Selasa, 01 Maret 2011

Jades dalam Kemasan Pertunjukan Teater Non Aktor

Malam minggu kembali tiba, 26 Februari 2011. Inilah keunikan Jogja. Malam minggu selalu dipenuhi oleh bermacam-macam pertunjukan yang bertebaran dimana-mana. Sepanjang perjalanan dari kost saya di Jetispasiraman menuju Taman Budaya, sudah ada beberapa pertunjukan musik, mulai dari band masa kini sampai dangdut asoy oke punya. Di Taman Budaya, malam ini ramai sekali. Ada tiga acara digelar di jam yang sama. Di gedung bagian atas ada pertunjukan musik Kla-Asik. Suguhan musik klasik yang tentunya bisa menentramkan hati. Di gedung sebelahnya, ada pemetasan tari dari SMKI sebagai bentuk uji kompetensi tingkat tiga, kalau tidak salah berjudul “Pengakuan Srinthil” yang dipentaskan di malam sebelumnya, dan “Pring Warangan” yang dipentaskan malam ini. Di gedung amphiteater bagian belakang, ada pertunjukan teater berjudul “Jades” dari SMAN I Wates.

Saya memilih menonton teater dengan alasan sangat sederhana. Ini sudah tanggal tua dan hanya teater inilah yang gratis. Saya mengambil tempat duduk di tangga nomor tiga dari depan dengan harapan bisa menjadi pengamat yang baik. Konsep panggungnya cukup terbuka sehingga saya mulai membayangkan sebuah teater keaktoran dengan eksplorasi gerak yang bisa dimaksimalkan. Setting panggungnya cukup sederhana. Hanya ada selembar kain putih bercipratan warna merah, dua segitiga sama kaki yang dipasang di bagian belakang panggung kiri dan kanan, dan sebuah meja panjang dengan peralatan perkusi di atasnya. Peralatan perkusi yang dimaksud di sini adalah sebuah tong besar berwarna merah dan beberapa kaleng biskuit berbeda ukuran.

Dengan melihat panggunya, saya masih belum bisa menebak apa yang akan ditampilkan. Saya pun tak mendapatkan leaflet yang biasanya diberikan sebelum acara untuk memberikan gambaran pementasan kepada penonton. Musik keras dengan beat cepat dilantunkan terus menerus, saya mulai muak. Tiba-tiba lampu padam. Seseorang membawa megapon dan berbicara. Ngomel tak jelas tentang lampu panggung yang tiba-tiba dimatikan. Dia pun, pemuda dengan baju lurik coklat khas Jawa ini menggugat panitia apakah benar-benar ingin menyajikan suatu pertunjukan. Monolognya memang lumayan menarik perhatian, beberapa penonton menyahut apa yang dikatakan pemuda ini. Saya mengira akan ada yang lucu-lucu begini. Tapi, baca saja lanjutan ceritanya.

Memang saya tak ingin berharap banyak malam ini. Hanya ingin terhibur agar ruwet dan kesumpekan bisa diurai di akhir pekan. Dalam poster dikatakan bahwa teater berjudul “Jades” yang disutradarai oleh Puthut Buchori ini akan menampilkan cerita Jalan Api dan Elegi Sinta. Dalam benak saya, cerita ini akan banyak menampilkan monolog Sinta tentang kesetian, cinta dan pengorbanan. Di otak saya memang telah berjejalan cerita Ramayana. Cerita klasik yang cukup berat dengan pesan-pesan dalam. Saya tidak tahu bagaimana pendapat penonton yang kurang paham tentang Ramayana sebelumnya. Jadi, kembali lagi bahwa apa yang saya tuliskan adalah berawal dari sudut pandang “aku”. Ternyata sulit juga untuk keluar dari sudut pandang ini.

Karena ini adalah teaternya anak SMA, maka saya pun akan menjelma sebagai anak SMA. Tentu ini tidak mudah. Otak saya sudah teracuni banyak hal melampaui pikiran anak-anak SMA. Setidaknya, saya masih bisa mencuri dengar komentar-komentar anak SMA di depan saya, dari tadi ribut terus tak bisa diam. Mereka adalah remaja yang masih senang berkumpul dengan teman-teman dan mengomentari segala hal yang melintas di depan mata.

Ternyata ini memang bukan teater yang menonjolkan keaktoran. Begitulah yang tertulis di leaflet yang saya dapatkan di akhir pementasan. Sedikit terkejut memang. Apa yang saya bayangkan tak ada yang muncul di panggung. Pertunjukan ini secara artistik memasukkan unsur teater gerak (akrobatik), puisi, fire dance dan modern dance. Aneh. Inilah kata pertama yang bisa melukiskan kesan saya. Tapi mungkin cukup menghibur bagi penonton lain yang sebagian besar memang anak SMA. Tata musiknya lebih banyak didominasi musik DJ beritme ajep-ajep. Sedangkan tata artistiknya banyak menggunakan lampu-lampu berkelap-kelip dalam bentuk tongkat dan kembang api.

Bagian atau kanda akhir dari ramayana dalam pertunjukan ini melukiskan cerita ketika Sinta diculik oleh Rahwana dan ditempatkan di taman Argasoka. Seiring berjalannya waktu, Sinta mulai akrab dengan anak-anak Alengka dan mengajari mereka budi pekerti. Meskipun demikian, ini tentu saja tidak menunjukkan bahwa Sinta akan menerima Rahwana. Setidaknya, inilah sinopsis cerita dalam leaflet. Leaflet tersebut juga mencantumkan bahwa Rama berasal dari Astinapura. Dalam leaflet juga disebutkan bahwa yang meragukan kesetiaan Sinta adalah para pejabat Astinapura. Ini yang ngawur. Saya ingin membenarkan bahwa Rama berasal dari Ayodya, anak Dasarata yang terusir dari negerinya sendiri karena keserakahan sang ibu tiri. Rama sendirilah yang meragukan kesucian cinta Sinta, sedangkan para sahabat dan pengikutnya justru sangat menyayangkan sikap tersebut. Ksatria peragu ini seperti melemparkan kelemahan dirinya sediri pada kekuatan penderitaan yang dialami Sinta.

Sebagai penikmat, saya tidak bisa netral dalam menilai. Saya sudah membawa nilai-nilai sendiri yang terkonstruksikan sedemikian rupa. Apa yang saya lihat dalam pertunjukkan tidak berkata seperti kisah dalam otak saya. Sebelum membaca sinopsis cerita, saya benar-benar tidak bisa menangkap alur ceritanya. Pertunjukan ini diawali dengan dua orang siswa yang menari-nari dengan gulungan kain putih di tengah panggung dan kostum yang terbuat dari plastik hitam dan putih yang dililitkan di tubuh mereka. Mungkin saja ini bermaksud menggambarkan sosok-sosok raksasa Alengka.

Tarian mereka diiringi oleh seorang tokoh yang memainkan biola sambil menari juga. Sayangnya nada dari gesekan biolanya banyak yang pecah sehingga bunyi yang dihasilkan tak bisa membangun suasana muram atau mungkin kesepian Sinta. Cukup lama juga mereka menari sampai muncul seorang pemain berpakaian serba hitam dan berkata, “kesetiaan adalah cinta, cinta yang membutuhkan pengorbanan.” Setelah itu, mulailah muncul para penari sambil memukul-mukul kaleng biskuit. Cukup banyak juga penari ini memenuhi panggung dan masih terus mengalir dari dalam. Mulailah mereka memeragakan tarian modern, disusul dengan tarian dengan menggunakan tongkat yang bisa berkelap-kelip. Ini apa? Saya masih belum bisa menerjemahkannya.

Beberapa penonton di sebelah saya banyak yang tertawa dengan tarian mereka. Musik tiba-tiba berhenti. Seorang pemain yang menari menghentikan tarianya. Salah satu dari mereka ada yang terus saja tersenyum sambil memerlihatkan gigi, sampai beberapa lama dan inilah yang meledakkan tawa penonton. Penonton sedikit merasa ngeri juga ketika terdapat gerakan tarian yang membahayakan seperti membentuk piramid, meloncat naik melewati tembok, bergelantungan di tiang lampu, dan sebagainya.

Muncullah sinta dengan pakaian serba putih dan bersabuk kain merah. Sinta hanya diam duduk terdiam di salah satu segitiga yang berbalut kain putih juga, duduk dengan pandangan kosong menerawang. Rahwana datang merayu. Sosoknya digambarkan dengan wayang berbentuk aneh. Bukan seperti raksasa menyeramkan, tetapi seperti orang gendut yang cacingan. Wayang ini dimainkan oleh seorang gadis berpakaian serba hitam tadi, sementara suranya berasal dari suara seseorang dengan mikropon.

Demikianlah cerita berlanjut sampai rama mengirimkan Anoman. Ini Anoman justru berkostum hitam. Sah-sah saja dalam pertunjukan, semua boleh tak sesuai pakem. Semua bisa dibolak-balikkan asal dengan alasan yang jelas tentunya. Tak terbaca kenapa Anoman di sini berkostum hitam. Anoman menyampaikan cincin dari Rama kepada Sinta. Ia akhirnya tertangkap prajurit Alengka, ingin dibakar tapi justru membakar seluruh istana. Singkat cerita, Rama berhasil mengalahkan Rahwana dan datang menjemput Sinta. Rama meragukan kesetiaan Sinta.

Inilah klimaksnya. Sinta membuktikan kesetiaannya dengan menceburkan dirinya ke jalan api. Teknik yang digunakan cukup lumayan. Sinta masuk ke dalam salah satu segitiga. Di balik segitiga itu terdapat lubang untuk keluar. Segitiga itu kemudian dikerumuni oleh pemain dengan kostum putih-putih yang mungkin berperan sebagai api suci. Sinta keluar panggung bersama para api dengan mengganti kostumnya yang telah disiapkan dalam segitiga. Akhirnya, Sinta bisa keluar dari sisi panggung yang lain, di sela-sela penonton, sementara segitiga dimana dia berada sebelumnya telah terbakar.

Tentang teater non aktor, seperti biasa saya tak tahu banyak. Sebagai penikmat, saya hanya bisa berasumsi dan berapologi. Tentu akan berbeda dengan penikmat lain yang di otaknya sudah tertata rapi berbagai macam teori dan dramaturgi. Usaha saya untuk menjelma sebagai anak SMA pun gagal. Teater non aktor mungkin memang lebih menonjolkan sisi lain seperti pengungkapan dialog dengan gerak. Saya tidak bisa membandingkankan dengan sebuah pertunjukan teater tari Garasi yang berjudul “Jejalan” yang pernah saya tonton sebelumnya. “Jades” ini masih terkesan kasar dalam penggarapannya, atau mungkin juga karena para pemainnya masih remaja. Dari unsur cerita, sepertinya agak terlalu atau bahkan sangat disederhanakan. Tentu ini sangat dimaklumi untuk kelas SMA. Sebuah proses menarik ketika seni bisa tersangkut dalam roh anak-anak muda. Merekalah yang selanjutnya mungkin bisa menjadi pelaku seni masa depan. Regenerasi memang sangat perlu untuk dilakukan agar seni terus hidup dan bisa menghidupi.

Teater non aktor, mungkin memang lebih ringan bagi anak-anak SMA sebagai tahap pembelajaran. Mereka tidak perlu menghafal naskah yang begitu panjang. Bentuk ini juga ingin mengubah persepsi orang. Teater ternyata bisa dipentaskan dalam persiapan singkat dengan kemasan segar dan menyenangkan. Kemudahan yang ditawarkan inilah yang mengilhami Bandung Bondowoso Ready on Stage (Bros Jogja). Komunitas ini menyediakan pelayanan jasa untuk kebutuhan panggung dengan segala pernak-perniknya.

Mereka bisa menyiapkan mulai dari tim kreatif, sutradara, tim management, tempat pertunjukan, tim artistik sampai desain media publikasi. Lengkap sekali. Saya baru tahu informasi ini juga dari leaflet yang diberikan. Untuk sekolah yang ingin pentas teater dalam waktu singkat, komunitas ini juga menyediakan jasa pelatihan. Bayangkan saja, untuk paket 15 hari, seharga Rp 10.000.000,00; untuk paket 10 hari sebesar Rp 7.500.000,00; untuk paket 5 hari hanya Rp 5.000.000,00; dan paket workhshop dihargai Rp 3.000.000,00. Silakan saja, bisa dipilih paket yang mana. Paket ini memang praktis, tapi yang praktis dan pragmatis ini sekali waktu bisa membahayakan karena mengabaikan unsur proses.

Mereka ini memang orang-orang yang bisa membaca peluang. Jogja memang surga bagi para seniman. Sampai-sampai seni juga bisa dikomersialisasi macam begini. Sayangnya, paket-paket ini mungkin tidak menjanjikan sebuah pembelajaran teater yang sebenarnya bagi anak-anak muda. Belajar teater adalah proses untuk mengenal diri sendiri melalui berbagai tokoh yang diperankan. Proses ini sama sekali tidak bisa dilakukan dengan instan.

Konsep pertujukan non teater barangkali memang sah-sah saja dilakukan. Tapi dalam “Jades”, penerjemahan cerita Sintanya sedikit aneh. Dialog mungkin ada tapi vokal pemain sangat lemah, apalagi untuk panggung terbuka. Vokal mereka jadi tak terdengar jelas dengan banyaknya suara di sekitar panggung yang masuk. Teater surealis ini seharusnya tetap ditunjang dengan dialog atau monolog yang jelas untuk menggambarkan alur cerita. Kasihan juga melihat gerakan para pemain di panggung yang sebagian besar menjadi bahan tertawaan. Saya merasa tidak punya kapasitas untuk menilai. Tapi setidaknya saya bisa mengukur kepuasan saya sendiri ketika menonton pertunjukan. Dan untuk “Jades”, mohon maaf sekali karena saya sedikit kecewa karena memang benar-benar tidak bisa membaca alur ceritanya. Ini juga karena kesalahan saya tidak membaca leaflet sinopsis cerita sebelumnya. Tapi, mungkin bisa ada dalang yang menceritakan kisahnya di awal pementasan.

Sinta, apakah yang bisa saya katakan tentangnya. Kesetiannya hanya dibayar dengan keraguan Rama. Pengorbanan itu sebenarnya tak ada artinya. Ah, mengapalah cerita ini mesti begitu terlalu disederhanakan, padahal naskah ini benar-benar tidak sederhana. Kisah Ramayana bisa dibaca dengan bahasa sastra yang indah dalam “Anak Bajang Menggiring Angin” karya Sindhunata atau gaya dekonstruksi yang lebih kritis dalam “Kitab Omong Kosong”-nya Seno Gumira Ajidarma. Jalan api, elegi cinta, semua memang omong kosong. Bagaimanapun, saya juga sedang menunggu kabar dari Togog tentang kapan datangnya seorang ksatria yang benar-benar ksatria yang akan membebaskan saya dari sini.

Mendung menggangtung, mengantarkan geletar halilintar di kejauhan. Saya akan pulang mengantarkan hujan, membiarkan liris iramanya menemani Sinta yang kesepian di sudut jiwa paling terpencil dalam diri saya. Sinta yang sedang tidak menunggu kedatangan Rama. Sinta hanya sedang menunggu takdir dan jalan apinya tiba. Biarkan dia moksa daripada harus mendampingi keraguan sampai datang kematiannya.

2 komentar:

  1. Malam itu, gerimis jogja silih berganti dengan derasnya hujan. Tapi aku datang ke TBY dengan berharap bisa menonton teter Jades ini.

    Lalu, di TBY aku terjebak pada kerumunan penonton Konser, yang kemudian aku serta-merta merasa kebingungan sendiri.

    Awalnya males datang dlm kondisi cuaca seperti itu, tapi aku sudah janjin sm seorang teman untuk nonton dan bertemu smbil mendiskusikn banyak hal ttg dunia seni. Akhirnya aku datang dan menunggunya di kantin .. dan nyatanya dia tidak datang juga.

    Aku tidak jadi menonton Jades, tidak jadi menonton konser, tidak jadi bertemu teman, tapi aku masih merasa memiliki kesetiaan akan sebuah janji

    Bukankah inilah teater yang sesungguhnya?

    BalasHapus
  2. ow, datang juga to...
    dan seorang seniman memang harus setia...

    BalasHapus