Rabu, 23 Maret 2011

Antara Humor dan Teror: Kebahagiaan dalam Menertawakan Realitas

......Aja ngece karo wong ora nduwe/Raja brana yen mati ora digawa/Bebasan urip mung mampir ngombe/Ngono kui jare wong tuwa kae

Dadi uwong aja rumangsa bisa/Nanging uwong sing bisa rumangsa/Wong sing becik nyimpeno kebecikane/Ngono kuwi jare pinisepuh kae

Numpak sepur asepe metu nduwur/Ajur mumur yen awak ora diatur/Numpak motor asepe metu ngisor/Neng alam ndonya kudu budi andhap asor/Numpak becak asepe metu telak/Aja ngakak yen urip lagi kepenak.....//

Penggalan di atas adalah salah satu syair lagu yang dibawakan dengan gitar tunggal oleh seorang seniman. Sebuah syair ringan, menggelikan, tapi juga menyimpan falsafah kehidupan. Beberapa lagu senada dibawakannya dalam sebuah acara di Taman Budaya, 20 Maret 2011. Hari Minggu itu, Gerakan Rakyat Mataram atau yang diakronimkan sebagai GERAM menginisiasi launching buku kumpulan humor yang diberi judul “Merapi Tak Pernah Ingkari Monarkhi”, juga sebuah pertunjukan dagelan Mataraman.

Beberapa waktu terakhir ini, Jogja dikungkung oleh akibat erupsi Merapi. Erupsi dalam bentul lain datang dari Jakarta, ketika SBY mengatakan monarkhi bertabrakan dengan demokrasi. Betapa kuat perlawanan masyarakat Jogja terhadap pernyataan tersebut. Isu ini bisa menimbulkan gerakan rakyat yang sangat masif di Yogyakarta untuk membela penetapan Sultan sebagai gubernur dan Pakualaman sebagai wakil gubernur.

Acara ini sekaligus dapat menginsipirasi bahwa ternyata rakyat Jogja masih bisa berbahagia dengan segala bencana dan kesedihannya. Erupsi memang tak perlu disesali karena suatu hari akan membawa keberuntungan. Merapi masih dianggap sebagai gunung yangitu baik hati, memberikan 150 juta kubik material yang bisa digunakan untuk membangun jalan tol, gedung-gedung sampai pasar tradisional.

Mungkin memang yang saru bisa menjadi yang lucu. Inilah yang banyak dieksplorasi dan memang benar bahan-bahan dagelan yang saru selalu bisa mengundang tawa. Mulai dari pisuhan khas Jogja seperti, Asu, Bajinguk, Matamu, dan sebagianya sampai pada hal-hal yang menjurus. Bahan dagelannya cukup sederhana. Bisa dibilang dagelan klasik dengan trik-trik lama. Ceritanya sendiri tentang Dewi Rengganis yang gelisah menunggu kekasihnya. Ia adalah anak seorang pertapa yang ditinggal kekasihnya ke kota. Di kota sendiri, para remaja sedang sibuk menjadi peserta demontrasi bayaran. Mereka bahkan diberi pelatihan untuk berdemontrasi sesuai keinginan pemesan.

Memang lucu menerbitkan buku humor di tengah realitas yang lebih lucu tapi juga penuh teror. Humor pun hanya akan dinikmati oleh mereka yang mungkin justru tidak tahu apa yang sedang ditertawakan ketika membaca buku tersebut. Tentu tidak ada yang salah dengan semua itu.

Teror pun sebenarnya sangat mungkin untuk ditertawakan. Di balik teror masih ada humor yang selalu membuat wong cilik bisa tersenyum meski barangkali sedang menderita. Inilah yang membuat mereka masih bisa tetap bertahan di tengah badai kehidupan. Akhir-akhir ini banyak ditebar teror bom buku. Sampai putus tangan seorang polisi. Melihat adegan penjinakan bom dengan menyiram air. Beda sekali dengan film laga holywood yang selalu harus memilih antara kabel biru dan merah untuk menjinakkan bom. Dan itu selalu berhasil pada detik-detik terkahir. Alat rumah tangga dan sepatu juga bisa dikira paket bom buku. Ada orang yang kemudian suka iseng mengirimkan paket ke suatu tempat tanpa alamat pengirim. Masyarakat juga jadi suka iseng mengira setiap bungkusan adalah bom. Semakin beraneka saja kejadian yang bisa disaksikan dalam kekacauan ini.

Malam sebelumnya, berbagai komunitas bersatu menggelar acara untuk para korban erupsi Merapi. Kali ini bisa dilihat bagaimana bentuk seni untuk rakyat. Masyarakat bisa menikmati acara yang digelar dengan lesehan di atas tikar. Salah satu pertunjukan yang dihadirkan adalah pagelaran wayang rakyat yang kalau tidak salah dibawakan oleh ‘Komunitas Wayang Kampung Sebelah’. Berbeda dengan dagelan Mataraman di malam berikutnya, acara ini digelar di halaman TBY. Semua orang bisa nonton. Mulai seniman sampai pengemis jalanan. Mereka bisa ngakak terhibur dengan beragam karakter wayang kontemporer yang dibawakan oleh Ki Dalang.

Ceritanya adalah tentang penyelenggaraan acara peresmian posko korban bencana baru di sebuah desa di lereng merapi. Karakter Pak Lurah ditampilkan dengan baju safari berwarna biru dan dialognya yang selalu dibolak-balik dengan maksud sama. Pak Lurah memberi sambutan, “Hari ini kita berkumpul untuk melakukan peresmian posko. Hari ini akan diadakan peresmian posko baru sehingga kita berkumpul. Kita berkumpul di sini untuk meremikan posko baru..,” dan seterunya dengan akhiran penggalan kata yang selalu disahut bersamaan oleh penonton dan para pemusiknya.

Sedangkan karakter seorang kakek bersurjan yang diberi tugas sebagai ketua panitia selalu saja mengulang kalimat, “Kita sebagai manusia pancasila harus...,” dan seorang Modin yang diserahi tugas membaca doa selalu mengucap salam dengan sangat khas. Ia membaca doa secepat kilat dengan alasan Tuhan Maha Tahu dan memang tidak perlu berlama-lama berdoa untuk menghemat waktu. Wayang lain yang berdandan seperti Elvis Presley ngakak memegangi perut gendutnya melihat acara peresmian yang demikian aneh itu.

Di depan saya, seorang gadis dengan kelainan fisik sedang ikut juga nonton pertunjukan. Badannya penuh keringat dengan kaos berwarna merah yang sudah pudar itu. Di sampingnya, seorang anak kecil berusia sekitar tiga tahun sedang duduk juga nonton wayang. Kulitnya hitam legam dan berminyak, menggunakan gaun lusuh bermotif batik. Dari arah belakang saya bisa melihat seorang perempuan yang berpotongan rambut cepak mirip laki-laki sedang asyik membuat sketsa wayang yang dilihatnya. Saya memang sengaja mengintip sketsanya itu. Pembuat sketsa kemudian menanyai nama gadis kecil itu. Si gadis tampak malu dan tak menjawab.

Mereka bercakap sebentar. Mugkin si perempuan berambut cepak adalah seorang seniman, ia mengaku kepada si gadis berkaos pudar bahwa ia adalah seorang guru yang setiap pagi naik sepeda dari Bantul yang cukup jauh juga dari sekolah tempat ia berkerja. Saya tahu karena memang menguping pembicaraan mereka. Di samping saya lagi, tawa khas seorang bapak-bapak sering mampir di telinga. Bahkan, kadang saya menertawakan cara tertawanya itu.

Begitulah karyo, salah satu tokoh wayang mulai menertawakan kemiskinannya. Ia justru merasa bersyukur menjadi miskin selama bertahun-tahun. Itu artinya dia sudah menjadi orang miskin secara profesional. Bahkan, mungkin bisa datang ke seminar-seminar tentang kemiskinan. Meskipun bukan sebagai pembicara, Karyo mungkin bisa menjadi sample bagi orang-orang yang suka berdiskusi soal kemiskinan itu. Mereka biasanya merasa lebih tahu tentang kemiskinan daripada orang-orang yang mengalaminya sendiri.

Kalau dipikir, sudah lama juga ternyata saya tidak tertawa. Di tengah teror yang demikian mencekam. Wong cilik ternyata memang butuh humor. Humor dalam bentuk seni yang membuat orang lain tertawa. Tentu sangat berbeda dengan teater-teater khas para seniman yang membuat dahi berkerut, tak mudah dicerna dan harus berpikir sekaligus mendalami hanya untuk mengerti maksudnya. Memangnya kenapa makna harus selalu disembunyikan sedemikian rupa dalam bahasa dan simbol? Mungkin memang banyak cara berbeda untuk menerjemahkan sesuatu. Akan menjadi diskusi panjang kalau ini dilanjutkan.

Teror tak pernah berhenti, di Yogyakarta apalagi. Erupsi merapi masih mengintai. Belum jelas juga sampai sekarang keputusan tentang keistimewaan Jogja. Di tahun ini, semoga tidak terjadi sesuatu yang menyebabkan saya harus menggunakan perahu ketika pulang kampung.

Sebelum menonton pertunjukan, Sabtu, 19 Maret 2011 saya sempat mampir di rumah teman di pinggir kali Code. Saat ini, ia dan keluarganya terpaksa tinggal di tenda yang didirikan sebagai hunian sementara menggantikan rumahnya yang sampai sekarang masih sering terendam kala lahar dingin datang. Ketika kehidupan di tenda pengungsian mulai mapan, tenda tersebut justru mulai bocor dan tidak nyaman. Pun demikian, mereka sadar bahwa kehidupan mereka akan sangat sulit untuk bisa kembali seperti semula.

Pada fase awal, mereka masih sering khawatir terhadap rumah yang ditinggalkan. Keadaan mulai membuat mereka terbisa. Meletakkan pikiran dan merasa sangat ringan dengan berkata “luweh”. Kata yang menunjukkan ekspresi pasrah, mungkin juga malah putus asa. Luweh, apapun yang terjadi mereka sudah tidak peduli, asalkan tetap melakukan yang terbaik, itu sudah cukup untuk menyambung hidup. Mereka tak bisa mengharap banyak pula kepada pemerintah. Ah, luweh.

Dalam tenda ini pun mereka tetap bisa tertawa. Seperti halnya Lek Paijem (bukan nama sebenarnya, juga nama lain dalam tulisan ini). Siang itu ia masih bisa terpingkal-pingkal ketika anak laki-lakinya yang baru pulang dan kehujanan ternyata menggunakan rok kakaknya karena salah mengambil baju ganti. Tak hanya Lek Paijem, Kang Sastro, Lek Parmin, Yu Jum, Mbak Nah, semua masih bisa tertawa dalam kesedihan dan kesusahan seperti apapun. Inilah terapi paling ampuh untuk menghilangkan stress.

Cuaca tak menentu. Gemuruh terdengar, entah dari perut Merapi atau hanya halilintar di kejauhan. Lek Paijem setiap siang jadi setia memandang langit. Pandangan terpancang ke arah utara. Mendung mulai tampak. Dari depan tendanya, Lek Paijem segera bersiap ketika hujan deras turun menjelang Maghrib. Telepon genggam sudah siap di tangan. Siap mengabari suaminya yang berada di bawah, di bantaran kali untuk mengumpulkan batuan dan pasir demi menguruk meninggikan rumahnya.

Realitas penuh paradoks, sarat satire kehidupan yang semakin getir. Kehidupan kadang memang pantas dirayakan dengan tertawa. Hidup adalah bahan humor paling segar yang bisa membuat kita terpingkal. Di lain sisi, kadang homor juga mengandung teror. Kadang teror bisa menjadi humor. Ketakutan, kegelisahan, betapa takut kita kehilangan dan betapa kita bisa menertawakannya sesuka hati, apapun itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar