Seorang perempuan sedang senang sekali membangun ilusi untuk menghibur dirinya sendiri. Ada banyak hal yang membuatnya tidak bahagia. Malam ini bulan tak muncul. Betapa mendung tak ingin pergi dari atas kepalanya. Sepertinya mendung-mendung itu senang sekali mengikutinya kemana-mana. Mendung yang semakin lama semakin turun. Semkin merendah dan akhirnya menyelimuti tubuh perempuan itu. Berputar-putar tipis dan semakin menebal seperti permen kapas membelit menyelimuti sebatang lidi.
Karena bulan tak muncul malam ini, perempuan itu tak bisa melakukan hal yang disukainya seperti biasa. Ia biasa meletakkan segalas kopi di atas atap rumahnya. Dan bulan seperti terperangkap di permukaan, terapung-apung dalam pekat kopinya. “Ah, ini kopi rasa bulan,” perempuan itu berkata dalam hati. Tapi bulan tak mau muncul malam ini.
Perempuan itu menyimpan kesedihan. Kau bisa melihat dari balik kelopak mata itu. Sayu dengan bola mata kecoklatan yang redup. Kepalanya sering menunduk tanpa sebab. Seperti tak ingin melihat apapun yang berada di depannya. Ada yang sudah hampir mati dalam dirinya. Cayahanya ingin sekali padam dan ini cukup membahayakan. Perempuan ini banyak mengalami hal buruk sampai ia hampir kehilangan daya hidup.
Mendung masih menyelimuti wajahnya. Tak seperti biasa, rambut yang tergelung di belakang kepala itu terurai. Rambut panjang ikal itu bergerai indah hingga menutupi seluruh punggungnya, terurai sampai hampir mencapai paha atasnya. Dengan menundukkan wajahnya, perempuan itu ingin menyembunyikan mendung di kedua matanya. Betapa suram. Malam semakin gelap tanpa bulan, tanpa bintang, tanpa sedikit pun cahaya yang dapat menembus mendung tebal yang menyelimuti tubuh perempuan itu.
Ia berjalan sendirian mengitari halaman. Beberapa peronda melihat dan menyangkanya kuntilanak seperti yang biasa terekam di televisi. Tapi, mereka segera menyadari apa yang dilihatnya itu juga manusia setelah mengarahkan sinar senternya. Mendung dari tubuh perempuan itu perlahan merambat menyelimuti para peronda. Mereka seperti terjebak jaring laba-laba berupa serat-serta mendung yang melilit tubuh. Dengan terhuyung, para peronda kembali ke rumah dan menularkan mendung itu kepada anak istrinya.
Murung menyebar seperti serbuan lebah kelaparan tak menemukan serbuk sari. Kesedihan menular dan merambat kemana-mana. Mendung diterbangkan angin. Menyelimuti pepohonan, kelepak kelelawar terbang, jangkrik dan segala bunyi-bunyian malam. Semua terdiam terselimuti mendung dari tubuh perempuan itu. Semakin menjalar bagai ombak ganas menyapu pantai-pantai kebahagiaan.
Perempuan itu kemudian masuk kembali ke dalam rumahnya. Lampu yang sengaja dipadamkan menambah kepekatan gelap. Mendung semakin tebal menyelimuti tubuhnya. Mendung berwarna abu-abu kehitaman itu seperti mengandung berjuta benih hujan. Sebentar lagi mendung itu tak akan mampu menampung uap-uap air yang diserapnya dari seribu lautan. Mendung itu menjadi hujan. Perempuan itu tersiram hujan. Hanya dirinya.
Langit disekitarnya seperti tirai yang tiba-tiba menyibak terbuka. Bulan muncul ke permukaan. Perempuan itu malah kehujanan sendirian. Bahkan, alam pun mengutuknya dengan sedemikian mengerikan. Tak ada yang tahu kejadian apa yang menimpanya. Tak ada yang mengerti pula apa yang telah dilakukan perempuan itu sebelumnya. Para penduduk sekitar hanya tau bahwa perempuan itu berasal dari jauh dan pindah ke desa mereka beberapa hari yang lalu.
Hujan dan mendung masih menyelimuti dirinya. Perempuan itu berlari tanpa arah. Berlari dari sepanjang aliran sungai menuju jalanan. Ia berusaha sebaik mungkin menguasai keseimbangan tubuhnya, menyusuri jalanan yang tiba-tiba licin ketika ia melewatinya. Jalanan yang tiba-tiba tersiram hujan ketika perempuan itu menapakkan kakinya. Perempuan itu terus berlari bersama mendung dan hujan. Sampai di gigir bukit kecil di belakang desa, perempuan itu tertidur karena kelelahan.
Lelap sepenuh gelap membawanya melalui lorong-lorong mimpi. Perempuan itu tertidur dengan menyungging senyuman. Ada yang datang dalam mimpinya. Dan perempuan itu pun berkata, “ah, kau datang juga. Mengapa wajahmu menjadi sangat tua. Penuh keriput dan lipatan usia. Inikah kau? Tapi ini memang benar kau. Aku tidak sedang bermimpi. Apa? Kau akan bicara tentang cinta? Aku sudah sering mendengarnya. Aku benci bicara soal cinta. Kau tetap akan akan bicara tentang cinta? Baiklah, aku mengalah. Aku akan mendengarkanmu,” jawaban orang dari mimpinya itu tak terdengar.
Beberapa saat hanya gelap yang terlihat dan percakapan antara perempuan itu dan seseorang yang datang dalam mimpinya pun dimulai.
Perempuan itu memulai percakapan dengan berkata, “Kau tahu? Setiap malam aku menyerap banyak cinta dari semesta. Tapi untuk siapa? Mengapa hanya mendung dan hujan yang datang? Kau tahu mengapa?”
“Banyak cinta di Padang Kurusetra. Untuk siapa ya, untuk Kierkegaard saja bagaimana?”
“Aku sedang tak berniat berfilsafat denganmu. Memang kadang aku butuh liburan ke dunia estetika. Dunia indra dimana ketakutan, kegelisahan dan kehampaan terasa begitu menyenangkan.”
“Maukah kau kukenalkan dengan adik-adik Arjuna? Kau tahu siapa mereka? Nanti kau tinggal pilih saja siapa yang kau suka.”
“Siapa? Nakula atau Sadewa? Ah, kau bercanda. Kalau nanti aku jadi rebutan mereka berdua bagaimana? Tapi sepertinya keinginan ini terlalu dipaksakan.”
“Ah, kau bisa saja. Itu hanya perasaanmu. Meski aku bukan orang yang mudah percaya, tapi sepertinya aku orang yang mudah memahami.”
“Lha, kata Si Mbok sekarang ini dia sedang bertapa. Betapa lama aku menungguinya? Wadahku tak mampu lagi menampung besarnya cinta semesta sehingga aku membutuhkan seseorang untuk sekadar kubagikan padanya sekerat cinta. Aku tak banyak bicara dengan orang saat ini, tak seperti dulu. Kau tahu? Bahkan, bulan pun menghilang dari hadapanku.”
“Lalu, apalagi peranku kalau sudah begitu. Barangkali dia itu bukan sedang bertapa tapi mencari ilmu sejati. Kalau aku mengganggu tapanya, itu pertanda perang.”
“Itu kan kata Si Mbok dan aku juga bukan orang yang mudah percaya. Tak pernah ada yang tahu seandainya dia bisa datang dengan perantaramu.”
“Bagus, perkataan Si Mbokmu tak boleh memberangus semangat kita. Ya sudah, kuberikan keinginanmu pada semesta, biar yang lagi bertapa itu tergelitik mendengarnya.”
Percakapannya dengan orang tua itu memeng membuat mendung di tubuhnya menghilang sesaat. Ketika tubuh renta itu pergi menuju suatu lorong gelap, mendung kembali menyelimuti tubuh perempuan itu. Orang tua dalam mimpinya tiba-tiba menghilang. Perempuan itu terbangun dari tidurnya. Badannya masih basah kuyup. Menggigil kedinginan. Ia sama sekali tak mengerti apa yang baru dialaminya dalam mimpi. Sepertinya itu mimpi orang lain yang nyasar masuk dalam benaknya. Perempuan mendung berpikir mimpi itu hanya nyasar karena sama sekali tak berhubungan dengan kehidupannya yang ganjil.
Hujan yang mengguyur tubuhnya perlahan menghilang. Pagi datang. Orang-orang yang hendak pergi ke sawah menemukan perempuan itu. Mengerumuni dan mencoba menanyai apa yang sedang dilakukannya di situ dengan tubuh basah kuyup. Perempuan itu hanya diam tak bisa menjawab. Semalam, mendung dan hujan itu apakah juga hanya mimpi? Tapi, mengapa badannya benar-benar basah? Ia tak ingat barangkali sempat terperosok ke dalam selokan. Perempuan itu belum bisa mengembalikan ingatan dan kesadarannya. Pikirannya berputar-putar seperti lingkaran spiral yang semakin lama semakin membesar. Perempuan itu bangkit tiba-tiba, mendung sepertinya belum juga mau pergi. Masih saja mengikutinya kemana-mana.
Konon kata penduduk desa, perempuan mendung masih sering menampakkan dirinya di bekas rumahnya, atau di gigir bukit kecil itu. Mendung tetap saja tak mau pergi dari tubuhnya. Anak-anak kecil sering melihatnya ketika mereka sedang menangis, juga perempuan-perempuan yang dipukuli suaminya, atau ketika kematian hinggap dengan mesra di antara para penduduk desa dalam waktu-waktu yang tidak dapat dipastikan. Perempuan itu ada dalam setiap kesedihan. Dia datang ketika bulan sedang terang dan langit bersih penuh bintang. Perempuan itu selalu terlihat berjalan sendirian dengan mendung yang masih setia membalut tubuhnya.
Secuil Keterangan: Semua kisah dalam tulisan ini adalah fiksi kecuali yang tidak. Percakapan dalam cerita ini adalah bagian dari modifikasi ketika sedang saling berkirim pesan singkat dengan seseorang. Sudah lama saya tidak nglindur nglantur seperti semalam ketika bercakap dengan seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar