YK, Rabu, 24 Februari. Aku tak pernah yakin benar tentang keberadaan mereka. Orang-orang titisan yang muncul dari kehidupan sebelumnya. Beberapa hari yang lalu, situs jejaring sosial itu mempertemukan kami. Salah satu orang dari masa lalu menyarankanku untuk berteman dengan orang ini. Demikianlah awalnya. Aku tak pernah benar-benar yakin. Anak ini masih kelas tiga smp. Pun begitu pikirannya sudah teracuni dengan lembaran kisah panjang.
Seperti yang sudah-sudah, aku pernah merasakan pikiran seperti terbukakan ketika bercakap dengan seseorang dari masa lalu itu, sayangnya sekarang orang itu menghilang. Ada semacam bayangan-bayangan aneh yang tiba-tiba menyergap pikiranku, barangkali mimpi, sebuah rangkaian peristiwa ketika aku seperti terlempar ke masa lalu. Kupikir ini adalah imajinasi. Aku tak pernah menganggapnya serius. Ternyata orang-orang ini mengalaminya juga. Mereka menyebutnya ‘de javu’. Kilasan peristiwa itulah yang mengantarkan mereka mencari dirinya di kehidupan sebelumnya. Mungkin juga mereka tahu atau hanya mereka-reka siapa mereka dengan membaca buku-buku sejarah, mengunjungi tempat-tempat tertentu, entahlah. Mereka bilang pencarian ini akan menentramkan. Tapi tidak, setelah permulaan itu aku tak pernah mencari, sedikit merasa tak tentram juga dengan serbuan pertanyaan. Namun, aku tetap memilih hidup untuk saat ini.
Kata orang, takdir memang tak pernah bisa dihindari. Kehidupan ini adalah sebuah penebusan. Sebuah kehidupan yang hanya menjalankan karma untuk mensucikan dosa-dosa di kehidupan sebelumnya. Begitulah seseorang pernah berkata dan dimulailah sebuah cerita.
Orang yang memperkenalkanku dengan anak kelas tiga smp ini dulunya adalah seorang raja di masa lalu. Aku bisa mengetahui kisah hidupnya dengan mengintip kaca benggala sejarah. Seorang raja baik hati yang gugur akibat suatu ekspedisi sia-sia. Benarkah begitu? Aku juga tidak tahu. Lalu kenapa juga dia mengirimkan kepadaku anak-anak ini? Anak-anak yang teracuni pikirannya. Aku tahu mereka punya kemampuan lebih. Sebagian bisa mengobati orang begitu saja tanpa mantra. Bocah-bocah biru, anak-anak indigo dengan kelebihan sejak lahir yang dibawa. Begitulah sepertinya mereka disebut.
Beberapa kali sempat ada percakapan lewat situs jejaring sosial. Beberapa kali sempat saling berkirim pesan pendek. Aku juga tidak tahu kenapa dari dulu hidupku selalu dikelilingi orang-orang aneh macam ini. Tak seperti kebanyakan orang lain. Aku banyak mencecap pengetahuan-pengetahuan tentang hakikat hidup dari lingkunganku. Single learner, aku belajar sendirian. Aku memang butuh seorang Mursyid tapi belum saatnya kutemukan. Jalan untuk tersesat memang sangat berpeluang. Beruntunglah aku masih berada di jalan yang seharusnya. Justru dengan mengenal itu semua, tak akan ada lagi yang bisa melakukan indoktrinasasi padaku. Untuk mereka, kemungkinan hanya bisa membuatku terobsesi.
Bocah kelas tiga smp itu nekat datang ke kost ku hari ini. Di jam pelajaran sekolah tiba-tiba ia berkirim pesan sebelum datang. Dengan memakai seragam putih biru yang telah kumal, aku sempat dibuat kaget. Dua anak itu datang, anak dari kehidupan lalu dan seorang temannya. Sebuah perkenalan biasa terjadi dan aku terkejut setengah mati. Ealah, ini siapa yang mengajari anak-anak sampai bisa bandel begini. Seharusnya anak-anak ini belum saatnya mengetahui rahasia itu. Biarkan mereka menjadi ‘orang’ dulu, baru nanti diberi tahu siapa dia di kehidupan sebelumnya. Dengan begitu, pikiran tak melampaui raga. Orang yang lebih dewasa mungkin akan bisa mencerna takdirnya dengan lebih baik. Menurutku, memang disitulah kesalahannya. Kasihan kalau kehidupan sekarang tak bisa berjalan baik hanya demi sebuah ingatan. Tapi, anak-anak ini tampaknya sangat menikmati ingatan dan kebandelannya sekarang. Bandel pun bukan berarti bodoh.
