Selasa, 01 Maret 2011

Mencari Sisik Melik Sastra Eksil

Awan hampir runtuh tak kuat menyimpan anak-anak hujan di kandungannya. Sekitar pukul tiga kurang lima belas menit, saya iseng pergi untuk mengikuti diskusi di Perpustakaan Kota Yogyakarta. Sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh komunitas Kembang Merak ini bertajuk “Eksterioritas Sastra Eksil Pasca 1965”. Pembicaranya cukup membuat tertarik. Salah satunya adalah Dr. Katrin Bandel, seorang dosen Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma dan Iryan Ali. H, mahasiswa Sejarah FIB, UGM yang mewakili komunitas Kembang Merak.

Sedikit lewat dari jam tiga sore, acara dibuka. Sudah lama saya tak melihat orang-orang aneh seperti mereka yang mengikuti diskusi ini. Betapa beragamnya manusia. Mulai dari yang gondrong sampai yang rapi, orang-orang ini memang kadang selalu ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah seniman dengan caranya sendiri-sendiri.

Materi pertama disampaikan oleh Iryan atau yang akrab disapa Ian. Dalam makalahnya, yang dikatakannya sebagai makalah main-main, ia membahas tentang karya Utuy Tatang Sontani sebagai salah satu bentuk karya sastra eksil. Dia juga membahas tentang istilah eksil melalui sebuah cerita untuk mengawali pemaparannya.

Beberapa hari yang lalu sempat ada kabar bahwa FPI akan mengikuti jejak Mesir untuk melakukan kup atau kudeta kepada pemerintah. Hal ini dilakukan terkait dengan kasus Ahmadiyah. Padahal, kelompok Ahmadiyah saat ini menjadi orang-orang yang tertekan. Mereka tidak bebas melakukan ibadah maupun kegiatan lain di kampungnya sendiri. Pun apabila kup ini benar-benar dilaksanakan, tentu saja akan gagal, kemungkinan adalah karena FPI kalah jumlah. Pemerintah akan balik menenekan FPI. Keadaan akan menjadi berbalik dan FPI menjadi obyek yang tertekan di kemudian hari. Lalu, bagaimana dengan TKI di Timur Tengah, mereka juga merasa tertekan karena mungkin tidak bisa pulang.


Istilah eksil ini menjadi penting ketika melihat proses kekuasaan yang menekan hak-hak warga negara sehingga mengakibatkan terjadinya alienasi dan isolasi. Eksil adalah pengisolasian atau pengebirian terhadap hak-hak sosial. Banyak sekali warga negara Indonesia yang telah terisolasi, baik di luar negeri maupun di negeri sendiri. Sastra eksil cenderung dimaknai atau berkaitan dengan peristiwa 1965. Padahal, sebelumnya sudah ada fenomena pengasingan seperti Boven Digul. Pada tahun 1960-an, kondisi juga banyak memaksa warga negara Indonesia untuk memilih apakah akan tetap di Indonesia atau tinggal di luar negeri.

Penggunaan istilah eksil yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris ini berarti orang yang dipaksa oleh pemerintah untuk ke luar negeri. Pengertian inilah yang kemudian menjadi rujukan penggunaan istilah sastra eksil. Menjadi suatu pekerjaan berat untuk mendaftar karya-karya sastra eksil yang ditulis di luar negeri. Banyak sekali sastrawan yang tidak bisa pulang ke Indonesia setelah peristiwa 1965. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana memposisikan karya sastra eksil itu sendiri? Muncullah istilah eksterioritas, yaitu ketika seorang sastrawan berada di luar negeri. Melalui karya sasta, akan tergambarkan bagaimana dia menilai negerinya sendiri, menjadi juru bicara negerinya di negeri barat atau akan memunculkan sastra pasca kolonial seperti yang dilakukan oleh imigran India.

Salah satu contohnya adalah Utuy Tatang Sontani. Dia adalah sastrawan eksil yang sebelumnya pernah tinggal di Tiongkok. Karena merasa tertekan dengan pemerintah di sana, Utuy pindah ke Uni Soviet. Utuy banyak sekali menulis karya sasta, namun hanya dua karya yang sampai di Indonesia. Salah satu cerpennya berjudul “Anjing” merupakan luapan kekesalannya terhadap ke-eksilannya. Cerpen ini adalah ungkapan kesepian Utuy. Cerpen ini merupakan cerita orang lain yang sebenarnya merefleksikan kehidupan Utuy sendiri. Ia merasa tertekan di Tiongkok karena pemerintah mengharuskannya untuk mempelajari kembali gagasan Mao, mencari kesalahan kenapa komunisme bisa gagal diterapkan di Indonesia. Eksil di Tiongkok mengalami perpecahan pada waktu itu. Ada pihak yang mendukung dan menentang pemerintah. Utuy termasuk salah satu yang menentang dan mencoba mempersonifikasikannya ke dalam cerpen “Anjing”.

Motif keberadaan eksil juga berbeda-beda. Kita bisa membandingkan antara eksil India dan Indonesia. Dalam kasus India, eksil adalah pelarian. Mereka mendapatkan perlakukan rasial dari pemerintah yang dituju. Mereka kemudian banyak menulis dalam bahasa Inggris, tema-tema atau ungkapan atas perlakukan rasial dari Eropa yang mereka terima. Hal ini berbeda dengan eksil dari Indonesia, meskipun tidak tahu validitas datanya, eksil Indonesia cenderung mendapatkan perlakukan yang baik, ada jaminan dari pemerintah, dan sebagainya.

Pada intinya, terdapat perbedaan perlakukan antara eksil India dan Indonesia. Memang kadang menjadi sesuatu yang ironis. Tokoh-tokoh besar dari Indonesia dengan karya-karyanya seperti Utuy, Sobron Aidit, dan sebagainya, justru dirasakan asing di negerinya sendiri. Karya-karya mereka kemungkinan lebih dikenal di luar negeri daripada di negerinya sendiri.


Mendefinisikan Sastra Eksil dalam Wacana Post Kolonial

Pemaparan berikutnya disampaikan oleh Dr. Katrin Bandel. Saya pernah membaca namanya dari esay yang ditulis oleh Saut Sitomorang. Katrin adalah salah seorang kritikus sastra dengan pisau analisis yang sangat tajam. Betapa terkejut, ketika mendengar pernyataan Katrin bahwa ia dan Saut ternyata adalah pasangan suami istri. Saya jadi membayangkan bagaimana dua orang kritikus sastra ini berkomunikasi sehari-hari. Apakah mereka bicara selalu dengan teori yang aneh-aneh itu? Barangkali mereka memang cocok. Saya jadi teringat sosok Saut, sastrawan dan kritikus sastra yang selalu menenteng botol bir kemana-mana. Seakan-akan puisi yang bagus hanya akan tercipta ketika pengarangnya benar-benar mabuk. Cukup sekian acara membayangkan dan keterkejutan, mari kita kembali pada sastra eksil.

Katrin menyampaikan bahwa ia akan membahas makna eksil secara lebih luas, bukan membahas satu per satu karya sastra eksil. Bahasannya juga akan dikaitkan dengan wacana post kolonial. Pada dasarnya memang tidak ada kesepakatan tentang istilah eksil. Dalam esay Saut, sastra eksil juga disebut sebagai sastra rantau. Tetapi, apakah kedua hal tersebut bisa disamakan? Dalam esay Saut juga disebutkan bahwa sastra eksil di Indonesia berkaitan dengan karya sastra korban 65. Namun sepertinya definisi ini sangat terbatas.

Eksil merupakan dislokasi atau pemindahan seseorang ke negara lain. Dalam hal ini ada unsur terpaksa, tetapi ada juga yang tidak seperti Sitor Situmorang. Hal yang kemudian dibahas adalah persoalan keterpaksaan dalam definisi eksil. Keterpaksaan ini dalam konteks peristiwa 1965 merupakan faktor politik. Mereka tidak bisa pulang karena takut dibunuh atau dipenjarakan. Ada faktor represi di sini.

Bagaimana dengan buruh migran? Mereka juga terpaksa, tetapi bukan karena faktor politik melainkan paksaan ekonomi. Orang Indonesia yang menikah dengan laki-laki asing kemudian tinggal di negeri suaminya, hal ini bisa juga dikarenakan terpaksa. Undang-undang di Indonesia dirasa cenderung menyulitkan untuk hal-hal seperti ini. Ada aturan bahwa istri harus ikut suami, suami lebih mudah mencari nafkah di negara asalnya, dan sebagainya yang menyebabkan adanya unsur keterpaksaan. Dalam hal ini, tampak juga adanya relasi kekuasaan.

Dalam antologi “Creativity in Exile” yang di editori oleh Michael Hanne, sulit mendefinisikan konsep eksil. Muncullah pertanyaan apakah definisi eksil hanya berangkat dari alasan politis. Bagaimana dengan alasan ekonomi. Alasan ini lebih banyak berperan untuk saat ini. Ekonomi dan politik sendiri juga tidak bisa dipisahkan secara rapi. Orang miskin bisa lebih banyak muncul di negara yang korup atau korban peristiwa 65 yang kemudian menjadi dimiskinkan oleh negara dengan aturan-aturannya yang diskriminatif.

Sastra eksil dalam wacana post kolonial menjadi menarik untuk dikaji. Wacana post kolonial mencoba mengkaji adanya relasi kekuasaan global yang merupakan kelanjutan dari kolonialisasi pada masa sebelumnya. Misalnya terkait dengan buruh migran. Buruh migran Indonesia banyak yang mengais kehidupan di Arab. Tetapi, tidak ada orang Arab yang menjadi buruh migran di Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang.

Lalu bagaimana dengan sastra? Kembali Katrin memaparkan esay Saut tentang kumpulan puisi yang berjudul “Di Negeri Orang” terbitan Lontar. Saut menyayangkan bahwa para penyairnya justru banyak bernostalgia tentang kampung halaman, ketidakberesan di negerinya sendiri, dan bukan pengalamannya hidup di negeri yang baru.

Selain itu, masih banyak teks yang bisa dikaji. Misalnya, relasi kuasa yang tampak pada karya buruh migran di Hongkong. Mereka menulis pengalaman mereka selama menjadi buruh migran. Hongkong merupakan negara yang cukup baik dalam memberikan jaminan terhadap buruh migran, fasilitas dan pendidikan yang baik. Hal ini berbeda seperti yang terjadi di Arab. Banyak buruh migran di Arab yang mungkin tidak bisa baca tulis sehingga tidak mungkin bagi mereka untuk menulis karya sastra tentunya.

Para buruh migran ini mempersoalkan pengalaman mereka selama bermigrasi. Mereka menuliskan pengalaman pahit ketika berelasi dengan majikan atau misalnya kegelisahan ketika berhadapan dengan budaya asing. Cerpen “Di Balik Pohon” karya Maria Bo Niok menceritakan pengalaman seorang buruh migran asal Indonesia yang kaget dan jijik ketika menyaksikan kemesraan antara dua orang perempuan di sebuah pantai di Hongkong. Contoh lain adalah karya NH Dini yang menceritakan kehidupan di Eropa dengan lebih bersifat otobiografis, puisi Heri Latief yang mengisahkan hidupnya di Belanda dan Jerman atau Novel “Ayat-Ayat Cinta” karya Habiburrahman El Shirazy yang mengisahkan kehidupan mahasiswa Indonesia di Mesir. Beberapa contoh ini berusaha untuk memaparkan pengalaman orang Indonesia di luar negeri.

Bagaimana menyikapi atau mendekati karya tersebut dalam kacamata post kolonial? Hal yang harus dilakukan kemudian adalah melihat sejauhmana pengarang sadar akan relasi kekuasaan global ketika mereka mengalami dislokasi. Lebih jauhnya, ada kritik yang disampaikan oleh pengarang dalam karya tersebut.

Sedikit membahas “Ayat-Ayat Cinta”, novel ini memang banyak membahas persoalan Islam dalam dunia global. Ada persoalan Islamopobhia atau orang yang benar-benar takut terhadap Islam yang dicoba untuk diangkat. Namun, Katrin sedikit kecewa karena hal ini dipersoalkan dengan terlalu menyederhanakan persoalan. Terdapat sebuah plot yang menceritakan ketika Fahri bertemu dengan Alicia yang berpakaian ketat, terbuka, dan sebagainya. Mereka bertemu dan bercakap selama 15 menit. Fahri kemudian menulis buku tentang Islam dan perempuan dalam semalam. Berkat buku dan penjelasan Fahri tersebut, Alicia langsung berubah menjadi seornag muslimah yang taat. Plot ini terasa konyol. Novel ini memang mempersoalkan relasi kekuasaan global yang sudah dihadirkan tetapi tidak tuntas.

Puisi Heri Latief merupakan contoh yang bisa membuat kita mempertanyakan definisi eksil. Heri Latief ini sebenarnya bisa pulang ke Indonesia tanpa masalah. Tetapi setelah pulang, dia justru tidak terbiasa dengan kehidupan di Indonesia, baik itu gaya hidup maupun budayanya. Salah satu puisi yang memperlihatkan hal tersebut terlukis dalam puisi yang berjudul “Aku Anak Rantau”.


Sesi Diskusi: Perdebatan tentang Utuy dan Definisi Eksil

Sesi pertanyaan dan diskusi mulai dibuka. Seorang mahasiswa sejarah dari FIB bertanya. Sebelumnya ia menyatakan sebuah kerangka pemikiran bahwa karya sastra akan menyampaikan makna dalam tingkat yang berbeda. Pertama adalah objective meaning terkait dengan gaya bahasa, estetika, dan sebagainya. Kedua adalah expressive meaning terkait dengan ruh atau segi psikologinya. Ketiga adalah documentary meaning yang menyangkut konteks sosial penciptaan. Utuy dalam cepennya yang berjudul “Anjing” tersebut, dengan hanya melihat pada objective meaningnya, apakah bisa menjadi syarat agar disebut eksterioritas atau eksil? Karya Utuy merupakan salah satu anomali. Ia menolak hegemoni ideologi timur yang menjadi ideologinya di awal.

Selanjutnya, seorang bapak yang sedang menunggu anaknya les juga mengajukan pendapatnya. Ia khawatir bahwa definisi eksil kemudian sampai pada pemahaman ‘asal’ luar negeri. Semua karya yang ditulis di luar negeri kemudian bisa disebut eksil. Lalu apa bedanya dengan konsep diaspora? Istilah eksil seharusnya tetap mengandung nada politis, dan ini yang penting. Kemudian, apakah sastra eksil ini hanya muncul pasca 1965? Padahal, menjelang Soekarno jatuh, Sutan Takdir Alisyahbana memilih untuk tinggal di Malaysia karena dianggap anjing kapitalis.

Bapak ini juga pendapat bahwa eksil orang-orang Indonesia itu, walaupun sudah 30 tahun di negeri orang, tetap menulis menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini berbeda dengan seorang eksil dari Libanon (saya tidak terlalu jelas Bapak ini menyebutkan nama siapa) yang pindah ke Perancis. Karyanya tidak lagi ditulis dalam bahasa Arab melainkan menggunakan bahasa Perancis. Demikian juga dengan Khahlil Gibran yang juga menulis dengan menggunakan bahasa Inggris. Sebelum “Ayat-Ayat Cinta” juga sebenarnya banyak karya sastra yang ditulis di Mesir.

Seorang pemuda yang duduk di bangku nomor dua dari belakang juga mengajukan pendapatnya. Ia mengaku tidak terlalu paham dengan sastra eksil. Utuy baginya adalah seorang sastrawan top. Banyak sastrawan Indonesia yang kalah sama Utuy, bahkan Usmar Ismail, Motinggo Busye, dan sebagainya. Utuy mampu bersanding dengan sastrawan internasional seperti Chekov. Ia menanyakan kenapa karya Utuy yaitu Si Kabayan yang diterbitkan oleh Lekra justru dipentaskan oleh kelompok teater yang dipimpin oleh Taufik Ismail?

Seorang lagi bertanya. Pemuda ini mengaku orang desa dari bantul. Ia mengaku bukan sastrawan. Ia juga tak sering membaca sastra dan hanya melakukannya atau mengikuti diskusi untuk mengisi waktu luang karena dia masih pengangguran. Ketika ada pembahasan tentang sastra eksil, dia berharap akan ada sesuatu yang menginspirasi. Namun, dalam pertemuan ini ia merasa tidak mendapatkan inspirasi.

Ia kemudian menyindir kritik Katrin pada “Ayat-Ayat Cinta”. Baginya, novel itu adalah usaha untuk menginspirasi orang di tengah lautan najis, berenang menuju ke tepian hegemoni. Orang-orang Indonesia memiliki inferioritas yang sangat tinggi. Oleh karena itu si pengarang ingin menciptakan tokoh-tokoh yang superior. Ada juga novel yang mengisahkan mahasiswa Indonesia di Moskow yang menang debat tentang agama dengan para profesor dan ahli agama di sana. Superioritas tokoh-tokoh dalam novel ini memang sengaja diangkat untuk memacu semangat orang-orang Indonesia.

Katrin pun menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ia memaparkan bahwa memang defiinisi eksil menjadi tidak jelas. Namun, ia juga tidak berpretensi untuk membuat definisi baru. Sekadar mengikuti literatur yang ada, ternyata ada keraguan-keraguan yang muncul apakah eksil hanya mempersoalkan persoalan politis? Mungkin memang terjadi overlaping dengan istilah diaspora. Sehingga, muncul juga pertanyaan benarkah kita membutuhkan istilah eksil tersebut.

Ketika menggunakan istilah tersebut, tampaknya kita membutuhkan suatu deskripsi yang lebih jelas. Misalnya menyebut sastra eksil paska lekra 1965, atau sebenarnya eksil hanya istilah keren-kereranan saja? Umar Kayam misalnya, apakah dia bisa masuk dalam sastra eksil? Setidaknya kita bisa membuat kriteria untuk menilai. Apakah ada sikap kritis atau tidak terhadap relasi kekuasaan global. Dengan demikian, eksil sebenarnya merupakan istilah yang cukup netral.

Terkait dengan persoalah bahasa, Indonesia memang memiliki kekhasan karena memiliki bahasa nasional sendiri. Bahasa juga penting digunakan untuk mengetahui siapa yang berbicara dan untuk siapa mereka menulis. Apa yang sebenaranya bisa didapatkan dari karya sastra tersebut? Ketika membaca karya sastra, kita bisa sama-sama mengerti apa yang disampaikan karya tersebut, apakah karya tersebut menyadarkan? Mengajak berpikir kritis atau justru menghilangkan sikap kritis?

Katrin mencoba untuk melihat “Ayat-Ayat Cinta” sebagai seorang kritikus sastra. Mau dibilang apalagi karena memang plotnya tidak masuk akal. Pembaca itu tidak perlu tokoh yang digagah-gagahkan. Akan lebih masuk akal kalau menulis sesuatu yang sesuai dengan kenyataan tetapi tetap kritis. Plot tersebut memang harus disadari sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Meskipun novel tersebut adalah sesuatu yang bersifat fiksi, harus disadari pula bahwa seorang pengarang tidak bisa langsung membolak-balikan persoalan dengan mudah.

Setelah Katrin selesai, waktunya Iryan untuk merespon pertanyaan. Ia memang sengaja tidak merespon hal yang berkaitan dengan kritik sastra. Untuk mahasiswa sejarah yang bertanya, Iryan berkata dengan jujur bahwa ia belum banyak membaca teori yang disebutkan mahasiswa tersebut sehingga tidak bisa banyak memberikan perbandingan. Terkait dengan istilah eksil, sebenarnya sudah banyak data sejarah yang tersedia. Data-data tersebut tinggal menunggu seorang teoritikus yang bisa mendefinisikannya.

Karya eksil Utuy salah satunya adalah cerita rakyat Ciung Wanara, meskipun konteks cerita eksil di sini masih berada dalam lingkup dalam negeri. Unsur yang terpenting adalah adanya perpindahan ruang dan tekanan. Tekanan tersebut memang tidak selalu politis. Misalnya, fakta sejarah tentang apa yang dilakukan oleh kongsi dagang Kerajaan Ambon. Motifnya bisa sampai pada kristenisasi dan pengenalan peradaban. Eksil dalam hal ini bisa menunjukkan motif kekuasaan yang berbeda.

Menanggapi pertanyaan tentang Si Kabayan yang dipentaskan oleh teater pimpinan Taufik Ismail di atas, ternyata Iryan hanya salah dalam penulisan. Seharusnya ia menuliskan Sangkuriang dan bukan Si Kabayan. Perdebatan kemudian sampai pada polemik hadiah magsaysay yang diterima Pram, dan lain-lain yang saya tidak begitu mengerti.

Sesi kedua pertanyaan telah dibuka. Penanya pertama adalah salah satu mahasiswa Sosiologi UGM. Ketika Iryan mengangkat Utuy dalam makalahnya, mahasiswa ini mempertanyakan kenapa justru cenderung biografis. Ketika sebuah biografi diangkat, akan menimbulkan pertanyaan kenapa Utuy yang diangkat. Biasanya karena ada sentimen kedaerahan yang sama-sama Sunda, atau seperti apa.

Pengertian eksil sebenarnya juga tidak hanya untuk sastra tetapi karya seni yang lebih luas. Berpijak pada salah satu tulisan, mahasiswa ini mengatakan bahwa Pram bisa disebut eksil meskipun karyanya ditulis di dalam negeri. Dengan demikian, sangat terbuka peluang untuk memunculkan Pram yang lain yang bukan Anantatoer. Ia juga masih mempertanyakan mengapa hanya mengangkat Utuy tanpa menyandingkannya dengan karya yang lain. Selain itu, ada banyak sastra eksil yang ditulis juga dalam bahasa Inggris sehingga perlu ada pengecualian-pengecualian dalam penggunaan istilah ini. Mahasiswa ini juga sedikit merasa tertipu dengan poster publikasi diskusi. Ia menyangka bahwa forum ini akan membahas karya-karya sastra yang ditulis di luar negeri pasca peristiwa 1965.

Iryan langsung menanggapi bahwa niatnya mengambil sisi biografis Utuy adalah untuk menemukan suatu titik yang kemudian bisa dibicarakan secara lebih luas. Karya Utuy juga banyak mengadung personifikasi tentang dirinya sendiri dan latar sosial yang mempengaruhi penciptaan karyanya. Karya Utuy memang bisa disebut sebagai salah satu contoh sastra eksil dalam bahasa yang tepat. Iryan kemudian banyak membahas karya Utuy tersebut dengan latar belakang sosial dan politik yang melingkupinya ketika tinggal di Tiongkok. Ada ungkapan kesepian juga dan kerinduan terhadap anaknya dalam karya tersebut.

Diskusi kemudian ditutup oleh beberapa pendapat terakhir dari Katrin. Membahas tentang eksil, Katrin jadi teringat bahwa suaminya sering menyebutnya sebagai TKW. Beralih ke Pram, mungkin memang bisa disebut eksil. Karyanya ditulis dalam bahasa Indonesia dan ditulis pula di Indonesia. Namun, karya tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa yang kemudian menjadikannya dikenal oleh orang luar. Pram mungkin tidak eksil, tetapi karyanya yang eksil.

Katrin menanggapi kekecewaan mahasiswa Sosiologi tersebut karena yang dibahas bukan khusus eksil pasca 1965. Setidaknya, eksil menjadi menarik dalam wacana post kolonial. Sastra eksil yang memuat pengalaman orang Indonesia yang menulis di luar Indonesia ini sangat beragam. Ke luar negeri pun dengan berbagai motif, bisa jadi juga karena mendapat beasiswa. Tapi, persoalannya adalah bagaimana mereka menyikapi relasi kekuasaan yang ada. Terkait dengan Utuy, terlepas dari alasan penulisnya secara pribadi, memang untuk suatu makalah atau skripsi lebih baik ketika memilih salah satu kasus yang spesifik. Tidak mungkin juga untuk membedah semua karya secara bersamaan.

Kelir Ditutup, Blencong Berkedip-Kedip Sayu

Ini tandanya saya sudah ngantuk. Akan saya cukupkan sampai di sini saja catatan diskusi ini. Kali ini saya cukup menjadi pengamat, pencatat dan pendengar yang baik. Saya tak punya cukup bahan untuk ikut nimbrung dalam diskusi kali ini. Setidaknya cukup banyak yang bisa saya dapat. Lain kali kalau ada diskusi lagi akan saya catatkan. Mungkin tulisan ini sedikit kering karena hanya mengikuti alur diskusi tanpa saya ikut berenang ke dalamnya. Barangkali juga saat ini saya sedang membuat puisi eksil. Puisi yang lahir ketika saya mendapat represi berupa kesedihan yang membahagiaan. Puisi yang lahir dari diri yang terasing, tak hanya di negeri orang, bahkan di luar dunia ini sendiri.

Lantai 2 Perpustakaan Kota Yogyakarta, 26 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar