluruhnya isi pertunjukkan ini bisa diperangkap dalam otak.
Secara keseluruhan, saya suka dengan pertunjukan Sanggar Nuun kali ini. Beberapa pemainnya bisa masuk dalam karakter tokoh sepenuhnya. Mereka seperti bisa menghilangkan diri untuk sementara atau memenjarakan ‘aku’nya untuk diganti dengan ‘aku’ si tokoh cerita. Beberapa diantaranya sepertinya bisa berperan dengan baik karena bawaan sehari-harinya sudah begitu. Tapi, ini hanya prasangka, tentu bisa benar dan bisa saja salah.
Beberapa karakter yang sempat masuk dalam catatan saya salah satunya adalah Samina. Tokoh ini dalam kemunculannya selalu mendapat respon dari teman di sebelah yang awam dengan teater. Aktingnya cukup baik untuk ukuran seorang perempuan yang kadang memiliki keterbatasan dalam mengeksplorasi peran. Ia cukup berhasil memerankan sosok wanita buta yang terkesan sadis dan sinis. Tokoh perempuan lain juga terlihat baik seperti sosok ratu dan penjual baju. Tata busana dan riasanya cukup mendukung pencitraan tokoh. Meskipun menggunakan jilbab, busana para aktris ini tetap memiliki unsur teatrikal dan tidak terkesan aneh.
Untuk aktor lain, saya suka dengan karater orang gila. Meskipun tidak memiliki porsi cukup banyak dalam cerita, setidaknya orang gila ini bisa merepresentasikan bahwa ialah sebenarnya yang paling waras dalam cerita ini. Berikutnya adalah penjual jamu dengan gaya bicara dan aksennya yang mirip sekali dengan penjual jamu aslinya. Dan yang paling saya sukai adalah sosok penjual barang pecah belah. Entah kenapa orang ini bisa menjadi benar-benar tua. Ia mengubah suaranya menjadi cempreng tapi terkesan sangat biasa seperti suara aslinya. Sepertinya, ada orang tua yang benar-benar masuk dalam diri si aktor ini. Riasan wajahnya sangat mendukung dan dia juga bisa menjadi seperti benar-benar kera dalam adegan sebelum meninggalkan panggung.
Unsur gerak dan dialog dipadu padankan secara selaras dalam pertunjukan ini. Musiknya cukup lumayan dengan beberapa kali terdengar suara mirip tetesan air, cukup mendukung suasana yang ingin ditampilkan. Peran ganda dari beberapa aktor perlu untuk diapresiasi tersendiri, semoga bukan karena kurangnya pemuda yang berminat pada teater sehingga sampai kekurangan orang untuk sebuah pertunjukan.
Beberapa momentum mungkin ada yang meleset. Namun, tak ada suatu pertunjukkan yang sempurna di dunia ini. Kebetulan saya mengajak beberapa teman kost yang belum pernah menyaksikan teater sebelumnya. Setelah sampai di kost, hal yang ditanyakan adalah cerita tadi sebenarnya bicara tentang apa? Teman saya hanya menangkap adanya perebutan kekuasaan dan memang itu intinya. Ia juga seperti terngiang-ngiang dengan nama Samina dan sering menyebut kata itu dengan nada dan gaya teatrikal.
Teater surealis yang cenderung berunsur absurditas mungkin memang sedikit sulit diterima orang awam karena penonton harus merefleksikan lebih dalam dan tidak hanya sekadar menonton. Hal seperti inilah yang membuat otak berputar selama pertunjukkan namun tidak semua penonton mau melakukan itu. Tentu akan ada terang setelah gerhana bulan. Purnama.
Good Job, I Like It....
Beberapa hari yang lalu, gerhana bulan terjadi dini hari. Orang-orang selalu menghubungnya dengan pertanda-pertanda. Dan malam ini, saatnya Sanggar Nuun menggelar lakon “Gerhana Bulan Ketiga “ karya Wahyudi dan disutradai oleh Mukhosis Noor. Setelah berkeliling menikmati berbagai benda dan makanan yang dihadirkan kembali dari masa lampau lewat Pasar Kangen di halaman TBY, saatnya untuk mengerutkan dahi menikmati suguhan teater surealis yang lahir dari paduan alam nyata dan imaji.
Panggung mulai gelap. Setting panggung dibuat cukup sederhana dengan kain putih yang dijereng setengah lingkaran seperti sosok bulan sebagai latar belakang. Di depannya terdapat sebuah menara menjulang dengan aksen ranting-ranting pohon pada puncaknya. Seseorang kemudian muncul di puncak menara sambil menari-nari. Sayang sekali olah tubuhnya kurang sempurna sehingga tarian yang seharusnya menyajikan kesan magis itu jadi terlihat kaku.
Orang-orang datang membawa kursi, saling mendesis dengan gerakan menakutkan. Kursi selalu membawa persepsi saya pada cerita tentang kekuasaan. Ternyata memang benar. Alkisah di sebuah negeri, seorang pemimpin baru saja meninggal dunia. Wilayah itu jadi kacau setelah ditinggal pemimpinnya. Orang-orang saling berbisik tentang siapa yang akan menggantikan kedudukan pemimpin itu. Perekonomian semakin kacau, membuat rakyat kecil tambah sengsara, sementara para pejabat masih sibuk sendiri mencari pengganti sang penguasa.
Sepasang pemain membawa lilin dan menari perlahan. Lilin itu menerangi samar balai pertemuan dimana ratu dan ketiga anaknya saling berdialog. Ketiga anaknya itu ternyata buta dan salah satunya adalah perempuan bernama Samina. Sang ratu duduk di atas kursi roda dengan baju keperakan beraksen futuristik. Adegan ini sedikit terlalu lama dan membosankan, bercerita tentang tiga orang yang memiliki darah pemimpin dalam tubuhnya tapi tak bernyali untuk memimpin negeri hanya karena keterbatasan mereka. Tiga orang yang mewakili rasa keraguan, ketakutan dan kecurigaan.
Setelah perdebatan para pewaris tahta, saatnya rakyat bicara. Muncul seorang gila yang sedang berakting mimpi basah di tengah pasar yang masih sepi. Tak lama kemudian, mulailah para pedagang pasar yang menjual obat, pakaian dan barang pecah belah ramai menawarkan dagangannya, saling berebut pembeli. Para pembeli terdiri dari kekek tua dan dua orang perempuan. Mereka ingin mencapai kesepakatan harga dengan kepentingannya masing-masing dan akhirnya tak tercapai pula. Tiba-tiba suasana mulai meninggi dan mereka semua berakting seperti kera, meninggalkan panggung dengan tiba-tiba pula.
Adegan berikutnya adalah rapat dewan agung untuk menentukan siapa yang menjadi pemimpin negeri itu. Tak jelas juga bagaimana akhirnya. Dua orang pewaris tahta mati terbunuh, termasuk juga Samina yang juga dibunuh entah oleh siapa. Sepertinya ada satu lagi pewaris tahta yang sebelumnya tidak muncul di adegan, tapi entahlah. Pikiran saya kadang melayang kemana sehingga tak seluruhnya isi pertunjukkan ini bisa diperangkap dalam otak.
Secara keseluruhan, saya suka dengan pertunjukan Sanggar Nuun kali ini. Beberapa pemainnya bisa masuk dalam karakter tokoh sepenuhnya. Mereka seperti bisa menghilangkan diri untuk sementara atau memenjarakan ‘aku’nya untuk diganti dengan ‘aku’ si tokoh cerita. Beberapa diantaranya sepertinya bisa berperan dengan baik karena bawaan sehari-harinya sudah begitu. Tapi, ini hanya prasangka, tentu bisa benar dan bisa saja salah.
Beberapa karakter yang sempat masuk dalam catatan saya salah satunya adalah Samina. Tokoh ini dalam kemunculannya selalu mendapat respon dari teman di sebelah yang awam dengan teater. Aktingnya cukup baik untuk ukuran seorang perempuan yang kadang memiliki keterbatasan dalam mengeksplorasi peran. Ia cukup berhasil memerankan sosok wanita buta yang terkesan sadis dan sinis. Tokoh perempuan lain juga terlihat baik seperti sosok ratu dan penjual baju. Tata busana dan riasanya cukup mendukung pencitraan tokoh. Meskipun menggunakan jilbab, busana para aktris ini tetap memiliki unsur teatrikal dan tidak terkesan aneh.
Untuk aktor lain, saya suka dengan karater orang gila. Meskipun tidak memiliki porsi cukup banyak dalam cerita, setidaknya orang gila ini bisa merepresentasikan bahwa ialah sebenarnya yang paling waras dalam cerita ini. Berikutnya adalah penjual jamu dengan gaya bicara dan aksennya yang mirip sekali dengan penjual jamu aslinya. Dan yang paling saya sukai adalah sosok penjual barang pecah belah. Entah kenapa orang ini bisa menjadi benar-benar tua. Ia mengubah suaranya menjadi cempreng tapi terkesan sangat biasa seperti suara aslinya. Sepertinya, ada orang tua yang benar-benar masuk dalam diri si aktor ini. Riasan wajahnya sangat mendukung dan dia juga bisa menjadi seperti benar-benar kera dalam adegan sebelum meninggalkan panggung.
Unsur gerak dan dialog dipadu padankan secara selaras dalam pertunjukan ini. Musiknya cukup lumayan dengan beberapa kali terdengar suara mirip tetesan air, cukup mendukung suasana yang ingin ditampilkan. Peran ganda dari beberapa aktor perlu untuk diapresiasi tersendiri, semoga bukan karena kurangnya pemuda yang berminat pada teater sehingga sampai kekurangan orang untuk sebuah pertunjukan.
Beberapa momentum mungkin ada yang meleset. Namun, tak ada suatu pertunjukkan yang sempurna di dunia ini. Kebetulan saya mengajak beberapa teman kost yang belum pernah menyaksikan teater sebelumnya. Setelah sampai di kost, hal yang ditanyakan adalah cerita tadi sebenarnya bicara tentang apa? Teman saya hanya menangkap adanya perebutan kekuasaan dan memang itu intinya. Ia juga seperti terngiang-ngiang dengan nama Samina dan sering menyebut kata itu dengan nada dan gaya teatrikal.
Teater surealis yang cenderung berunsur absurditas mungkin memang sedikit sulit diterima orang awam karena penonton harus merefleksikan lebih dalam dan tidak hanya sekadar menonton. Hal seperti inilah yang membuat otak berputar selama pertunjukkan namun tidak semua penonton mau melakukan itu. Tentu akan ada terang setelah gerhana bulan. Purnama.
Good Job, I Like It....
Senin, 20 Juni 2011
Semalam Jadi Pasien di Orkhestra Rumah Sakit
TBY, 10 Juni 2011
Tiga orang pasien sedang duduk di pojok ruang tunggu sebuah rumah sakit. Segala gaya dan tingkah laku mereka selalu kompak, sampai tempo batuk dan gaya membuang ludah pun juga sama. Sudah tiga hari mereka menunggu panggilan sebagai pasien untuk segera ditangani dokter. Tiga hari pula penyakit mereka tambah parah saja. Adegan inilah yang mengawali pertunjukan Tetaer Shima dengan judul “Orkhestra Rumah Sakit” karya Puntung CM Punjdadi.
Cerita selanjutnya berbicara seputar sebuah rumah sakit dengan segala ketidakberesannya. Orang-orang kaya memesan kamar VVIP di rumah sakit hanya untuk beristirahat dan menghindar dari persoalan. Dokter dan perawat saling bercinta. Pemilik rumah sakit dan perawat juga saling bercinta. Seorang dokter menjual organ pasien yang sudah mati, katanya demi ilmu pengetahuan, untuk para mahasiswa kedokteran. Dokter mempunya staf ahli anestesi, seorang satpam bertubuh tambun yang selalu membawa ganden untuk memukul kepala pasien biar cepat mati. Orang miskin dioprasi di dapur, dibedah perutnya dengan gergaji dan pisau berukuran besar sekali.
Beberapa menit berselang, ada sebuah adegan yang tak terduga ketika muncul salah satu aktor dari atas panggung menggunakan tali. Katanya dia ini adalah malaikat pencabut nyawa. Seorang malaikat yang bisa disogok agar nyawa bisa diperpanjang demi menikmati dunia. Seorang pemabuk cukup membayar lima ratus ribu saja untuk satu minggu perpanjangan nyawa. Waktu yang cukup panjang baginya untuk bertobat atau untuk lebih bisa menikmati dunia lewat botol-botol alkohol. Ide adegan ini memang menarik dan menggelitik. Hanya saja, kemunculan malaikat dan gayanya yang terlalu aneh sedikit mengganggu komposisi pertunjukan secara keseluruhan.
Segala macam paradoks rumah sakit dihadirkan dalam cerita ini. Miskin dan kaya tentu tak bisa diperlakukan sama. Moralitas manusia diaduk-aduk sedemikian rupa. Adegan pun di tutup dengan kisah ketika si miskin mati, satu orang pun tak ada yang menangisi. Sangat berbeda dengan si kaya, mati dikerubuti sanak saudara yang pura-pura mengeluarkan air mata. Wartawan datang untuk mengambil gambar-gambar topeng kesedihan. Para penangis terlihat konyol ketika mereka bergaya ketika difoto dan kembali menangis ketika lampu kamera berhenti menyala.
Pertunjukan Teater Shima kali ini cukup mampu menampilkan naskah cerita yang segar. Sebuah realitas yang mungkin sangat bisa terjadi di carut marutnya negara kita saat ini. Para penonton bisa dibuat tertawa sekaligus miris. Artistiknya pas dengan suasana yang ingin dibuat dan mampu menerjemahkan naskah dengan baik. Musiknya juga tidak wagu sehingga mampu menjadi penyelaras setiap adegan. Konsep cerita dan unsur-unsurnya sepertinya dirancang dengan matang. Kapasitas keaktoran para pemain juga relatif seragam sehingga tidak ada salah satu aktor yang terlihat menonjol atau terlalu lemah.
Satu hal yang menarik dari teater ini adalah ketika pertunjukan yang ditampilkan mampu menjembatani antar generasi. Pemain senior dan anak-anak SMA menjadi satu dalam kesatuan sebuah panggung dan isi pertunujkan. Model pertunjukan seperti ini dapat menjadi alternatif pembelajaran teater yang cukup menarik. Transfer dan sharing pengalaman bisa dilakukan dalam satu wadah pertunjukan yang sebenarnya. Proses learning by doing seperti inilah yang bisa diadaptasi ketika pengembangkan kapasitas para aktor pemula bisa dilakukan dengan berpentas bersama para seniornya.
Sebagai pasien saya cukup puas dan tidak merasa menyesal membayar tiket masuknya. Sebagai pasien, saya mengaku sakit dan harus dirawat dengan selang-selang infus dan aliran oksigen. Pertunjukan kali ini cukup memberi saya energi. Seperti pasien yang menunggu diperiksa seorang dokter tampan, seperti pasien yang kelaparan menunggu jatah makan yang kadang tak berasa. Pertunjukan-pertunjukan semacam inilah yang membuat saya masih betah tinggal di rumah sakit jiwa bernama Yogyakarta. Saya tak mau sembuh dengan tetap menyeduh kata. Saya mau tetap gila biar bisa disebut manusia.
Salam buat salah satu pemain musik, seorang lelaki yang main gitar itu rambutnya mirip gadis Sunsilk.hehe...
Tiga orang pasien sedang duduk di pojok ruang tunggu sebuah rumah sakit. Segala gaya dan tingkah laku mereka selalu kompak, sampai tempo batuk dan gaya membuang ludah pun juga sama. Sudah tiga hari mereka menunggu panggilan sebagai pasien untuk segera ditangani dokter. Tiga hari pula penyakit mereka tambah parah saja. Adegan inilah yang mengawali pertunjukan Tetaer Shima dengan judul “Orkhestra Rumah Sakit” karya Puntung CM Punjdadi.
Cerita selanjutnya berbicara seputar sebuah rumah sakit dengan segala ketidakberesannya. Orang-orang kaya memesan kamar VVIP di rumah sakit hanya untuk beristirahat dan menghindar dari persoalan. Dokter dan perawat saling bercinta. Pemilik rumah sakit dan perawat juga saling bercinta. Seorang dokter menjual organ pasien yang sudah mati, katanya demi ilmu pengetahuan, untuk para mahasiswa kedokteran. Dokter mempunya staf ahli anestesi, seorang satpam bertubuh tambun yang selalu membawa ganden untuk memukul kepala pasien biar cepat mati. Orang miskin dioprasi di dapur, dibedah perutnya dengan gergaji dan pisau berukuran besar sekali.
Beberapa menit berselang, ada sebuah adegan yang tak terduga ketika muncul salah satu aktor dari atas panggung menggunakan tali. Katanya dia ini adalah malaikat pencabut nyawa. Seorang malaikat yang bisa disogok agar nyawa bisa diperpanjang demi menikmati dunia. Seorang pemabuk cukup membayar lima ratus ribu saja untuk satu minggu perpanjangan nyawa. Waktu yang cukup panjang baginya untuk bertobat atau untuk lebih bisa menikmati dunia lewat botol-botol alkohol. Ide adegan ini memang menarik dan menggelitik. Hanya saja, kemunculan malaikat dan gayanya yang terlalu aneh sedikit mengganggu komposisi pertunjukan secara keseluruhan.
Segala macam paradoks rumah sakit dihadirkan dalam cerita ini. Miskin dan kaya tentu tak bisa diperlakukan sama. Moralitas manusia diaduk-aduk sedemikian rupa. Adegan pun di tutup dengan kisah ketika si miskin mati, satu orang pun tak ada yang menangisi. Sangat berbeda dengan si kaya, mati dikerubuti sanak saudara yang pura-pura mengeluarkan air mata. Wartawan datang untuk mengambil gambar-gambar topeng kesedihan. Para penangis terlihat konyol ketika mereka bergaya ketika difoto dan kembali menangis ketika lampu kamera berhenti menyala.
Pertunjukan Teater Shima kali ini cukup mampu menampilkan naskah cerita yang segar. Sebuah realitas yang mungkin sangat bisa terjadi di carut marutnya negara kita saat ini. Para penonton bisa dibuat tertawa sekaligus miris. Artistiknya pas dengan suasana yang ingin dibuat dan mampu menerjemahkan naskah dengan baik. Musiknya juga tidak wagu sehingga mampu menjadi penyelaras setiap adegan. Konsep cerita dan unsur-unsurnya sepertinya dirancang dengan matang. Kapasitas keaktoran para pemain juga relatif seragam sehingga tidak ada salah satu aktor yang terlihat menonjol atau terlalu lemah.
Satu hal yang menarik dari teater ini adalah ketika pertunjukan yang ditampilkan mampu menjembatani antar generasi. Pemain senior dan anak-anak SMA menjadi satu dalam kesatuan sebuah panggung dan isi pertunujkan. Model pertunjukan seperti ini dapat menjadi alternatif pembelajaran teater yang cukup menarik. Transfer dan sharing pengalaman bisa dilakukan dalam satu wadah pertunjukan yang sebenarnya. Proses learning by doing seperti inilah yang bisa diadaptasi ketika pengembangkan kapasitas para aktor pemula bisa dilakukan dengan berpentas bersama para seniornya.
Sebagai pasien saya cukup puas dan tidak merasa menyesal membayar tiket masuknya. Sebagai pasien, saya mengaku sakit dan harus dirawat dengan selang-selang infus dan aliran oksigen. Pertunjukan kali ini cukup memberi saya energi. Seperti pasien yang menunggu diperiksa seorang dokter tampan, seperti pasien yang kelaparan menunggu jatah makan yang kadang tak berasa. Pertunjukan-pertunjukan semacam inilah yang membuat saya masih betah tinggal di rumah sakit jiwa bernama Yogyakarta. Saya tak mau sembuh dengan tetap menyeduh kata. Saya mau tetap gila biar bisa disebut manusia.
Salam buat salah satu pemain musik, seorang lelaki yang main gitar itu rambutnya mirip gadis Sunsilk.hehe...
Senin, 06 Juni 2011
Kenangan Berenang dalam Kuah Soto
Rasanya baru kemarin
kita menyusuri kota ini bersama.
Masih adakah menyisa?
Kuah soto bebek dan
butiran nasi yang kau habiskan dari piringku.
Wajah kita menghitam penuh asap bus kota
Kau membuka setangkup keluhan pada tuhan
di atas lapaklapak pasar
bergembok lelah para penjual sayuran,
ikan bandeng dan pindang.
Siang seperti dingin
membekukan kita di hadapan televisi menyala
seorang perempuan dan ular besar menggayut manja
Aku menengok ke arahamu
telah kau habiskan sisa makan siangku.
Cinta dan kenangan kecanduan kuah soto,
kehilangan selaput di antara ruas jari
tak bisa lagi berenang bersama si bebek buruk rupa.
Rasanya baru kemarin
masih adakah menyisa?
Juni 2011
Mengenang Kembali dari Kaca Jendela Bus Kota, ketika Melewati Klaten
kita menyusuri kota ini bersama.
Masih adakah menyisa?
Kuah soto bebek dan
butiran nasi yang kau habiskan dari piringku.
Wajah kita menghitam penuh asap bus kota
Kau membuka setangkup keluhan pada tuhan
di atas lapaklapak pasar
bergembok lelah para penjual sayuran,
ikan bandeng dan pindang.
Siang seperti dingin
membekukan kita di hadapan televisi menyala
seorang perempuan dan ular besar menggayut manja
Aku menengok ke arahamu
telah kau habiskan sisa makan siangku.
Cinta dan kenangan kecanduan kuah soto,
kehilangan selaput di antara ruas jari
tak bisa lagi berenang bersama si bebek buruk rupa.
Rasanya baru kemarin
masih adakah menyisa?
Juni 2011
Mengenang Kembali dari Kaca Jendela Bus Kota, ketika Melewati Klaten
Rabu, 01 Juni 2011
Ingatan Rapuh Desa Brubuh
Seperti itulah matamu,
berdiam antara kedalaman samudra
dan dunia para pencuri.
Begitu saja cinta kita,
seperti seikat rambutan
kau curi dari pohon di kebun tetangga.
Kau manjat, dikeroyok semut hitam
Katamu ini lebih manis,
dari rambutan kehijauan yang bergerombol
di pekarangan samping rumahmu.
Seperti maling,
kita saling mencuri nafas
Mbah kakung angon kambing dan cari rumput
Mbah putri menyiapkan makan siang
Tubuh bongkoknya riang memasak sayur lodeh dari ketela
di bumbu bawang, cabai dan garam saja
tungku dan gemeretak kayu menyusupkan asap
siap mengintip kita dari celah jendela menutup rapat
cinta kita memang hanya seikat rambutan curian
melawan gravitasi dengan melemparkan kejahatan
mimpi menggantungnya di langit tak bisa jatuh
menjadi bintang, kejora, bahkan
tiba tiba aku mengingat Brubuh
tikar pandan lusuh dan uap kopi
menyepuh peluh
1 Juni 2011
berdiam antara kedalaman samudra
dan dunia para pencuri.
Begitu saja cinta kita,
seperti seikat rambutan
kau curi dari pohon di kebun tetangga.
Kau manjat, dikeroyok semut hitam
Katamu ini lebih manis,
dari rambutan kehijauan yang bergerombol
di pekarangan samping rumahmu.
Seperti maling,
kita saling mencuri nafas
Mbah kakung angon kambing dan cari rumput
Mbah putri menyiapkan makan siang
Tubuh bongkoknya riang memasak sayur lodeh dari ketela
di bumbu bawang, cabai dan garam saja
tungku dan gemeretak kayu menyusupkan asap
siap mengintip kita dari celah jendela menutup rapat
cinta kita memang hanya seikat rambutan curian
melawan gravitasi dengan melemparkan kejahatan
mimpi menggantungnya di langit tak bisa jatuh
menjadi bintang, kejora, bahkan
tiba tiba aku mengingat Brubuh
tikar pandan lusuh dan uap kopi
menyepuh peluh
1 Juni 2011
Senin, 30 Mei 2011
Palilah (Geguritan Kagem...)
Manungsa pancen ora bisa ngangsa pesthi, ngaya tekane pesthi
Sing pada nresnani uwis minggat siji mbaka siji
Pamit ora bisa maneh ngenteni
Lunga nggandeng wong kang bisa dijak bebarengan tumekeng pati
Mbabat alas urip bebarayan wiwit saiki
Aku ora bisa nggoceki maneh
Wis ben, ah luweh
Nadyan aku ora bisa njawab pitakonanmu
Mangertia yen sejatine aku isih ndelikake apa kang sanyatane
Salawase aku mung mikir awakku dhewe
Ora nggrahita kaya ngapa laraning atimu,
Nalika aku mung nggoleki sliramu yen lagi kasaput sepi
Banjur lali yen pas nedheng seneng
Pangapuramu kang tansah tak enteni
Palilah iki tampanana
Aku mung bisa ndedonga, uripmu bisa manggih mulya
Donga kang ora bakal kendhat
Rahayu ndonya akherat
Wengi iki lumantar hawa anyeting angin,
Ukara kanthi ukara mbanyu mili
Kaya-kaya sliramu wong kang paling becik sak ndonya,
Wong kang paling tresna lan mangerteni aku
Kaya-kaya aku sing paling tumindak culika gawe rojah rajehing atimu
Nanging ora, dudu kuwi kang terang trawaca saka kandhamu
Aku selak yen kudu dadi wong sing paling disalahake jroning kahanan iki
Ah, mbuh ora weruh
Tak rungokne wae kabeh pangucap kang krasa mung dadi uwuh
Kocapa carita swaramu njelma kaya Rahwana
Ngucap mantra kang aku ora ngerti nganggo basa apa
Dadaku sesek sanalika
Aku kena suwuk
Ong....ora bisa bali ngantuk
tumeka isuk
Mei 2011
Sing pada nresnani uwis minggat siji mbaka siji
Pamit ora bisa maneh ngenteni
Lunga nggandeng wong kang bisa dijak bebarengan tumekeng pati
Mbabat alas urip bebarayan wiwit saiki
Aku ora bisa nggoceki maneh
Wis ben, ah luweh
Nadyan aku ora bisa njawab pitakonanmu
Mangertia yen sejatine aku isih ndelikake apa kang sanyatane
Salawase aku mung mikir awakku dhewe
Ora nggrahita kaya ngapa laraning atimu,
Nalika aku mung nggoleki sliramu yen lagi kasaput sepi
Banjur lali yen pas nedheng seneng
Pangapuramu kang tansah tak enteni
Palilah iki tampanana
Aku mung bisa ndedonga, uripmu bisa manggih mulya
Donga kang ora bakal kendhat
Rahayu ndonya akherat
Wengi iki lumantar hawa anyeting angin,
Ukara kanthi ukara mbanyu mili
Kaya-kaya sliramu wong kang paling becik sak ndonya,
Wong kang paling tresna lan mangerteni aku
Kaya-kaya aku sing paling tumindak culika gawe rojah rajehing atimu
Nanging ora, dudu kuwi kang terang trawaca saka kandhamu
Aku selak yen kudu dadi wong sing paling disalahake jroning kahanan iki
Ah, mbuh ora weruh
Tak rungokne wae kabeh pangucap kang krasa mung dadi uwuh
Kocapa carita swaramu njelma kaya Rahwana
Ngucap mantra kang aku ora ngerti nganggo basa apa
Dadaku sesek sanalika
Aku kena suwuk
Ong....ora bisa bali ngantuk
tumeka isuk
Mei 2011
Kamis, 26 Mei 2011
Sepagi Sembah Selatan
Sepagi dalam sembah kepada selatan
Aku membaca ayatayat ombak di atas punggungmu
Kau duduk bersila, memejam mata
Dan selalu seperti itu, kau tak pernah tahu,
bagaimana aku menatap punggungmu,
menekuk lutut dalam pasir dan sengat matahari
Di pelupuk cakrawala kau telah menemukannya
Gadis berparas lautan, rambutnya berurai gelombang
Dan masih saja tak lepas mataku dari punggungmu
Perlahan begitu saja menguraimu menghilang
Bersama gadis lautmu, senyap melepaskan kehilangan
Kau melesap sudah
Aku sebutir pasir, ombak menyapuku
Sebutir pasir mendekati ombak
Sebutir pasir mencicipi ombak
Sebutir pasir menenggak ombak
Setetes ombak menyentuh sebutir pasir
Sebutir pasir menjadi ombak
Kita menghilang bersamaan
Aku, kau dan gadis lautmu
Merasuk dalam ombak selatan
Mei 2011
Aku membaca ayatayat ombak di atas punggungmu
Kau duduk bersila, memejam mata
Dan selalu seperti itu, kau tak pernah tahu,
bagaimana aku menatap punggungmu,
menekuk lutut dalam pasir dan sengat matahari
Di pelupuk cakrawala kau telah menemukannya
Gadis berparas lautan, rambutnya berurai gelombang
Dan masih saja tak lepas mataku dari punggungmu
Perlahan begitu saja menguraimu menghilang
Bersama gadis lautmu, senyap melepaskan kehilangan
Kau melesap sudah
Aku sebutir pasir, ombak menyapuku
Sebutir pasir mendekati ombak
Sebutir pasir mencicipi ombak
Sebutir pasir menenggak ombak
Setetes ombak menyentuh sebutir pasir
Sebutir pasir menjadi ombak
Kita menghilang bersamaan
Aku, kau dan gadis lautmu
Merasuk dalam ombak selatan
Mei 2011
Senin, 16 Mei 2011
Pada Sebuah Perjamuan
Pada sebuah perjamuan. Para petani dan nelayan terdampar. Para pejabat duduk mengelilingi meja bundar. Perjalanan meninggalkan ladang dan lautan, mengambang dalam lagu-lagu kenangan dan pidato-pidato seremonial.
Seperti terasing di dunia lain. Mereka tenggelam dalam tumpukan makanan. Lidah-lidah saling bergidik, enggan mencecap udang saus strawberry dan gurame yang disiram saus buah warna-warni. Nelayan tak tidur semalam. Nangkap cumi-cumi untuk digoreng dengan sangat kering bermandi saus asam manis. Petani terjaga semalam. Menuai padi dan sayuran organik yang dihidangkan di sini. Segala yang tak pernah sampai di meja makan mereka sendiri.
Para pelayan restoran masih saja hilir mudik. Menyangga piring-piring saji dengan gunungan penuh sendawa dan basa-basi tawa. Sebentar saja, piring-piring segera kosong. Perut-perut menggembung, menjelma balon udara, menerbangkan mereka. Hingga ke lautan, udang dan cumi tak sempat dicerna ingin segera kembali. Sampai ke ladang-ladang padi, dimana beras ingin menjelma benih, kembali menelusup ke rahim bumi. Perut-perut pecah sudah. Tertusuk jerami-jerami basah.
15 Mei 2011
Seperti terasing di dunia lain. Mereka tenggelam dalam tumpukan makanan. Lidah-lidah saling bergidik, enggan mencecap udang saus strawberry dan gurame yang disiram saus buah warna-warni. Nelayan tak tidur semalam. Nangkap cumi-cumi untuk digoreng dengan sangat kering bermandi saus asam manis. Petani terjaga semalam. Menuai padi dan sayuran organik yang dihidangkan di sini. Segala yang tak pernah sampai di meja makan mereka sendiri.
Para pelayan restoran masih saja hilir mudik. Menyangga piring-piring saji dengan gunungan penuh sendawa dan basa-basi tawa. Sebentar saja, piring-piring segera kosong. Perut-perut menggembung, menjelma balon udara, menerbangkan mereka. Hingga ke lautan, udang dan cumi tak sempat dicerna ingin segera kembali. Sampai ke ladang-ladang padi, dimana beras ingin menjelma benih, kembali menelusup ke rahim bumi. Perut-perut pecah sudah. Tertusuk jerami-jerami basah.
15 Mei 2011
Kamis, 05 Mei 2011
Obrolan Para Penyair dalam Sekaleng Bir
Ini warung kopi tapi banyak yang minum bir di sini. Yang tak mabuk tak bisa bikin puisi. Biar sesak di kepung asap rokok, saya akan tetap setia dengan pena dan buku catatan kecil ini, duduk dipojokan bersama seorang teman. Yang saya lakukan hanya merekam, berusaha tak melewatkan obrolan dan diskusi ini. Bukankah akan hilang kalau tak dicatatkan? Bukankah bisa basi kalau hanya ditanak dalam ingatan?
Senin malam, 2 Mei 2011 di sebuah warung kopi, seorang penyair muda Y. Thendra BP melaunching buku kumpulan puisi keduanya. Puisi-puisi ini ditulis sejak tahun 2004-2011. Sebuah usaha yang berat katanya untuk membuat puisi-puisi ini. Hadir sebagai pemantik diskusi adalah Saut Situmorang dan Alwi Atma Ardhana.
Kalau ada orang bersuara berat dengan kaleng-kaleng bir di depannya itu, saya sudah menduga kalau nantinya pembicaraan ini akan mengarah pada perang-perangan yang dimainkan para penyair di dunia mereka. Dunia perang kalian memang sering saya dengar dari kabar yang dibawa angin, beberapa esay Saut dan wacana postkolonial yang sering didengung-dengungkan itu. Seandainya bukan orang yang bergelut dengan sastra, tentu tidak akan tahu permaian perang-perangan seru. Entahlah, sebenarnya saya pun tak begitu paham dengan pintu yang saya masuki malam ini. Ah, setidaknya saya bisa nyangkut, pada seuntai rambut gimbal Saut.
Acara dimulai dengan pembacaan beberapa puisi Thendra. Sulur-sulur asap masih mencekik dari luar dan dalam ruangan. Saya terus merasa sesak sampai mengalihkan pandangan pada seorang pemuda berkaos merah. Dari belakang, hanya punggungnya saja yang kelihatan bertuliskan kutipan kata-kata Sutan Sjahrir yang berbunyi “Hidup yang tak pernah dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan.”
Bicara soal pertaruhan, saya sampai detik ini entah kenapa selalu kalah main judi soal cinta, bertaruh kepingan cinta. Habis sudah cinta, tinggal sedikit saja menyisa. Soal hidup, rasanya tak banyak juga yang sudah saya pertaruhkan, tak banyak pula yang bisa saya menangkan. Wajah orang-orang yang datang dalam acara seperti ini rasanya memang hanya mereka-mereka saja dan entah cerpenis atau penyair berambut gondrong diikat itu datang lagi juga. Masih dengan kaos putih yang sama seperti yang dipakai di acara malam minggu bersama Chairil di Stasiun Tugu. Kaos bergambar salah satu pemimpin dunia bertuliskan ‘he is my hero’ di bawahnya. Apakah seniman memang tak sering ganti baju? tanggalkah inspirasi ketika mereka ganti baju? Barangkali bau keringat bisa memicu urat-urat syaraf kepala untuk melahirkan karya. Tanya saya aneh-aneh saja. Barangkali juga dia punya banyak kaos yang seperti itu.
Romantisme Kedaerahan sampai Dunia Lipstik Perkotaan
Sambil berusaha untuk fokus, saya menyimak apa yang dibicarakan oleh Alwi. ‘Aku’ dalam puisi-puisi Thendra katanya tidak satu, apalagi dalam beberapa puisi yang bernada protes atau mengangkat tema-tema sosial politik. Puisi-puisi Thendra mengandung dua tema besar. Ia memiliki kesadaran sebagai manusia pasca kolonial. Ia sadar pula berada dalam masyarakat yang dihajar sampai mampus oleh liberalisme dan kapitalisme.
Penggunaan ‘aku’ yang sangat cinta merupakan bentuk ironi, melihat Indonesia sebagai succeed state. Thendra memiliki banyak ironi yang bisa dimainkan untuk menggarap tema-tema besar tersebut.
Thendra menjadi salah satu penyair daerah yang memiliki imajinasi tentang kejayaan atau romantisme masa lalu di daerahnya. Misalnya dari sajak “Manusia Utama” yang diterjemahkan dari bahasa suku Amungme yang mulai tergeser. Ia memainkan ironi yang agak romantis tentang lubang-lubang tambang, dan sebagainya.
Tema besar kedua adalah ketika Thendra banyak menyoroti masalah-masalah perkotaan. Ia menggambarkan keindahan yang hanya lipstik, hanya kebohongan. Puisinya menggunakan diksi-diksi yang khas perkotaan. Misalnya saja dalam puisi “April Haiku Chairil”, Thendra menggunakan bentuk ortodoksi Haiku untuk melukiskan imajinya.
Sayangnya, saya tak beli buku kumpulan puisi Thendra jadi mohon dimaklumi kalau tak maksimal menggambarkan penjelasan Alwi.
Masih Nyangkut di Rambut Saut
Dari kumpulan puisi Thendra, Saut berani memberikan klaim sensasional bahwa ini adalah dobrakan dalam sastra Indonesia. Bagi mereka yang hanya menjadi pemuja berhala sastra koran minggu, akan mencret baca buku ini.
Puisi Indonesia Saat ini didominasi oleh puisi-puisi lirik romantik yang bersifat otobiografi. Apa yang sudah dimulai oleh Amir Hamzah, sedikit Gunawan Mohammad, Sitor Situmorang, Rendra, Subagyo Sastrowardoyo seperti dirusak oleh puisi yang hanya indah-indah itu. Para penyair itu sering bermain dengan kata majemuk yang dia sendiri tidak mengerti. Puisi telah dirusak oleh bentuk-bentuk repetisi yang terus direproduksi oleh sampah koran minggu.
Puisi Thendra menjadi angin segar dalam phrasing-nya. Ia telah selesai dengan kata, berbeda dengan para penyair koran minggu yang masih memiliki persoalan dengan kata. Ketika penyair masih memiliki persoalan dengan kata, bagaimana ia akan bicara melalui puisinya. Kesalahan ini diteruskan oleh beberapa nama itu. Padahal, sensasi bunyi pun sebenarnya tidak bisa mereka temukan. Thendra menjadi seperti gelombang kecil karena pengaruh kuat media.
Thendra memberikan penjelasan pertanyaan salah satu peserta diskusi. Barangkali terlalu dekat mikropon itu di mulutnya sampai apa yang dibicarakan menjadi tak jelas, tak sempat terekam. Ada juga pertanyaan tentang seberapa pengaruh Saut terhadap Thendra.
Tema-tema yang diangkat Thendra sedikit banyak mungkin memang mirip dengan Saut. Tema dimana-mana memang bisa sama tetapi kata Saut yang berbeda adalah phrasing-nya, bagaimana seorang penyair mengekspresikannya.
Kembali lagi ke pembicaraan sampah koran minggu. Kata Saut lagi, mereka itu telah salah dalam melakukan eksperimen kata untuk bunyi. Mereka banyak menggunakan repetisi kata atau kalimat dalam karya-karya puisi di koran minggu. Namun, mereka menggunakan fomula yang gagal. Lisensia puitika tetapi gagal juga. Menyerap bahasa Jawa ke Melayu-Indonesia tetapi gagal lagi. Kesalahan ini menjadi sesuatu yang diulang-ulang dan secara tak sadar dianggap benar. Ini terjadi pada pengulangan kata untuk jamak yang seharusnya diulang secara utuh. Untuk menunjukkan banyak daun seharusnya ditulis dengan ‘daun-daun’ dan bukan ‘dedaun’. Kata ‘pepintu’ itu tidak ada karena yang benar adalah ‘pintu-pintu’.
Entah mengapa hal ini bisa terjadi. Mereka seperti ingin menciptakan neo-pujangga baru-isme dengan menciptakan efek bunyi pada kata yang mirip lagu. Dari kata, mereka ingin menciptakan efek bunyi seperti musik. Nada menjadi komposisi paling tinggi dan kata sepertinya ingin dipaksakan untuk bisa menyeimbangi nada.
Seorang penyair adalah kekasih kata. Ketika seorang penyair ingin melesapkan makna dari kata berarti ia tak lagi menjadi kekasih kata. Lebih kacaunya lagi, bahkan para redaktur koran minggu itu ada yang tidak menulis puisi. Tambah parahnya, para penyair ada yang menganggap status jurnalistik sebagai standar status estetik. Mereka tak bangga karyanya masuk KR tiap bulan, tapi bangga ketika bisa masuk Kompas setahun sekali. Semua puisi menjadi seragam padahal redaktur koran minggu banyak yang mempropagandakan pluralisme. Kalau tak percaya bisa dicoba. Sekali-kali tulislah puisi bernada protes seperti puisi Wiji Thukul, bisa dijamin tak akan masuk koran. Sementara itu, ketika kau tulis puisi tentang diri sendiri, pasti masuk.
Pertanyaan lagi tentang apakah Thendra berhasil memasukkan kritik sosial dengan gayanya? Alwi kemudian menjawab bahwa kata ‘tambang’ yang digunakan, mungkin menjadi haram bagi banyak MNC di Indonesia, jarang juga digunakan oleh penyair. Kulon Progo mungkin banyak dilukiskan dengan pantainya yang indah tapi jarang yang mengangkat ironi pasir besi, misalnya. Thendra telah berhasil menggunakan ironi sebagai poetry device. Puisi-puisinya datang dari satu tradisi dan ironi-ironi yang digunakannya bisa sampai ketika ia bisa memilih diksi-diksi yang justru haram.
Kata Thendra tentang puisinya yang mirip Saut itu, semua orang pernah terluka tapi yang menjadikannya beda adalah bagaimana mengungkapkan luka itu. Dia mengaku belajar dari Saut tapi tak merasa terpengaruh dengan Saut. Puisi-puisi Saut, juga khasanah pengatahuan dunianya telah ikut membuatnya kaya.
Saut menyahut bahwa isu pengaruh itu menarik, seperti dalam kumpulan puisinya “Saut Kecil Bicara tentang Tuhan”. Ada semacam kecemasan tentang pengaruh. Seorang penyair bisa beranggapan bahwa supaya dia bisa hidup dalam puisi maka harus membunuh dewa-dewa mereka sebelumnya. Kecemasan ini khas dialami oleh kaum romantik sekitar abad ke-18 yang menentang habis rasionalisme pada abad sebelumnya (ini kalau saya tidak salah dengar).
Para penyair berambisi untuk menciptakan kredo sendiri dan menemukan orisinalitas. Jamal D. Rahman pernah bertanya kepada Sutardji, “semua gaya puisi telah ditulis, lalu saya nulis apa?” Sautlah yang menjawab, “Bunuh diri saja kau,” diiringi dengan derai tawa berat Saut dan yang lain.
Apa yang sudah dilakukan Saut adalah mencoba memasukkan semua penyair ke dalam dirinya dan kemudian memberinya nama baru. Inilah yang disebut sebagai intertekstualitas. Inilah yang disebut orisinalitas bagi Saut. Mencontek itu mungkin tapi siapa yang bisa mencontek. Mencontek adalah pekerjaan yang tidak mudah, bahkan Taufik pun hanya bisa plagiat. Pengaruh itu justru harus dimiliki oleh penyair.
Kekal kemudian menanggapi bahwa pasca ia menerbitkan buku, justru banyak hantu-hantu menggagu. Penyair muda sangat sulit untuk tumbuh menjadi dirinya. Ada sistem feodal yang telah diamini bersama, bahkan oleh beberapa jaringan sastra. Seorang penyair muda kalau harus berdiri bahkan harus menghancurkan dirinya. Koran minggu tidak hanya mempengaruhi tetapi juga menakut-nakuti dan akhirnya sampai pada yang merusak itu. Ia kemudian bercerita produktifitasnya ketika masih berada di kampung halaman dan sekarang entah kenapa malah menjadi tidak produktif, mungkin setelah mengenal Kompas juga. Yang mau jadi nabi menjadi semakin sulit karena harus menghadapi sabda nabi-nabi yang lain.
Saut kembali menyahut tentang sebuah jalan alternatif. Sebagaimana di Selandia Baru, dimana terdapat dua arus yang sama kuat antara sastrawan akademis dan satrawan kafe. Sastrawan akademis biasanya mempublikasikan karya mereka lewat majalah-majalah sastra sedangkan sastrawan kafe ini biasa membacakan sajaknya di kafe-kafe. Dua kubu ini memang saling berantem juga tetapi bisa bersama-sama berjalan dan sama-sama meriahnya. Tidak ada keharusan suatu karya diterbitkan. Ada semacam tradisi membaca karya secara lisan sebagai alternatifnya.
Para penyair yang tidak ingin memberhalakan sastra koran harus mampu menciptakan arus lain seperti live poetry. Sayangnya, tradisi ini belum terlalu kelihatan di sini. Bayangkan bagaimana meriahnya ketika para penyair bisa saling membacakan karyanya di kafe-kafe, di depan wanita-wanita cantik yang datang minum kopi. Arus ini bisa menjadi semacam perayaan bagi mereka-mereka yang ingin hidup di luar sastra koran. Lalu, ketika tradisi ini bisa berjalan di sini, sanggupkah para penyair itu tidak diundang ke acara-acara penerimaan hadiah sastra? Sanggupkah mereka untuk tidak dinilai dengan penghargaan-penghargaan? Memang ada persyaratan utama yaitu menjadi bintang merah komunis. “Hahaha....,” Saut kembali tertawa, kali ini lebih renyah.
Derai tawa berat Saut disahut yang lain. Saya menutup catatan kecil ini. Kembali merenung-renung. Perang kalian itu masih terlalu abstrak. Saya rasa biar saya di sini saja. Belum waktnya saya ikut perang-perangan sementara persoalan puisi saya pun belum terselesaikan. Benar juga, bagaimana ingin berkata kalau masih banyak persoalan dengan kata? Bagaimana mau maju perang jika tak punya senjata? Saya merasa tak pernah cukup hingga tak pernah berani keluar. Dan saya juga belum memutuskan akan berdiri di kubu yang mana. Akan saya leburkan saja dua kubu itu jadi satu dan menjelma puisi Ratna. sementara itu, biarlah saya melanjutkan ini dulu, mencari diri sendiri dengan lirisisme, romatisisme, puisi-puisi gombal tentang kesepian yang kekanak-kanakan.
Puisi adalah ekspresi. Tak ada yang salah dengan semua puisi. Berat memang ketika membawa kuasa dan politik dalam puisi. Akan ada yang dominan dan akan ada yang menjadi korban. Pasalnya, hukum alam memang mengatakan demikian. Jangan-jangan yang menghegemoni itu tak sadar telah menindas belahan jiwanya. Biarlah dunia kalian menjadi seru dengan ramainya resistensi puisi-puisi anak muda penuh ironi. Biarlah bapak-bapak pembaca harian minggu sedikit dilenakan dengan sajak-sajak indah sastra koran. Bukankah itu baik juga menjadi hiburan setelah seminggu jadi buruh, nguli cari uang. Sayangnya, memang harus mencapai titik seimbang. Mengalahkan yang dominan memang tak mudah dan inilah yang sedang diperjuangkan para penyair muda di sini.
Tentang alternatif membacakan sajak itu, sepertinya dari dulu saya juga sudah sering melakukan. Sayangnya hanya didengar hujan, didengar malam.
Yogyakarta, 4 Mei 2011
Senin malam, 2 Mei 2011 di sebuah warung kopi, seorang penyair muda Y. Thendra BP melaunching buku kumpulan puisi keduanya. Puisi-puisi ini ditulis sejak tahun 2004-2011. Sebuah usaha yang berat katanya untuk membuat puisi-puisi ini. Hadir sebagai pemantik diskusi adalah Saut Situmorang dan Alwi Atma Ardhana.
Kalau ada orang bersuara berat dengan kaleng-kaleng bir di depannya itu, saya sudah menduga kalau nantinya pembicaraan ini akan mengarah pada perang-perangan yang dimainkan para penyair di dunia mereka. Dunia perang kalian memang sering saya dengar dari kabar yang dibawa angin, beberapa esay Saut dan wacana postkolonial yang sering didengung-dengungkan itu. Seandainya bukan orang yang bergelut dengan sastra, tentu tidak akan tahu permaian perang-perangan seru. Entahlah, sebenarnya saya pun tak begitu paham dengan pintu yang saya masuki malam ini. Ah, setidaknya saya bisa nyangkut, pada seuntai rambut gimbal Saut.
Acara dimulai dengan pembacaan beberapa puisi Thendra. Sulur-sulur asap masih mencekik dari luar dan dalam ruangan. Saya terus merasa sesak sampai mengalihkan pandangan pada seorang pemuda berkaos merah. Dari belakang, hanya punggungnya saja yang kelihatan bertuliskan kutipan kata-kata Sutan Sjahrir yang berbunyi “Hidup yang tak pernah dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan.”
Bicara soal pertaruhan, saya sampai detik ini entah kenapa selalu kalah main judi soal cinta, bertaruh kepingan cinta. Habis sudah cinta, tinggal sedikit saja menyisa. Soal hidup, rasanya tak banyak juga yang sudah saya pertaruhkan, tak banyak pula yang bisa saya menangkan. Wajah orang-orang yang datang dalam acara seperti ini rasanya memang hanya mereka-mereka saja dan entah cerpenis atau penyair berambut gondrong diikat itu datang lagi juga. Masih dengan kaos putih yang sama seperti yang dipakai di acara malam minggu bersama Chairil di Stasiun Tugu. Kaos bergambar salah satu pemimpin dunia bertuliskan ‘he is my hero’ di bawahnya. Apakah seniman memang tak sering ganti baju? tanggalkah inspirasi ketika mereka ganti baju? Barangkali bau keringat bisa memicu urat-urat syaraf kepala untuk melahirkan karya. Tanya saya aneh-aneh saja. Barangkali juga dia punya banyak kaos yang seperti itu.
Romantisme Kedaerahan sampai Dunia Lipstik Perkotaan
Sambil berusaha untuk fokus, saya menyimak apa yang dibicarakan oleh Alwi. ‘Aku’ dalam puisi-puisi Thendra katanya tidak satu, apalagi dalam beberapa puisi yang bernada protes atau mengangkat tema-tema sosial politik. Puisi-puisi Thendra mengandung dua tema besar. Ia memiliki kesadaran sebagai manusia pasca kolonial. Ia sadar pula berada dalam masyarakat yang dihajar sampai mampus oleh liberalisme dan kapitalisme.
Penggunaan ‘aku’ yang sangat cinta merupakan bentuk ironi, melihat Indonesia sebagai succeed state. Thendra memiliki banyak ironi yang bisa dimainkan untuk menggarap tema-tema besar tersebut.
Thendra menjadi salah satu penyair daerah yang memiliki imajinasi tentang kejayaan atau romantisme masa lalu di daerahnya. Misalnya dari sajak “Manusia Utama” yang diterjemahkan dari bahasa suku Amungme yang mulai tergeser. Ia memainkan ironi yang agak romantis tentang lubang-lubang tambang, dan sebagainya.
Tema besar kedua adalah ketika Thendra banyak menyoroti masalah-masalah perkotaan. Ia menggambarkan keindahan yang hanya lipstik, hanya kebohongan. Puisinya menggunakan diksi-diksi yang khas perkotaan. Misalnya saja dalam puisi “April Haiku Chairil”, Thendra menggunakan bentuk ortodoksi Haiku untuk melukiskan imajinya.
Sayangnya, saya tak beli buku kumpulan puisi Thendra jadi mohon dimaklumi kalau tak maksimal menggambarkan penjelasan Alwi.
Masih Nyangkut di Rambut Saut
Dari kumpulan puisi Thendra, Saut berani memberikan klaim sensasional bahwa ini adalah dobrakan dalam sastra Indonesia. Bagi mereka yang hanya menjadi pemuja berhala sastra koran minggu, akan mencret baca buku ini.
Puisi Indonesia Saat ini didominasi oleh puisi-puisi lirik romantik yang bersifat otobiografi. Apa yang sudah dimulai oleh Amir Hamzah, sedikit Gunawan Mohammad, Sitor Situmorang, Rendra, Subagyo Sastrowardoyo seperti dirusak oleh puisi yang hanya indah-indah itu. Para penyair itu sering bermain dengan kata majemuk yang dia sendiri tidak mengerti. Puisi telah dirusak oleh bentuk-bentuk repetisi yang terus direproduksi oleh sampah koran minggu.
Puisi Thendra menjadi angin segar dalam phrasing-nya. Ia telah selesai dengan kata, berbeda dengan para penyair koran minggu yang masih memiliki persoalan dengan kata. Ketika penyair masih memiliki persoalan dengan kata, bagaimana ia akan bicara melalui puisinya. Kesalahan ini diteruskan oleh beberapa nama itu. Padahal, sensasi bunyi pun sebenarnya tidak bisa mereka temukan. Thendra menjadi seperti gelombang kecil karena pengaruh kuat media.
Thendra memberikan penjelasan pertanyaan salah satu peserta diskusi. Barangkali terlalu dekat mikropon itu di mulutnya sampai apa yang dibicarakan menjadi tak jelas, tak sempat terekam. Ada juga pertanyaan tentang seberapa pengaruh Saut terhadap Thendra.
Tema-tema yang diangkat Thendra sedikit banyak mungkin memang mirip dengan Saut. Tema dimana-mana memang bisa sama tetapi kata Saut yang berbeda adalah phrasing-nya, bagaimana seorang penyair mengekspresikannya.
Kembali lagi ke pembicaraan sampah koran minggu. Kata Saut lagi, mereka itu telah salah dalam melakukan eksperimen kata untuk bunyi. Mereka banyak menggunakan repetisi kata atau kalimat dalam karya-karya puisi di koran minggu. Namun, mereka menggunakan fomula yang gagal. Lisensia puitika tetapi gagal juga. Menyerap bahasa Jawa ke Melayu-Indonesia tetapi gagal lagi. Kesalahan ini menjadi sesuatu yang diulang-ulang dan secara tak sadar dianggap benar. Ini terjadi pada pengulangan kata untuk jamak yang seharusnya diulang secara utuh. Untuk menunjukkan banyak daun seharusnya ditulis dengan ‘daun-daun’ dan bukan ‘dedaun’. Kata ‘pepintu’ itu tidak ada karena yang benar adalah ‘pintu-pintu’.
Entah mengapa hal ini bisa terjadi. Mereka seperti ingin menciptakan neo-pujangga baru-isme dengan menciptakan efek bunyi pada kata yang mirip lagu. Dari kata, mereka ingin menciptakan efek bunyi seperti musik. Nada menjadi komposisi paling tinggi dan kata sepertinya ingin dipaksakan untuk bisa menyeimbangi nada.
Seorang penyair adalah kekasih kata. Ketika seorang penyair ingin melesapkan makna dari kata berarti ia tak lagi menjadi kekasih kata. Lebih kacaunya lagi, bahkan para redaktur koran minggu itu ada yang tidak menulis puisi. Tambah parahnya, para penyair ada yang menganggap status jurnalistik sebagai standar status estetik. Mereka tak bangga karyanya masuk KR tiap bulan, tapi bangga ketika bisa masuk Kompas setahun sekali. Semua puisi menjadi seragam padahal redaktur koran minggu banyak yang mempropagandakan pluralisme. Kalau tak percaya bisa dicoba. Sekali-kali tulislah puisi bernada protes seperti puisi Wiji Thukul, bisa dijamin tak akan masuk koran. Sementara itu, ketika kau tulis puisi tentang diri sendiri, pasti masuk.
Pertanyaan lagi tentang apakah Thendra berhasil memasukkan kritik sosial dengan gayanya? Alwi kemudian menjawab bahwa kata ‘tambang’ yang digunakan, mungkin menjadi haram bagi banyak MNC di Indonesia, jarang juga digunakan oleh penyair. Kulon Progo mungkin banyak dilukiskan dengan pantainya yang indah tapi jarang yang mengangkat ironi pasir besi, misalnya. Thendra telah berhasil menggunakan ironi sebagai poetry device. Puisi-puisinya datang dari satu tradisi dan ironi-ironi yang digunakannya bisa sampai ketika ia bisa memilih diksi-diksi yang justru haram.
Kata Thendra tentang puisinya yang mirip Saut itu, semua orang pernah terluka tapi yang menjadikannya beda adalah bagaimana mengungkapkan luka itu. Dia mengaku belajar dari Saut tapi tak merasa terpengaruh dengan Saut. Puisi-puisi Saut, juga khasanah pengatahuan dunianya telah ikut membuatnya kaya.
Saut menyahut bahwa isu pengaruh itu menarik, seperti dalam kumpulan puisinya “Saut Kecil Bicara tentang Tuhan”. Ada semacam kecemasan tentang pengaruh. Seorang penyair bisa beranggapan bahwa supaya dia bisa hidup dalam puisi maka harus membunuh dewa-dewa mereka sebelumnya. Kecemasan ini khas dialami oleh kaum romantik sekitar abad ke-18 yang menentang habis rasionalisme pada abad sebelumnya (ini kalau saya tidak salah dengar).
Para penyair berambisi untuk menciptakan kredo sendiri dan menemukan orisinalitas. Jamal D. Rahman pernah bertanya kepada Sutardji, “semua gaya puisi telah ditulis, lalu saya nulis apa?” Sautlah yang menjawab, “Bunuh diri saja kau,” diiringi dengan derai tawa berat Saut dan yang lain.
Apa yang sudah dilakukan Saut adalah mencoba memasukkan semua penyair ke dalam dirinya dan kemudian memberinya nama baru. Inilah yang disebut sebagai intertekstualitas. Inilah yang disebut orisinalitas bagi Saut. Mencontek itu mungkin tapi siapa yang bisa mencontek. Mencontek adalah pekerjaan yang tidak mudah, bahkan Taufik pun hanya bisa plagiat. Pengaruh itu justru harus dimiliki oleh penyair.
Kekal kemudian menanggapi bahwa pasca ia menerbitkan buku, justru banyak hantu-hantu menggagu. Penyair muda sangat sulit untuk tumbuh menjadi dirinya. Ada sistem feodal yang telah diamini bersama, bahkan oleh beberapa jaringan sastra. Seorang penyair muda kalau harus berdiri bahkan harus menghancurkan dirinya. Koran minggu tidak hanya mempengaruhi tetapi juga menakut-nakuti dan akhirnya sampai pada yang merusak itu. Ia kemudian bercerita produktifitasnya ketika masih berada di kampung halaman dan sekarang entah kenapa malah menjadi tidak produktif, mungkin setelah mengenal Kompas juga. Yang mau jadi nabi menjadi semakin sulit karena harus menghadapi sabda nabi-nabi yang lain.
Saut kembali menyahut tentang sebuah jalan alternatif. Sebagaimana di Selandia Baru, dimana terdapat dua arus yang sama kuat antara sastrawan akademis dan satrawan kafe. Sastrawan akademis biasanya mempublikasikan karya mereka lewat majalah-majalah sastra sedangkan sastrawan kafe ini biasa membacakan sajaknya di kafe-kafe. Dua kubu ini memang saling berantem juga tetapi bisa bersama-sama berjalan dan sama-sama meriahnya. Tidak ada keharusan suatu karya diterbitkan. Ada semacam tradisi membaca karya secara lisan sebagai alternatifnya.
Para penyair yang tidak ingin memberhalakan sastra koran harus mampu menciptakan arus lain seperti live poetry. Sayangnya, tradisi ini belum terlalu kelihatan di sini. Bayangkan bagaimana meriahnya ketika para penyair bisa saling membacakan karyanya di kafe-kafe, di depan wanita-wanita cantik yang datang minum kopi. Arus ini bisa menjadi semacam perayaan bagi mereka-mereka yang ingin hidup di luar sastra koran. Lalu, ketika tradisi ini bisa berjalan di sini, sanggupkah para penyair itu tidak diundang ke acara-acara penerimaan hadiah sastra? Sanggupkah mereka untuk tidak dinilai dengan penghargaan-penghargaan? Memang ada persyaratan utama yaitu menjadi bintang merah komunis. “Hahaha....,” Saut kembali tertawa, kali ini lebih renyah.
Derai tawa berat Saut disahut yang lain. Saya menutup catatan kecil ini. Kembali merenung-renung. Perang kalian itu masih terlalu abstrak. Saya rasa biar saya di sini saja. Belum waktnya saya ikut perang-perangan sementara persoalan puisi saya pun belum terselesaikan. Benar juga, bagaimana ingin berkata kalau masih banyak persoalan dengan kata? Bagaimana mau maju perang jika tak punya senjata? Saya merasa tak pernah cukup hingga tak pernah berani keluar. Dan saya juga belum memutuskan akan berdiri di kubu yang mana. Akan saya leburkan saja dua kubu itu jadi satu dan menjelma puisi Ratna. sementara itu, biarlah saya melanjutkan ini dulu, mencari diri sendiri dengan lirisisme, romatisisme, puisi-puisi gombal tentang kesepian yang kekanak-kanakan.
Puisi adalah ekspresi. Tak ada yang salah dengan semua puisi. Berat memang ketika membawa kuasa dan politik dalam puisi. Akan ada yang dominan dan akan ada yang menjadi korban. Pasalnya, hukum alam memang mengatakan demikian. Jangan-jangan yang menghegemoni itu tak sadar telah menindas belahan jiwanya. Biarlah dunia kalian menjadi seru dengan ramainya resistensi puisi-puisi anak muda penuh ironi. Biarlah bapak-bapak pembaca harian minggu sedikit dilenakan dengan sajak-sajak indah sastra koran. Bukankah itu baik juga menjadi hiburan setelah seminggu jadi buruh, nguli cari uang. Sayangnya, memang harus mencapai titik seimbang. Mengalahkan yang dominan memang tak mudah dan inilah yang sedang diperjuangkan para penyair muda di sini.
Tentang alternatif membacakan sajak itu, sepertinya dari dulu saya juga sudah sering melakukan. Sayangnya hanya didengar hujan, didengar malam.
Yogyakarta, 4 Mei 2011
Langganan:
Postingan (Atom)