Dikatakan terkejut, mungkin memang iya. Anak-anak ini sudah bolos di jam kosong pelajaran, mengendarai sepede motor padahal belum cukup umur. Sampai di kost dengan santainya menyulut sebatang rokok. Dihisapnya nikotin itu dengan nikmat. Menerbangkan pelajaran-pelajaran yang sudah diterima sebelumnya, mengendapkan ingatan-ingatan masa lalunya. Ealah, apa yang harus aku katakan ketika melihat mereka ini.
Sebelumnya bocah ini sudah mengaku kalau dulunya dia itu pangeran dari sebuah kerajaan. Apalagi yang akan kuceritakan. Apakah mereka sedang menginisiasi sebuah perkumpulan rahasia? Benarkah? Ataukah mereka sedang mempersiapkan konspirasi tandingan? atau membentuk kepanitiaan akhir zaman? Ah, aku hanya meracau, menebak-nebak tak karuan. Apakah aku akan masuk ke dunia ini? Ah, tidak bisa. Aku cukup tahu ilmunya, tapi aku memilih kehidupanku sendiri. Tak ingin rasanya pikiran ini diribetkan dengan urusan-urusan macam itu, meskipun sebenarnya aku menyukainya. Di sinilah aku berada, antara percaya dan samar tidak, antara mengakui dan samar tidak, antara menerima dan samar menolak. Samar tak berarti tidak. Samar tak berarti tiada.
Kisah yang terekam dari sepenggal percakapan ini justru merefleksikan kegagalan sistem pendidikan di Indonesia. Maaf bila ini menjadi loncatan fokus pembicaraan yang luar biasa jauh. Mereka berdua ini adalah contoh murid bandel. Murid yang sering membuat jengkel para guru. Mereka bercerita kalau pelajaran-pelajaran yang diterima di sekolah itu hanya fiktif belaka. Pelajaran fisika misalnya, mereka merasa tak perlu mengukur tinggi peluru hasil tembakan, tenaga yang dibutuhkan untuk menarik sebuah katrol, mengukur kalor yang dibutuhkan untuk mendidihkan air di suhu tertentu, atau menurunkan rumus-rumus aneh yang tak diketahui apa gunanya dipelajari. Mereka berkata bahwa pelajaran ini tidak aplikatif. Mereka bisa hidup tanpa harus mengukur-ukur macam begitu. Kemudian cerita tentang pelajaran biologi. Mereka tahu bahwa daun itu berwarna hijau dan mengandung klorofil. Tak perlu lagi menyanyat daun hanya untuk melihat klorofilnya. Kasihan bagi si daun yang dipetik dan menderita disayat-sayat tubuhnya.
Aku tak membenarkan pendapat mereka. Hanya kembali menyampaikan apa yang ada dipikiran murid-murid bandel ini. Barangkali guru mereka tak sampai berpikir alasan di balik muridnya yang bandel dan tak pernah memperhatikan pelajaran. Anak smp kemungkinan memang masih labil. Banyak yang belum mengerti untuk apa mereka harus belajar. Mereka masih merasa tak membutuhkan ilmu aljabar untuk mencari makan nantinya. Mau jadi apa Indonesia ketika generasi mudanya tak bersemangat untuk maju seperti ini. Atau memang belum saatnya mereka sadar akan peran dan tanggung jawabnya. Mereka jadi ingin cepat kuliah agar bisa pakai baju seenaknya, celana pendek dan kemeja. Bisa dibayangkan bahwa semua hal di dunia ini ternyata bisa ditertawakan oleh logika berpikir mereka. Guyon lah mereka tak habis-habis mencela guru dan pelajaran. Sejarah juga begitu. Bagi mereka buat apa masa lalu harus diingat kembali. Masa lalu biarlah berlalu, hari ini harus dilalui dan esok masih menjadi mimpi. Kembali mereka cekikikan sendirian. Aku hanya tersenyum. Seperti biasa, cukup menanggapi dengan diam.
Di pelajaran seni juga begitu, salah satu bocah ini diminta untuk menggambar tanaman. Kebetulan yang dilihatnya adalah sebuah tanaman kecil yang ditanam dalam pot besar. Sangat tidak proposional. Gambar ini hanya mendapatkan nilai 6,5. Benarkah guru seni di smp ini mengharuskan muridnya agar menggambar sesuatu dengan proposional agar bisa mendapat nilai 8? Ini gawat karena bisa mematikan imajinasi yang seharusnya tak dibatasi. Tambah gawat karena salah satu dari mereka mengaku lebih senang di rumah dan berkhayal daripada bosan di sekolah. Berkhayal dan menciptakan lirik-lirik lagu yang indah. Seperti biasa, anak smp ini sedang suka-sukanya bikin grup band.
Menurutku, ini hanya pendapat saja, mungkin mereka memang tak dilahirkan untuk mengikuti atau takluk pada sistem apapun yang sudah diciptakan di dunia. Mereka punya misi sendiri di genggamannya. Bisa jadi mereka tak seperti orang yang diharapkan dalam ukuran-ukuran manusia normal, ukuran sukses atau keberhasilan misalnya. Bocah-bocah ini memang tidak normal tapi terpakasa harus menjadi normal agar tetap disebut manusia. Mereka punya misi sendiri, jauh terselebung di dalam dan mulia daripada hanya sekadar menjadi orang-orang sukses. Jadi, mungkin memang tak seharusnya tercengang ketika kehidupan mereka di masa ini terpaksa harus prihatin karena sudah digariskan untuk tetap berjalan dalam roda cakra manggilingan.
Kembali ke kehidupan sebelumnya. Anak ini menanyaiku tentang beberapa orang yang mungkin aku kenal. Tapi aku tak mengenal siapapun dari mereka. Dia kemudian menanyakan benarkah aku tak mengingat apa-apa? Dan memang aku tak mengingat apa-apa. Aku memang membaca atau seakan-akan mengetahui tanda-tandanya. Aku seperti mengingat sesuatu ketika berada di suatu tempat atau membaca sejarah. Tapi, sebagian hanya kuabaiakan saja. Bukankah ini hanya imajinasi belaka? Tak ada juga orang yang percaya dengan ceritaku tentang kejadian aneh-anehan macam itu. Dia berkata juga, “kok ra digoleki, Mbak. Padahal nek wis ketemu ngko rak tentrem.” Aku harus berhati-hati jangan sampai pikiranku teracuni lagi. Pertemuan dengan orang-orang ini hanya euforia. Menyenangkan sesaat seperti ketemu saudara yang lama menghilang. Tapi hanya beberapa saat. Kami harus kembali ke kehidupan masing-masing. Dengan renik-renik masalah yang sangat berbeda dengan kisah-kisah epos zaman dulu.
Sepenggal rekaman pertemuan, menyisakan banyak pertanyaan, juga pikiran-pikaran aneh yang tiba-tiba hinggap. Bocah-bocah ini memang aneh. Semoga saja, dengan kemampuan lebih mereka, bocah-bocah ini bisa menjadi sepasukan malaikat. Merekalah yang nantinya akan memerangi gelembung-gelembung Rahwana yang menyusup dalam setiap jiwa manusia, semakin padat dan pekat memenuhi udara dunia. Barangkali, masih akan ada harapan. Bocah-bocah ini bisa membalik kalatidha menjadi kalasuba, pada waktunya nanti.
Sabdo Palon katanya sudah muncul lagi ke dunia. Semar telah kembali dengan tanda-tanda alam yang mengiringi. Barangkali dia sedang membutuhkan raga. Ini saya punya, bisa pinjam atau disewa dengan syarat dan ketentuan berlaku.hehehe... Sudahlah, kalau diteruskan bisa tambah ngawur nantinya.
Aku tidak tahu apakah aku boleh menuliskan ini dan mempostingnya ke blog. Semoga tidak ada yang marah atau tersinggung dengan tulisan ini. Aku tak bermaksud untuk membuka cerita, atau memberikan informasi kepada agen rahasia yang sedang mencari bocah-bocah ini (tambah ngawur). Hanya ingin berbagi, siapa tahu ada banyak orang-orang yang sedang gelisah sepertiku, atau orang-orang aneh yang ingin menemukan dirinya. Sekali lagi maaf, bila ada yang tidak berkenan, silakan menghubungiku di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar