Ekstase Tarling-Dangdut di Ruang Antara
Sekerat tulisan sederhana ini sedang mencoba untuk sejenak menginjak ruang antara. Ketika segala sesuatu tak lagi jelas batasannya. Ruang-ruang baru tercipta ketika sekat semakin mengabur. Budaya dan manusianya saling bereaksi satu dengan yang lain. Barangkali memang saatnya perayaan diadakan atas kelahiran ruang-ruang antara. Ruang-ruang yang tidak begitu jelas warnanya. Ruang ketiga yang hadir dalam perpaduan dunia, identitas, budaya dan seni yang tidak hanya saling benturan, tetapi juga saling membentuk menjadi hal baru.
Zona ini mengundang refleksi baru dalam usaha merepresentasikan realitas ke dalam bentuk-bentuk seni. Homi K. Bhaba menyebutnya sebagai zona liminal yang mengekspresikan potensi-potensi sebuah ruang ketiga – area ‘abu-abu’ yang fleksibel di luar nilai kontradiksi dan paradoks – dari proses kreatif yang memungkinkan teks baru yang perlu disertakan dalam budaya kreatif dan egaliter.1
Seni kontemporer mengalami perjalanan dalam sebuah lintasan tanpa tujuan akhir. Dari sinilah ditemukan realitas yang coba diekspresikan dalam berbagai karya. Teater Garasi telah mengangkat fenomena ruang-ruang ketiga tersebut dalam pertunjukkannya ‘Tubuh Ketiga: Pada Perayaan yang Berada di Antara’. Pertunjukan ini mencoba merepresentasikan realitas budaya yang terjadi di daerah Indramayu, pesisir Utara Jawa.
Pertunjukan tentang seni Tarling-Dangdut yang diangkat dalam bentuk teater tari kontemporer ini berhasil menyampaikan pesan tentang bentuk ekspresi kebudayaan ‘ketiga’. Sebagai sebuah kota, Indramayu berada dalam pusaran kota-kota yang saling mempengaruhi dalam menanamkan budayanya. Indramayu berada di antara Solo dan Yogyakarta, Jawa Barat (Bandung) dan Jakarta. Identitas baru yang terefleksikan dalam Tarling-Dangdut ini tersusun dari pertemuan antar identitas yang saling bercampur dengan budaya yang dibawanya masing-masing.2
Seni Tarling-Dangdut berkembang sebagai penanda kebudayaan Indramayu yang berada di antara tradisional-modern, agraris-industrial, desa-kota. Kesenian ini tidak lagi dianggap sebagai seni tradisional, tetapi bukan juga seni modern. Tarling-Dangdut berada di antara kedua hal yang bisa dikatakan berjarak. Posisinya yang problematis tersebut justru membuatnya terus tumbuh. Di satu sisi, tumbuhnya kesenian ini mungkin akan mengancam keberadaan seni tradisional seperti Tari Topeng Indramayu, wayang atau kesenian tradisional lain. Namun, di sisi lain Tarling-Dangdut menjadi seni rakyat murah yang bisa dinikmati untuk melepaskan penat hidup, khususnya masyarakat kelas bawah. Suatu bentuk seni yang lumayan bisa menunjukkan kelas. Dangdut Koplo tentu akan sangat jarang diputar di restoran-restoran mewah dimana semua pelanggannya mengenakan jas dan gaun.
Bentuk-bentuk identitas ‘ketiga’ muncul dengan atribut-atribut yang cenderung baru. Ada kalanya atribut tersebut masih kental dengan unsur identitas asal. Adakalanya juga atribut tersebut tidak lagi terlihat sebagai manifestasi dari kebudayaan asal dengan segala unsur kebaruannya yang sudah melekat. Dalam hal ini, banyak fisi dan fusi identitas yang tidak bisa dijelaskan lagi batasannya. Realitas ini bisa jadi melengkapi teori Horowitz yang muncul sekitar tahun 1980-an tentang asimilasi dan diferensiasi identitas.
Horowitz membagi asimilasi identitas dalam bentuk amalgamasi dan inkorporasi. Amalgamasi terjadi ketika dua atau lebih kelompok identitas bergabung dan membentuk identitas baru. Sedangkan inkorporasi dimaknai ketika dua identitas atau lebih bergabung dan salah identitas diserap oleh yang lain. Proses diferensiasi juga terbagi menjadi dua yaitu divisi dan proliferasi. Divisi terjadi ketika satu identitas terbagi menjadi dua atau lebih idetitas yang berbeda dari asalnya. Sedangkan proliferasi terjadi ketika satu identitas terpecah menjadi dua identitas atau lebih yang salah satu identitas tersebut masih memiliki identitas asalnya.
Apa yang dilakukan Horowitz seakan tidak relevan ketika digunakan untuk menjelaskan keberadaan kesenian Tarling-Dangdut sebagai salah satu bentuk identitas produk budaya. Tarling-Dangdut merupakan bentuk perpaduan dari banyak identitas. Namun, terbentuknya Tarling-Dangdut kurang tepat disebut sebagai amalgamasi karena identitas kesenian yang terbentuk bukan semata-mata merupakan identitas yang baru. Atribut yang melekati kesenian tersebut menjadi abu-abu dan berada di ruang antara dari identitas kesenian lain yang melingkupinya. Identitas kesenian tersebut tidak dapat ditegaskan menjadi sebuah istilah baru yang benar-benar bisa menggambarkan dirinya, kecuali hanya dengan sebuah label untuk sekadar menamai.
Tidak hanya dalam keseniannya, digambarkan pula dalam pertunjukan Teater Garasi bagaimana kehidupan masyarakat yang berada di ruang-ruang antara. Para seniman memilih menjadi TKI ke luar negeri untuk mencukupi kebutuhan materi. Mereka juga dibanjiri produk-produk pasar yang tak bisa dibendung lagi. Beberapa perempuan petani lebih memilih menjadi penyanyi Tarling-Dangdut keliling daripada harus bekerja di sawah atau menjemur padi.
Kehidupan memang harus terus berjalan meski berada dalam ruang-ruang perbatasan. Tubuh ketiga seperti menjadi semacam ingatan bahwa manusia dan budayanya selalu berada dalam ruang dan waktu yang berjalan dinamis, terus berjalan beriringan dengan segala macam perubahan.
Hip Hop Diningrat: Kritik dan Filosofi di Ruang Antara
Di ruang antara, dalam zona perbatasan, banyak hal yang bisa dibaca sebagai pemuasan fantasi, hasrat, frustasi atau bahkan alienasi, antara diri dan perjalanan zaman. Dunia tradisi dan global yang saling bergesekan telah menciptakan ruang baru. Tidak hanya dari segi perpaduan unsur geo-kultural lokal yang mengitarinya, tetapi juga sampai kultur trans nasional.
Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 22-23 Maret 2011, Lembaga Indonesia Prancis (LIP) Yogyakarta mengadakan acara pemutara film dokumenter dengan judul ‘Hip Hop Diningrat’. Penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth Inandiak menunjukkan bahwa pada mulanya musik hip hop berasal dari rap yang merupakan bentuk perlawanan orang-orang kulit hitam terhadap kebudayaan orang kulit putih (kalau saya tidak salah). Genre ini kemudian menyebar luas dengan lirik-lirinya yang padat dan musik yang khas. Rap berevolusi menjadi hip hop dan menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebut saja Iwa K untuk generasi tua dan Saykoji untuk generasi yang lebih muda sebagai contoh musisi hip hop Indonesia. Lagu-lagu mereka menjadi hits dan dapat diterima luas di masyarakat.
Apa yang terjadi dengan hip hop di Yogyakarta? Berbeda dengan Tarling-Dangdut Indramayu yang merupakan perpaduan unsur-unsur budaya di sekitarnya, Hip Hop di Yogyakarta dengan budayanya yang cukup kuat merupakan bentuk adaptasi budaya global yang diserap tanpa meninggalkan akar budaya lokal. Dia menjadi kombinasi antara kultur global dan lokal.
Film tersebut menceritakan bagaimana sebuah komunitas di Yogyakarta yang menamai dirinya sebagai ‘Yogyakarta Hip Hop Foundation’ menjadi pemantik bagi tumbuhnya musik hip hop dengan lirik bahasa Jawa, bahasa ibu mereka. Orang-orang Yogyakarta terbiasa menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari sehingga mereka merasa lebih nyaman menggunakan bahasa tersebut untuk membuat lirik. Bahasa Jawa digunakan sebagai penanda dalam berbagai corak syair lagu mereka. Penggunaan bahasa Jawa dapat dibaca sebagai bentuk sense of belonging sebagai orang Jogja dengan budaya dan keseharian mereka. Pun demikian, bahasa Jawa ala Jogja memiliki kekhasannya sendiri yang membedakan dengan bahasa Jawa di daerah lain, seperti Solo atau sampai Jawa Timuran.
Budaya sebagai bentuk identitas dalam konteks hip hop berbahasa Jawa ini mungkin saja bisa dilabeli dengan teori amalgamasi Horowitz. Namun, teori ini sebenarnya tidak mampu menggeneralisasikan dan melabeli fenomena yang memiliki keunikan dan kekhasannya masing-masing. Rasanya memang tidak cukup hanya dengan memberikan label, melainkan bagaimana menjelaskan fenomena tersebut sebagai bagian dari relasi dan jaring-jaring budaya yang saling bertemu, saling menyerap, saling mengadaptasi sehingga menmuculkan bentuk-bentuk lain.
Hip hop yang merupakan bentuk budaya pop global ternyata bisa kawin dengan budaya tradisional. Gatra-gatra dengan ragam ritme yang intens cukup mewarnai lagu-lagu hip hop yang dibuat oleh para musisi Jogja, mulai dari bentuk protes, refleksi kehidupan sehari-hari sampai syair-syair filosofis yang dihadirkan dalam kedalaman makna dengan menggunakan bahasa Jawa.
Bentuk puisi di Jawa sejak zaman dulu memang biasa dilagukan dalam tembang. Komposisi nada menjadi salah satu ruh yang bisa mengungkapkan makna syair. Irama menjadi separuh jiwa dari keseluruhan puisi yang diciptakan oleh pujangga-pujangga zaman dahulu tersebut. Pada masa sekarang, tembang dengan kekhasan nadanya telah diubah menjadi musik yang bisa diterima oleh berbagai lapis kalangan, terutama generasi muda.
Beberapa lagu yang dibawakan oleh Rotra, Kill The Dj, Jahanam dan sebagainya mengungkapkan keragaman bentuk-bentuk puisi yang telah berhasil dirombak menjadi sesuatu yang baru. Sebelumnya memang tidak terbayangkan, bagaimana bentuk puisi lama seperti Gurindam 12 karya Raja Ali Haji bisa dilagunakan dengan irama Hip Hop. Syair-syair sarat filosofil Jawa karya Sindhunata, bahkan puisi dalam bentuk mantra ternyata juga bisa dirasuki musik hip hop. Sebut saja judul-judul lagu seperti; Ngelmu Pring dan Rep Kedhep. Kedua karya tersebut bisa disebut klasik dan ternyata dapat diperbarui sedemikian rupa sehingga bisa dinikmati dengan cara yang sangat berbeda.
Ngelmu Pring bercerita tentang filosofi kehidupan yang diambil dari metafora-metafora pohon bambu yang bisa menunjukkan berbagai makna kehidupan dan cara menjalinya. Sedangkan Rep Kedhep adalah semacam mantra untuk menemukan kembali orang hilang yang biasa disembunyikan oleh makhluk gaib pada zaman dulu. Bait-bait serat Centhini pun ternyata bisa dilagukan dengan irama cepat ala hip hop. Bait-bait yang kembali bisa menjadi universal ketika disetubuhkan dengan musik. Hal ini tercermin dari lagu yang dibawakan oleh Kill The Dj ft. Soimah yang berjudul Lingsir Wengi.
Realitas wong cilik sehari-hari juga mengilhami berbagai lirik dalam lagu mereka. Mungkin sedikit konyol tetapi menjadi apa adanya itu kadang lebih baik daripada mencari kata-kata puitis yang hanya dimengerti oleh pengarangnya. Menjadi apa adanya kadang justru lebih indah daripada puisi-puisi yang terisolasi di dunia pengarangnya.
Beberapa lagu seperti Ayo Ngising (Jahanam) atau Ora Cucul Ora Ngebul (Rotra) adalah contoh lirik-lirik yang sangat dekat dengan kehidupan orang Jawa, khususnya Yogyakarta, dengan nada lagu yang juga sudah tidak asing ditelinga. Salah satu lirik lagu Tumini Nggatheli (Jahanam) bahkan bisa menjadi refleksi manusia-manusia dengan tubuh ketiga. Tumini adalah gadis desa yang berusaha memaksa menjadi modern tetapi justru tidak bisa disebut modern. Dia berusaha tampil menggoda dengan menggunakan baju transparan. Wajahnya diwarnai merah, kuning, hijau mirip lampu di perempatan jalan. Tumini hanya salah satu korban mode dalam konstruksi televisi yang ditontonya setiap hari. Di desa, ia tak pernah absen ikut berjoget dangdutan ketika ada yang hajatan. Di kota, Tumini asik gaul di diskotik bersama teman-teman. Simak saja lagu tersebut untuk lebih memiliki gambaran tubuh ketiga Tumini. Kekhasan bahasa Jawa bisa dirasakan dalam lirik-lirik di atas. Sehingga, akan menjadi aneh apabila lagu itu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, misalnya.
Beberapa lagu juga menunjukkan resistensi dan kritik terhadap struktur kekuasaan yang lebih luas. Sebut saja protes terhadap Kasus Century yang tertuang dalam lagu Profesor Kodok. Demikian halnya dengan lagu Cecak Nguntal Boyo yang merupakan refleksi dari kasus yang menimpa KPK. Bahkan, soal liga Indonesia yang memanas belakangan ini juga bisa dituangkan dalam syair dengan judul Liga Indonesia. Di dunia seni, lewat lagu berjudul Jula-Juli Lolipop, Kill The DJ, Chebolang ft. Rotra mengkritik para seniman yang hanya menjadikan seni sebagai produk untuk memuaskan keinginan pasar. Para seniman melacurkan bakatnya demi uang dan terlupa menggambarkan nasib rakyat. Mereka dengan sengaja membunuh seni demi agar karyanya laris terjual. Betapa luas hip hop bisa menjangkau berbagai lapis realitas sekaligus, meskipun dalam hal ini tidak semuanya menggunakan bahasa Jawa.
Bahasa adalah semacam penanda bagi sesuatu yang hanya bisa dibunyikan dengan simbol-simbol yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini, bahasa memang bisa menjadi persoalan karena tak banyak orang yang mengerti bahasa Jawa. Kedalaman arti dari puisi-puisi yang di-hip hop-kan bisa menjadi hanya bersifat artifisial tanpa berusaha dipahami makna sesungguhnya. Namun, tentu tidak ada salahnya ketika musik yang menjadi bagian dari puisi ini bisa diterima dan dinikmati banyak orang. Tak lagi menjadi soal apakah orang yang mendengarkan akan mengerti maknanya atau tidak. Meskipun demikian, eksistensi puisi akan tetap mengalami kehilangan besar ketika makna tidak dapat sampai sepenuhnya.
Hip hop juga mulai menjadi bentuk musikalisasi puisi yang sangat beraroma sastrawi. Sebut saja puisi berjudul Cinta dalam Restropektif Alkohol yang dibawakan secara hip hop oleh Gatholoco. Musikalisasi puisi dalam bentuk hip hop memang berbeda dengan bentuk-bentuk eksperimen musikalisasi puisi yang pernah dibuat sebelumnya. Hal ini terkait juga dengan penikmatnya. Musik hip hop biasanya digemari oleh anak-anak muda dalam ranah yang lebih luas, sedangkan musikalisasi puisi yang sudah-sudah biasanya hanya dinikmati oleh para seniman dalam lingkup yang sangat terbatas. Dengan demikian, tentu tidak salah jika hip hop bisa menjadi instrumen bagi puisi untuk bisa dinikmati oleh lebih banyak orang. Hip hop akan menjadi jembatan bagi keberadaan puisi agar tidak lagi terisolasi di atas kertas atau di dunia imaji.
Kehidupan para musisi hip hop pun juga tergiring untuk masuk di dunia antara. Proses ini tercermin dari bagaimana mereka berpakaian. Atribut musik hip hop kental dengan celana komprang, jumper, topi, kacamata, sepatu kets dan segala bentuk atribut lain yang bisa menjadi karakteristik musisi hip hop. Sebagian para musisi ini tetap menggunakan atribut khas hip hop tersebut dengan dipadukan juga dengan unsur lokalitas seperti batik.
Mereka pun kadang tak harus membeli baru semua atribut tersebut. Para musisi ini biasa mendapatkannya di awul-awul atau toko penjual pakaian import bekas yang bertebaran di sudut-sudut Yogyakarta. Lumayan juga ketika mereka tetap bisa bergaya dengan pakaian bermerk meskipun tak baru. Jalur musik yang dipilih pun tak jarang menuai protes dari orang tua. Hip hop memang sering diidentikkan dengan mabuk-mabukkan. Para ibu khususnya, merasa khawatir dengan dunia anaknya yang disebut sebagai dunia tidak jelas tersebut.
Musik hip hop dengan lirik bahasa Jawa tumbuh dan berada di ruang antara, dunia global dan dunia tradisional yang tidak selalu paradoksal dan berbenturan. Hal inilah yang menjadikan ruang ketiga menjadi sangat fleksibel sebagai habitat kelahiran budaya-budaya baru.
Berada di ruang antara memang bukan berarti harus melepaskan identitas asli. Kehidupan baru budaya di ruang antara menyediakan banyak jalan untuk memilih identitas. Apakah harus menyerap ruang-ruang lain, atau tetap beratahan dengan berbagai adaptasi atau hanya cukup menjadi abu-abu samar tanpa pretensi untuk menegaskannya sebagai apa.
Di ruang antara, ternyata sedang menjamur berbagai bentuk budaya yang masih jarang tersentuh kajian dan studi ilmiah. Di ruang antara akan masih terus lahir representasi, refleksi dan pemaknaan baru terhadap apa yang sedang dialami manusia. Di ruang antara, sedang menunggu seseorang yang tidak bisa lagi membedakan ‘dunia saya’ dan dunia-dunia lain di luarnya yang sebagian telah menjadi ‘dunia saya’ itu sendiri tanpa sadar dan diketahui.
1 Sujud Dartanto dan Noor Veiga. Catatan Kuratorial, Crossing Signs, 14 Seniman dari German dan Indonesia mengalami Zona Liminal, Taman Budaya Yogyakarta, 26 Maret 2011.
2 Dalam leaflet pertunjukan teater Garasi yang diselenggarakan di Taman Budaya Yogyakarta, 11-12 Maret 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar