Dan di sinilah aku. Selatan namaku. Dimana matahari tak pernah terbit dan terbenam dalam diriku. Cahaya yang mengembara di tepi-tepi cakrawala. Menampungkan segala keheningan dan penderitaan. Menenggelamkan mereka. Orang-orang kalap bermulut besar yang mengaku penyelamat.(1)
Seharusnya aku tak perlu membuat malu kalian dengan belas kasihku, wahai musuh-musuhku. Tapi aku tak bisa mengabaikan luapan cinta ini yang begitu saja mengalir kepadamu. Aku begitu tersesat di tengah halaman-halaman buku. Dan orang-orang yang kutuju tak juga hendak menunjukkan jalan. Sibuk menjadi mabuk oleh keharuman para lawan. Sibuk dengan gunung-gunung keangkuhan yang semakin menjulang.
Mereka, kepada siapa aku bertanya? Orang-orang itukah? yang melihat terang dari diri kalian dan tak pernah melihat nyala dalam dirinya sendiri. Mereka, sekawanan domba yang menuliskan huruf-huruf berdarah di sepanjang perjalanannya.(2) Telah kujamu mereka di dalam gubukku. Sekerat kerinduan dan piala airmata. Lalu mereka pergi begitu saja tanpa merasa kenyang atau terhapuskan dahaga. Tubuh-tubuh itu hanyalah mayat yang mengabaikan jiwa. Merayakan kematian dibalut kelembutan awan. Betapa tolol kehidupan yang bergelayutan di ujung-ujung jari mereka. Belas kasihku hanya abai. Tergantung di akar-akar ombak yang menghempasmu ke pelukan siwa.
Di tengah bising ini aku menunggunya. Di tepian jembatan di antara jurang-jurang galau. Menempuh perjalanan, perjuangan, meringkuk lelah di rahim-rahim semesta.
(1)Kalimat ini ada dalam Sabda Zarathustra entah di bagian mana
(2)ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar