Revitalisasi civil society menjadi prakondisi untuk menguatkan demokrasi di Indonesia. Sejak Orde Baru, gerakan masyarakat sipil muncul sebagai ekpresi dari otoritarianisme negara. Gerakan ini sebagian besar merupakan resistensi terhadap berbagai kebijakan negara. Pemerintah menjadi common enemy bagi gerakan masyarakat sipil sehingga di satu sisi hal ini menjadi hal yang bisa menjadi arah tujuan bagi gerakan-gerakan tersebut. Pasca Orde Baru, pintu demokrasi mulai terbuka. Pemilu sebagai salah satu tiang demokrasi prosedural dapat dilaksanakan dengan lebih demokratis. Gerakan masyarakat sipil kembali mencari bentuk ketika kehilangan common enemy-nya. Beberapa diantaranya bergerak untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dan advokasi. Beberapa lagi masih setia sebagai gerakan untuk menentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Sedangkan yang lainnya, terfokus pada isu-isu seperti lingkungan, kebudayaan, pendidikan, dan sebagainya.
Dalam hubungan dialektika antara negara dan masyarakat, civil society menempati suatu posisi yang menentukan. Ketika masyarakat mampu melampaui pengawasan dominasi negara dan menjadi lebih mandiri, maka prospek demokratisasi dapat lebih terbuka. Dalam situasi saat ini, hubungan antara negara dan masyarakat cenderung lebih simetris. Bahkan, untuk beberapa kasus menunjukkan bahwa hubungan antara weak state and strong society, negara lemah dan masyarakat lebih kuat. Hal ini membuka peluang masyarakat untuk mengontrol persoalan-persoalan politik mereka. Negara pada saat ini telah mengalami krisis legitimasi sebagai akibat kebijakan-kebijakan yang tidak dapat mengakomodasi kepentingan rakyat banyak. Negara selalu mendapat kritikan untuk banyak masalah yang berhubungan dengan hak-hal asasi, partisipasi masyarakat, perwakilan, keadilan, pemerataan ekonomi dan sebagainya. Semakin jauh negara mengabaikan permasalahn-permasalahn tersebut, keabsahannya akan dipertanyakan dari waktu ke waktu (Hikam, 1996:123).
Diskursus penetapan Sultan di DIY sebagai runtutan dari tahapan pembahasan RUUK menjadi salah satu kasus menarik untuk melihat bagaimana perkembangan civil society dalam pembangunan demokrasi. Eksistensi Yogyakarta sebagai daerah istimewa salah satunya disimbolkan dengan Sultan yang sekaligus ditetapkan sebagai Gubernur. Wacana mekanisme pemilihan Gubernur DIY sebagai salah satu bagian dari RUUK menuai protes dibanyak kalangan. Tensi politik cenderung memanas di DIY dengan banyaknya gerakan demontrasi dari berbagai elemen masyarakat yang mendukung penetapan.
Kasus ini dapat dibaca sebagai bentuk menguatakan civil society di aras lokal. Pisau analisis Chandoke terkait dengan persyaratan munculnya civil society pada saat ini relatif sudah terpenuhi. Keterkaitan fungsional antar elemen yang menyusun sistem politik di aras lokal sudah mulai tampak. Forum-forum representatif dari civil society yang menjadi ajang diskursus kritis yang bersifat sebagai counter balance terhadap negara telah ada (Suwondo, 2003: 182).
Isu penetapan Sultan sebagai gubernur DIY merupakan suatu pemantik bagi kebangkitan civil society di Yogyakarta. Lingkungan Kraton dengan pola-pola kekuasaan patront-klien di dalamnya ternyata justru bisa membangkitkan model demokrasi yang partisipatif di kalangan masyarakat. Nilai dan kesetiaan masyarakat Jogja terhadap eksistensi Kraton dalam hal ini dapat membentuk suatu gerakan masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini memberikan suatu nilai positif bagi perkembangan dan pembangunan demokrasi di lingkungan Kraton Yogyakarta.
Aksi masyarakat Jogja untuk mendukung Penetapan Sultan didukungg oleh berbagai elemen masyarakat. Berbagai elemen yang mendukung penetapan Sultan sebagai Gubernur antara lain adalah Paguyuban Kepala Desa se-Yogyakarta, Paguyuban Kepala Dusun se Yogyakarta, Paguyuban Tukang Becak dan Wisata se Yogyakarta, Forum Komunikasi Seniman se-DIY. Paguyuban Tri Dharma, Pemalni, Komunitas Juru Parkir, Patma, Handayani, Pamarta, Paguyuban Pedagang Lesehan Maliboro (PPLM), Paguyuban Pengusaha Malioboro (PPM), dan Paguyuban Pengusaha Ahmad Yani (PPAY) tak mau ketinggalan beraksi. Para pedagang, tukang becak, juru parkir hingga mahasiswa juga akan memenuhi kantor DPRD. Bahkan, janda-janda yang tergabung dalam Persaudaraan Janda-janda Indonesia (PJJI) pun berdemonstrasi.
Selebihnya, apabila menilik berbagai unsur masyarakat yang terlibat dalam aksi menuntut penetapan Sultan sebagai Gubernur DIY, dapat dikatakan bahwa sebagian besar dari mereka adalah elemen masyarakat di aras lokal. Sebut saja Paguyuban Kepala Desa dan Dusun se-DIY. Munculnya dua paguyuban tersebut dapat menjadi refleksi bahwa sistem politik di tingkat lokal dapat berjalan secara fungsional. Meskipun belum dilacak lebih jauh bagaimana pengorganisasian dua bentuk paguyuban ini, setidaknya aspirasi masyarakat di aras lokal sudah berani muncul dipermukaan. Sangat memungkinkan masih adanya elite capture dalam pengorganisasian dua paguyuban tersebut. Namun, ketatnya kontrol dari masyarakat dapat membuka peluang peluang mekanisme pengorganisasian yang lebih terbuka dan partisipatif.
Salah satu kasus yang tampak adalah bentuk dukungan berupa pengibaran sekitar kurang lebih 15.000 bendera Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dikibarkan di sepanjang ruas jalan Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bendera tersebut dikibarkan oleh masyarakat setempat sebagai dukungan klausal penetapan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bendera tersebut berlatar kain warna putih dengan lambang kraton `Hanggobo berwarna kuning yang pada bagian bawahnya tertera tulisan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ukuran sekitar 70 centimeter kali 40 centimeter yang dipasang diujung bambu runcing sebagai tiang pengibarnya.
Ketua Paguyuban Lurah Gunung Kidul, Suparno menyampaikan bahwa bendera-bendera tersebut berasal dari swadaya masyarakat dan sudah mulai didistribusikan untuk dipasang sejak Senin, 12 Desember 2010. Suparno mengatakan, jika pemerintah pusat tetap ingin mengubah keistimewaan DIY yang salah satunya dengan tidak menetapkan Sri Sultan Hamengkuwono X dan Sri Paduka Pakualam IX sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, dirinya bersama dengan elemen masyarakat lain siap melakukan penetapan sendiri. Sementara itu salah satu warga Gedangrejo, Kecamatan Karangmojo, Bambang Waluyo mengatakan mendapatkan bendera Kraton dari kepala dusun sebagai bentuk dukungan untuk penetapan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dari Kasus di atas, dapat dikatakan bahwa elit politik lokal mempunyai peranan penting untuk menggerakan inisiatif warga dalam rangka ikut ambil bagian dalam partisipasi politik. Di aras lokal dengan warna masyarakat yang masih kental dengan budaya Jawa, munculnya elite lokal sebagian besar merupakan tokoh yang dapat diteladani oleh masyarakat. Oleh karena itu, elit lokal dituntut untuk terus menerus menjadi wadah bagi masyarakat sekaligus menjalankan fungsi intermediari untuk menyalurkan aspirasi tersebut. Seorang Kepala Dusun ataupun Kepala Desa di Gunung Kidul mampu menggerakkan warganya untuk secara swadaya menunjukkan dukungan mereka terhadap penetapan Sultan melalui pengibaran bendera Kraton. Sebaliknya, proses ini juga perlu diwaspadai karena keberadaan elite lokal juga sangat rentan ketika ia justru menggunakan basis legitimasinya dimasyarakat untuk melakukan mobilisasi demi kepentingan pribadi.
Gerakan civil society melalui aksi masyarakat Jogja mendukung penetapan Sultan sebagai Gubernur dalam kacamata demokrasi bukan berarti tidak mendukung bentuk demokrasi prosedural melalui pemilihan. Namun, hal ini justru telah menunjukkan bentuk demokrasi karena merupakan kehendak sebagian besar masyarakat Yogyakarta. Demokrasi dalam kasus ini dapat dilihat secara lebih dalam sebagai bagian dari demokrasi substansial.
Permasalahan yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah bagaimana melakukan pelembagaan terhadap potensi civil society yang cenderung menguat seperti yang terjadi di Yogyakarta. Gerakan mereka pada tingkat tertentu telah berhasil membuat DPRD DIY sebagai representasi rakyat Jogja untuk menyetujui mendukung penetapan Sultan sebagai Gubernur. Menguatnya civil society di DIY dikhawatirkan hanya menjadi aksi yang akan terjadi dalam kasus-kasus tertentu saja dan bersifat temporal. Sangat memungkinkan ketika gerakan masyarakat tersebut kemudian menghilang apabila Pemerintah Pusat sudah mengakomodasi keinginan mereka dalam pembahasan RUUK.
Civil society dalam hal ini tidak hanya harus menguat pada masa atau untuk kasus-kasus tertentu saja. Segala unsur yang dapat membangkitkan atau menguatkan civil society perlu memikirkan mekanisme untuk melakukan pelembagaan agar potensi demokrasi dalam masyarakat dapat dikembangkan dalam segala kondisi. Aktor-aktor seperti elit politik lokal, dukungan dari para intelektual, LSM, bahkan pemerintah sendiri diperlukan untuk mengawal potensi civil society agar tetap menjadi pilar bagi pembangunan demokrasi.
Tujuan akhir dari pemberdayaan politik arus bawah adalah untuk memperkuat rasa kemandirian dan mendorong pengembangan diri masyarakat, yang pada gilirannya memungkinkan mereka untuk lebih menyadari akan hak-hak budaya, ekonomi, dan politik mereka. Kesadaran politik semacam ini sangat penting dalam mengarahkan perjuangan mereka pada pemenuhan pertisipasi politik secara penuh sebagai warga negara (Hikam, 1996: 130). Proses yang terjadi di Yogyakarta dapat ditindaklanjuti dengan melakukan pemberdayaan politik arus bawah. Fenomena ini jangan sampai hanya menjadi semacam euforia politik sesaat dari masyarakat. Meskipun berada di bawah struktur Kraton, masyarakat Yogyakarta memiliki potensi untuk menjadi bagian dari civil society dalam mengawal proses demokratisasi di Indonesia.
Kamis, 16 Desember 2010
Mencoba Mengaitkan Civil Society dan Sultan Ground dalam Kerangka Teoritis Chandoke
Civil society dalam konsep Chandoke yang berkorelasi dengan demokratisasi berusaha untuk menggeser perspektif state center ke society centre dimana masyarakat mampu mengorganisasi diri dan terbebas dari intervensi negara. Konsepsi Chandoke tersebut kemudian digunakan untuk melihat relasi antara masyarakat DIY dalam kaitannya dengan penggunaan Sultan Ground. Sultan Ground sendiri secara singkat merupakan tanah milik Sultan yang bisa digunakan oleh masyarakat dengan segala macam pengaturannya setelah menerima Surat Kekancingan dari Kraton.
Civil society di sini dapat dimaknai sebagai nilai maupun institusi. Sebagai nilai, dalam konsepsinya, civil society harus memiliki beberapa karakter, pertama adalah adanya partisipasi politik, pertanggungjawaban negara dan publisitas dari politik. Yogyakarta sendiri terkenal memiliki ciri khas budaya masyarakat yang masih dipengaruhi oleh tradisi mataraman. Budaya masyarakat tersebut telah terinternaliasasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan sebagian masih dipertahankan sampai sekarang. Struktur masyarakat di Yogyakarta masih pula dipengaruhi oleh paham kekuasaan Jawa dengan pelibatan Sultan sebagai sosok raja pengayom sekaligus penjaga kesejahteraan rakyatnya. Kekhasan tersebut juga menyangkut soal tanah dan penggunaannya.
Dalam perkembangannya, penggunaan Sultan Ground oleh masyarakat ternyata menuai banyak masalah. Selain karena hukum Kraton yang harus bersinggungan dengan hukum negara, beberapa aktor lain sempat masuk dalam ranah ini menyangkut penguasaan sumber daya alam, khususnya tanah. Masyarakat pengguna Sultan Ground dalam hal ini bisa diposisikan sebagai civil society. Dalam konsep Chandoke, syarat keberadaan civil society setidaknya bisa digunakan untuk mengidentifikasi masyarakat pengguna Sultan Ground sebagai individu dengan hak-hak yang melekat di dalamnya serta harus dilindungi. Selain itu, Chandoke juga mengemukaan bahwa anggota civil society adalah semua individu yang dilindungi oleh hukum.
Perkembangan kasus yang terjadi belakangan menyorongkan fakta bahwa hak-hak masyarakat pengguna Sultan Ground tersebut ternyata banyak yang dirampas, baik itu oleh negara maupun oleh aktor lain. Kasus nyata yang pernah terjadi bisa dilihat bagaimana pemerintah Kabupaten Bantul merelokasi warga yang menempati daerah Mancingan, Parangtritis (2006) dalam rangka penataan kawasan. Persoalan pelik ini terkait dengan surat Kekancingan Magersari dari warga yang diterbitkan oleh Yayasan Sultan Hamengkubuwono VII, bukan oleh lembaga yang saat ini mengurusi urusan pertanahan yaitu Paniti Kismo. Surat yang dimiliki warga akhirnya tidak diakui sehingga masyarakat terpaksa pindah. Surat tersebut memang menyebutkan bahwa warga tidak berhak membangun bangunan permanen karena sewaktu-waktu tanah dapat diambil apabila diperlukan. Ketidakjelasan hukum dan aturan tersebut lebih jauh dapat merugikan masyarakt karena sewaktu-waktu mereka bisa digusur dari tempat tinggal.
Civil society dalam kasus tersebut menempati posisi marginal. Keberadaan mereka kurang mampu menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol negara. Mereka bahkan menjadi korban dari aturan hukum negara yang tidak mengatur secara jelas tentang hak tanah adat dan ulayat. Bila demikian yang terjadi, keberadaan civil society yang lemah belum mampu menjadi pilar bagi tegaknya demokrasi melalui bentuk partisipasi maupun representasi. Kasus-kasus sengketa Sultan Ground yang lain sebagian besar juga belum diselesaikan melalui keterlibatan masyarakat, baik pada sisi kedalaman maupun keluasannya.
Hal ini akan berbeda ketika civil society dimaknai sebagai institusi. Melalui bentuk asosisiasi maupun institusi, civil society lebih mampu mengambangkan dirinya sebagai alat kontrol negara. Fakta ini dapat dilihat dalam kasus dukungan masyarakat Pengok terhadap penetapan Sultan HB X sebagai Gubernur dan Paku Alam IX sebagai wakil Gubernur (Maret, 2008). Masyarakat tersebut tergabung dalam Serikat Penghuni Rumah Negara Kereta Api (Sepur NKA). Dukungan ini dimaksudkan agar mereka dapat terus menghuni rumah dinas PT KA yang status tanahnya berupa Sultan Ground. Mereka berpendapat bahwa selama pemerintahan Sultan, rakyat dapat hidup tentram karena Sultan mampu menjadi penyayom bagi warganya. Kelompok masyarakat ini berharap dapat tetap menghuni rumah meraka dengan sistem sewa atau bagaimana baiknya.
Kasus ini memperlihatkan bahwa kehidupan asosiasional yang kuat dapat menguatkan civil society dalam posisi tawar meraka terhadap negara. Melalui asosiasi, masyarakat sadar akan haknya dan mampu mempertahankannya, misalnya dalam kasus ini adalah dengan mendatangi DPRD DIY untuk mendukung keistimewaan DIY dengan latar belakang mereka dapat terus menempati Sultan Ground. Meskipun tidak dapat disimpulkan secara gegabah, kehidupan civil society dalam bentuk institusi setidaknya telah mampu berpartisipasi dalam rangka memperjuangkan kepentingan mereka. Proses ini secara lebih jauh mampu mendorong masyarakat ke dalam iklim demokratisasi meskipun kehidupan mereka masih berada dalam lingkungan tradisi yang kuat atau bahkan bersifat constraining terhadap proses partisipasi.
Civil society di sini dapat dimaknai sebagai nilai maupun institusi. Sebagai nilai, dalam konsepsinya, civil society harus memiliki beberapa karakter, pertama adalah adanya partisipasi politik, pertanggungjawaban negara dan publisitas dari politik. Yogyakarta sendiri terkenal memiliki ciri khas budaya masyarakat yang masih dipengaruhi oleh tradisi mataraman. Budaya masyarakat tersebut telah terinternaliasasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan sebagian masih dipertahankan sampai sekarang. Struktur masyarakat di Yogyakarta masih pula dipengaruhi oleh paham kekuasaan Jawa dengan pelibatan Sultan sebagai sosok raja pengayom sekaligus penjaga kesejahteraan rakyatnya. Kekhasan tersebut juga menyangkut soal tanah dan penggunaannya.
Dalam perkembangannya, penggunaan Sultan Ground oleh masyarakat ternyata menuai banyak masalah. Selain karena hukum Kraton yang harus bersinggungan dengan hukum negara, beberapa aktor lain sempat masuk dalam ranah ini menyangkut penguasaan sumber daya alam, khususnya tanah. Masyarakat pengguna Sultan Ground dalam hal ini bisa diposisikan sebagai civil society. Dalam konsep Chandoke, syarat keberadaan civil society setidaknya bisa digunakan untuk mengidentifikasi masyarakat pengguna Sultan Ground sebagai individu dengan hak-hak yang melekat di dalamnya serta harus dilindungi. Selain itu, Chandoke juga mengemukaan bahwa anggota civil society adalah semua individu yang dilindungi oleh hukum.
Perkembangan kasus yang terjadi belakangan menyorongkan fakta bahwa hak-hak masyarakat pengguna Sultan Ground tersebut ternyata banyak yang dirampas, baik itu oleh negara maupun oleh aktor lain. Kasus nyata yang pernah terjadi bisa dilihat bagaimana pemerintah Kabupaten Bantul merelokasi warga yang menempati daerah Mancingan, Parangtritis (2006) dalam rangka penataan kawasan. Persoalan pelik ini terkait dengan surat Kekancingan Magersari dari warga yang diterbitkan oleh Yayasan Sultan Hamengkubuwono VII, bukan oleh lembaga yang saat ini mengurusi urusan pertanahan yaitu Paniti Kismo. Surat yang dimiliki warga akhirnya tidak diakui sehingga masyarakat terpaksa pindah. Surat tersebut memang menyebutkan bahwa warga tidak berhak membangun bangunan permanen karena sewaktu-waktu tanah dapat diambil apabila diperlukan. Ketidakjelasan hukum dan aturan tersebut lebih jauh dapat merugikan masyarakt karena sewaktu-waktu mereka bisa digusur dari tempat tinggal.
Civil society dalam kasus tersebut menempati posisi marginal. Keberadaan mereka kurang mampu menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol negara. Mereka bahkan menjadi korban dari aturan hukum negara yang tidak mengatur secara jelas tentang hak tanah adat dan ulayat. Bila demikian yang terjadi, keberadaan civil society yang lemah belum mampu menjadi pilar bagi tegaknya demokrasi melalui bentuk partisipasi maupun representasi. Kasus-kasus sengketa Sultan Ground yang lain sebagian besar juga belum diselesaikan melalui keterlibatan masyarakat, baik pada sisi kedalaman maupun keluasannya.
Hal ini akan berbeda ketika civil society dimaknai sebagai institusi. Melalui bentuk asosisiasi maupun institusi, civil society lebih mampu mengambangkan dirinya sebagai alat kontrol negara. Fakta ini dapat dilihat dalam kasus dukungan masyarakat Pengok terhadap penetapan Sultan HB X sebagai Gubernur dan Paku Alam IX sebagai wakil Gubernur (Maret, 2008). Masyarakat tersebut tergabung dalam Serikat Penghuni Rumah Negara Kereta Api (Sepur NKA). Dukungan ini dimaksudkan agar mereka dapat terus menghuni rumah dinas PT KA yang status tanahnya berupa Sultan Ground. Mereka berpendapat bahwa selama pemerintahan Sultan, rakyat dapat hidup tentram karena Sultan mampu menjadi penyayom bagi warganya. Kelompok masyarakat ini berharap dapat tetap menghuni rumah meraka dengan sistem sewa atau bagaimana baiknya.
Kasus ini memperlihatkan bahwa kehidupan asosiasional yang kuat dapat menguatkan civil society dalam posisi tawar meraka terhadap negara. Melalui asosiasi, masyarakat sadar akan haknya dan mampu mempertahankannya, misalnya dalam kasus ini adalah dengan mendatangi DPRD DIY untuk mendukung keistimewaan DIY dengan latar belakang mereka dapat terus menempati Sultan Ground. Meskipun tidak dapat disimpulkan secara gegabah, kehidupan civil society dalam bentuk institusi setidaknya telah mampu berpartisipasi dalam rangka memperjuangkan kepentingan mereka. Proses ini secara lebih jauh mampu mendorong masyarakat ke dalam iklim demokratisasi meskipun kehidupan mereka masih berada dalam lingkungan tradisi yang kuat atau bahkan bersifat constraining terhadap proses partisipasi.
Perbandingan Model masyarakat Sipil di Lingkungan Kraton
Ketika melihat model masyarakat sipil di dalam, di lingkungan dan di luar Kraton, maka akan terlihat kecenderungan warna yang berbeda. Beberapa contoh kasus dalam studi ini setidaknya bisa mewakili warna masyarakat sipil di tiga ranah tersebut. paguyuban Semar Sembogo atau perkumpulan dukuh se-DIY misalnya. Paguyuban ini dengan bebas dapat menyuarakan aspirasinya terkait dengan isu-isu keistimewaan DIY. Di luar itu, peguyuban ini tetap melakukan kegiatan dan pertemuan rutin seperti arisan dan sebagainya. Relasinya dengan Kraton sukup jelas, namun terbatas pada dukungan mereka terhadap penetapan Sultan sebagai gubernur. Di luar itu, kelompok ini tidak berelasi dengan Kraton secara langsung. Beberapa nilai dari masyarakat sipil dapat dilihat dari dinamika paguyuban ini. Mereka memiliki keterlibatan dan komitmen warga negara dalam proses politik (civic engagement) ketika berusaha untuk terlibat dalam pembahasan RUUK. Kehidupan asosiasional yang kuat juga diperlihatkan, meskipun derajatnya kadang bersifat temporal tergantung pada naik turunnya isu pembahasan RUUK di DPR. Partisipasi mereka melalui berbagai event yang melibatkan massa secara luas, khususnya masyarakat Jogja dapat dibaca sebagai proses demokratiasi masyarakat. Dinamika terhadap paguyuban ini apabila ditelisik lebih dalam tentu tidak sesederhana penjelasan di atas. Banyak elemen lain yang masih bisa diungkap melalui pendalaman studi labih lanjut.
Berbeda halnya dengan masyarakat sipil di lingkungan Kraton. tipe ini dicirikan dengan berbagai paguyuban dan asosiasi yang juga banyak direproduksi di daerah lain dengan bantuan program pemerintah. Relasinya lebih banyak ke pemerintah daerah daripada ke Kraton sendiri. Meskipun demikian, struktur Kraton masih mewarnai paguyuban-paguyuban tersebut. struktur ini di satu sisi bisa mendorong berkembangnya masyarakat sipil seperti budaya toleransi, gotong royong, tingginya tingkat kepercayaan antar anggota, dan sebagainya melalui falsafah dan budaya Jawa yang diwariskan. Namun di sisi lain, struktur ini bisa dikatakan seperti mengambil jarak terhadap masyarakat sendiri. Posisi Sultan, sebagai Raja sekaligus Gubernur DIY tidak serta merta berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat sipil di lingkungan Kraton. sebagian besar dari paguyuban yang ada hanya menjadi agen pemerintah untuk menjalankan program-progamnya. Sebut saja Kelompok Tani Wanita Sri Rejeki, asosiasi ini terasa kurang memiliki ruh masyarakat sipil yang seharusnya hadir di dalamnya. Hal ini sedikit berbeda dengan paguyuban Genthong 13, pemerintah dalam hal ini hanya menjadi fasilitator sedangkan nilai-nilai masyarakat sipil tersebut dapat berkembang dalam paguyuban ini. Mereka memiliki pengaturan tersendiri dalam pengelolaan air dengan pelibatan yang intensif dari para anggotanya.
Warna yang sama sekali lain tampak pada paguyuban abdi dalem Kraton. data sementara yang terkumpul menggambarkan bahwa meskipun mereka menyebut dirinya sebagai paguyuban, namun mungkin tidak bisa dikategorikan sebagai masyarakat sipil. Aspirasi mereka tidak memiliki wadah yang representatif. Struktur Kraton yang terlalu kuat telah mengungkung mereka sampai untuk menyampaikan pendapat saja mereka tidak memiliki keberanian. Menarik melihat bagaimana kelompok ini bisa melakukan demontrasi terkait keistimewaan DIY. Pun demikian, inisiatif untuk melakukan protes tersebut tidak muncul dari diri mereka melainkan berdasarkan amanat para Pengageng di atasnya. Kuat dugaan bahwa proses ini bisa dikatakan sebagai bentuk mobiliasasi. Para abdi dalem tersebut memiliki logika tersendiri ketika mereka mau habis-habisan mengabdikan diri untuk Kraton. padahal, apabila melihat latarbelakang mereka, beberapa diantaranya pernah bekerja sebagai pegawai bank, angkatan laut, bahkan seorang profesor. Ada semacam karakter dan habitus tersendiri yang membentuk mereka yang kemudian digunakan untuk merasionalisasi apa yang mereka lakukan.
Dalam perspektif nilai, Kraton bisa dikatakan menyumbang banyak terhadap hadirnya relasi-relasi masyarakat yang masih memegang bentuk toleransi, kepercayaan, sebagai basis dari terbentuknya masyarakat sipil. Namun dari sisi struktur, Kraton dengan kuat mencengkeram model-model partisipasi dan keterbukaan untuk menjaga legitimasinya dengan kewibawaan dan eksistensi yang selama ini terus dipertahankan dengan berbagai cara.
Berbeda halnya dengan masyarakat sipil di lingkungan Kraton. tipe ini dicirikan dengan berbagai paguyuban dan asosiasi yang juga banyak direproduksi di daerah lain dengan bantuan program pemerintah. Relasinya lebih banyak ke pemerintah daerah daripada ke Kraton sendiri. Meskipun demikian, struktur Kraton masih mewarnai paguyuban-paguyuban tersebut. struktur ini di satu sisi bisa mendorong berkembangnya masyarakat sipil seperti budaya toleransi, gotong royong, tingginya tingkat kepercayaan antar anggota, dan sebagainya melalui falsafah dan budaya Jawa yang diwariskan. Namun di sisi lain, struktur ini bisa dikatakan seperti mengambil jarak terhadap masyarakat sendiri. Posisi Sultan, sebagai Raja sekaligus Gubernur DIY tidak serta merta berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat sipil di lingkungan Kraton. sebagian besar dari paguyuban yang ada hanya menjadi agen pemerintah untuk menjalankan program-progamnya. Sebut saja Kelompok Tani Wanita Sri Rejeki, asosiasi ini terasa kurang memiliki ruh masyarakat sipil yang seharusnya hadir di dalamnya. Hal ini sedikit berbeda dengan paguyuban Genthong 13, pemerintah dalam hal ini hanya menjadi fasilitator sedangkan nilai-nilai masyarakat sipil tersebut dapat berkembang dalam paguyuban ini. Mereka memiliki pengaturan tersendiri dalam pengelolaan air dengan pelibatan yang intensif dari para anggotanya.
Warna yang sama sekali lain tampak pada paguyuban abdi dalem Kraton. data sementara yang terkumpul menggambarkan bahwa meskipun mereka menyebut dirinya sebagai paguyuban, namun mungkin tidak bisa dikategorikan sebagai masyarakat sipil. Aspirasi mereka tidak memiliki wadah yang representatif. Struktur Kraton yang terlalu kuat telah mengungkung mereka sampai untuk menyampaikan pendapat saja mereka tidak memiliki keberanian. Menarik melihat bagaimana kelompok ini bisa melakukan demontrasi terkait keistimewaan DIY. Pun demikian, inisiatif untuk melakukan protes tersebut tidak muncul dari diri mereka melainkan berdasarkan amanat para Pengageng di atasnya. Kuat dugaan bahwa proses ini bisa dikatakan sebagai bentuk mobiliasasi. Para abdi dalem tersebut memiliki logika tersendiri ketika mereka mau habis-habisan mengabdikan diri untuk Kraton. padahal, apabila melihat latarbelakang mereka, beberapa diantaranya pernah bekerja sebagai pegawai bank, angkatan laut, bahkan seorang profesor. Ada semacam karakter dan habitus tersendiri yang membentuk mereka yang kemudian digunakan untuk merasionalisasi apa yang mereka lakukan.
Dalam perspektif nilai, Kraton bisa dikatakan menyumbang banyak terhadap hadirnya relasi-relasi masyarakat yang masih memegang bentuk toleransi, kepercayaan, sebagai basis dari terbentuknya masyarakat sipil. Namun dari sisi struktur, Kraton dengan kuat mencengkeram model-model partisipasi dan keterbukaan untuk menjaga legitimasinya dengan kewibawaan dan eksistensi yang selama ini terus dipertahankan dengan berbagai cara.
Hasil wawancara Abdi Dalem Kraton, 21 Oktober 2010
Salah satu abdi dalem yang kami temui adalah KMT CB atau Bupati Kliwon. Ia menjabat sebagai Bupati Kliwon sejak tahun 2000 sampai sekarang. Jenjang kepangkatan ini sudah yang paling tinggi untuk abdi dalem yang tidak bisa menjadi Pengageng. Jabatan pengageng biasanya dimiliki oleh keturunan Sultan, seperti yang saat ini menjabat adalah wayah kaping 8 (cucu ke-delapan). Pengageng merupakan istilah lain dari pimpinan sedangkan tepas adalah istilah lain dari Kraton. Mbah Buyut dari KMT CB dulunya adalah seorang abdi dalem, sedangkan kakek dan ayahnya hanya petani dan kusir andong biasa. KMT CB juga tidak memiliki tanah magersari yang biasanya bisa diwariskan secara turun temurun. Dalam hal ini ia memang tidak minta, tuturnya, “nyuwun menawi mboten diagem rak nggih malah muspro.”
Baginya, menjadi abdi dalem memiliki motif tersendiri. Pertama, ia ingin melestarikan budaya Jawa sebagai budaya adiluhung. Selain itu, ia juga bisa srawung dengan para abdi dalem lain dan bersama-sama mengabdi pada Sultan. Motifnya yang lain adalah harapannya untuk mendapat berkah dari apa yang ia lakukan. “Ngiyup sak ngisore ringin rak nggih langkung iyup,” ujarnya terkait dengan kesediannya menjadi abdi dalem.
Jumlah abdi dalem punakawan kurang lebih adalah 1200. Dari jumlah tersebut, kira-kira 100 orang bekerja di Tepas, dan yang lain adalah abdi dalem caosan atau hanya sowan dalam waktu 12 hari sekali. Jenjang gaji yang diterima abdi dalem masing-masing adalah sebagai berikut:
Abdi dalem caosan : 10.0000
Abdi dalem yang bekerja di Tepas: 20.0000
Bekel enom : 30.000
Bekel Sepuh : 40.000
Lurah : 50.000
Kliwon : 70.000
Wedana : 80.000
Riyo Bupati Anom : 90.000
Bupati Anom : 100.000
Bupati Sepuh : 110.000
Bupati Kliwon : 120.000
Bupati Nayaka : 140.000
Bupati Sentana : 160.000
Selain gaji, para abdi dalem juga mendapatkan tunjangan kesehatan yang besarannya disesuaikan dengan jenjang kepangkatan.
Setiap harinya, mereka bekerja setiap pukul 09.00-13.30 WIB. Namun, untuk KMT CB, ia meminta untuk tidak sowan setiap hari Jum’at. Hari itu dikhususkannya untuk beribadah, juga membersihkan masjid dekat rumahnya. Jarak rumahnya ke Kraton kira-kira adalah delapan kilometer yang ditempuh dengan sepeda motor setiap harinya. Saat ini, ia sudah berusia 67 tahun dan dikaruniai 6 orang putra. Anaknya yang paling tua sudah jadi sarjana, sedangkan yang paling kecil sudah lulus SMA dan menikah.
Di Kraton, terdapat paguyuban yang bernama ‘Budi Wadu Narendra’. Paguyuban ini dapat diistilahkan sebagai korps-nya abdi dalem Kraton. Pada awal berdirinya, paguyuban ini mengadakan pertemuan setiap satu tahun sekali untuk semua anggota, namun saat ini pertemuan itu sudah jarang dilakukan. Untuk masing-masing Tepas, pertemuan rutin para abdi dalem dilakukan setiap dua bulan sekali. Pertemuan ini dihadiri oleh Pengageng 2 (wakil Pengageng) beserta cariknya. Jumlah keseluruhan abdi dalem yang mengikuti pertemuan ini biasanya hanya 20 orang.
Pertemuan tersebut membahas tentang berbagai persoalan terkait administrasi. Pernah sekali waktu para abdi dalem tersebut dipanggil oleh Gusti Joyo dan diberi pengarahan seputar persoalan di Kraton, bisanya dilakukan pada hari Jum’at. Pelibatan abdi dalem ternyata sangat terbatas. Untuk persoalan pembangunan fisik di Kraton, abdi dalem tidak pernah dilibatkan sama sekali.
Pada saat ini, Kraton sedang mengadakan pawiyatan atau sekolah untuk abdi dalem. Lama pendidikan untuk satu angkatan diselesaikan dalam jangka waktu satu bulan. Meskipun demikian, saluran aspirasi untuk para abdi dalem tersebut ternyata sangat sedikit. Mereka tidak bisa menyalurkan ide-ide hanya karena tidak berani. “Menawi abdi dalem, mboten wonten ingkang wantun,” demikian ungkap KMT CB. Mereka bahkan merasa tidak membutuhkan hak untuk menyalurkan aspirasi tersebut. Bagi mereka, cukup bendara-bendara saja yang bersuara. Hak tanah yang dimiliki para abdi dalem sebagian besar juga tidak diminta. Mereka biasanya diberi tanah di daerah-daerah yang jauh seperti di Selarong, sedangkan tanah-tanah di lingkungan Kraton adalah hak bagi keluarga Sultan. Untuk KMT CB, ia memilih untuk tidak meminta haknya tersebut karena saat ini ia sendiri sudah punya rumah dan tanah, meskipun hanya di dusun.
Ketika merebak isu RUUK DIY, terkait penetapan Sultan sebagai Gubernur. Para abdi dalem ini terlihat berdemo untuk mendukung Sultan. Ini pun dilakukan demi kepentingan Sultan. Demontrasi belum pernah sekalipun dilakukan untuk kepentingan pribadi atau ngaturaken panyuwunan. Mereka sekali lagi merasa benar-benar tidak berani. Inisiatif untuk melakukan demontrasi terkait RUUK juga bukan berasal dari abdi dalem sendiri. Dari perkataan KMT CB, terlihat bahwa ada upaya mobilisasi dari para Pengageng untuk menggerakkan abdi dalem.
Melompat ke peristiwa Gempa Jogja, abdi dalem ternyata tidak mendapat bantuan dari Kraton secara langsung. Bantuan didapatkan dari pribadi seperi Gusti Pembayun yang menyumbangkan kasur, bahan makanan pokok dan peralatan rumah tangga kepada KMT CB. Padahal, pada saat itu beliau kehilangan rumah dan satu orang anaknya.
KMT CB menjadi sesepuh di Kanayan Bumi Sewu atau perkumpulan abdi dalem yang bertugas mengurusi apabila ada yang meninggal dunia. Paguyuban ini lebih dinamis karena memiliki kegiatan rutin seperti arisan setiap bulan. Apabila ada gelar budaya, mereka biasanya juga diundang untuk menyaksikan sebagai tamu, mendampingi rombongan Sultan. Mereka pernah akan dilibatkan dalam suatu pawai budaya, hanya saja kegiatan ini batal dilaksanakan karena peserta dari Muntilan ternyata sudah banyak jumlahnya. Untuk Kanayakan lain, KMT CB mengaku tidak tahu karena memang jarang berkumpul. Sepertinya masing-masing Tepas memang di setting untuk tidak saling mengetahui urusan masing-masing.
Mereka juga diperbolehkan untuk ketemu Sultan setiap Lebaran. Sowan seperti ini sudah dijadwalkan dan dikoordinasikan dengan rapi. Untuk pagi, yang diperkenankan untuk sowan adalah abdi dalem dengan pangkat Riyo Bupati ke atas. Di bawah pangkat itu, masih diperbolehkan hanya saja dengan waktu yang berbeda, atau mungkin hari yang berbeda.
Para abdi dalem biasa mengenakan beskap yang juga menunjukkan identitasnya. Misalnya untuk warna merah, adalah abdi dalem pekerja kasar, seperti tukang memotong rumput atau bersih-bersih. Semua pakaian tersebut diusahakan secara mandiri. Hanya saja untuk abdi dalem yang bertugas di bidang pariwisata, akan mendapat jatah sragam dari kraton. bekerja di Parentah Hageng sebenarnya rekasa atau berat, sering lembur tapi tidak mendapatkan gaji tambahan. Berbeda dengan abdi dalem atau pihak luar yang menyajikan uyon-uyon di Bangsal Sri Manganti. Mereka mendapatkan sekitar lima sampai sepuluh ribu setiap kali sowan. Mereka menyajikan uyon-uyon setiap hari Senin, Selasa dan Minggu. Pada hari Rabu biasanya digelar pertunjukan Wayang Golek. Pada hari Jum’at terdapat acara Macapatan dan hari Sabtu digelar pertunjukan Wayang Kulit.
Salah satu pegawai di Parentah Hageng yang kami temui, khususnya yang menjabat sebagai carik bernama MA. Beliau ternyata adalah seorang pensiunan pegawai Bank Mandiri, bagian audit. Sebagai abdi dalem, beliau berpikir bahwa hidupnya akan lebih bermanfaat ketika kemampuannya masih bisa digunakan untuk kepentingan Kraton meskipun sudah pensiun.
Mekanisme reward dan punishment dalam Kraton dilaksanakan dengan cara sederhana. Abdi dalem yang sudah bekerja selama delapan tahun akan mendapatkan lencana bernama ‘Setyo Aji Nugraha’. Lencana ini diberikan secara periodik dalam jangka waktu tersebut. hal ini menjadi satu-satunya reward bagi abdi dalem yang sudah dengan setia menjalankan tugasnya. Kraton tidak memberikan reward dalam bentuk tunjangan atau yang lain. Sedangkan mekanisme sanksi dikenakan pada abdi dalem yang selama 6 bulan tidak sowan. Sanksi yang diberikan adalah dikeluarkan setelah sebelumnya diberi surat peringatan.
Beberapa cerita yang didapat dari para abdi dalem ini kadang terasa berada di luar logika. Misalnya saja KMT CB yang rela dengan gaji 120 ribu tiap bulan untuk mengabdi ke Kraton setiap pagi. Demikian halnya dengan cerita dati Dwijo Soesilo Atmojo yang menjadi salah satu abdi dalem keprajan. Beliau adalah seorang pensiunan Kepala Sekolah SMP I Pandak, Bantul yang sowan setiap kamis minggu pertama, tiap bulan. Selain itu, terdapat cerita dari YJ, S.H. M.M. Ia menjadi abdi dalem atas wasiat dari ayahnya. Pangkatnya adalah Raden Wedana yang sowan setiap Kamis minggu pertama dan keempat. Ia adalah pensiunan angkatan laut yang juga pernah mengajar di Akademi Sekretaris Don Boscho, Jakarta. Rumah dinasnya saat ini adalah di Jakarta. Jadi untuk setiap bulannya, ia harus nglaju dari Jakarta dengan Kereta hanya untuk sowan. Keluarganya sempat keberatan. Setiap kali habis duduk bersila, ia juga sering merasakan sakit. Tapi sekarang karena sudah terbiasa, sudah tidak merasakan sakit lagi. Dan keluarga akhirnya juga bisa menerima keputusannya.
Sebagai abdi dalem, masing-masing pribadi pasti punya motif tersendiri. Di satu sisi, mereka kemungkinan akan merasa bangga diakui sebagai orang njero Kraton. posisi ini memiliki prestise tersendiri secara sosiologis di masyarakat. Para abdi dalem ini memang sedikit banyak memiliki karakter yang hampir mirip. Kalau melihat dari perspektif Bourdieu (sosiolog Prancis) mereka memang hidup dalam suatu struktur terlembaga, yang dalam prosesnya telah terinternalisasi sekian lama dalam masing-masing pribadi sehingga membentuk suatu habitus.
Baginya, menjadi abdi dalem memiliki motif tersendiri. Pertama, ia ingin melestarikan budaya Jawa sebagai budaya adiluhung. Selain itu, ia juga bisa srawung dengan para abdi dalem lain dan bersama-sama mengabdi pada Sultan. Motifnya yang lain adalah harapannya untuk mendapat berkah dari apa yang ia lakukan. “Ngiyup sak ngisore ringin rak nggih langkung iyup,” ujarnya terkait dengan kesediannya menjadi abdi dalem.
Jumlah abdi dalem punakawan kurang lebih adalah 1200. Dari jumlah tersebut, kira-kira 100 orang bekerja di Tepas, dan yang lain adalah abdi dalem caosan atau hanya sowan dalam waktu 12 hari sekali. Jenjang gaji yang diterima abdi dalem masing-masing adalah sebagai berikut:
Abdi dalem caosan : 10.0000
Abdi dalem yang bekerja di Tepas: 20.0000
Bekel enom : 30.000
Bekel Sepuh : 40.000
Lurah : 50.000
Kliwon : 70.000
Wedana : 80.000
Riyo Bupati Anom : 90.000
Bupati Anom : 100.000
Bupati Sepuh : 110.000
Bupati Kliwon : 120.000
Bupati Nayaka : 140.000
Bupati Sentana : 160.000
Selain gaji, para abdi dalem juga mendapatkan tunjangan kesehatan yang besarannya disesuaikan dengan jenjang kepangkatan.
Setiap harinya, mereka bekerja setiap pukul 09.00-13.30 WIB. Namun, untuk KMT CB, ia meminta untuk tidak sowan setiap hari Jum’at. Hari itu dikhususkannya untuk beribadah, juga membersihkan masjid dekat rumahnya. Jarak rumahnya ke Kraton kira-kira adalah delapan kilometer yang ditempuh dengan sepeda motor setiap harinya. Saat ini, ia sudah berusia 67 tahun dan dikaruniai 6 orang putra. Anaknya yang paling tua sudah jadi sarjana, sedangkan yang paling kecil sudah lulus SMA dan menikah.
Di Kraton, terdapat paguyuban yang bernama ‘Budi Wadu Narendra’. Paguyuban ini dapat diistilahkan sebagai korps-nya abdi dalem Kraton. Pada awal berdirinya, paguyuban ini mengadakan pertemuan setiap satu tahun sekali untuk semua anggota, namun saat ini pertemuan itu sudah jarang dilakukan. Untuk masing-masing Tepas, pertemuan rutin para abdi dalem dilakukan setiap dua bulan sekali. Pertemuan ini dihadiri oleh Pengageng 2 (wakil Pengageng) beserta cariknya. Jumlah keseluruhan abdi dalem yang mengikuti pertemuan ini biasanya hanya 20 orang.
Pertemuan tersebut membahas tentang berbagai persoalan terkait administrasi. Pernah sekali waktu para abdi dalem tersebut dipanggil oleh Gusti Joyo dan diberi pengarahan seputar persoalan di Kraton, bisanya dilakukan pada hari Jum’at. Pelibatan abdi dalem ternyata sangat terbatas. Untuk persoalan pembangunan fisik di Kraton, abdi dalem tidak pernah dilibatkan sama sekali.
Pada saat ini, Kraton sedang mengadakan pawiyatan atau sekolah untuk abdi dalem. Lama pendidikan untuk satu angkatan diselesaikan dalam jangka waktu satu bulan. Meskipun demikian, saluran aspirasi untuk para abdi dalem tersebut ternyata sangat sedikit. Mereka tidak bisa menyalurkan ide-ide hanya karena tidak berani. “Menawi abdi dalem, mboten wonten ingkang wantun,” demikian ungkap KMT CB. Mereka bahkan merasa tidak membutuhkan hak untuk menyalurkan aspirasi tersebut. Bagi mereka, cukup bendara-bendara saja yang bersuara. Hak tanah yang dimiliki para abdi dalem sebagian besar juga tidak diminta. Mereka biasanya diberi tanah di daerah-daerah yang jauh seperti di Selarong, sedangkan tanah-tanah di lingkungan Kraton adalah hak bagi keluarga Sultan. Untuk KMT CB, ia memilih untuk tidak meminta haknya tersebut karena saat ini ia sendiri sudah punya rumah dan tanah, meskipun hanya di dusun.
Ketika merebak isu RUUK DIY, terkait penetapan Sultan sebagai Gubernur. Para abdi dalem ini terlihat berdemo untuk mendukung Sultan. Ini pun dilakukan demi kepentingan Sultan. Demontrasi belum pernah sekalipun dilakukan untuk kepentingan pribadi atau ngaturaken panyuwunan. Mereka sekali lagi merasa benar-benar tidak berani. Inisiatif untuk melakukan demontrasi terkait RUUK juga bukan berasal dari abdi dalem sendiri. Dari perkataan KMT CB, terlihat bahwa ada upaya mobilisasi dari para Pengageng untuk menggerakkan abdi dalem.
Melompat ke peristiwa Gempa Jogja, abdi dalem ternyata tidak mendapat bantuan dari Kraton secara langsung. Bantuan didapatkan dari pribadi seperi Gusti Pembayun yang menyumbangkan kasur, bahan makanan pokok dan peralatan rumah tangga kepada KMT CB. Padahal, pada saat itu beliau kehilangan rumah dan satu orang anaknya.
KMT CB menjadi sesepuh di Kanayan Bumi Sewu atau perkumpulan abdi dalem yang bertugas mengurusi apabila ada yang meninggal dunia. Paguyuban ini lebih dinamis karena memiliki kegiatan rutin seperti arisan setiap bulan. Apabila ada gelar budaya, mereka biasanya juga diundang untuk menyaksikan sebagai tamu, mendampingi rombongan Sultan. Mereka pernah akan dilibatkan dalam suatu pawai budaya, hanya saja kegiatan ini batal dilaksanakan karena peserta dari Muntilan ternyata sudah banyak jumlahnya. Untuk Kanayakan lain, KMT CB mengaku tidak tahu karena memang jarang berkumpul. Sepertinya masing-masing Tepas memang di setting untuk tidak saling mengetahui urusan masing-masing.
Mereka juga diperbolehkan untuk ketemu Sultan setiap Lebaran. Sowan seperti ini sudah dijadwalkan dan dikoordinasikan dengan rapi. Untuk pagi, yang diperkenankan untuk sowan adalah abdi dalem dengan pangkat Riyo Bupati ke atas. Di bawah pangkat itu, masih diperbolehkan hanya saja dengan waktu yang berbeda, atau mungkin hari yang berbeda.
Para abdi dalem biasa mengenakan beskap yang juga menunjukkan identitasnya. Misalnya untuk warna merah, adalah abdi dalem pekerja kasar, seperti tukang memotong rumput atau bersih-bersih. Semua pakaian tersebut diusahakan secara mandiri. Hanya saja untuk abdi dalem yang bertugas di bidang pariwisata, akan mendapat jatah sragam dari kraton. bekerja di Parentah Hageng sebenarnya rekasa atau berat, sering lembur tapi tidak mendapatkan gaji tambahan. Berbeda dengan abdi dalem atau pihak luar yang menyajikan uyon-uyon di Bangsal Sri Manganti. Mereka mendapatkan sekitar lima sampai sepuluh ribu setiap kali sowan. Mereka menyajikan uyon-uyon setiap hari Senin, Selasa dan Minggu. Pada hari Rabu biasanya digelar pertunjukan Wayang Golek. Pada hari Jum’at terdapat acara Macapatan dan hari Sabtu digelar pertunjukan Wayang Kulit.
Salah satu pegawai di Parentah Hageng yang kami temui, khususnya yang menjabat sebagai carik bernama MA. Beliau ternyata adalah seorang pensiunan pegawai Bank Mandiri, bagian audit. Sebagai abdi dalem, beliau berpikir bahwa hidupnya akan lebih bermanfaat ketika kemampuannya masih bisa digunakan untuk kepentingan Kraton meskipun sudah pensiun.
Mekanisme reward dan punishment dalam Kraton dilaksanakan dengan cara sederhana. Abdi dalem yang sudah bekerja selama delapan tahun akan mendapatkan lencana bernama ‘Setyo Aji Nugraha’. Lencana ini diberikan secara periodik dalam jangka waktu tersebut. hal ini menjadi satu-satunya reward bagi abdi dalem yang sudah dengan setia menjalankan tugasnya. Kraton tidak memberikan reward dalam bentuk tunjangan atau yang lain. Sedangkan mekanisme sanksi dikenakan pada abdi dalem yang selama 6 bulan tidak sowan. Sanksi yang diberikan adalah dikeluarkan setelah sebelumnya diberi surat peringatan.
Beberapa cerita yang didapat dari para abdi dalem ini kadang terasa berada di luar logika. Misalnya saja KMT CB yang rela dengan gaji 120 ribu tiap bulan untuk mengabdi ke Kraton setiap pagi. Demikian halnya dengan cerita dati Dwijo Soesilo Atmojo yang menjadi salah satu abdi dalem keprajan. Beliau adalah seorang pensiunan Kepala Sekolah SMP I Pandak, Bantul yang sowan setiap kamis minggu pertama, tiap bulan. Selain itu, terdapat cerita dari YJ, S.H. M.M. Ia menjadi abdi dalem atas wasiat dari ayahnya. Pangkatnya adalah Raden Wedana yang sowan setiap Kamis minggu pertama dan keempat. Ia adalah pensiunan angkatan laut yang juga pernah mengajar di Akademi Sekretaris Don Boscho, Jakarta. Rumah dinasnya saat ini adalah di Jakarta. Jadi untuk setiap bulannya, ia harus nglaju dari Jakarta dengan Kereta hanya untuk sowan. Keluarganya sempat keberatan. Setiap kali habis duduk bersila, ia juga sering merasakan sakit. Tapi sekarang karena sudah terbiasa, sudah tidak merasakan sakit lagi. Dan keluarga akhirnya juga bisa menerima keputusannya.
Sebagai abdi dalem, masing-masing pribadi pasti punya motif tersendiri. Di satu sisi, mereka kemungkinan akan merasa bangga diakui sebagai orang njero Kraton. posisi ini memiliki prestise tersendiri secara sosiologis di masyarakat. Para abdi dalem ini memang sedikit banyak memiliki karakter yang hampir mirip. Kalau melihat dari perspektif Bourdieu (sosiolog Prancis) mereka memang hidup dalam suatu struktur terlembaga, yang dalam prosesnya telah terinternalisasi sekian lama dalam masing-masing pribadi sehingga membentuk suatu habitus.
Ringkasan Ide tentang Masyarakat Sipil dalam Chandhoke, Neera, Benturan Negara dan Masyarakat Sipil
Pembicaaraan tentang masyarakat sipil selalu terkait dengan pembicaraan tentang negara. Dalam perkembangannya, konsep masyarakat sipil terus mengalami perubahan seiring dengan berbagai perubahan konsep tentang negara. Negara dipahami sebagai entitas yang berusaha untuk mengontrol dan membatasi praktik politik masyarakat dengan membangun peraturan politik. Praktik negara tersebut menyentuh arena dimana terdapat mediasi dan kompetisi; tempat dimana masyarakat masuk dan berhubungan dengan negara. Arena tersebut bisa didefinisikan sebagai masyarakat sipil.
Nilai-nilai dari masyarakat sipil adalah partisipasi politik, adanya pertanggungjawaban negara dan publisitas politik. Konsep ini diambil dari tradisi pemikiran Montesquieu, De Tocqueville dan Habermas (bukan dari Chandhoke). Sebagai institusi, masyarakat sipil adalah forum yang representatif dan asosiatif, pers bebas dan asosiasi sosial. Anggota dalam masyarakat sipil dalah individu yang mempunyai hak-hak dan dibatasi secara yuridis, yang disebut warga negara. Dan perlindungan terhadap anggota suatu masyarakat sipil termaktub dalam kata dan lembaga hak asasi. Masyarakat sipil kemudian menjadi tempat diproduksinya kritik rasional yang memiliki potensi untuk mengawasi negara. Masyarakat sipil memiliki hak-hak istimewa dari teori demokrasi sebagai pra kondisi yang vital bagi eksistensi demokrasi. Eksistensi masyarakat sipil tidak selalu berarti melawan negara, atau akan melanggar batas-batas politik yang dibangun negara. Seperti yang dikatakan Gramsci, hegemoni masyarakat sipil bisa menjadi tangan pertama bagi negara dalam proyek pengendalian praktik sosial.
Seperti halnya hubungan antara negara dan masyarakat, konsepsi tentang masyarakat sipil juga mengalami evolusi. Ide masyarakat sipil muncul sejak lahirnya istilah zoon politicon ala Aristotelian di Yunani. Konsep ini berkembang lebih jauh karena pada dassarnya masyarakat sipil bukanlah masyarakat politik. Pada masa Romawi, mulai dikenal adanya konsep masyarakat sipil yang lebih modern. Orang mulai mengenal dikotomi antara kehidupan politik dan sipil. Konsep selanjutnya digagas oleh Locke dan Hobbes yang merumuskan adanya hubungan antar individu dan antara individu dengan negara sebagai hasil kontrak.
Dalam ekonomi politik klasik, ruang dimana individu saling bertemu dan mendapatkan kebutuhannya disebut sebagai masyarakat sipil. Masyarakat sipil dalam ekonomi klasik, muncul tidak hanya sebagai sistem pemenuhan kebutuhan, namun juga sebagai rumah untuk kesadaran diri individu. Evolusi konseptual tentang masyarakat sipil berkembang seiring dengan munculnya teori liberal. Kekuasaan negara tidak dapat dihilangkan atau bahkan direduksi ke minimun. Masyarakat yang kompleks membutuhkan negara untuk melestarikan ketertiban, hukum dan memegang legalitas. Tetapi, negara harus dibatasi. Masyarakat sipil harus menemukan alat untuk membatasi kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibagi ke wilayah-wilayah di luar negara, dan salah satunya melalui asosiasi-asosiasi sosial, kultural, profesional dan religius.
Dari sinilah muncul konsep masyarakat sipil sebagai asosiasi sosial oleh Tocqueville. Suatu asosiasi dapat mempersatukan pikiran sehingga asosiasi meminjamkan suatu koherensi dengan kehidupan publik, mengusahakan keutamaan civic, dan menanamkan nilai-nilai demokrasi. Dalam fase liberalisme ini, masyarakat sipil digunakan sebagai konsep yang utama untuk mengorganisasi hubungan negara-masyarakat. Namun, teori ini gagal mengidentifikasi masalah dalam masyarakat sipil yang rentan terhadap fragmentasi dan perang. Masyarakat sipil memerlukan prinsip integral untuk mempertemukan kontradiksi di dalam dirinya.
Konsep masyarakat sipil kemudian dijelaskan dalam tradisi Hegelian, Marxian dan Gramscian. Dalam tradisi pemikiran Hegel, Masyarakat sipil terdiri dari individu-individu yang masing-masing berdiri sendiri atau bersifat atomis. Masyarakat sipil ditandai dengan pembagian kelas sosial yang didasari pada pembagian kerja yaitu kelas petani, kelas bisnis dan kelas birokrat atau pejabat publik (public servants). Masyarakat sipil adalah masyarakat yang terikat pada hukum. Hukum diperlukan karena anggota masyarakat sipil memiliki kebebasan, rasio dan menjalin relasi satu sama lain dengan sesama anggota masyarakat sipil itu sendiri dalam rangka pemenuhan kebutuhan mereka. Hukum merupakan pengarah kebebasan dan rasionalitas manusia dalam hubungan dengan sesama anggota masyarakat sipil. Tindakan yang melukai anggota masyarakat sipil merupakan tindakan yang tidak rasional. Dalam kerangka teori dialektikanya ini, Hegel menempatkan masyarakat sipil di antara keluarga dan negara. Dengan kata lain, masyarakat sipil terpisah dari keluarga dan negara.
Marx mengkritik pemisahan negara dan civil society dari Hegel menjadi penyebab keterasingan manusia. Logika Hegel mengenai negara membawahi civil society dibalik menjadi civil society membawahi negara. Logika pembalikan ini bisa dijelaskan dalam pengertian civil society sebagai masyarakat borjuis dan negara merupakan alat di tangan borjuis untuk melanggengkan proses penghisapan terhadap kaum buruh. Marx memandang civil society sebagai masyarakat yang dicirikan oleh pembagian kerja, sistem pertukaran dan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Pandangan ini memang sama dengan pandangan Hegel, tetapi kemudian ia menambahkan bahwa masyarakat sipil itu terbagi dalam dua bagian yaitu kaum majikan atau kaum borjuis sebagai pemilik alat produksi (property-owners) dan kaum buruh atau kaum proletar yang tidak memiliki alat produksi (propertyless).
Gramsci menolak paham ekonomistis Marx. Bagi Gramsci, perubahan ke arah masyarakat sosialis bukan semata-mata bercorak ekonomistis, tetapi juga harus memperhatikan aspek sosial, budaya dan ideologi. Oleh karena itu, hegemoni menjadi tema sentral dalam pemikiran Gramsci sebagai upaya mewujudkan cita-cita masyarakat sosialis-nya.
Gramsci memasukkan masyarakat sipil dalam bangunan atas (super structure) Marx bersama dengan negara. Dalam masyarakat sipil, terjadi proses hegemoni oleh kelompok-kelompok dominan sedangkan negara melakukan dominasi langsung kepada masyarakat sipil melalui hukum dan masyarakat politik. Gramsci sendiri mengakui bahwa senyatanya masyarakat sipil telah terhegomi. Pengakuannya itu diungkapkan dengan mengatakan bahwa masyarakat sipil adalah etika atau moral. Masyarakat sipil adalah wilayah dimana relasi antara kelompok tidak dilakukan dengan koersi. Maka Gramsci mengatakan bahwa masyarakat sipil mencakup organisasi-organisasi privat seperti gereja, serikat dagang, sekolah, dan termasuk juga keluarga. Gramsci juga mengatakan bahwa organisasi-organisasi dalam masyarakat sipil mempunyai tujuan yang berbeda-beda seperti politik, ekonomi, olah raga, seni dan sebagainya namun mereka memiliki asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat meskipun sering tidak kentara.
Masyarakat sipil merupakan medan perjuangan politik. Oleh karena itu, dalam rangka pembentukan negara sosialis, Gramsci mengatakan perlunya kelompok buruh membangun hegemoni atas kelompok-kelompok lain dalam masyarakat sipil dengan sebuah ideologi baru yang mampu mewadahi kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat sipil dan sekaligus mampu mewadahi kepentingan kelompok buruh. Karena masyarakat sipil telah terhegemoni, maka kelompok buruh perlu melakukan kontra hegemoni.
Definisi masyarakat sipil di masa kini membawa dua pengertian baik dari kaum Liberal maupun Marxis. Negara pada saat ini memiliki kekuasaan yang lebih. Dengan kekuasaannya, negara mencoba untuk memadamkan seluruh pemikiran dan debat rakyatnya-atau negara yang mencoba memimpin masyarakat sipil. Negara kemudian dituntut untuk mempertanggungjawabkan kekuasaannya. Negara-negara tersebut hanya akan bertanggungjawab melalui praktik demokratis masyarakat sipil yang merdeka. Pemberian hak istimewa masyarakat sipil sebagai ruang terciptanya politik demokratis melahirkan beberapa kesimpulan utama terkait dengan konsep masyarakat sipil dalam hubungannya dengan negara. Konsep masyarakat sipil sebagai ruang publik mulai dikenal luas melalui gagasan Habermas.
Pengertian ruang dalam masyarakat sipil adalah ketika rakyat berkumpul bersama dalam suatu arena dengan satu pengertian bersama. Kepentingan umum tidak hanya berkaitan dengan keseluruhan masyarakat, tetapi merupakan mekanisme vital yang membawa individu-individu dan kelompol-kelompok dari wacana privat ke dalam wacana umum. Proses ini berlangsung melalui pembentukan dan penghamburan opini publik yang dihasilkan melalui debat dan diskusi. Keseluruahan proses tersebut membutuhkan ruang yang relatif bebas dari campur tangan negara, pengakuan hak setiap anggota, dan keberadaan institusi seperti pers yang bebas, asosiasi-asosiasi, lembaga-lembaga perwakilan dan aturan hukum. Kepentingan umum dalam diskusi ini merupakan kepentingan yang dapat dicapai bersama, dalam artian tidak terhalang posisi kelas atau struktur lainnya.
Masyarakat sipil sebagai ruang publik juga diartikan sebagai ruang di luar birokrasi yang memberikan saluran komunikasi yang diberikan negara, yang menjadi tempat berlangsungnya diskusi dan debat umum yang merdeka. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah sejauh mana kemerdekaan masyarakat sipil dari negara?
Pintu masuk ini membawa kita pada perdebatan dan benturan yang terjadi antara masyarakat sipil dan negara. Masyarakat sipil tentu tidak bisa sepenuhnya berada di luar negara. Masyarakat sipil tetap membutuhkan negara untuk menjamin hak-hak mereka dan melakukan regulasi melalui hukum. Di satu pihak, negara juga butuh masyarakat sipil sebagai kontrol atas kekuasaannya. Namun, negara juga berusaha untuk mengintervensi masyarakat sipil dengan berbagai program-program yang diterapkan di tengah-tengah keberadaannya. Masyarakat sipil yang selalu bergerak aktif telah memunculkan kebangkitan demokrasi. Sebaliknya, praktik-praktik yang berlangsung di dalamnya justru tarkadang menindas prinsip demokrasi itu sendiri. Masyarakat sipil masih rentan terhadap fragmentasi atau kemungkinan juga praktik-praktik yang bersifat elitis. Demikian juga dengan arena dimana masyarakat sipil tersebut tumbuh, tentu tidak bisa dipisahkan dari keberadaan masyarakat politik dengan segala bentuk isu dan praktiknya. Dengan demikian, konsep masyarakat sipil masih akan terus berevolusi dan berkembang seiring dengan dinamika yang terjadi dalam masyarakat dan perkembangan hubungan antara negara dan masyarakat.
Nilai-nilai dari masyarakat sipil adalah partisipasi politik, adanya pertanggungjawaban negara dan publisitas politik. Konsep ini diambil dari tradisi pemikiran Montesquieu, De Tocqueville dan Habermas (bukan dari Chandhoke). Sebagai institusi, masyarakat sipil adalah forum yang representatif dan asosiatif, pers bebas dan asosiasi sosial. Anggota dalam masyarakat sipil dalah individu yang mempunyai hak-hak dan dibatasi secara yuridis, yang disebut warga negara. Dan perlindungan terhadap anggota suatu masyarakat sipil termaktub dalam kata dan lembaga hak asasi. Masyarakat sipil kemudian menjadi tempat diproduksinya kritik rasional yang memiliki potensi untuk mengawasi negara. Masyarakat sipil memiliki hak-hak istimewa dari teori demokrasi sebagai pra kondisi yang vital bagi eksistensi demokrasi. Eksistensi masyarakat sipil tidak selalu berarti melawan negara, atau akan melanggar batas-batas politik yang dibangun negara. Seperti yang dikatakan Gramsci, hegemoni masyarakat sipil bisa menjadi tangan pertama bagi negara dalam proyek pengendalian praktik sosial.
Seperti halnya hubungan antara negara dan masyarakat, konsepsi tentang masyarakat sipil juga mengalami evolusi. Ide masyarakat sipil muncul sejak lahirnya istilah zoon politicon ala Aristotelian di Yunani. Konsep ini berkembang lebih jauh karena pada dassarnya masyarakat sipil bukanlah masyarakat politik. Pada masa Romawi, mulai dikenal adanya konsep masyarakat sipil yang lebih modern. Orang mulai mengenal dikotomi antara kehidupan politik dan sipil. Konsep selanjutnya digagas oleh Locke dan Hobbes yang merumuskan adanya hubungan antar individu dan antara individu dengan negara sebagai hasil kontrak.
Dalam ekonomi politik klasik, ruang dimana individu saling bertemu dan mendapatkan kebutuhannya disebut sebagai masyarakat sipil. Masyarakat sipil dalam ekonomi klasik, muncul tidak hanya sebagai sistem pemenuhan kebutuhan, namun juga sebagai rumah untuk kesadaran diri individu. Evolusi konseptual tentang masyarakat sipil berkembang seiring dengan munculnya teori liberal. Kekuasaan negara tidak dapat dihilangkan atau bahkan direduksi ke minimun. Masyarakat yang kompleks membutuhkan negara untuk melestarikan ketertiban, hukum dan memegang legalitas. Tetapi, negara harus dibatasi. Masyarakat sipil harus menemukan alat untuk membatasi kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibagi ke wilayah-wilayah di luar negara, dan salah satunya melalui asosiasi-asosiasi sosial, kultural, profesional dan religius.
Dari sinilah muncul konsep masyarakat sipil sebagai asosiasi sosial oleh Tocqueville. Suatu asosiasi dapat mempersatukan pikiran sehingga asosiasi meminjamkan suatu koherensi dengan kehidupan publik, mengusahakan keutamaan civic, dan menanamkan nilai-nilai demokrasi. Dalam fase liberalisme ini, masyarakat sipil digunakan sebagai konsep yang utama untuk mengorganisasi hubungan negara-masyarakat. Namun, teori ini gagal mengidentifikasi masalah dalam masyarakat sipil yang rentan terhadap fragmentasi dan perang. Masyarakat sipil memerlukan prinsip integral untuk mempertemukan kontradiksi di dalam dirinya.
Konsep masyarakat sipil kemudian dijelaskan dalam tradisi Hegelian, Marxian dan Gramscian. Dalam tradisi pemikiran Hegel, Masyarakat sipil terdiri dari individu-individu yang masing-masing berdiri sendiri atau bersifat atomis. Masyarakat sipil ditandai dengan pembagian kelas sosial yang didasari pada pembagian kerja yaitu kelas petani, kelas bisnis dan kelas birokrat atau pejabat publik (public servants). Masyarakat sipil adalah masyarakat yang terikat pada hukum. Hukum diperlukan karena anggota masyarakat sipil memiliki kebebasan, rasio dan menjalin relasi satu sama lain dengan sesama anggota masyarakat sipil itu sendiri dalam rangka pemenuhan kebutuhan mereka. Hukum merupakan pengarah kebebasan dan rasionalitas manusia dalam hubungan dengan sesama anggota masyarakat sipil. Tindakan yang melukai anggota masyarakat sipil merupakan tindakan yang tidak rasional. Dalam kerangka teori dialektikanya ini, Hegel menempatkan masyarakat sipil di antara keluarga dan negara. Dengan kata lain, masyarakat sipil terpisah dari keluarga dan negara.
Marx mengkritik pemisahan negara dan civil society dari Hegel menjadi penyebab keterasingan manusia. Logika Hegel mengenai negara membawahi civil society dibalik menjadi civil society membawahi negara. Logika pembalikan ini bisa dijelaskan dalam pengertian civil society sebagai masyarakat borjuis dan negara merupakan alat di tangan borjuis untuk melanggengkan proses penghisapan terhadap kaum buruh. Marx memandang civil society sebagai masyarakat yang dicirikan oleh pembagian kerja, sistem pertukaran dan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Pandangan ini memang sama dengan pandangan Hegel, tetapi kemudian ia menambahkan bahwa masyarakat sipil itu terbagi dalam dua bagian yaitu kaum majikan atau kaum borjuis sebagai pemilik alat produksi (property-owners) dan kaum buruh atau kaum proletar yang tidak memiliki alat produksi (propertyless).
Gramsci menolak paham ekonomistis Marx. Bagi Gramsci, perubahan ke arah masyarakat sosialis bukan semata-mata bercorak ekonomistis, tetapi juga harus memperhatikan aspek sosial, budaya dan ideologi. Oleh karena itu, hegemoni menjadi tema sentral dalam pemikiran Gramsci sebagai upaya mewujudkan cita-cita masyarakat sosialis-nya.
Gramsci memasukkan masyarakat sipil dalam bangunan atas (super structure) Marx bersama dengan negara. Dalam masyarakat sipil, terjadi proses hegemoni oleh kelompok-kelompok dominan sedangkan negara melakukan dominasi langsung kepada masyarakat sipil melalui hukum dan masyarakat politik. Gramsci sendiri mengakui bahwa senyatanya masyarakat sipil telah terhegomi. Pengakuannya itu diungkapkan dengan mengatakan bahwa masyarakat sipil adalah etika atau moral. Masyarakat sipil adalah wilayah dimana relasi antara kelompok tidak dilakukan dengan koersi. Maka Gramsci mengatakan bahwa masyarakat sipil mencakup organisasi-organisasi privat seperti gereja, serikat dagang, sekolah, dan termasuk juga keluarga. Gramsci juga mengatakan bahwa organisasi-organisasi dalam masyarakat sipil mempunyai tujuan yang berbeda-beda seperti politik, ekonomi, olah raga, seni dan sebagainya namun mereka memiliki asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat meskipun sering tidak kentara.
Masyarakat sipil merupakan medan perjuangan politik. Oleh karena itu, dalam rangka pembentukan negara sosialis, Gramsci mengatakan perlunya kelompok buruh membangun hegemoni atas kelompok-kelompok lain dalam masyarakat sipil dengan sebuah ideologi baru yang mampu mewadahi kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat sipil dan sekaligus mampu mewadahi kepentingan kelompok buruh. Karena masyarakat sipil telah terhegemoni, maka kelompok buruh perlu melakukan kontra hegemoni.
Definisi masyarakat sipil di masa kini membawa dua pengertian baik dari kaum Liberal maupun Marxis. Negara pada saat ini memiliki kekuasaan yang lebih. Dengan kekuasaannya, negara mencoba untuk memadamkan seluruh pemikiran dan debat rakyatnya-atau negara yang mencoba memimpin masyarakat sipil. Negara kemudian dituntut untuk mempertanggungjawabkan kekuasaannya. Negara-negara tersebut hanya akan bertanggungjawab melalui praktik demokratis masyarakat sipil yang merdeka. Pemberian hak istimewa masyarakat sipil sebagai ruang terciptanya politik demokratis melahirkan beberapa kesimpulan utama terkait dengan konsep masyarakat sipil dalam hubungannya dengan negara. Konsep masyarakat sipil sebagai ruang publik mulai dikenal luas melalui gagasan Habermas.
Pengertian ruang dalam masyarakat sipil adalah ketika rakyat berkumpul bersama dalam suatu arena dengan satu pengertian bersama. Kepentingan umum tidak hanya berkaitan dengan keseluruhan masyarakat, tetapi merupakan mekanisme vital yang membawa individu-individu dan kelompol-kelompok dari wacana privat ke dalam wacana umum. Proses ini berlangsung melalui pembentukan dan penghamburan opini publik yang dihasilkan melalui debat dan diskusi. Keseluruahan proses tersebut membutuhkan ruang yang relatif bebas dari campur tangan negara, pengakuan hak setiap anggota, dan keberadaan institusi seperti pers yang bebas, asosiasi-asosiasi, lembaga-lembaga perwakilan dan aturan hukum. Kepentingan umum dalam diskusi ini merupakan kepentingan yang dapat dicapai bersama, dalam artian tidak terhalang posisi kelas atau struktur lainnya.
Masyarakat sipil sebagai ruang publik juga diartikan sebagai ruang di luar birokrasi yang memberikan saluran komunikasi yang diberikan negara, yang menjadi tempat berlangsungnya diskusi dan debat umum yang merdeka. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah sejauh mana kemerdekaan masyarakat sipil dari negara?
Pintu masuk ini membawa kita pada perdebatan dan benturan yang terjadi antara masyarakat sipil dan negara. Masyarakat sipil tentu tidak bisa sepenuhnya berada di luar negara. Masyarakat sipil tetap membutuhkan negara untuk menjamin hak-hak mereka dan melakukan regulasi melalui hukum. Di satu pihak, negara juga butuh masyarakat sipil sebagai kontrol atas kekuasaannya. Namun, negara juga berusaha untuk mengintervensi masyarakat sipil dengan berbagai program-program yang diterapkan di tengah-tengah keberadaannya. Masyarakat sipil yang selalu bergerak aktif telah memunculkan kebangkitan demokrasi. Sebaliknya, praktik-praktik yang berlangsung di dalamnya justru tarkadang menindas prinsip demokrasi itu sendiri. Masyarakat sipil masih rentan terhadap fragmentasi atau kemungkinan juga praktik-praktik yang bersifat elitis. Demikian juga dengan arena dimana masyarakat sipil tersebut tumbuh, tentu tidak bisa dipisahkan dari keberadaan masyarakat politik dengan segala bentuk isu dan praktiknya. Dengan demikian, konsep masyarakat sipil masih akan terus berevolusi dan berkembang seiring dengan dinamika yang terjadi dalam masyarakat dan perkembangan hubungan antara negara dan masyarakat.
Senin, 13 Desember 2010
Ketika Cempluk Ditanya Soal Penetapan atau Pemilihan Langsung untuk Jogja
ah, saya mencoba untuk tidak peduli saja. toh saya juga cuma pendatang di sini. saya orang asli Ngawi. buat apa ikut ribut-ribut soal monarki atau demokrasi. yang penting saya tetap bisa cari rejeki. dan tak ada yang melarang untuk tiap hari bisa bikin puisi.
Minggu, 28 November 2010
Cerita Kang Bedjo Sepulang dari Kota
Semoga tak bosan dengan ini roman picisan Bedjo dan Cempluk
Pertemuan ini bisa dikatakan rahasia, tentu saja Si Mboknya Cempluk sudah merasa aman ketika tahu Kang Bedjo sekarang sudah jauh dari anaknya. Tapi anak-anak ini selalu lebih pintar. Cinta memberikan logika lebih pada mereka. Dengan segala cara, mereka masih saja bertemu di balik punggung Si Mboknya.
Akhirnya cempluk bisa ketemu lagi sama orang yang dicintainya. Sempat Cempluk menunggu Kang Bedjonya di rumah dan tak datang-datang. Sempat juga Kang Bedjo gantian menunggu Cempluk yang tak datang-datang karena kesibukan. Setelah sekian lama saling menunggu, waktu begitu terasa lama meski cuma beberapa minggu. Akhirnya mereka bisa kembali bertemu. Segala cerita tumpah sudah. Apapun dan tentang semua hal dimuntahkan lewat kata, tak habis-habis. Tak sudah-sudah.
Kang Bedjo bercerita sempat pulang dengan membawa uang satu setengah juta. Tapi tangannya serasa tak bisa bertahan lama memegang uang. Habis sudah dipakai untuk memoles motor kesangannya, Honda Plethuk tahun tujuh lima. Kang Bedjo tetap seperti dulu. Seperti ketika Cempluk pertama kali bertemu. Kang Bedjonya tak pernah berubah oleh waktu. Kota yang terkenal mahir mengubah orang pun tak sanggup mengubahnya. Kang Bedjo tetap menjadi Kang Bedjo. Dengan pikirannya yang sederhana, dengan usahanya untuk menjadi kaya, dengan segala tekad untuk membuktikan kepada Si Mboknya Cempluk bahwa ia akan menjadi orang sukses tak seperti yang dibayangkan. Sekang Kang Bedjo sudah bisa pegang hp nokia tipe N-Gage. Bisa dikatakan kemajuan karena bukan lagi tipe jadul 3315 yang biasa dipakainya untuk berjualan pulsa.
Cempluk kembali menggambar cerita perpisahannya di Terminal Kertonegoro ketika Kang Bedjonya mau berangkat ke Jakarta. Kang Bedjo keren sekali. Pakai topi hitam dan jaket abu-abu yang dibelikan Cempluk dulu. Cempluk menemaninya sampai bus itu tiba. Sempat mereka minum dari botol yang sama, duduk berdua. Sampai adegan Cempluk menjabat tangan kekasihnya sampai bus yang membawa Kang Bedjo berangkat. Tas putih masih menggantung di punggung, Cempluk tetap menatapnya. Kang Bedjo duduk dibangku nomor lima. Tak kelihatan lagi. Bus itu merangkak perlahan meniti halaman terminal yang bergelombang. Tubuh Kang Bedjo barangkali ikut berguncang-guncang. Karena jalan bergelombang, karena mengharap seratus ribu pertemuan tanpa perpisahan. Cempluk membalikan badannya, berjalan dengan menunduk. Seorang pria tiba-tiba melontar kata, “Mbak, duite ilang yo? Kok ndingkluk trus.” Tak hirau, Cempluk tetap saja menunduk sampai meleleh di jalanan, sambil memacu kencang sepedamotornya untuk pulang.
Dan sekarang dipertemuan mereka, Kang Bedjo bisa cerita. Soal nikmatnya secangkir kopi seharga enam puluh ribu rupiah. Soal saudara-saudaranya yang kaya raya itu, jadi dokter, jadi kontraktor yang sedang membangun sebuah apartemen, juga cerita soal dirinya yang bangga jadi mandor proyek nan bisa perintah-perintah para kuli bangunan. Kang Bedjo jadi sering dapat traktiran makanan-makanan berkelas, bahkan terasa asing di lidah karena terlalu terbiasa dengan sambal trasi bikinan Cempluk. Terdengar lucu mendengar ceritanya, Kang Bedjo pun tak bisa menyebut dengan benar nama makanan-makanan itu. Tapi sayang, tetap saja ia harus jadi babu. Malah disuruh menjaga anak saudaranya yang masih kecil dan sangat nakal itu. Tiap hari sibuk ngepel dan nyapu, kadang juga setrika. Karena sudah jadi sarjana, bedanya Kang Bedjo tak lagi disuruh untuk cuci baju.
Ealah..Kang...Kang...dimana-mana nasibmu belum berubah juga. Seperti biasa, semangkuk mie ayam selalu menemani obrolan Cempluk dan Kang Bedjo. Ini pun masih Cempuk yang harus membayar semuanya. Besok Cempluk sudah harus kembali ke Jogja. Padahal, obrolannya dengan Kang Bedjo baru dimulai. Kadang cukup mata yang berbicara. Kadang kedua tangan saling menggemgam. Kadang pun cukup dengan diam. Masih kangen. Tapi ya bagaimana lagi. Semoga segera bisa ketemu kembali. Salam dari Cempluk.
Pertemuan ini bisa dikatakan rahasia, tentu saja Si Mboknya Cempluk sudah merasa aman ketika tahu Kang Bedjo sekarang sudah jauh dari anaknya. Tapi anak-anak ini selalu lebih pintar. Cinta memberikan logika lebih pada mereka. Dengan segala cara, mereka masih saja bertemu di balik punggung Si Mboknya.
Akhirnya cempluk bisa ketemu lagi sama orang yang dicintainya. Sempat Cempluk menunggu Kang Bedjonya di rumah dan tak datang-datang. Sempat juga Kang Bedjo gantian menunggu Cempluk yang tak datang-datang karena kesibukan. Setelah sekian lama saling menunggu, waktu begitu terasa lama meski cuma beberapa minggu. Akhirnya mereka bisa kembali bertemu. Segala cerita tumpah sudah. Apapun dan tentang semua hal dimuntahkan lewat kata, tak habis-habis. Tak sudah-sudah.
Kang Bedjo bercerita sempat pulang dengan membawa uang satu setengah juta. Tapi tangannya serasa tak bisa bertahan lama memegang uang. Habis sudah dipakai untuk memoles motor kesangannya, Honda Plethuk tahun tujuh lima. Kang Bedjo tetap seperti dulu. Seperti ketika Cempluk pertama kali bertemu. Kang Bedjonya tak pernah berubah oleh waktu. Kota yang terkenal mahir mengubah orang pun tak sanggup mengubahnya. Kang Bedjo tetap menjadi Kang Bedjo. Dengan pikirannya yang sederhana, dengan usahanya untuk menjadi kaya, dengan segala tekad untuk membuktikan kepada Si Mboknya Cempluk bahwa ia akan menjadi orang sukses tak seperti yang dibayangkan. Sekang Kang Bedjo sudah bisa pegang hp nokia tipe N-Gage. Bisa dikatakan kemajuan karena bukan lagi tipe jadul 3315 yang biasa dipakainya untuk berjualan pulsa.
Cempluk kembali menggambar cerita perpisahannya di Terminal Kertonegoro ketika Kang Bedjonya mau berangkat ke Jakarta. Kang Bedjo keren sekali. Pakai topi hitam dan jaket abu-abu yang dibelikan Cempluk dulu. Cempluk menemaninya sampai bus itu tiba. Sempat mereka minum dari botol yang sama, duduk berdua. Sampai adegan Cempluk menjabat tangan kekasihnya sampai bus yang membawa Kang Bedjo berangkat. Tas putih masih menggantung di punggung, Cempluk tetap menatapnya. Kang Bedjo duduk dibangku nomor lima. Tak kelihatan lagi. Bus itu merangkak perlahan meniti halaman terminal yang bergelombang. Tubuh Kang Bedjo barangkali ikut berguncang-guncang. Karena jalan bergelombang, karena mengharap seratus ribu pertemuan tanpa perpisahan. Cempluk membalikan badannya, berjalan dengan menunduk. Seorang pria tiba-tiba melontar kata, “Mbak, duite ilang yo? Kok ndingkluk trus.” Tak hirau, Cempluk tetap saja menunduk sampai meleleh di jalanan, sambil memacu kencang sepedamotornya untuk pulang.
Dan sekarang dipertemuan mereka, Kang Bedjo bisa cerita. Soal nikmatnya secangkir kopi seharga enam puluh ribu rupiah. Soal saudara-saudaranya yang kaya raya itu, jadi dokter, jadi kontraktor yang sedang membangun sebuah apartemen, juga cerita soal dirinya yang bangga jadi mandor proyek nan bisa perintah-perintah para kuli bangunan. Kang Bedjo jadi sering dapat traktiran makanan-makanan berkelas, bahkan terasa asing di lidah karena terlalu terbiasa dengan sambal trasi bikinan Cempluk. Terdengar lucu mendengar ceritanya, Kang Bedjo pun tak bisa menyebut dengan benar nama makanan-makanan itu. Tapi sayang, tetap saja ia harus jadi babu. Malah disuruh menjaga anak saudaranya yang masih kecil dan sangat nakal itu. Tiap hari sibuk ngepel dan nyapu, kadang juga setrika. Karena sudah jadi sarjana, bedanya Kang Bedjo tak lagi disuruh untuk cuci baju.
Ealah..Kang...Kang...dimana-mana nasibmu belum berubah juga. Seperti biasa, semangkuk mie ayam selalu menemani obrolan Cempluk dan Kang Bedjo. Ini pun masih Cempuk yang harus membayar semuanya. Besok Cempluk sudah harus kembali ke Jogja. Padahal, obrolannya dengan Kang Bedjo baru dimulai. Kadang cukup mata yang berbicara. Kadang kedua tangan saling menggemgam. Kadang pun cukup dengan diam. Masih kangen. Tapi ya bagaimana lagi. Semoga segera bisa ketemu kembali. Salam dari Cempluk.
Setelah Ngawi
Dari sinilah semua kisahku bermula
Ngawi kang ngawitani
Tapi aku harus berjalan memunggungimu kembali
Setelah kenyang makan kenangan
Setelah mabuk menghisap masa lalu
Menikmati haru
Hilang kemudian ini pikiran bersayapsayap beterbangan
Kemarin, adalah malam terakhir menelusupi ceritacerita
Tentang orangorang yang pernah keracunan makan puisiku
Tentang para sahabat yang selalu membebatkan hangat
Tentang peluk mesra dan dekap keluarga
Pagi ini akan kembali kukembalikan waktu
Kembali bercumbuan dengan senggang dan kesibukan
Aku akan berjalan memunggungimu
Sesekali bolehlah menengok ke belakang
Sesekali malah jatuh terjengkang kesandung kenangan
Meracau aku menuliskan cerita dipunggung kotamu
Meracau membacai kembali roman cinta kita yang dituliskan orang
Sampai bikin lupa kalau aku harus kembali ke waktu ini, pagi ini juga
Ngawi kang ngawitani
Tapi aku harus berjalan memunggungimu kembali
Setelah kenyang makan kenangan
Setelah mabuk menghisap masa lalu
Menikmati haru
Hilang kemudian ini pikiran bersayapsayap beterbangan
Kemarin, adalah malam terakhir menelusupi ceritacerita
Tentang orangorang yang pernah keracunan makan puisiku
Tentang para sahabat yang selalu membebatkan hangat
Tentang peluk mesra dan dekap keluarga
Pagi ini akan kembali kukembalikan waktu
Kembali bercumbuan dengan senggang dan kesibukan
Aku akan berjalan memunggungimu
Sesekali bolehlah menengok ke belakang
Sesekali malah jatuh terjengkang kesandung kenangan
Meracau aku menuliskan cerita dipunggung kotamu
Meracau membacai kembali roman cinta kita yang dituliskan orang
Sampai bikin lupa kalau aku harus kembali ke waktu ini, pagi ini juga
Senin, 08 November 2010
Pemohonan Maaf
Saya benar-benar berterima kasih telah diingatkan tentang kekeliruan saya semalam
Dengan tulisan ini, saya ingin memohon maaf apabila ada beberapa tulisan yang kurang berkenan di hati panjenengan...
Beberapa tulisan dalam blog ini yang berkaitan dengan itu telah saya hapus. Kadang memang saya suka tidak berpikir jauh ketika menuliskan sesuatu. Kadang juga tulisan itu dibuat ketika pikiran sedang sakit sehingga tak bisa melihat dan mencerna akibat ke depannya. Untuk semua itu, saya mohon maaf. Juga untuk sekian persen mangkel yang pernah mampir di hati...
Dengan tulisan ini, saya ingin memohon maaf apabila ada beberapa tulisan yang kurang berkenan di hati panjenengan...
Beberapa tulisan dalam blog ini yang berkaitan dengan itu telah saya hapus. Kadang memang saya suka tidak berpikir jauh ketika menuliskan sesuatu. Kadang juga tulisan itu dibuat ketika pikiran sedang sakit sehingga tak bisa melihat dan mencerna akibat ke depannya. Untuk semua itu, saya mohon maaf. Juga untuk sekian persen mangkel yang pernah mampir di hati...
Rabu, 15 September 2010
Percakapan Diam
Percakapan Diam
bahasapun lesap sudah
katakata lenyap begitu saja
diamku dalam mu adalah sepenuh simbol
kau sanggup mengerti maknanya tanpa ucapan
dipercakapan maya kita dipertemukan
dan bagian manalagi yang harus kuterjemahkan menjadi diam?
bahasapun lesap sudah
katakata lenyap begitu saja
diamku dalam mu adalah sepenuh simbol
kau sanggup mengerti maknanya tanpa ucapan
dipercakapan maya kita dipertemukan
dan bagian manalagi yang harus kuterjemahkan menjadi diam?
Minggu, 05 September 2010
Pertemuan
Pertemuan
Setelah pekik pilu itu berlalu. Sesaat guntur menyambarku di pucuk ingatan masa lalu. Hanya seleret kilat saja gemuruh itu mengganggu. Menyeringai liat di lautan langit abu. Sujudsujud terakhir ini mulai demikian gagu. Membiarakan ingatan itu berdiam sendirian. Menemukan semainya di pesanggrahan jiwa paling dalam.
Luap haru terkubur di pasarehan waktu. Sekian purnama berlalu, kau belum juga bisa menerjemahkan rancangan hidup dan kematian yang bergantian datang. Sakit ini semakin parah saja. Membangkitkan lamunan dari bangkaibangkai masa silam.
Demikianlah aku menemukanmu kembali di zaman ini. Tapi kau malah menghitung mundur mencoba meledakkan kenangan. Kau, bukankah kita telah benarbenar saling mengenal. Terasa begitu karib mata itu, gaya bicara dan solah bawamu. Dari sini, pertemuan singkat kita dimulai. Dan berakhirlah di redup petang. Sepertinya, kau sengaja melupa memang. Pun ingatan tak bisa sengaja dijejalkan, dipaksakan.
Setelah pekik pilu itu berlalu. Sesaat guntur menyambarku di pucuk ingatan masa lalu. Hanya seleret kilat saja gemuruh itu mengganggu. Menyeringai liat di lautan langit abu. Sujudsujud terakhir ini mulai demikian gagu. Membiarakan ingatan itu berdiam sendirian. Menemukan semainya di pesanggrahan jiwa paling dalam.
Luap haru terkubur di pasarehan waktu. Sekian purnama berlalu, kau belum juga bisa menerjemahkan rancangan hidup dan kematian yang bergantian datang. Sakit ini semakin parah saja. Membangkitkan lamunan dari bangkaibangkai masa silam.
Demikianlah aku menemukanmu kembali di zaman ini. Tapi kau malah menghitung mundur mencoba meledakkan kenangan. Kau, bukankah kita telah benarbenar saling mengenal. Terasa begitu karib mata itu, gaya bicara dan solah bawamu. Dari sini, pertemuan singkat kita dimulai. Dan berakhirlah di redup petang. Sepertinya, kau sengaja melupa memang. Pun ingatan tak bisa sengaja dijejalkan, dipaksakan.
Kamis, 02 September 2010
Hujan Bualan dari Para Pembual
Hujan Bualan dari Para Pembual
Pembual I : Biar aku memunguti remah-remah hatiku setelah sepasang mata menelanjanginya hingga tercecer dihadapanmu.. kususun lagi, ah mana tau besok kau yang mau membeli
Pembual II : Hei, kau ini penyair darimana?
Pembual I : Aku cuma sekedar membual, bukan menyair
Pembual II : Ah, seperti tak tau saja. Aku suka kau buali, lagi
Pembual I : Sontak kurangkai bualan dan kau mengaggapnya syair semalam. Ah, apa lagi kubuat bahwa inilah sekarang sudut pandang “aku”
Pembual II : Dari planet maya itukah kau? Entah syair atau bualan. Aku butuh sajak untuk kuhirup tiap malam
Pembual I : Dari malam-malam bualanku tercipta, membentuk senyawa-senyawa kesepian, partikel-partikel kedinginan, jadi kata, jadi rindu, jadi sajak dalam setiap malammu.., ah, kau pura-pura melupa zat dan malam-malam yang kita tiduri dulu
Pembual II : Siapakah? Kaukah itu? Ah, entahlah. Ingatanku penuh sesak oleh tumpukan utang, buku-buku kuliah dan detak-detak kedinginan
Pembual I : Tak perlu sesak hidupmu jadi ragu untuk kembali mengingat namaku, hutangmu pada dunia, buku-buku kehidupan, lebih bisa mengajari betapa kita tetap beruntung dengan nafas ini,
Ini memang aku
Pembual II : Ternyata ingatanku tak terlalu lapuk untuk membuka kembali brankas yang berisi namamu. Kawan, pekabaranmu tak pernah sampai padaku. Kemana saja puisi kau bawa lari?
Pembual I : Aku tengah duduk-duduk dengan puisi suatu malam dan tiba-tiba “yang seperti aku” mengajak bercinta dengan dunia. Kutanggalkan malam makai topeng hingga kuingat sebait kata. Malam, kau dan bualanku
Pembual II : “Yang seperti aku” lagi kebingungan nyari topengnya. Hei, jangan-jangan sedang kau pakai. Tapi wajahku bukan itu. Bukan topengmu. Bukan wajah yang itu. Hei, aku telanjang tanpa topeng itu? Dimana?
Pembual I : Di sini, dengan malam lagi. Bergumul mencumbui puisi..mencari topeng baru agar kau tak begitu sesak melihatku. Mencari topeng baruku di laci lama, laci tua aku lahir dan menetes mata
Hiruplah setiap bualanku. Topengku tinggal satu untuk nyamar menyebar sendu. Begitu kuat hasratku menetes mata, lagi dan lagi.. tapi ku tau cuma ada puisi, jadi biarlah kau kubohongi
Pembual II : Aku suka setiap kebohongan. Aku suka setiap bualan. Jadi, terus saja pakai topengmu. Terus saja buali dan bohongi aku. Sampai mabuk sama sajak-sajak terkutuk. Sampai takluk sama puisi-puisi tak punya bentuk
Pembual I : Akan kutusukkan pedang ke ulu hati agar tak lagi aku memiliki kebosanan membohong dan membual. Terus dan terus, lagi dan lagi, hingga tersisa labirin hampa hanya aku dan bualanku
Pembual II : Aku yang mau mati dengan pedang menancap di ulu hati. Bosan juga lama-lama dengar bualan. Para penyair lahir dari kata-kata tak berakhir. Bawa aku. Bawalah aku. Ke tempat dimana tak lagi ada bualan dan kebohongan
Pembual I : Di lorong hitam masih aku memijak kaki, sunyi dari siul panggilmu. Gelap dari suar rayumu. Di lorong dan dinding-dinding menatihku ini, aku baru melahirkan bualan, belum kata-kata perawan
Seperti apa tempat tanpa bualan dan kebohongan itu? Jika mampu, biar kupintal mulai dari sekarang
Pembual II : Entah seperti apa. Aku pun tak pernah tau. Barangkali seperti kau tanpa topengmu. Seperti hening dini hari. Tempat itu tak perlu kau pintal. Temukan kau tanpa. Tanpa dalam segala ada
Pembual I : Aku tanpa topengku akan seperti benang-benang transparan hingga semua luka dan nanahku bisa memilukanmu, tempat tanpa bualan apakah itu? Aku masih meraba
Pembual II : Jangan lagi kau pusingkan tempat macam itu. Tempat itu mungkin juga hanya bualanku
Pembual I : Ah kau... aku terlanjur bermimpi tentang tempat tanpa bualan itu. Ah, mimpiku bualanku
Pembual II : Siapa bilang bualanku tak benar. Siapa bilang mimpi-mimpi pasti jadi samar. Bisa jadi bualanku benar-benar samar. Bisa jadi tempat itu nyata-nyata benar
Pembual I : Ada tira-tirai kegalauan masih menutupiku. Mungkin dua kali punama, atau tiga. Aku bisa menyibak samar-samar tempat itu
Pembual II : Malam-malam bikin galau. Dua tiga purnama aku menjelma gila. Aku mau pinjam jam sepuluh lewat sembilan belas menit ini. Boleh kutukar sama sekeranjang bualan puisi
Pembual I : Beranjaklah dahulu memejam mata. Jam sepuluh belasan menit ini usah kau lewatkan. Berhentilah dengan waktu dan terbuai mimpi di situ. Boleh kuiringi bualanku untuk menemanimu
Pembual II : Mataku terpejam, tapi tidak dengan mimpi di balik jam. Tersungkur oleh dengkur manusia-manusia lupa tukang tidur. Mendongkrak-dongkrak mimpi sampai tinggi. Ketinggian, bahkan. Sampai lupa cara menjejak bumi. Biarkan saja. Nada teratur dari nafas berhembus keras itu itu membuatku tersaruk kembali. Hei, sampai aku pada pintumu?
Pembual I : Biar kukatakan, aku menipumu berkali. Tak wujud pintu kecuali hayalanmu, bisa kau buka. Tapi ada di dalamnya tiada rupa. Payah oleh usia, tua oleh kata-kata
Kembali tersaji bualan dari hasil saling berbalas pesan. Para pembual sedang menyiapkan bualannya untuk dijual kepada Anda. Maka, jangan sampai ditipu, dibuali, dibohongi seperti selalu aku. Suka dibuali sama Pembuai I itu. Masih lagi kunantikan bualanmu.
Pembual I : Ah, lama rasa tak kau kirim kata, sepertinya baru semalam... Atau dua atau tiga kata tak bersapa
Pembual II : Kau mau kubuali lagi? Ah, ini malam awal-awal ramadhan. Orang-orang lagi sibuk melawan kantuk dan kekenyangan. Huruf-huruf tak terpahami dibca merdu. Bergelantungan dimana-mana. Di ujung lidah, tertelan kerongkongan. Juga di ceruk wajahmu yang masih bertopeng itu. Kau tak ikutan mereka rebutan tuhan?
Pembual I : Au ah helap.. Mending bual merdumu nyenyak di telingaku. Toh tuhan tak tidur. Mana mau menjadi rebutan
Malam belum sepenuhnya terlelap, jadi jeda bualanku kunjungimu
Pembual II : Gelap juga harus membual apa lagi. Rasanya ini otak butuh direnovasi. Kau tak balik ke kampung halaman? Kunjungi kota kita yang sunyi. Bacai lagi catatan dan malam-malam yang kita buat bersama sepi
Pembual I : Terperangkap kesendirian di kamar kecil ini, tau mau meraba sunyi kampungku. Menikmati sunyi tiap malam, merangkai syair-syair rindu pada seseorang. Rindu setengah mati. Rindu yang tak jadi
Pembual II : Kenapa selalu sunyi dan rindu yang membaluti setiap puisi. Aku, kau, sama sama kita memerangkap malam. Rindu selalu indah. Tapi rindu malah jadi tak indah. Dalam pertemuan membuncah ruah
Pembual I : Enggan aku menitik mata lagi. Jangan sesali rinduku terobati tiap merayu mesra sunyi. Tak lagi, tak lagi, tapi lagi lagi, datang lagi. Aku, kau, juga malam mereka. Mau apa?
Pembual II : Kita membunuhi saja sunyi. Kita siksai saja rindu. Sampai belur. Sampai tak bisa mengoyakiku lagi. Hancur enggan lagi bertutur. Aku lagi kalah main catur soal cinta
Pembual I : Tak kau letak bidak bidak catur cintamu pada kotak yang tepat? Peluncur rindumu? Kemana kau arahkan? Benteng cemburumu, pion pion rayumu? Ah, bahkan aku belum memiliki ratu untuk bertaruh. Keburu permainanku disidak malam. Jadi tuli lagi aku. Jadi bisu lagi. Kembali hanya bernarasi. Tak henti, tak henti, tak henti
Sekian saja bualan dari kami. Terimakasih bagi saudara-saudara yang sudah berkenan membaca.
Ps: Pembual I adalah teman saya berpuisi sejak SMA. Semoga tak keberatan secuil karyanya nampang di sini.
Awal Ramadhan, Yogyakarta, Agustus 2010
Pembual I : Biar aku memunguti remah-remah hatiku setelah sepasang mata menelanjanginya hingga tercecer dihadapanmu.. kususun lagi, ah mana tau besok kau yang mau membeli
Pembual II : Hei, kau ini penyair darimana?
Pembual I : Aku cuma sekedar membual, bukan menyair
Pembual II : Ah, seperti tak tau saja. Aku suka kau buali, lagi
Pembual I : Sontak kurangkai bualan dan kau mengaggapnya syair semalam. Ah, apa lagi kubuat bahwa inilah sekarang sudut pandang “aku”
Pembual II : Dari planet maya itukah kau? Entah syair atau bualan. Aku butuh sajak untuk kuhirup tiap malam
Pembual I : Dari malam-malam bualanku tercipta, membentuk senyawa-senyawa kesepian, partikel-partikel kedinginan, jadi kata, jadi rindu, jadi sajak dalam setiap malammu.., ah, kau pura-pura melupa zat dan malam-malam yang kita tiduri dulu
Pembual II : Siapakah? Kaukah itu? Ah, entahlah. Ingatanku penuh sesak oleh tumpukan utang, buku-buku kuliah dan detak-detak kedinginan
Pembual I : Tak perlu sesak hidupmu jadi ragu untuk kembali mengingat namaku, hutangmu pada dunia, buku-buku kehidupan, lebih bisa mengajari betapa kita tetap beruntung dengan nafas ini,
Ini memang aku
Pembual II : Ternyata ingatanku tak terlalu lapuk untuk membuka kembali brankas yang berisi namamu. Kawan, pekabaranmu tak pernah sampai padaku. Kemana saja puisi kau bawa lari?
Pembual I : Aku tengah duduk-duduk dengan puisi suatu malam dan tiba-tiba “yang seperti aku” mengajak bercinta dengan dunia. Kutanggalkan malam makai topeng hingga kuingat sebait kata. Malam, kau dan bualanku
Pembual II : “Yang seperti aku” lagi kebingungan nyari topengnya. Hei, jangan-jangan sedang kau pakai. Tapi wajahku bukan itu. Bukan topengmu. Bukan wajah yang itu. Hei, aku telanjang tanpa topeng itu? Dimana?
Pembual I : Di sini, dengan malam lagi. Bergumul mencumbui puisi..mencari topeng baru agar kau tak begitu sesak melihatku. Mencari topeng baruku di laci lama, laci tua aku lahir dan menetes mata
Hiruplah setiap bualanku. Topengku tinggal satu untuk nyamar menyebar sendu. Begitu kuat hasratku menetes mata, lagi dan lagi.. tapi ku tau cuma ada puisi, jadi biarlah kau kubohongi
Pembual II : Aku suka setiap kebohongan. Aku suka setiap bualan. Jadi, terus saja pakai topengmu. Terus saja buali dan bohongi aku. Sampai mabuk sama sajak-sajak terkutuk. Sampai takluk sama puisi-puisi tak punya bentuk
Pembual I : Akan kutusukkan pedang ke ulu hati agar tak lagi aku memiliki kebosanan membohong dan membual. Terus dan terus, lagi dan lagi, hingga tersisa labirin hampa hanya aku dan bualanku
Pembual II : Aku yang mau mati dengan pedang menancap di ulu hati. Bosan juga lama-lama dengar bualan. Para penyair lahir dari kata-kata tak berakhir. Bawa aku. Bawalah aku. Ke tempat dimana tak lagi ada bualan dan kebohongan
Pembual I : Di lorong hitam masih aku memijak kaki, sunyi dari siul panggilmu. Gelap dari suar rayumu. Di lorong dan dinding-dinding menatihku ini, aku baru melahirkan bualan, belum kata-kata perawan
Seperti apa tempat tanpa bualan dan kebohongan itu? Jika mampu, biar kupintal mulai dari sekarang
Pembual II : Entah seperti apa. Aku pun tak pernah tau. Barangkali seperti kau tanpa topengmu. Seperti hening dini hari. Tempat itu tak perlu kau pintal. Temukan kau tanpa. Tanpa dalam segala ada
Pembual I : Aku tanpa topengku akan seperti benang-benang transparan hingga semua luka dan nanahku bisa memilukanmu, tempat tanpa bualan apakah itu? Aku masih meraba
Pembual II : Jangan lagi kau pusingkan tempat macam itu. Tempat itu mungkin juga hanya bualanku
Pembual I : Ah kau... aku terlanjur bermimpi tentang tempat tanpa bualan itu. Ah, mimpiku bualanku
Pembual II : Siapa bilang bualanku tak benar. Siapa bilang mimpi-mimpi pasti jadi samar. Bisa jadi bualanku benar-benar samar. Bisa jadi tempat itu nyata-nyata benar
Pembual I : Ada tira-tirai kegalauan masih menutupiku. Mungkin dua kali punama, atau tiga. Aku bisa menyibak samar-samar tempat itu
Pembual II : Malam-malam bikin galau. Dua tiga purnama aku menjelma gila. Aku mau pinjam jam sepuluh lewat sembilan belas menit ini. Boleh kutukar sama sekeranjang bualan puisi
Pembual I : Beranjaklah dahulu memejam mata. Jam sepuluh belasan menit ini usah kau lewatkan. Berhentilah dengan waktu dan terbuai mimpi di situ. Boleh kuiringi bualanku untuk menemanimu
Pembual II : Mataku terpejam, tapi tidak dengan mimpi di balik jam. Tersungkur oleh dengkur manusia-manusia lupa tukang tidur. Mendongkrak-dongkrak mimpi sampai tinggi. Ketinggian, bahkan. Sampai lupa cara menjejak bumi. Biarkan saja. Nada teratur dari nafas berhembus keras itu itu membuatku tersaruk kembali. Hei, sampai aku pada pintumu?
Pembual I : Biar kukatakan, aku menipumu berkali. Tak wujud pintu kecuali hayalanmu, bisa kau buka. Tapi ada di dalamnya tiada rupa. Payah oleh usia, tua oleh kata-kata
Kembali tersaji bualan dari hasil saling berbalas pesan. Para pembual sedang menyiapkan bualannya untuk dijual kepada Anda. Maka, jangan sampai ditipu, dibuali, dibohongi seperti selalu aku. Suka dibuali sama Pembuai I itu. Masih lagi kunantikan bualanmu.
Pembual I : Ah, lama rasa tak kau kirim kata, sepertinya baru semalam... Atau dua atau tiga kata tak bersapa
Pembual II : Kau mau kubuali lagi? Ah, ini malam awal-awal ramadhan. Orang-orang lagi sibuk melawan kantuk dan kekenyangan. Huruf-huruf tak terpahami dibca merdu. Bergelantungan dimana-mana. Di ujung lidah, tertelan kerongkongan. Juga di ceruk wajahmu yang masih bertopeng itu. Kau tak ikutan mereka rebutan tuhan?
Pembual I : Au ah helap.. Mending bual merdumu nyenyak di telingaku. Toh tuhan tak tidur. Mana mau menjadi rebutan
Malam belum sepenuhnya terlelap, jadi jeda bualanku kunjungimu
Pembual II : Gelap juga harus membual apa lagi. Rasanya ini otak butuh direnovasi. Kau tak balik ke kampung halaman? Kunjungi kota kita yang sunyi. Bacai lagi catatan dan malam-malam yang kita buat bersama sepi
Pembual I : Terperangkap kesendirian di kamar kecil ini, tau mau meraba sunyi kampungku. Menikmati sunyi tiap malam, merangkai syair-syair rindu pada seseorang. Rindu setengah mati. Rindu yang tak jadi
Pembual II : Kenapa selalu sunyi dan rindu yang membaluti setiap puisi. Aku, kau, sama sama kita memerangkap malam. Rindu selalu indah. Tapi rindu malah jadi tak indah. Dalam pertemuan membuncah ruah
Pembual I : Enggan aku menitik mata lagi. Jangan sesali rinduku terobati tiap merayu mesra sunyi. Tak lagi, tak lagi, tapi lagi lagi, datang lagi. Aku, kau, juga malam mereka. Mau apa?
Pembual II : Kita membunuhi saja sunyi. Kita siksai saja rindu. Sampai belur. Sampai tak bisa mengoyakiku lagi. Hancur enggan lagi bertutur. Aku lagi kalah main catur soal cinta
Pembual I : Tak kau letak bidak bidak catur cintamu pada kotak yang tepat? Peluncur rindumu? Kemana kau arahkan? Benteng cemburumu, pion pion rayumu? Ah, bahkan aku belum memiliki ratu untuk bertaruh. Keburu permainanku disidak malam. Jadi tuli lagi aku. Jadi bisu lagi. Kembali hanya bernarasi. Tak henti, tak henti, tak henti
Sekian saja bualan dari kami. Terimakasih bagi saudara-saudara yang sudah berkenan membaca.
Ps: Pembual I adalah teman saya berpuisi sejak SMA. Semoga tak keberatan secuil karyanya nampang di sini.
Awal Ramadhan, Yogyakarta, Agustus 2010
Malam di Sebuah Beranda
Malam di Sebuah Beranda
Tambah penuh saja. Sajak-sajak saling menyapa. Di beranda ini. Para penyair tak pernah mati. Menyalaki setiap pagi sampai malam hari. Pada paruh pergantian hari. Beranda penuh dengan romantisme dan lirisisme puisi-puisi.
Merekalah para pecandu kata. Aku mengenal kalian hanya lewat ini beranda. Lewat novel dan kumpulan puisi tak terbaca. Menembusi jarak dan udara. Kalian nampang dengan beragam status, gaya foto dan nama-nama. Mengumbar ruh sajak-sajak mengembara. Membiarkan keliaran imaji berlari kemana-mana. Setiap doa setiap cinta. Setiap perjalanan setiap kenangan. Setiap realita setiap mimpi belaka. Para penyair menyeruput hidup lewat syairnya.
Yang tak pernah lepas dari layar. Sajak-sajak bergetar karena rerangkai komentar. Lembar-lembar catatan telah ditandai. Para puisi haus minta ditetesi secangkir apresiasi. Aku akan menunggu panah itu. Menancap di ujung ulu. Ketika takdir sebagai penyair. Perlahan memburu. Menyambutku di depan pintumu.
Tambah penuh saja. Sajak-sajak saling menyapa. Di beranda ini. Para penyair tak pernah mati. Menyalaki setiap pagi sampai malam hari. Pada paruh pergantian hari. Beranda penuh dengan romantisme dan lirisisme puisi-puisi.
Merekalah para pecandu kata. Aku mengenal kalian hanya lewat ini beranda. Lewat novel dan kumpulan puisi tak terbaca. Menembusi jarak dan udara. Kalian nampang dengan beragam status, gaya foto dan nama-nama. Mengumbar ruh sajak-sajak mengembara. Membiarkan keliaran imaji berlari kemana-mana. Setiap doa setiap cinta. Setiap perjalanan setiap kenangan. Setiap realita setiap mimpi belaka. Para penyair menyeruput hidup lewat syairnya.
Yang tak pernah lepas dari layar. Sajak-sajak bergetar karena rerangkai komentar. Lembar-lembar catatan telah ditandai. Para puisi haus minta ditetesi secangkir apresiasi. Aku akan menunggu panah itu. Menancap di ujung ulu. Ketika takdir sebagai penyair. Perlahan memburu. Menyambutku di depan pintumu.
Di Balik Sebuah Dinding Ruang Lengang*
Di Balik Sebuah Dinding Ruang Lengang*
Inilah ruang lengang ujian. Skripsi dan pendadaran. Ada yang berdetakan, berguncangan, berdegupan. Kemeja putih dan rok hitam. Menunggu bapak dan ibu dosen datang. Keletak sepatu hak tinggi, terdengar berirama ngeri. Waktu perlahan melambat. Meningkahi setiap detik yang tak mau berlari cepat. Hmm, bikin kaget saja. Setiap kali pintu terbuka berderit mengajak bercanda. Perut jadi mules. Serasa kepingin sembunyi di balik meja. Bayangan pun melayang. Di dadar di atas kawah candradimuka. Memang harus melewati satu anak tangga ini. Keluar dari ruang yang hampir empat tahun mengunci. Dan ketika dipanggil masuk, waktu serasa berhenti.
Ah, ternyata hanya begini. Kami ditanyai, dikritik, digelitik, diberi saran tentang yang kurang dan kelebihan. Bapak dan ibu dosen ternyata baik sekali. Pada akhir sebelum meninggalkan kami, tak lupa memperingatkan. Harus mengubah attitude dan sifat kekanak-kanakan. Jangan lupa belajar lagi tata bahasa. Apakah ‘di’ harus dipisah dan disambung dengan kata berikutnya. Jangan asal menggunakan istilah. Hanya biar dianggap ilmiah. Modal sosial, anatomi konflik, entah.
Rasanya sudah lega. Seperti bisa membongkar batu penutup gua. Kami akan segera diwisuda. Jadi sarjana. Kebanggaan orang tua. Jadi sarjana ilmu politik. Ngurusi negeri dengan masalah serba pelik. Jadi tukang jadi seniman. Ah, sejenak lupakan. Kami mau makan-makan.
*Buat yang tadi siang ujian pendadaran. Selamat teman-teman...
Juli, 2010
Inilah ruang lengang ujian. Skripsi dan pendadaran. Ada yang berdetakan, berguncangan, berdegupan. Kemeja putih dan rok hitam. Menunggu bapak dan ibu dosen datang. Keletak sepatu hak tinggi, terdengar berirama ngeri. Waktu perlahan melambat. Meningkahi setiap detik yang tak mau berlari cepat. Hmm, bikin kaget saja. Setiap kali pintu terbuka berderit mengajak bercanda. Perut jadi mules. Serasa kepingin sembunyi di balik meja. Bayangan pun melayang. Di dadar di atas kawah candradimuka. Memang harus melewati satu anak tangga ini. Keluar dari ruang yang hampir empat tahun mengunci. Dan ketika dipanggil masuk, waktu serasa berhenti.
Ah, ternyata hanya begini. Kami ditanyai, dikritik, digelitik, diberi saran tentang yang kurang dan kelebihan. Bapak dan ibu dosen ternyata baik sekali. Pada akhir sebelum meninggalkan kami, tak lupa memperingatkan. Harus mengubah attitude dan sifat kekanak-kanakan. Jangan lupa belajar lagi tata bahasa. Apakah ‘di’ harus dipisah dan disambung dengan kata berikutnya. Jangan asal menggunakan istilah. Hanya biar dianggap ilmiah. Modal sosial, anatomi konflik, entah.
Rasanya sudah lega. Seperti bisa membongkar batu penutup gua. Kami akan segera diwisuda. Jadi sarjana. Kebanggaan orang tua. Jadi sarjana ilmu politik. Ngurusi negeri dengan masalah serba pelik. Jadi tukang jadi seniman. Ah, sejenak lupakan. Kami mau makan-makan.
*Buat yang tadi siang ujian pendadaran. Selamat teman-teman...
Juli, 2010
Surat dari Cempluk Buat Si Mboknya
“Udaraning rasa iki tansah nonjok, kudu kawetu,” kata Cempluk mengawali permintaannya kepada saya.
Saya dititipi Cempluk untuk menuliskan pesannya kepada Si Mbok. Cempluk tak pernah berani mengatakannya secara langsung. Bingung, katanya. Semoga saja dengan menuliskan surat ini, Si Mbok bisa mengerti keinginan Cempluk. Buat Si Mboknya Cempluk, saya pribadi ingin bertitip pesan. Mbok ya jangan memaksakan mimpi pada anakmu. Hanya karena tak ingin anakmu mengulang getir kehidupanmu dulu. Si Mbok mesti sadar, kalau Cempluk itu sedang dikejar takdirnya sendiri.
Sebelum tengah malam. Langit berhias gumpalan awan. Selintas berbentuk jamur tak jelas. Selintas kemudian seperti kepala raksasa lapar yang ingin menelan bulan. Begitu samar dalam terang separuh purnama dan beberapa titik bintang. Beberapa helai angin berkelebat sesaat. Daun belimbing di depan kamar Cempluk bergerak perlahan. Ikut mendengarkan. Dan Cempluk pun mulai bercerita dengan kepala menunduk.
“Mbok, apalah yang bisa kulakukan tiap malam selain bertopang dagu. Mendengar kata-katamu yang mendengung di seberang itu. Aku tak pernah ingin menyakitimu. Apalagi ketika kuputar kembali ingatan tentang ajaran bu guru. Dari es de sampai es em a, mereka mengharuskan tiap murid untuk menghormati ibunya, tak membantah kata-katanya, tak boleh bilang ‘ah’ ketika dengar suruhannya, bla bla bla. Anakmu ini tak pernah bisa. Aku ingin punya mimpi dan hidupku sendiri. Kau turuti semua mauku, tapi kau tak memberi pilihan agar aku memilih hidupku.
Mbok, mimpi anakmu ini sangat sederhana. Hidup di kaki bukit dengan seseorang yang dicintainya. Entah dengan Kang Bedjo atau siapapun itu. Rumah mungil berpagar bambu dengan halaman tak begitu luas dikelilingi beragam tanaman. Menghijau seindah taman. Selalu terbuka sebuah jendela besar di samping pintu untuk melihat cucu-cucumu berlarian berkejaran. Jendela yang akan memperlihatkan ketika ia pulang meladang. Aku menyambutnya dengan segenggam cinta dan sebaris lambaian tangan. Sepanjang sore akan kami habiskan dalam cangkir-cangkir teh dan pisang goreng hangat. Betapa akan ada kebahagiaan teramat sangat. Di sana akan kutuliskan kisah-kisah manusia, peradaban, sejarah dan cinta. Bercengkrama membakar penat. Di bawah atap yang menampung embun, panas, garis-garis gerimis, badai maupun hujan lebat.
Mbok, aku tak pernah ingin menjadi orang pinunjul seperti kau harapkan itu. Kau bilang impianku hanya igauan orang mabuk. Kau tak pernah bisa mengerti kalau kami akan hidup sederhana penuh cinta. Kau bilang itu khayalan belaka. Kau bilang kami tak akan pernah bisa bahagia. Kau bilang pertengkaran-pertengkaran kecil itu akan menjadi kerikil, lalu membatu, lalu menggunung dan melindas kami sampai tandas. Kau bilang juga, kami akan ribut soal perut. Dia tak akan bisa membahagiakanku, katamu. Membelikanku baju-baju, bedak dan gincu. Dan tanganku pun akan menjadi kasar karena terlalu banyak menumbuk padi dengan alu. Kau bilang juga, Kang Bedjoku akan pulang tiap malam dengan mulut bau ciu. Putus asa karena pekerjaan tak menentu. Tak membawa apapun ke rumah selain gerutu. Taruhannya di meja judi tak pernah menang. Pulang dengan membawa lubang galian baru. Sementara utang kami, sudah tiga bulan lalu jatuh waktu. Dan kau akan sia-sia menyelokahkanku. Tak ada artinya membesarkanku. Lalu kau akan mulai menyesali. Ketika aku tak bisa merawatmu saat senja mulai menyambangi usiamu.
Mbok, barangkali kau memang punya mimpi sendiri untukku. Impian yang kau rajut setiap malam. Di tengah redup lampu kamarmu, dalam setiap doa dan permohonan. Kau ingin aku membanggakanmu. Kau kembali tersenyum ketika bukan Kang Bedjo yang mendampingiku melainkan seseorang yang sederajat denganku. Ah, darimanakah kau mengukur cinta, Mbok. Dan dia yang pilihanmu itu. Akan menyiksaku dalam kelu. Sepah sudah tanpa cinta yang telah rebah. Aku mengerti Si Mbok ingin yang terbaik. Peta perjalanan dengan jelas telah kau gambarkan. Gambaran masa depan berulang kau putarkan dalam ingatan. Tapi, aku tak sedang beringin itu.”
Yah, dan beginilah Cempluk mengakhiri suratnya buat Si Mbok. Cempluk sedang ingin menuliskan sejarahnya sendiri. Cempluk akan mengutuki diri ketika ia tak bisa menjadi Cempluk. Kusut bertekuk lutut dalam angan-angan Si Mboknya sampai lunglai, takluk.
“Mbok, maafkan anakmu,” kata Cempluk sendu. Butiran bening meleleh membelah pipi Cempluk. Dari jauh, saya dititipi cium dan peluk dari anakmu, Cempluk. Bagaimanapun, Cempluk tetap ingin membahagiakan Si Mboknya. Seandainya saja kalian bisa untuk tidak meributkan masa depan sekarang. Karena selalu ada yang setia pada tugasnya. Membisikkan ketentuan-ketentuan itu di atas ubun-ubun kalian tiap malam.
Segera kemudian saya meraih, merengkuh tubuh Cempluk. Di atas sajadah doa pada ibunya, Cempluk memikul isak yang bertumpuk. Tubuhnya tergungcang karena tangis yang mencincang. Di perbatasan jarak, Si Mboknya Cempluk yang sedang hening dalam sila pun tergetar bersama getir yang tiba-tiba merasuk. Dalam duduk, ia pun terguguk.
Yogyakarta, Juli 2010
Saya dititipi Cempluk untuk menuliskan pesannya kepada Si Mbok. Cempluk tak pernah berani mengatakannya secara langsung. Bingung, katanya. Semoga saja dengan menuliskan surat ini, Si Mbok bisa mengerti keinginan Cempluk. Buat Si Mboknya Cempluk, saya pribadi ingin bertitip pesan. Mbok ya jangan memaksakan mimpi pada anakmu. Hanya karena tak ingin anakmu mengulang getir kehidupanmu dulu. Si Mbok mesti sadar, kalau Cempluk itu sedang dikejar takdirnya sendiri.
Sebelum tengah malam. Langit berhias gumpalan awan. Selintas berbentuk jamur tak jelas. Selintas kemudian seperti kepala raksasa lapar yang ingin menelan bulan. Begitu samar dalam terang separuh purnama dan beberapa titik bintang. Beberapa helai angin berkelebat sesaat. Daun belimbing di depan kamar Cempluk bergerak perlahan. Ikut mendengarkan. Dan Cempluk pun mulai bercerita dengan kepala menunduk.
“Mbok, apalah yang bisa kulakukan tiap malam selain bertopang dagu. Mendengar kata-katamu yang mendengung di seberang itu. Aku tak pernah ingin menyakitimu. Apalagi ketika kuputar kembali ingatan tentang ajaran bu guru. Dari es de sampai es em a, mereka mengharuskan tiap murid untuk menghormati ibunya, tak membantah kata-katanya, tak boleh bilang ‘ah’ ketika dengar suruhannya, bla bla bla. Anakmu ini tak pernah bisa. Aku ingin punya mimpi dan hidupku sendiri. Kau turuti semua mauku, tapi kau tak memberi pilihan agar aku memilih hidupku.
Mbok, mimpi anakmu ini sangat sederhana. Hidup di kaki bukit dengan seseorang yang dicintainya. Entah dengan Kang Bedjo atau siapapun itu. Rumah mungil berpagar bambu dengan halaman tak begitu luas dikelilingi beragam tanaman. Menghijau seindah taman. Selalu terbuka sebuah jendela besar di samping pintu untuk melihat cucu-cucumu berlarian berkejaran. Jendela yang akan memperlihatkan ketika ia pulang meladang. Aku menyambutnya dengan segenggam cinta dan sebaris lambaian tangan. Sepanjang sore akan kami habiskan dalam cangkir-cangkir teh dan pisang goreng hangat. Betapa akan ada kebahagiaan teramat sangat. Di sana akan kutuliskan kisah-kisah manusia, peradaban, sejarah dan cinta. Bercengkrama membakar penat. Di bawah atap yang menampung embun, panas, garis-garis gerimis, badai maupun hujan lebat.
Mbok, aku tak pernah ingin menjadi orang pinunjul seperti kau harapkan itu. Kau bilang impianku hanya igauan orang mabuk. Kau tak pernah bisa mengerti kalau kami akan hidup sederhana penuh cinta. Kau bilang itu khayalan belaka. Kau bilang kami tak akan pernah bisa bahagia. Kau bilang pertengkaran-pertengkaran kecil itu akan menjadi kerikil, lalu membatu, lalu menggunung dan melindas kami sampai tandas. Kau bilang juga, kami akan ribut soal perut. Dia tak akan bisa membahagiakanku, katamu. Membelikanku baju-baju, bedak dan gincu. Dan tanganku pun akan menjadi kasar karena terlalu banyak menumbuk padi dengan alu. Kau bilang juga, Kang Bedjoku akan pulang tiap malam dengan mulut bau ciu. Putus asa karena pekerjaan tak menentu. Tak membawa apapun ke rumah selain gerutu. Taruhannya di meja judi tak pernah menang. Pulang dengan membawa lubang galian baru. Sementara utang kami, sudah tiga bulan lalu jatuh waktu. Dan kau akan sia-sia menyelokahkanku. Tak ada artinya membesarkanku. Lalu kau akan mulai menyesali. Ketika aku tak bisa merawatmu saat senja mulai menyambangi usiamu.
Mbok, barangkali kau memang punya mimpi sendiri untukku. Impian yang kau rajut setiap malam. Di tengah redup lampu kamarmu, dalam setiap doa dan permohonan. Kau ingin aku membanggakanmu. Kau kembali tersenyum ketika bukan Kang Bedjo yang mendampingiku melainkan seseorang yang sederajat denganku. Ah, darimanakah kau mengukur cinta, Mbok. Dan dia yang pilihanmu itu. Akan menyiksaku dalam kelu. Sepah sudah tanpa cinta yang telah rebah. Aku mengerti Si Mbok ingin yang terbaik. Peta perjalanan dengan jelas telah kau gambarkan. Gambaran masa depan berulang kau putarkan dalam ingatan. Tapi, aku tak sedang beringin itu.”
Yah, dan beginilah Cempluk mengakhiri suratnya buat Si Mbok. Cempluk sedang ingin menuliskan sejarahnya sendiri. Cempluk akan mengutuki diri ketika ia tak bisa menjadi Cempluk. Kusut bertekuk lutut dalam angan-angan Si Mboknya sampai lunglai, takluk.
“Mbok, maafkan anakmu,” kata Cempluk sendu. Butiran bening meleleh membelah pipi Cempluk. Dari jauh, saya dititipi cium dan peluk dari anakmu, Cempluk. Bagaimanapun, Cempluk tetap ingin membahagiakan Si Mboknya. Seandainya saja kalian bisa untuk tidak meributkan masa depan sekarang. Karena selalu ada yang setia pada tugasnya. Membisikkan ketentuan-ketentuan itu di atas ubun-ubun kalian tiap malam.
Segera kemudian saya meraih, merengkuh tubuh Cempluk. Di atas sajadah doa pada ibunya, Cempluk memikul isak yang bertumpuk. Tubuhnya tergungcang karena tangis yang mencincang. Di perbatasan jarak, Si Mboknya Cempluk yang sedang hening dalam sila pun tergetar bersama getir yang tiba-tiba merasuk. Dalam duduk, ia pun terguguk.
Yogyakarta, Juli 2010
Dari Sepi Menjelma Puisi
Dari Sepi Menjelma Puisi
Diceritakanlah sebuah percakapan di tengah malam. Antara gadis dan pria yang sama-sama kesepian. Persahabatan mereka menjelma kata-kata. Dalam sepi lewat pesan-pesan pendek, sejenak melepaskan buntalan kata yang terpenjara. Mungkin ini tak bisa disebut sebagai puisi. Hanya ungkapan-ungkapan yang terdengar klise dari para pecandu malam dan penikmat kesepian. Selamat menikmati saja, semoga Anda menyukainya...
Sebelumnya, mereka bercakap tentang acara humor di televisi, ditayangkan hampir tiap hari. Dua manusia itu tak ada yang tertawa menatap layar kaca di depan mereka. Sama-sama bosan melewati malam, terasa sangat biasa. Si Gadis Sepi kemudian menjajal kemampuan Si Pria Sepi mencipta puisi.
Gadis Sepi : “Coba we gawe puisi, in English, maybe...hehe..”
Pria Sepi : “Lagi gak enek inspirasi. Kamu ae yang bikin.”
Meskipun mengaku sedang tak ada inspirasi, Pria Kesepian beberapa saat kemudian mengirimkan pesan pendek puitis pertamanya kepada Si Gadis Kesepian
Pria Sepi : “Lonely season in this night. Banyak orang menyanyikan kesepian. Try to sing but silent. Musim ini telah menyelimuti diri setiap insan. The moon try to give a joke, but not fun. Hanya bisa diam dan terpaku berteman sepi.”
Gadis Sepi : “Cieehhh...selamat datang pujangga baru.”
Pria Sep : “Time for you to make the great words.”
Gadis Sepi : “Ngko sik, rung metu kie..”
Pria Sepi : “Okay..antrian huruf demi huruf telah menanti kau ajak berbaris menuju lantunan keindahan.”
Gadis Sepi : “Wah, ternyata kau berbakat juga.”
Pria Sepi : “Bakat terpendam paling, hehe...”
Tak lama, Pria Kesepian pun beraksi lagi dengan kata-katanya.
Pria Sepi : “Mencoba menerawang tapi tak tampak. Mencoba berpikir tapi tak bisa terpikirkan. Mencoba menulis tapi tak muncul. Mencoba menunggu tapi tak datang-datang. Inspirasi..oh...inspirasi. Kemanakah dirimu kini bersandar. Seorang penyair telah menantimu. Datanglah kepadanya. Supaya dia bisa mengajak anak-anak kata bernyanyi dengan keindahan.”
Gadis Sepi : “Si Gadis tak sedang menunggu pesan angin itu datang. Barangkali, pada sebuah detik beku. Angan memang sengaja tak mau mengetuk pintu kamarnya. Barangkali, dia tak mau lagi meminjamkan malam untuk menampung bualan puisi. Barangkali, dia akan datang nanti. Membawa sekeranjang kata untuk menuliskan catatan kesepian. Betapa panjang sebuah penantian...never feel sure, waiting for something blur.”
Pria Sepi : “Seorang gadis menanti di ujung malam. Dia selalu menanti dan menanti sampai kapan malam yang sepi ini bisa bernyanyi untuknya. Sampai lelah jiwanya berharap kapan penantian itu akan berakhir. Oh, malam...temanilah dirinya dan bernyanyilah untuknya. Ajaklah bintang berdansa dengannya.
Gadis Sepi : “Si Gadis tak ingin ditemani malam. Ia tak mau menari bersama bintang. Ia berharap ada yang meruapkan separuh nyawa untuknya. Menjadikan beku ini kembali menganak sungai. Mengaliri kering nadi. Memuara pada lelana jiwa-jiwa tanpa pegangan. Mencari pasak di tengah isak yang sesak.”
Pria Sepi : “Dan dia pun berharap ada separuh jiwa anak manusia dipersembahkan untuknya. Dia terdiam dan bernyayi dalam hati. Sampai kapankah hatinya membeku?”
Gadis Sepi : “Sampai ada yang mengembunkan uap nyawa untukknya. Sampai ada sebuah pertemuan tak disengaja. Barangkali di sebuah stasiun kereta. Dia akan melanjutkan perjalanan yang tertunda. Pun ketika apa yang ditunggunya tak juga menyambangi bilik mimpi.”
Pria Sepi : “Di stasiun kereta itu dia berdiri. Kereta itu telah berlalu tetapi dia tetap berdiri. Di tengah keramain itu dia merasa sepi. Di tengah antrian itu dia tetap menanti.
Gadis Sepi : “Dia menjelmakan diri menjadi stasiun itu. Orang-orang lalu lalang dalam perjalanan. Kereta-kereta menampakkan selintas bayangan samar tertahan. Di tengah keramaian itu, dia mencari dirinya sendiri. Luput dari perhatian, menghilang dalam lekuk pertemuan dan perpisahan. Gadis itu tetap saja dirajam sendu. Menanti lambaian tangan. Memanggilnya pulang.”
Pria Sepi : “Gadis itu pun mengajak untaian huruf untuk bernyanyi. Mereka menyanyikan suara kesepian. Huruf-huruf itu berbaris menari indah menghibur si gadis. Hanya untaian kata yang indah itu yang selama ini bisa merubah kesepian menjadi pesta hati yang terbelenggu.”
Gadis Sepi : “Si Gadis tetap bernyanyi sumbang. Membiakkan rintih pada hatinya yang gamang. Si Gadis tak bahagia dengan tipu dan gombalan kata. Si Gadis merengut, lalu menggantungkan larut sepinya pada selintas kabut. Ini waktu sedang bermuka dua. Membelai dan mencekiknya bersama-sama.”
Pria Sepi : “Great words..”
Gadis Sepi : “Juga untuk kata-katamu..”
Pria Sepi : “:-)”
Pria Sepi : “Kapan-kapan pinjemi novel yang maknane dalem, hehe..po ngerti aq nduwe bakat terpendam.”
Gadis Sepi : “Okay..”
Pria Sepi : “Ndang merangkai kata-kata neh, ben kamu ndang bisa buat buku sendiri..hehe..judule “Lantunan Kidung Keheningan Jiwa”...
Gadis Sepi : “Kadang aku memang butuh pancingan kayak tadi, meskipun jadinya agak klise begini. Seru juga lho, bagaimana kalau tak publikasi untuk kalangan sendiri?”
Pria Sepi : “Sip...tapi namaku gak usah terlalu tampak, hehe..ntar nek karyaku dijiplak orang gimana?hehehe...”
Gadis Sepi : “Kamu mau inisial apa untuk namamu?”
Pria Sepi : “LM: Lonely Man, hehe....”
Malam berlalu begitu saja. Percakapan mereka usai. Masing-masing sibuk melantunkan lamunan ke negara awang-uwung. Nun jauh dengan segala imajinasi dan bayang-bayang. Enggan mereka beranjak dari malam dan sepi. Sudah terlanjur menikmati.
Pagi datang tiba-tiba. Tak terasa seperti menyentuh ubun-ubun mereka. Matahari menampakkan diri di tengah kerumunan dan sisa kantuk orang-orang. Jari-jari cahaya bertengger di pucuk reranting. Menegak embun. Mengeringkan lembab tanah dan awan semalam yang tak jadi hujan.
Puisi kembali menyapa mereka lewat sepenggal percakapan pendek.
Pria Sepi : “Mencoba bersanding dengan hangatnya terik matahari. Selamat pagi jiwa-jiwa yang bersemangat. Sandingkanlah hangatnya jiwa sejajar dengan hangatnya sang surya.”
Gadis Sepi : “Matahari baru saja akan merangkak. Tapi awan menelannya begitu saja. Keping-keping cahaya itu mulai surut. Tak mampu lagi menyusup di sela rimbun dedaun. Seperti hujan anak panah yang sekejap menghilang sebelum menusuki pori-pori. Siang meredup. Mengungsikan hangat. Menebarkan penat.”
Operator seluler akan tetap menjadi Pak Pos setia. Mengirimkan setiap kata untuk manusia-manusia kesepian di seluruh dunia. Kalian tentu bisa membayangkan, berapa juta pesan yang sedang beterbangan di udara. Betapa sesak langit dan musim.
Percakapan ini akan selalu diteruskan. Kepada lain orang yang sama-sama sedang butuh teman. Ada Si Gadis Sepi di sini. Barangkali, diantara kalian ada yang berminat menghiburnya dengan puisi. Bagi orang yang dikutuk sepi macam begini, puisi tak perlu indah atau menyayat hati. Hanya sesuatu yang bisa sekadar mengisi. Kawan, tak bosan menanti denting kata dan puisi terkirimkan untuk kami.
catatan:
Perkenalkan, Pria Sepi ini tampaknya sedang mencoba menjadi penyair. Meskipun, hanya bisa terilhami dan merangkai kata ketika merasa sepi. Karya hasil kolaborasinya dengan Gadis Sepi ini bisa dibilang merupakan karya perdana. Pria berinisial A asal Kota Ngawi ini sedang gencar mengejar pujaan hati yang tak tahu masih berlari kemana. Sedangkan gadis yang dicintainya sejak es em a itu masih saja enggan menjawab harapannya. Aktifitasnya saat ini masih menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Kota M. Anggota Laskar Senja ini masih aktif nongkrong di angkringan, bercakap soal cinta dan hidup. Meski sayang, intensitas pertemuannya semakin jarang karena kesibukan masing-masing. Kita nantikan saja karya-karya selanjutnya dari Sang Pria Sepi.
Beberapa malam berikutnya.....
Seorang teman (HD) mengirimkan pesan,
“Bila aku tidak menyukai kehidupanku, siapakah yang harus aku salahkan tentang semua ini? Apakah aku harus menyalahkan ibuku, karena telah melahirkanku sebagai anaknya. Atau aku harus menyalahkan Sesuatu yang tak memberiku kepandaian agar aku dapat menang dalam berperang dengan kehidupan. Atau diriku hanya orang bodoh yang menanyakan hal yang bodoh. Mungkin ini hanya pemikiran khilaf sesaat, dimana setan sedang menghampiri hati yang sesat.”
Gadis Sepi pun menjawab,
“Pun halnya aku sempat berpikir sesat. Tapi akupun tak bisa menyalahkan siapapun. Ini hidup seperti mimpi. Siapa yang bisa menyalahkan mimpi. Hah, memang susah mengalahkan diri sendiri. Yang sesat, yang selalu terikat dengan keinginan-keinginan, yang tak bisa lepas dari lekat nafsu, yang selalu ingin memburu. Tak pernah ada yang salah. Bukankah salah pun bagian dari yang benar? Sebagian diri kita memang diciptakan untuk menjadi hitam. Tak pernah ada yang salah. Berbuat, bersyukur, nrima, pasrah dan nikmatilah.”
Dan Pria Sepi pun ikut menjawab,
“Hidup itu aneh tapi nyata, gak ada yang gak mungkin. Hidup itu misteri dan kejutan. Jadi, misteri kehidupan akan lebih mengejutkan.”
Demikianlah setiap pesan memaknai kehidupan. Seperti inilah kekuatan kata-kata yang dituliskan. Tak akan sampai bila hanya dengan lisan. Dan beginilah kami biasa mengeja malam.
Pada suatu malam di Jogja, Juli 2010
Diceritakanlah sebuah percakapan di tengah malam. Antara gadis dan pria yang sama-sama kesepian. Persahabatan mereka menjelma kata-kata. Dalam sepi lewat pesan-pesan pendek, sejenak melepaskan buntalan kata yang terpenjara. Mungkin ini tak bisa disebut sebagai puisi. Hanya ungkapan-ungkapan yang terdengar klise dari para pecandu malam dan penikmat kesepian. Selamat menikmati saja, semoga Anda menyukainya...
Sebelumnya, mereka bercakap tentang acara humor di televisi, ditayangkan hampir tiap hari. Dua manusia itu tak ada yang tertawa menatap layar kaca di depan mereka. Sama-sama bosan melewati malam, terasa sangat biasa. Si Gadis Sepi kemudian menjajal kemampuan Si Pria Sepi mencipta puisi.
Gadis Sepi : “Coba we gawe puisi, in English, maybe...hehe..”
Pria Sepi : “Lagi gak enek inspirasi. Kamu ae yang bikin.”
Meskipun mengaku sedang tak ada inspirasi, Pria Kesepian beberapa saat kemudian mengirimkan pesan pendek puitis pertamanya kepada Si Gadis Kesepian
Pria Sepi : “Lonely season in this night. Banyak orang menyanyikan kesepian. Try to sing but silent. Musim ini telah menyelimuti diri setiap insan. The moon try to give a joke, but not fun. Hanya bisa diam dan terpaku berteman sepi.”
Gadis Sepi : “Cieehhh...selamat datang pujangga baru.”
Pria Sep : “Time for you to make the great words.”
Gadis Sepi : “Ngko sik, rung metu kie..”
Pria Sepi : “Okay..antrian huruf demi huruf telah menanti kau ajak berbaris menuju lantunan keindahan.”
Gadis Sepi : “Wah, ternyata kau berbakat juga.”
Pria Sepi : “Bakat terpendam paling, hehe...”
Tak lama, Pria Kesepian pun beraksi lagi dengan kata-katanya.
Pria Sepi : “Mencoba menerawang tapi tak tampak. Mencoba berpikir tapi tak bisa terpikirkan. Mencoba menulis tapi tak muncul. Mencoba menunggu tapi tak datang-datang. Inspirasi..oh...inspirasi. Kemanakah dirimu kini bersandar. Seorang penyair telah menantimu. Datanglah kepadanya. Supaya dia bisa mengajak anak-anak kata bernyanyi dengan keindahan.”
Gadis Sepi : “Si Gadis tak sedang menunggu pesan angin itu datang. Barangkali, pada sebuah detik beku. Angan memang sengaja tak mau mengetuk pintu kamarnya. Barangkali, dia tak mau lagi meminjamkan malam untuk menampung bualan puisi. Barangkali, dia akan datang nanti. Membawa sekeranjang kata untuk menuliskan catatan kesepian. Betapa panjang sebuah penantian...never feel sure, waiting for something blur.”
Pria Sepi : “Seorang gadis menanti di ujung malam. Dia selalu menanti dan menanti sampai kapan malam yang sepi ini bisa bernyanyi untuknya. Sampai lelah jiwanya berharap kapan penantian itu akan berakhir. Oh, malam...temanilah dirinya dan bernyanyilah untuknya. Ajaklah bintang berdansa dengannya.
Gadis Sepi : “Si Gadis tak ingin ditemani malam. Ia tak mau menari bersama bintang. Ia berharap ada yang meruapkan separuh nyawa untuknya. Menjadikan beku ini kembali menganak sungai. Mengaliri kering nadi. Memuara pada lelana jiwa-jiwa tanpa pegangan. Mencari pasak di tengah isak yang sesak.”
Pria Sepi : “Dan dia pun berharap ada separuh jiwa anak manusia dipersembahkan untuknya. Dia terdiam dan bernyayi dalam hati. Sampai kapankah hatinya membeku?”
Gadis Sepi : “Sampai ada yang mengembunkan uap nyawa untukknya. Sampai ada sebuah pertemuan tak disengaja. Barangkali di sebuah stasiun kereta. Dia akan melanjutkan perjalanan yang tertunda. Pun ketika apa yang ditunggunya tak juga menyambangi bilik mimpi.”
Pria Sepi : “Di stasiun kereta itu dia berdiri. Kereta itu telah berlalu tetapi dia tetap berdiri. Di tengah keramain itu dia merasa sepi. Di tengah antrian itu dia tetap menanti.
Gadis Sepi : “Dia menjelmakan diri menjadi stasiun itu. Orang-orang lalu lalang dalam perjalanan. Kereta-kereta menampakkan selintas bayangan samar tertahan. Di tengah keramaian itu, dia mencari dirinya sendiri. Luput dari perhatian, menghilang dalam lekuk pertemuan dan perpisahan. Gadis itu tetap saja dirajam sendu. Menanti lambaian tangan. Memanggilnya pulang.”
Pria Sepi : “Gadis itu pun mengajak untaian huruf untuk bernyanyi. Mereka menyanyikan suara kesepian. Huruf-huruf itu berbaris menari indah menghibur si gadis. Hanya untaian kata yang indah itu yang selama ini bisa merubah kesepian menjadi pesta hati yang terbelenggu.”
Gadis Sepi : “Si Gadis tetap bernyanyi sumbang. Membiakkan rintih pada hatinya yang gamang. Si Gadis tak bahagia dengan tipu dan gombalan kata. Si Gadis merengut, lalu menggantungkan larut sepinya pada selintas kabut. Ini waktu sedang bermuka dua. Membelai dan mencekiknya bersama-sama.”
Pria Sepi : “Great words..”
Gadis Sepi : “Juga untuk kata-katamu..”
Pria Sepi : “:-)”
Pria Sepi : “Kapan-kapan pinjemi novel yang maknane dalem, hehe..po ngerti aq nduwe bakat terpendam.”
Gadis Sepi : “Okay..”
Pria Sepi : “Ndang merangkai kata-kata neh, ben kamu ndang bisa buat buku sendiri..hehe..judule “Lantunan Kidung Keheningan Jiwa”...
Gadis Sepi : “Kadang aku memang butuh pancingan kayak tadi, meskipun jadinya agak klise begini. Seru juga lho, bagaimana kalau tak publikasi untuk kalangan sendiri?”
Pria Sepi : “Sip...tapi namaku gak usah terlalu tampak, hehe..ntar nek karyaku dijiplak orang gimana?hehehe...”
Gadis Sepi : “Kamu mau inisial apa untuk namamu?”
Pria Sepi : “LM: Lonely Man, hehe....”
Malam berlalu begitu saja. Percakapan mereka usai. Masing-masing sibuk melantunkan lamunan ke negara awang-uwung. Nun jauh dengan segala imajinasi dan bayang-bayang. Enggan mereka beranjak dari malam dan sepi. Sudah terlanjur menikmati.
Pagi datang tiba-tiba. Tak terasa seperti menyentuh ubun-ubun mereka. Matahari menampakkan diri di tengah kerumunan dan sisa kantuk orang-orang. Jari-jari cahaya bertengger di pucuk reranting. Menegak embun. Mengeringkan lembab tanah dan awan semalam yang tak jadi hujan.
Puisi kembali menyapa mereka lewat sepenggal percakapan pendek.
Pria Sepi : “Mencoba bersanding dengan hangatnya terik matahari. Selamat pagi jiwa-jiwa yang bersemangat. Sandingkanlah hangatnya jiwa sejajar dengan hangatnya sang surya.”
Gadis Sepi : “Matahari baru saja akan merangkak. Tapi awan menelannya begitu saja. Keping-keping cahaya itu mulai surut. Tak mampu lagi menyusup di sela rimbun dedaun. Seperti hujan anak panah yang sekejap menghilang sebelum menusuki pori-pori. Siang meredup. Mengungsikan hangat. Menebarkan penat.”
Operator seluler akan tetap menjadi Pak Pos setia. Mengirimkan setiap kata untuk manusia-manusia kesepian di seluruh dunia. Kalian tentu bisa membayangkan, berapa juta pesan yang sedang beterbangan di udara. Betapa sesak langit dan musim.
Percakapan ini akan selalu diteruskan. Kepada lain orang yang sama-sama sedang butuh teman. Ada Si Gadis Sepi di sini. Barangkali, diantara kalian ada yang berminat menghiburnya dengan puisi. Bagi orang yang dikutuk sepi macam begini, puisi tak perlu indah atau menyayat hati. Hanya sesuatu yang bisa sekadar mengisi. Kawan, tak bosan menanti denting kata dan puisi terkirimkan untuk kami.
catatan:
Perkenalkan, Pria Sepi ini tampaknya sedang mencoba menjadi penyair. Meskipun, hanya bisa terilhami dan merangkai kata ketika merasa sepi. Karya hasil kolaborasinya dengan Gadis Sepi ini bisa dibilang merupakan karya perdana. Pria berinisial A asal Kota Ngawi ini sedang gencar mengejar pujaan hati yang tak tahu masih berlari kemana. Sedangkan gadis yang dicintainya sejak es em a itu masih saja enggan menjawab harapannya. Aktifitasnya saat ini masih menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Kota M. Anggota Laskar Senja ini masih aktif nongkrong di angkringan, bercakap soal cinta dan hidup. Meski sayang, intensitas pertemuannya semakin jarang karena kesibukan masing-masing. Kita nantikan saja karya-karya selanjutnya dari Sang Pria Sepi.
Beberapa malam berikutnya.....
Seorang teman (HD) mengirimkan pesan,
“Bila aku tidak menyukai kehidupanku, siapakah yang harus aku salahkan tentang semua ini? Apakah aku harus menyalahkan ibuku, karena telah melahirkanku sebagai anaknya. Atau aku harus menyalahkan Sesuatu yang tak memberiku kepandaian agar aku dapat menang dalam berperang dengan kehidupan. Atau diriku hanya orang bodoh yang menanyakan hal yang bodoh. Mungkin ini hanya pemikiran khilaf sesaat, dimana setan sedang menghampiri hati yang sesat.”
Gadis Sepi pun menjawab,
“Pun halnya aku sempat berpikir sesat. Tapi akupun tak bisa menyalahkan siapapun. Ini hidup seperti mimpi. Siapa yang bisa menyalahkan mimpi. Hah, memang susah mengalahkan diri sendiri. Yang sesat, yang selalu terikat dengan keinginan-keinginan, yang tak bisa lepas dari lekat nafsu, yang selalu ingin memburu. Tak pernah ada yang salah. Bukankah salah pun bagian dari yang benar? Sebagian diri kita memang diciptakan untuk menjadi hitam. Tak pernah ada yang salah. Berbuat, bersyukur, nrima, pasrah dan nikmatilah.”
Dan Pria Sepi pun ikut menjawab,
“Hidup itu aneh tapi nyata, gak ada yang gak mungkin. Hidup itu misteri dan kejutan. Jadi, misteri kehidupan akan lebih mengejutkan.”
Demikianlah setiap pesan memaknai kehidupan. Seperti inilah kekuatan kata-kata yang dituliskan. Tak akan sampai bila hanya dengan lisan. Dan beginilah kami biasa mengeja malam.
Pada suatu malam di Jogja, Juli 2010
Senin, 05 Juli 2010
Sepasang Kekasih yang Tak Pernah Lepas Bergandengan Tangan
Kepada kalian,
Sepasang kekasih yang tak pernah lepas bergandengan tangan
Memang bukan salah kalian
Begitu saja melintas memangkas renjana
Membekukan nadi
Memaku waktu
Pada lukisan-lukisan usang masa lalu
Menarikku untuk memburu
Mengikuti diam-diam
Kalian,
Sepasang kekasih yang tak pernah lepas bergandengan tangan
Di kegelapan itu
Menaiki anak tangga satu demi satu
Memandangi kertip gemintang
Tanpa melepaskan ikatan tangan
Kau suntingkan awan berbentuk kembang untuk perempuanmu
Membalikkan ingatan
Pada riwayat senja di atas sepeda tua
Memandangi matanya
Dalam cerita seribu kitab peradaban
Dan kalian tak pernah lepas bergandengan tangan
Dari sejarah ke sejarah
Dari masa lampau sampai entah
Perempuanmu menggelayut manja dipundakmu
Aku mematung
Menebarkan serpih abu
Kalian,
Sepasang kekasih yang tak pernah lepas bergandengan tangan
Jaket coklat tua dan sepasang kacamata
Membubuhi malam lewat kekal dingin
Perempuanmu merapatkan badannya
Gigil ini menari begitu saja
Nyala kembang api seperti tetaburan bintang tanpa lintasan
Menguapkan romantisme sepasang raja dan permaisuri
Percikannya mirip sekali dengan sinar mata itu
Ketika kau sering tanpa sadar
Mengikatkan dua tangan di belakang punggungmu
Aku masih mengingatnya, kau tahu
Menjadi koma tanpa jeda
Menjadi titik tanpa penghentian
Menjadi seru, menjadi tanya
Aku meninggalkan kalian
Ketika bulan kutanggalkan dari gantungan langit
Lalu mengeratnya sedikit demi sedikit
Tak lagi legit
Pahit
Kalian, sepasang kekasih yang tak pernah lepas bergandengan tangan
Sepasang kekasih yang tak pernah lepas bergandengan tangan
Memang bukan salah kalian
Begitu saja melintas memangkas renjana
Membekukan nadi
Memaku waktu
Pada lukisan-lukisan usang masa lalu
Menarikku untuk memburu
Mengikuti diam-diam
Kalian,
Sepasang kekasih yang tak pernah lepas bergandengan tangan
Di kegelapan itu
Menaiki anak tangga satu demi satu
Memandangi kertip gemintang
Tanpa melepaskan ikatan tangan
Kau suntingkan awan berbentuk kembang untuk perempuanmu
Membalikkan ingatan
Pada riwayat senja di atas sepeda tua
Memandangi matanya
Dalam cerita seribu kitab peradaban
Dan kalian tak pernah lepas bergandengan tangan
Dari sejarah ke sejarah
Dari masa lampau sampai entah
Perempuanmu menggelayut manja dipundakmu
Aku mematung
Menebarkan serpih abu
Kalian,
Sepasang kekasih yang tak pernah lepas bergandengan tangan
Jaket coklat tua dan sepasang kacamata
Membubuhi malam lewat kekal dingin
Perempuanmu merapatkan badannya
Gigil ini menari begitu saja
Nyala kembang api seperti tetaburan bintang tanpa lintasan
Menguapkan romantisme sepasang raja dan permaisuri
Percikannya mirip sekali dengan sinar mata itu
Ketika kau sering tanpa sadar
Mengikatkan dua tangan di belakang punggungmu
Aku masih mengingatnya, kau tahu
Menjadi koma tanpa jeda
Menjadi titik tanpa penghentian
Menjadi seru, menjadi tanya
Aku meninggalkan kalian
Ketika bulan kutanggalkan dari gantungan langit
Lalu mengeratnya sedikit demi sedikit
Tak lagi legit
Pahit
Kalian, sepasang kekasih yang tak pernah lepas bergandengan tangan
Surat Buat Kang Bedjo
Kang, bukankah aku masih seperti dulu, ketika pertama kali matamu menawarkan sabit bulan dikalang awan. Waktu semakin mendekatkan kita. Nadi yang berdenyut bersama. Detak hati yang mengetuk-ngetuk setiap lekuk. Desir nafas meranggas, menjadikan pagi berwarna merah hati. Mengenangkannya memang menghibur sekaligus menyesakkan. Aku mengais setiap detik waktu kala itu. Ketika kita asyik bercakap menghirup pengap, dalam kepul asap semangkuk mie ayam dan segelas es teh manis. Dan puisi pun mengembara disekeliling kita.
Kang, aku masih akan seperti yang dulu. Meski kambingmu tak jadi beranak. Hanya kau jual dua ratus lima puluh ribu untuk membayar utang padaku. Aku tahu betapa kau selalu bermimpi menjadi kaya raya, lalu membalas hinaan mereka. Atau menjadi anggota densus 88, mengancam para teroris cinta kita dengan mengacungkan senapan.
Kang, aku tau sejak lama kau mulai lelah berjalan bersamaku. Diantara pertentangan dan belukar liar dihadapmu. Tebing terjal dan licin jalan berbatu menantangmu. Kita tetap berjalan diantara ragu. Barangkali, kita memang tak ditakdirkan untuk bersama. Genangan hujan masih basah menembus bongkah kemarau. Menyebut namaku, aku tahu suaramu semakin saja parau. Tak pernah ada yang salah diantara langit dan awan. Keduanya sama-sama hanya beringin sederhana. Menyajikan senja ketika airmata menjadi sebuah kebahagiaan yang salah tempat.
Kang, malam ini kau kembali menepuk pundakku. Lengang merayapi tubuhku. Sekian gamang dan sesak kenang tak pernah bisa tersingkir sepenuhnya. Akankah aku akan meninggalkanmu? Atau kaukah yang akan meninggalakanku? Kita tak pernah tahu. Barangkali juga kita tak akan pernah saling meninggalkan.
Kang, aku telah mencoba berjingkat ke satu hati. Tapak kaki ini tetap saja tak beranjak pergi. Aku berlari menjauh, tapi kita semakin mendekat. Erat dalam dekap. Sejenak senyap ketika binatang malam berhenti menggetarkan sayap.
Kang, aku tahu suratku ini tak akan pernah kau mengerti.
Kang, kita memang tak pernah sama
Ketika kulagukan sendu puisi Sapardi, kau nyanyikan dangdut koplo dan campursari. Ketika kita bicarakan sedikit saja sesuatu yang butuh pemikiran, kau beranjak ke soal harga-harga telepon genggam yang kau jual belikan. Ketika aku bermimpi disibukkan dengan ragam pekerjaan dan segudang tulisan, kau impikan bagaimana memasak, meracik bumbu dan memandikan anak-anak. Ketika dikepalaku bergelayut soal-soal pelik negeri ini, kau pusingkan naiknnya harga cabe dan gerundelan pedagang pasar karena pembeli yang semakin sepi.
Kang, kau karus percaya, kita tetap sama dalam rindu. Kita tetap manusia dalam cinta. Si Mbok menentang kita untuk kebaikanku, katanya. Kau tahu, aku masih seperti dulu ketika teduhmu membuatku kembali menatap bumi. Tak pedulikan berapa bentang waktu yang telah mengubahku dan kau. Berapa rentang peristiwa yang menjadikan kita semakin menjauh dan mendekat dalam waktu yang sama. Kau tak lagi mau kupanggil dengan sebutan itu. Ada yang mulai memudar dihatimu. Jengah yang terus saja mengikis sisa-sisa ini dengan sadis.
Kang, akan kuikuti maumu. Kita tak akan lagi bertemu untuk waktu yang lama. Sama-sama kembara. Sampai ini sampai, kembara ini tak juga sampai. Telah lelah kulauti jiwa-jiwa. Ku selami hati demi hati. Berlari kemana pun tak juga meninggalkan sejengkalpun aku dari hatimu. Ini menyiksa. Sampai kapan Kang Bedjo akan terus memancung kewarasanku.
Kang, semakin sering kau menjelma hantu
Di mimpi ujung ubun-ubunku tiap malam kau datang
Diantara dadamu yang bidang
Kupastikan peluru ini akan bersarang
Kang, kita tak pernah bisa mengintip takdir
Aku bisa menjadi kau, dan kau pun sebaliknya
Kang, aku masih akan seperti yang dulu. Meski kambingmu tak jadi beranak. Hanya kau jual dua ratus lima puluh ribu untuk membayar utang padaku. Aku tahu betapa kau selalu bermimpi menjadi kaya raya, lalu membalas hinaan mereka. Atau menjadi anggota densus 88, mengancam para teroris cinta kita dengan mengacungkan senapan.
Kang, aku tau sejak lama kau mulai lelah berjalan bersamaku. Diantara pertentangan dan belukar liar dihadapmu. Tebing terjal dan licin jalan berbatu menantangmu. Kita tetap berjalan diantara ragu. Barangkali, kita memang tak ditakdirkan untuk bersama. Genangan hujan masih basah menembus bongkah kemarau. Menyebut namaku, aku tahu suaramu semakin saja parau. Tak pernah ada yang salah diantara langit dan awan. Keduanya sama-sama hanya beringin sederhana. Menyajikan senja ketika airmata menjadi sebuah kebahagiaan yang salah tempat.
Kang, malam ini kau kembali menepuk pundakku. Lengang merayapi tubuhku. Sekian gamang dan sesak kenang tak pernah bisa tersingkir sepenuhnya. Akankah aku akan meninggalkanmu? Atau kaukah yang akan meninggalakanku? Kita tak pernah tahu. Barangkali juga kita tak akan pernah saling meninggalkan.
Kang, aku telah mencoba berjingkat ke satu hati. Tapak kaki ini tetap saja tak beranjak pergi. Aku berlari menjauh, tapi kita semakin mendekat. Erat dalam dekap. Sejenak senyap ketika binatang malam berhenti menggetarkan sayap.
Kang, aku tahu suratku ini tak akan pernah kau mengerti.
Kang, kita memang tak pernah sama
Ketika kulagukan sendu puisi Sapardi, kau nyanyikan dangdut koplo dan campursari. Ketika kita bicarakan sedikit saja sesuatu yang butuh pemikiran, kau beranjak ke soal harga-harga telepon genggam yang kau jual belikan. Ketika aku bermimpi disibukkan dengan ragam pekerjaan dan segudang tulisan, kau impikan bagaimana memasak, meracik bumbu dan memandikan anak-anak. Ketika dikepalaku bergelayut soal-soal pelik negeri ini, kau pusingkan naiknnya harga cabe dan gerundelan pedagang pasar karena pembeli yang semakin sepi.
Kang, kau karus percaya, kita tetap sama dalam rindu. Kita tetap manusia dalam cinta. Si Mbok menentang kita untuk kebaikanku, katanya. Kau tahu, aku masih seperti dulu ketika teduhmu membuatku kembali menatap bumi. Tak pedulikan berapa bentang waktu yang telah mengubahku dan kau. Berapa rentang peristiwa yang menjadikan kita semakin menjauh dan mendekat dalam waktu yang sama. Kau tak lagi mau kupanggil dengan sebutan itu. Ada yang mulai memudar dihatimu. Jengah yang terus saja mengikis sisa-sisa ini dengan sadis.
Kang, akan kuikuti maumu. Kita tak akan lagi bertemu untuk waktu yang lama. Sama-sama kembara. Sampai ini sampai, kembara ini tak juga sampai. Telah lelah kulauti jiwa-jiwa. Ku selami hati demi hati. Berlari kemana pun tak juga meninggalkan sejengkalpun aku dari hatimu. Ini menyiksa. Sampai kapan Kang Bedjo akan terus memancung kewarasanku.
Kang, semakin sering kau menjelma hantu
Di mimpi ujung ubun-ubunku tiap malam kau datang
Diantara dadamu yang bidang
Kupastikan peluru ini akan bersarang
Kang, kita tak pernah bisa mengintip takdir
Aku bisa menjadi kau, dan kau pun sebaliknya
Kamis, 27 Mei 2010
Guneman Suwung
Kagem Bapak sumawana Ibu ingkang gadhah putra kakung
Kula badhe ndherek langkung
Kagem ingkang sami wuyung
Menika namung guneme tiyang suwung
Kula pengen dipek mantu
Si Mbok mestine mboten sarujuk maringi pangestu
Kulo mboten badhe sedya ala
Ugi marakke kuciwa
Namung karep ndherekake manggih mulya
Kagem sedaya marasepuh
Ingkang sampun katulis jroning pupuh
Mbok nggih kula dipek mantu
Mboten badhe nyengsarakne,
Purun nedhi watu, lugu, sregep, tur ayu
Kula saged nyambut damel
Nadyan mung nguleg sambel
Menawi sampun kepanggih,
Mboten badhe pisah
Kajaba segara tawar tanpa asine uyah
Mboten badhe saged uwal
Kula menika balung rusuke ingkang sempal
Bilih sampun kebacut tresna
Urip seneng, lara lan lapa tansah lila
Kadi redi kang subur murakabi
Kula menika mantu kang gemi, titi lan ngati-ati
Menawi sampun kepengin nggendhong putu
Mbok kula dipek mantu
Sakderenge, urip tansah sepi nyenyet
Nandhang tresna ingkang saged gawe greget
Kamajaya ratih menclok jroning ati
Maksih gadhah pengarep enggal kepanggih ingkang kula padosi
Wengi-wengi tansah rerepen
Mugi kepanggih senadyan mung ning impen
Nuwun
Kula badhe ndherek langkung
Kagem ingkang sami wuyung
Menika namung guneme tiyang suwung
Kula pengen dipek mantu
Si Mbok mestine mboten sarujuk maringi pangestu
Kulo mboten badhe sedya ala
Ugi marakke kuciwa
Namung karep ndherekake manggih mulya
Kagem sedaya marasepuh
Ingkang sampun katulis jroning pupuh
Mbok nggih kula dipek mantu
Mboten badhe nyengsarakne,
Purun nedhi watu, lugu, sregep, tur ayu
Kula saged nyambut damel
Nadyan mung nguleg sambel
Menawi sampun kepanggih,
Mboten badhe pisah
Kajaba segara tawar tanpa asine uyah
Mboten badhe saged uwal
Kula menika balung rusuke ingkang sempal
Bilih sampun kebacut tresna
Urip seneng, lara lan lapa tansah lila
Kadi redi kang subur murakabi
Kula menika mantu kang gemi, titi lan ngati-ati
Menawi sampun kepengin nggendhong putu
Mbok kula dipek mantu
Sakderenge, urip tansah sepi nyenyet
Nandhang tresna ingkang saged gawe greget
Kamajaya ratih menclok jroning ati
Maksih gadhah pengarep enggal kepanggih ingkang kula padosi
Wengi-wengi tansah rerepen
Mugi kepanggih senadyan mung ning impen
Nuwun
Minggu, 23 Mei 2010
Cerita Juwanti Menegur Hati
Seperti tak bisa mengelak. Semacam ada kekuatan yang berusaha menggerakkan jari-jari untuk menuliskan cerita ini. Semua berhenti dan hanya cerita inilah yang sedari tadi meledak-ledak minta dituliskan. Dalam keadaan begini, ceritalah yang menjadi subyek sedangkan penulis hanya menjadi obyek dari keinginan cerita untuk dituliskan. Tak kuasa menahan desakan, memacu malam.
Pernah saya menceritakan tentang Juwanti sebelumnya. Seorang janda beranak satu yang ditinggal mati suaminya karena penyakit menggerogoti paru-paru. Juwanti menjadi pembantu rumah tangga dengan upah empat ratus lima puluh ribu rupiah per bulan. Tiga ratus ribu harus dikirimkannya ke kampung dan sisanya menjadi biaya makannya sehari-hari. Kalau dipikir memang terasa muskil dan tak mungkin cukup. Nyatanya, Juwanti tetap bertahan di sini. Sampai episode ini datang dalam hidupnya. Kisah yang sepertinya telah digariskan dan tinggallah Juwanti sebagai seseorang yang pasrah menjalani.
Wajah memelas anaknya itulah yang tak bisa terusir dari ingatan. Wajah itu pula yang sepertinya memaksa untuk menuliskan cerita, ketika seorang anak bernama Candra itu hadir di rumah ini. Seorang bocah hampir empat tahun umurnya. Kulitnya gelap. Kedua bola matanya menonjol keluar. Kepala lonjongnya dibiarkan tanpa rambut. Kata Juwanti, ia sengaja mencukur habis rambut anaknya karena selalu tumbuh seperti kembang Lamtoro. Rambut-rambut kaku yang menjulang menembusi langit. Bocah kecil yang selalu memakai kaos kebesaran itu tak bisa pergi dari ingatan. Bajunya sebagian besar adalah pemberian orang, cucu dari si tuan rumah. Karena itu, salah satu pundaknya selalu kelihatan karena bagian leher kaos yang berdimeter terlalu besar tak sepandan dengan badannya. Sudah dua malam ia di sini. Bocah yang tak pernah bisa bersuara pelan. Selalu berbicara dengan teriakan yang mengalun dengan nada khas anak desa dari Gunung Kidul. Wajah itu pula yang selalu menggantung di pikiran. Ketika Juwanti menyuapinya dengan telur dadar, anak yang tak mau duduk. Ia mengunyah makannya sambil nongkrong. Sementara kunyahan perlahan itu diperjuangkan oleh gigi-gigi geripis yang sebentar lagi tanggal.
Juwanti memandangi anaknya dengan tatapan kasih. Baru saja anaknya bisa tak rewel lagi. Sejak datang di rumah ini, Candra belum buang air besar. Inilah yang membuatnya menangis semalaman karena sakit perut. Candra kecil tak terbiasa untuk buang air besar di WC. Biasanya, Juwanti hanya membuat lubang di tanah halaman belakang. Di situlah Candra buang air besar. Lubang tinggal ditutup dan sekalian Candra menyenangkan si tanah dan si rumput. Di rumah ini, Juwanti tak mengerti bagaimana anaknya bisa buang air besar. Kami menyarani untuk melakukan hal yang sama di halaman belakang tapi Candra menolak. Akhirnya, Juwanti bisa bernafas lega. Candra bisa buang ir besar di kali Code. Malam itu juga, seorang tukang becak berkenan mengantarkan Juwanti dan anaknya turun ke kali. Setelah melewati jalan berkelok naik turun, lega sudah perut Candra membuang sisa makanan yang tertumpuk diusus besarnya.
Ia terpaksa ikut mamaknya karena tak mau ditinggal. Juwanti sempat pulang karena Candra sakit, kata dokter setempat, ia hanya terlalu lelah. Tapi, entah kenapa sampai muntah darah. Sempat juga salah obat karena sang nenek memberi tahu dokter bahwa cucunya hanya muntah biasa. Saat Juwanti mau meninggalkannya untuk kembali bekerja, Candra tak ingin lepas dari gendongannya. Terpaksalah Juwanti membawa anak semata wayang yang sangat dicintainya ke rumah tempatnya bekerja. Rumah ini.
Anak ini tak terurus karena hanya tinggal dengan neneknya. Tak pernah Candra menikmati suapan dari neneknya. Ketika makan, neneknya hanya mengambilkan. Apakah Candra akan memakannya atau tidak, neneknya tak peduli lagi. Saat Juwanti pulang, barulah Candra bisa menikmati makanan dari tangan mamaknya. Apapun keinginannya selalu dituruti oleh Juwanti. Baru merasakan mendapat perhatian, maka Candra tak akan membiarkan orang yang memperhatikan dan menyayanginya terlepas dari genggamannya. Perhatian Juwanti yang berlebihan juga tak bisa disalahkan. Ia merasa sangat bersalah karena harus menelantarkan anaknya demi pekerjaan. Tapi kalau berdiam di desa, tak ada juga yang bisa dikerjakannya. Para tetangga juga banyak yang menekannya, “Kowe ki mbok yo mesakne anakmu. Ra diurus kaya ngono. Kowe ki abot duit apa abot anak to?,”1 seperti itulah sindiran para tetanngga menghujaninya.
Candra harus masuk TK tahun ini. Inilah yang menjadi masalah bagi Juwanti. Ibunya telah mewanti-wanti, “Nek Kowe tetep kerja, aja salahne aku nek anamu dadi goblok.”2 Si nenek tak sanggup kalau harus mengantar dan menjemput Candra setiap hari. Sementara ia harus tetap mencari rumput untuk kambing-kambingnya yang juga tak seberapa banyak. Juwanti terpaksa membawanya. Nyonya di rumah ini belum mengizinkan Juwanti untuk keluar karena belum ada penggantinya. Rumah ini juga akan kedatangan tamu dalam jumlah banyak dan Juwanti harus ikut membantu kerepotan si nyonya rumah mengurusi tamu-tamunya.
Semakin repot saja Juwanti di rumah ini. Si nyonya rumah seperti tak mengizinkannya untuk berisitirahan barang sebentar. Sementara Candra juga suka bandel dan rewel. Segala kemauannya harus diikuti. Candra selalu mengekor keman juwanti pergi, bakhan sering minta digendong. Si nyonya rumah malah jadi ikut pusing karena Juwanti memang harus mendahulukan anaknya daripada pekerjaannya. Tak mungkin juga ia bekerja sementara anaknya sedang menangis. “Nek anakmu melu neng kene, wis Kowe metu wae, Ti,”3 kata si nyonya rumah. Juwanti memberanikan diri untuk mengajukan penawaran. Ia mau tetap tinggal asal gajinya dinaikkan. Terbersit juga dipikiran Juwanti untuk menyekolahkan anaknya di sini. Tentu saja tak akan cukup dengan gajinya yang sekarang. Semua juga tahu tabiat si nyonya rumah. Sampai mati pun, si nyonya tak akan mau untuk menaikkan gajinya.
Juwanti semakin pusing. Di tengah kerepotannya, Candra semakin bandel saja. Sebentar-sebentar menangis. Wajah Juwanti sudah tak bisa digambarkan. Antara kelelahan, sebel, jenes, sekaligus juga tak mau menyakiti anaknya. Sekali waktu, Juwanti pernah menyiwel anaknya yang tak mau berhenti menangis. Tangis anaknya semakin keras. Candra kecil duduk di lantai. Sedangkan Juwanti memandangi anaknya dari kursi lebih tinggi. Diam-diam, air matanya pun leleh. Candra kecil dan Juwanti sama-sama menangis.
Malam ini, Juwanti telah memutuskan. Ia akan kembali ke desa dan bertani, menjaga anaknya, dan hidup hanya demi Candra. Malam ini, tamu-tamu masih saja ribut meski telah larut. Candra kecil tak mau segara tidur. Di depan hingar bingar televisi, Juwanti meletakkan lelahnya dengan berbaring di atas karpet. Candra kecil berbaring pula di samping mamaknya. Mereka terbaring berhadapan. Saling memeluk. Juwanti telah memejamkan mata meski belum lelap. Candra yang berbaring di sampingnya tak juga bisa terpejam. Mata besarnya berkedip-kedip. Dahinya yang menonjol tampak mengilat terkena siratan lampu neon di atasnya. Juwanti membalik badannya, membelakangi dan Candra kecil justru menciumi punggung mamaknya dengan kasih. Ibu dan anak ini telah lekat tak terpisah. Candra kecil mungkin bandel tapi itu hanya karena ia tak ingin berpisah lagi dengan Juwanti. Wajah Juwanti mengeras. Badannya yang gempal seperti mencuatkan kekuatan untuk terus berjuang demi anaknya. Candra kecil berkata pelan dengan nada khasnya yang mengalun, “Mamak, endi tanganmu,”4 Juwanti menjulurkan tangannya. Candra kecil lalu mengusap-usapkan tangan mamaknya di depan hidung mungil itu.
Catatan:
1. Kamu itu sebaiknya kasihan sama anakmu. Tak terurus begitu. Kamu itu lebih milih anak atau uang?
2. Kalau kamu tetap bekerja, maka jang an salahkan saya kalau anakmu jadi bodoh.
3. Kalau anakmu ikut di sini, lebih baik kamu keluar saja.
4. Ibu, mana tanganmu.
Yogyakarta, 21 Mei 2010
Pernah saya menceritakan tentang Juwanti sebelumnya. Seorang janda beranak satu yang ditinggal mati suaminya karena penyakit menggerogoti paru-paru. Juwanti menjadi pembantu rumah tangga dengan upah empat ratus lima puluh ribu rupiah per bulan. Tiga ratus ribu harus dikirimkannya ke kampung dan sisanya menjadi biaya makannya sehari-hari. Kalau dipikir memang terasa muskil dan tak mungkin cukup. Nyatanya, Juwanti tetap bertahan di sini. Sampai episode ini datang dalam hidupnya. Kisah yang sepertinya telah digariskan dan tinggallah Juwanti sebagai seseorang yang pasrah menjalani.
Wajah memelas anaknya itulah yang tak bisa terusir dari ingatan. Wajah itu pula yang sepertinya memaksa untuk menuliskan cerita, ketika seorang anak bernama Candra itu hadir di rumah ini. Seorang bocah hampir empat tahun umurnya. Kulitnya gelap. Kedua bola matanya menonjol keluar. Kepala lonjongnya dibiarkan tanpa rambut. Kata Juwanti, ia sengaja mencukur habis rambut anaknya karena selalu tumbuh seperti kembang Lamtoro. Rambut-rambut kaku yang menjulang menembusi langit. Bocah kecil yang selalu memakai kaos kebesaran itu tak bisa pergi dari ingatan. Bajunya sebagian besar adalah pemberian orang, cucu dari si tuan rumah. Karena itu, salah satu pundaknya selalu kelihatan karena bagian leher kaos yang berdimeter terlalu besar tak sepandan dengan badannya. Sudah dua malam ia di sini. Bocah yang tak pernah bisa bersuara pelan. Selalu berbicara dengan teriakan yang mengalun dengan nada khas anak desa dari Gunung Kidul. Wajah itu pula yang selalu menggantung di pikiran. Ketika Juwanti menyuapinya dengan telur dadar, anak yang tak mau duduk. Ia mengunyah makannya sambil nongkrong. Sementara kunyahan perlahan itu diperjuangkan oleh gigi-gigi geripis yang sebentar lagi tanggal.
Juwanti memandangi anaknya dengan tatapan kasih. Baru saja anaknya bisa tak rewel lagi. Sejak datang di rumah ini, Candra belum buang air besar. Inilah yang membuatnya menangis semalaman karena sakit perut. Candra kecil tak terbiasa untuk buang air besar di WC. Biasanya, Juwanti hanya membuat lubang di tanah halaman belakang. Di situlah Candra buang air besar. Lubang tinggal ditutup dan sekalian Candra menyenangkan si tanah dan si rumput. Di rumah ini, Juwanti tak mengerti bagaimana anaknya bisa buang air besar. Kami menyarani untuk melakukan hal yang sama di halaman belakang tapi Candra menolak. Akhirnya, Juwanti bisa bernafas lega. Candra bisa buang ir besar di kali Code. Malam itu juga, seorang tukang becak berkenan mengantarkan Juwanti dan anaknya turun ke kali. Setelah melewati jalan berkelok naik turun, lega sudah perut Candra membuang sisa makanan yang tertumpuk diusus besarnya.
Ia terpaksa ikut mamaknya karena tak mau ditinggal. Juwanti sempat pulang karena Candra sakit, kata dokter setempat, ia hanya terlalu lelah. Tapi, entah kenapa sampai muntah darah. Sempat juga salah obat karena sang nenek memberi tahu dokter bahwa cucunya hanya muntah biasa. Saat Juwanti mau meninggalkannya untuk kembali bekerja, Candra tak ingin lepas dari gendongannya. Terpaksalah Juwanti membawa anak semata wayang yang sangat dicintainya ke rumah tempatnya bekerja. Rumah ini.
Anak ini tak terurus karena hanya tinggal dengan neneknya. Tak pernah Candra menikmati suapan dari neneknya. Ketika makan, neneknya hanya mengambilkan. Apakah Candra akan memakannya atau tidak, neneknya tak peduli lagi. Saat Juwanti pulang, barulah Candra bisa menikmati makanan dari tangan mamaknya. Apapun keinginannya selalu dituruti oleh Juwanti. Baru merasakan mendapat perhatian, maka Candra tak akan membiarkan orang yang memperhatikan dan menyayanginya terlepas dari genggamannya. Perhatian Juwanti yang berlebihan juga tak bisa disalahkan. Ia merasa sangat bersalah karena harus menelantarkan anaknya demi pekerjaan. Tapi kalau berdiam di desa, tak ada juga yang bisa dikerjakannya. Para tetangga juga banyak yang menekannya, “Kowe ki mbok yo mesakne anakmu. Ra diurus kaya ngono. Kowe ki abot duit apa abot anak to?,”1 seperti itulah sindiran para tetanngga menghujaninya.
Candra harus masuk TK tahun ini. Inilah yang menjadi masalah bagi Juwanti. Ibunya telah mewanti-wanti, “Nek Kowe tetep kerja, aja salahne aku nek anamu dadi goblok.”2 Si nenek tak sanggup kalau harus mengantar dan menjemput Candra setiap hari. Sementara ia harus tetap mencari rumput untuk kambing-kambingnya yang juga tak seberapa banyak. Juwanti terpaksa membawanya. Nyonya di rumah ini belum mengizinkan Juwanti untuk keluar karena belum ada penggantinya. Rumah ini juga akan kedatangan tamu dalam jumlah banyak dan Juwanti harus ikut membantu kerepotan si nyonya rumah mengurusi tamu-tamunya.
Semakin repot saja Juwanti di rumah ini. Si nyonya rumah seperti tak mengizinkannya untuk berisitirahan barang sebentar. Sementara Candra juga suka bandel dan rewel. Segala kemauannya harus diikuti. Candra selalu mengekor keman juwanti pergi, bakhan sering minta digendong. Si nyonya rumah malah jadi ikut pusing karena Juwanti memang harus mendahulukan anaknya daripada pekerjaannya. Tak mungkin juga ia bekerja sementara anaknya sedang menangis. “Nek anakmu melu neng kene, wis Kowe metu wae, Ti,”3 kata si nyonya rumah. Juwanti memberanikan diri untuk mengajukan penawaran. Ia mau tetap tinggal asal gajinya dinaikkan. Terbersit juga dipikiran Juwanti untuk menyekolahkan anaknya di sini. Tentu saja tak akan cukup dengan gajinya yang sekarang. Semua juga tahu tabiat si nyonya rumah. Sampai mati pun, si nyonya tak akan mau untuk menaikkan gajinya.
Juwanti semakin pusing. Di tengah kerepotannya, Candra semakin bandel saja. Sebentar-sebentar menangis. Wajah Juwanti sudah tak bisa digambarkan. Antara kelelahan, sebel, jenes, sekaligus juga tak mau menyakiti anaknya. Sekali waktu, Juwanti pernah menyiwel anaknya yang tak mau berhenti menangis. Tangis anaknya semakin keras. Candra kecil duduk di lantai. Sedangkan Juwanti memandangi anaknya dari kursi lebih tinggi. Diam-diam, air matanya pun leleh. Candra kecil dan Juwanti sama-sama menangis.
Malam ini, Juwanti telah memutuskan. Ia akan kembali ke desa dan bertani, menjaga anaknya, dan hidup hanya demi Candra. Malam ini, tamu-tamu masih saja ribut meski telah larut. Candra kecil tak mau segara tidur. Di depan hingar bingar televisi, Juwanti meletakkan lelahnya dengan berbaring di atas karpet. Candra kecil berbaring pula di samping mamaknya. Mereka terbaring berhadapan. Saling memeluk. Juwanti telah memejamkan mata meski belum lelap. Candra yang berbaring di sampingnya tak juga bisa terpejam. Mata besarnya berkedip-kedip. Dahinya yang menonjol tampak mengilat terkena siratan lampu neon di atasnya. Juwanti membalik badannya, membelakangi dan Candra kecil justru menciumi punggung mamaknya dengan kasih. Ibu dan anak ini telah lekat tak terpisah. Candra kecil mungkin bandel tapi itu hanya karena ia tak ingin berpisah lagi dengan Juwanti. Wajah Juwanti mengeras. Badannya yang gempal seperti mencuatkan kekuatan untuk terus berjuang demi anaknya. Candra kecil berkata pelan dengan nada khasnya yang mengalun, “Mamak, endi tanganmu,”4 Juwanti menjulurkan tangannya. Candra kecil lalu mengusap-usapkan tangan mamaknya di depan hidung mungil itu.
Catatan:
1. Kamu itu sebaiknya kasihan sama anakmu. Tak terurus begitu. Kamu itu lebih milih anak atau uang?
2. Kalau kamu tetap bekerja, maka jang an salahkan saya kalau anakmu jadi bodoh.
3. Kalau anakmu ikut di sini, lebih baik kamu keluar saja.
4. Ibu, mana tanganmu.
Yogyakarta, 21 Mei 2010
Pesan Rahasia dari Pak Guru
Tidak sengaja ketika saya pulang menuju kampung halaman, seorang laki-laki naik dari Terminal Tirtonadi, Solo. Tiba-tiba saja obrolan terjadi. Penumpang dalam bus ini hanya segelintir orang saja. Seperti layaknya sebuah perkenalan biasa antar penumpang, pertanyaan-pertanyaan dilontarkan seputar darimana dan mau kemana. Seorang laki-laki duduk dibangku sebelah kanan dengan tiga kursi. Sedangkan saya duduk di bangku sebelah kiri dengan dua kursi. Percakapan lalu berlanjut dengan,
“Kuliah dimana?”, tanyanya.
“UGM.”
“Jurusan?”
Ilmu Pemerintahan.”
“Bapak, darimana?,” tanyaku balik sekadar basa-basi.
“Saya mau pulang ke Sragen. Ikut kuliah S1 pendidikan olahraga di UNS,” jawabnya.
“Oh.” Jawabku singkat sambil menunjukkan wajah tanda mengerti, juga sedikit memberi kesan untuk tak melanjutkan percapakan. Tampaknya ini yang tak tertangkap olehnya.
Mendengar kata Ilmu Pemerintahan, Pak Guru itu menunjukkan mimik ingin tahu lebih banyak tentang apa yang saya pelajari. Ia kemudian menanyakan sekitar kalau sudah lulus mau kerja apa? Nanti bisa jadi apa saja? Apakah sama dengan IPDN? Apa saja yang dipejari? Dan pada puncaknya, pertanyaannya mengerucut pada bahasan tentang otonomi daerah.
Pak Guru memulai menjelaskan analisisnya tentang politik Indonesia. Bahasannya dibuka dengan kritik terhadap kepemimpinan SBY. Baginya, pemimpin yang satu ini kurang tegas dalam mengambil sikap. Terlalu banyak perhitungan dan tentu saja memperhitungakan banyak kepentingan, termasuk kepentingan asing yang baginya tampak lebih diutamakan. Pak Guru juga berkomentar tentang otonomi daerah di Indonesia. Sistem ini bukannya menjadikan pengelolaan pemerintahan yang lebih baik, namun justru cenderung banyak menimbulkan masalah.
Sedari tadi mendengarkan Pak Guru bicara, selayaknya murid yang baik, saya hanya manggut-manggut saja mendengarkan perkataannya. Tak satu kalimatnya pun saya sela. Dalam hati saya merasa ketar-ketir kalau Pak Guru akhirnya meminta pendapat saya tentang semua itu. Meskipun saya seorang mahasiswa Ilmu Pemerintahan, jujur saya mengaku tak banyak tahu tentang pokok bahasan ini. Politik lokal, otonomi daerah dan teman-temannya cenderung menjadi sesuatu yang tak manarik minat saya semasa kuliah. Mungkin ini yang menjadikan saya belum diperkenankan untuk lulus menjadi Sarjana Ilmu Pemerintahan.
Percakapan terhenti. Seorang perempuan muda duduk menyebelahi saya setelah naik dari sekitaran kampus UNS. Perempuan muda yang juga seorang guru itu kemudian turun di daerah Pungkruk, Sragen. Seperti terjadi secara spontan, Pak Guru duduk di samping saya.
Pada puncaknya, Pak Guru akhirnya menyuruh saya untuk menerangkan perihal otonomi daerah sekaligus implementasinya di Indonesia. Dengan pengetahuan yang serba sempit, saya mencoba percaya diri untuk menjelaskan. Tak yakin juga apa yang saya katakan adalah benar. Namun, perkataan seorang mahasiswa tingkat akhir dari UGM terasa lebih manis, dan Pak Guru mencecapnya tanpa ragu. Sekali lagi saya benar-benar tak bermaksud mengumbar pengetahuan yang salah.
Serba sedikit saya mengatakan bahwa otonomi daerah merupakan salah satu bentuk pelimpahan wewenang untuk urusan-urusan tertentu dari pusat ke daerah. Dalam hal ini, daerah memiliki kewenangan untuk mengurusi daerahnya sendiri dalam bidang-bidang tertentu.
“Kalau masalah keuangan bagaimana? Apakah kalau otonomi itu, daerah sudah tak berhak menerima uang dari pusat?,” tanya Pak Guru.
Apalagi yang saya tahu tentang pengaturan kebijakan fiskal, Pajak, Bagi Hasil, DAU, DAK, dan sebangsanya itu? Serba sedikit pula saya menjelaskan mengenai hal ini.
“Soalnya begini, Mbak, di Sragen saat ini kan sedang ramai demo. Selain soal ijazah palsu itu, pegawai negeri mau demo juga soal uang lauk pauk yang tak pernah turun. Padahal, itu sudah ada dalam SK Menteri,” lanjut Pak Guru.
“Wah, kalau itu ya di demo saja Pak,” jawab saya singkat sambil tersenyum.
Pak Guru juga ikut tersenyum. Percakapan kemudian dilanjutkan seputar ceritanya tentang keluarga dan anak-anaknya. Barangkali sebuah kehidupan yang bahagia. Tak lebih baik pula dengan kehidupan saya dan keluarga. Pak Guru segera beranjak dari tempat duduknya ketika tujuannya telah dekat. Sebelum pergi, tergambar selintas senyum seorang abdi negara. Saya pun menunduk sambil membalas senyumnya.
Beberapa hari kemudian, saya sadar bahwa ini adalah sebuah rancangan kejadian, runtutan jalinan peristiwa yang sangat indah. Memang saya diharuskan untuk belajar banyak tentang desentralisasi dan otonomi daerah, tak boleh asal bicara kepada orang lain tanpa basis pengetahuan. Sebuah kesempatan yang tidak terduga ketika bisa terlibat dalam pembuatan buku tentang hal itu. Salam hangat buat Pak Guru.
Jogja. 20 Mei 2010
“Kuliah dimana?”, tanyanya.
“UGM.”
“Jurusan?”
Ilmu Pemerintahan.”
“Bapak, darimana?,” tanyaku balik sekadar basa-basi.
“Saya mau pulang ke Sragen. Ikut kuliah S1 pendidikan olahraga di UNS,” jawabnya.
“Oh.” Jawabku singkat sambil menunjukkan wajah tanda mengerti, juga sedikit memberi kesan untuk tak melanjutkan percapakan. Tampaknya ini yang tak tertangkap olehnya.
Mendengar kata Ilmu Pemerintahan, Pak Guru itu menunjukkan mimik ingin tahu lebih banyak tentang apa yang saya pelajari. Ia kemudian menanyakan sekitar kalau sudah lulus mau kerja apa? Nanti bisa jadi apa saja? Apakah sama dengan IPDN? Apa saja yang dipejari? Dan pada puncaknya, pertanyaannya mengerucut pada bahasan tentang otonomi daerah.
Pak Guru memulai menjelaskan analisisnya tentang politik Indonesia. Bahasannya dibuka dengan kritik terhadap kepemimpinan SBY. Baginya, pemimpin yang satu ini kurang tegas dalam mengambil sikap. Terlalu banyak perhitungan dan tentu saja memperhitungakan banyak kepentingan, termasuk kepentingan asing yang baginya tampak lebih diutamakan. Pak Guru juga berkomentar tentang otonomi daerah di Indonesia. Sistem ini bukannya menjadikan pengelolaan pemerintahan yang lebih baik, namun justru cenderung banyak menimbulkan masalah.
Sedari tadi mendengarkan Pak Guru bicara, selayaknya murid yang baik, saya hanya manggut-manggut saja mendengarkan perkataannya. Tak satu kalimatnya pun saya sela. Dalam hati saya merasa ketar-ketir kalau Pak Guru akhirnya meminta pendapat saya tentang semua itu. Meskipun saya seorang mahasiswa Ilmu Pemerintahan, jujur saya mengaku tak banyak tahu tentang pokok bahasan ini. Politik lokal, otonomi daerah dan teman-temannya cenderung menjadi sesuatu yang tak manarik minat saya semasa kuliah. Mungkin ini yang menjadikan saya belum diperkenankan untuk lulus menjadi Sarjana Ilmu Pemerintahan.
Percakapan terhenti. Seorang perempuan muda duduk menyebelahi saya setelah naik dari sekitaran kampus UNS. Perempuan muda yang juga seorang guru itu kemudian turun di daerah Pungkruk, Sragen. Seperti terjadi secara spontan, Pak Guru duduk di samping saya.
Pada puncaknya, Pak Guru akhirnya menyuruh saya untuk menerangkan perihal otonomi daerah sekaligus implementasinya di Indonesia. Dengan pengetahuan yang serba sempit, saya mencoba percaya diri untuk menjelaskan. Tak yakin juga apa yang saya katakan adalah benar. Namun, perkataan seorang mahasiswa tingkat akhir dari UGM terasa lebih manis, dan Pak Guru mencecapnya tanpa ragu. Sekali lagi saya benar-benar tak bermaksud mengumbar pengetahuan yang salah.
Serba sedikit saya mengatakan bahwa otonomi daerah merupakan salah satu bentuk pelimpahan wewenang untuk urusan-urusan tertentu dari pusat ke daerah. Dalam hal ini, daerah memiliki kewenangan untuk mengurusi daerahnya sendiri dalam bidang-bidang tertentu.
“Kalau masalah keuangan bagaimana? Apakah kalau otonomi itu, daerah sudah tak berhak menerima uang dari pusat?,” tanya Pak Guru.
Apalagi yang saya tahu tentang pengaturan kebijakan fiskal, Pajak, Bagi Hasil, DAU, DAK, dan sebangsanya itu? Serba sedikit pula saya menjelaskan mengenai hal ini.
“Soalnya begini, Mbak, di Sragen saat ini kan sedang ramai demo. Selain soal ijazah palsu itu, pegawai negeri mau demo juga soal uang lauk pauk yang tak pernah turun. Padahal, itu sudah ada dalam SK Menteri,” lanjut Pak Guru.
“Wah, kalau itu ya di demo saja Pak,” jawab saya singkat sambil tersenyum.
Pak Guru juga ikut tersenyum. Percakapan kemudian dilanjutkan seputar ceritanya tentang keluarga dan anak-anaknya. Barangkali sebuah kehidupan yang bahagia. Tak lebih baik pula dengan kehidupan saya dan keluarga. Pak Guru segera beranjak dari tempat duduknya ketika tujuannya telah dekat. Sebelum pergi, tergambar selintas senyum seorang abdi negara. Saya pun menunduk sambil membalas senyumnya.
Beberapa hari kemudian, saya sadar bahwa ini adalah sebuah rancangan kejadian, runtutan jalinan peristiwa yang sangat indah. Memang saya diharuskan untuk belajar banyak tentang desentralisasi dan otonomi daerah, tak boleh asal bicara kepada orang lain tanpa basis pengetahuan. Sebuah kesempatan yang tidak terduga ketika bisa terlibat dalam pembuatan buku tentang hal itu. Salam hangat buat Pak Guru.
Jogja. 20 Mei 2010
Dilema dalam Bilik Suara
Pilkada selalu menyisakan cerita yang menarik. Salah satunya adalah cerita tentang pemilihan Bupati di Kota N. Sebut saja namanya Melati. Gadis ini memiliki idealisme tertentu dalam berpolitik. Sebagai seseorang yang tak aneh lagi dengan teori-teori politik, Melati justru cenderung apatis dengan praktik demokrasi tingkat lokal macam begini. Di Kota N, struktur birokrasi dan politiknya memang sudah terkenal sakit. Banyak praktik korupsi dilakukan. Soal penerimana pegawai misanya, orang bisa membayar 150-180 juta hanya untuk menjadi pegawai negeri. Ke kantong siapa sajakah uang ini mengalir? Tak pernah ada yang berhasil menangkap siapa si ikan kakap meski sudah sama-sama tahu. Kebanyakan yang tertangkap dan sebenatar juga dilepaskan hanya para teri.
Di Kota N, ongkos untuk menjadi Bupati sepertinnya sangat mahal. Hingga pemimpin yang jadi akan berusaha sebaik-baiknya untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan. Pilkada di Kota N sepertinya akan berlangsung adem ayem saja. Tampak beragam para calon yang mau jadi pemimpin kota ini. Mulai dari trah bupati terdahulu sebagai elit kuat, calon independen yang mati-matian mencari dukungan, sampai artis yang selalu bisa menjadi pemanis dalam setiap pemilihan. Menurut Melati, tak ada calon yang benar-benar kompeten untuk membangun dan memimpin Kota N. Baginya, Kota N memang tak perlu menjadi maju. Biar saja tetap begini asal adem, ayem, tentrem, kerta raharja. Meskipun demikian, Melati sedikit respek terhadap wakil dari sang artis. Kebetulan Melati pernah melakukan wawancara singkat dengannya. Orang ini cukup memiliki visi yang kuat untuk Kota N, terutama dalam memanfaatkan potensi yang terdapat di Ngawi seperti bahan galian C.
Calon kuat lain adalah wakil bupati yang mencalonkan diri sebagai bupati, dan wakilnya adalah anak laki-laki dari bupati yang lama. Calon ini memang tampak lebih kuat memiliki basis massa. Selain didukung oleh beberapa partai besar sebagai koalisi pragmatis, calon ini juga merangkul tetua-tetua organisasi pencak silat yang ada di Kota N. Hampir semua pemuda menjadi anggota organiasasi pencak silat ini. Bapaknya Melati adalah salah satu dari tetua organiasasi ini. Setiap kali Si Calon X mengadakan doa bersama, para tetua organisasi pencak silat selalu tak pernah pulang dengan tangan kosong. Entah selembar atau dua lembar uang berwarna merah segar itu selalu diselipkan di saku mereka. Kalau dihitung-hitung, hampir lima ratus ribu yang diberikannya kepada Bapaknya Melati. Tinggal mengalikan saja berapa tetua yang diundang.
Demikian Bapaknya Melati secara tidak langsung ikut menjadi pendukung Si Calon X. Ia juga berusaha untuk merangkul keluarganya agar memilih Si Calon X. Melati bukanlah orang bodoh. Ia mencela politik uang dalam ruang-ruang kuliah. Tapi kalau dalam situasi seperti ini, membusuklah teori-teori. Menguaplah semua idealisme. Tawaran uang dari bapaknya cukup menggiurkan, meskipun uang itu tidak secara langsung didapatkan dari Si Calon X. Tetap saja, Bapaknya Melati mencoba untuk membeli suaranya. Melati semula memang tak ingin memilih. Kalau pun akhirnya memilih, ia akan memilih calon yang sesuai dengan kehendak hatinya. Lembaran berwarna merah segar itu terselip dipikirannya sesaat sebelum pemilihan. Bapaknya Melati sebelumnya sudah mengancam, akan berdosa kalau tak memilih Si Calon X. Tentu akan lebih berdosa lagi jika akhirnya setelah jadi, Si Calon semakin menggerogoti kota tercintanya.
Melati berangkat menuju tempat pemungutan suara. Dalam bilik suara itu, Melati sesaat memejamkan mata. Berdosakah kalau ia tak memilih? Benarkah suaranya bisa dibeli? Benar-benar baru kali ini Melati mengalami dilema hanya kerena hal begini. Idealismenya berubah menjadi pragmatisme. Setidaknya suara melati masih dihargai lebih tinggi. Penduduk sekitar mendapat amplop berisi sepuluh ribu. Dan di hari itu, diketahui bahwa Si Calon hampir menang di semua daerah di kota N.
Apabila terjadi sesuatu pada kotanya dikemudian hari, maka Melati akan sangat merasa ikut bertanggungjawab terhadapnya.
Kota N, 13 Mei 2010
Di Kota N, ongkos untuk menjadi Bupati sepertinnya sangat mahal. Hingga pemimpin yang jadi akan berusaha sebaik-baiknya untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan. Pilkada di Kota N sepertinya akan berlangsung adem ayem saja. Tampak beragam para calon yang mau jadi pemimpin kota ini. Mulai dari trah bupati terdahulu sebagai elit kuat, calon independen yang mati-matian mencari dukungan, sampai artis yang selalu bisa menjadi pemanis dalam setiap pemilihan. Menurut Melati, tak ada calon yang benar-benar kompeten untuk membangun dan memimpin Kota N. Baginya, Kota N memang tak perlu menjadi maju. Biar saja tetap begini asal adem, ayem, tentrem, kerta raharja. Meskipun demikian, Melati sedikit respek terhadap wakil dari sang artis. Kebetulan Melati pernah melakukan wawancara singkat dengannya. Orang ini cukup memiliki visi yang kuat untuk Kota N, terutama dalam memanfaatkan potensi yang terdapat di Ngawi seperti bahan galian C.
Calon kuat lain adalah wakil bupati yang mencalonkan diri sebagai bupati, dan wakilnya adalah anak laki-laki dari bupati yang lama. Calon ini memang tampak lebih kuat memiliki basis massa. Selain didukung oleh beberapa partai besar sebagai koalisi pragmatis, calon ini juga merangkul tetua-tetua organisasi pencak silat yang ada di Kota N. Hampir semua pemuda menjadi anggota organiasasi pencak silat ini. Bapaknya Melati adalah salah satu dari tetua organiasasi ini. Setiap kali Si Calon X mengadakan doa bersama, para tetua organisasi pencak silat selalu tak pernah pulang dengan tangan kosong. Entah selembar atau dua lembar uang berwarna merah segar itu selalu diselipkan di saku mereka. Kalau dihitung-hitung, hampir lima ratus ribu yang diberikannya kepada Bapaknya Melati. Tinggal mengalikan saja berapa tetua yang diundang.
Demikian Bapaknya Melati secara tidak langsung ikut menjadi pendukung Si Calon X. Ia juga berusaha untuk merangkul keluarganya agar memilih Si Calon X. Melati bukanlah orang bodoh. Ia mencela politik uang dalam ruang-ruang kuliah. Tapi kalau dalam situasi seperti ini, membusuklah teori-teori. Menguaplah semua idealisme. Tawaran uang dari bapaknya cukup menggiurkan, meskipun uang itu tidak secara langsung didapatkan dari Si Calon X. Tetap saja, Bapaknya Melati mencoba untuk membeli suaranya. Melati semula memang tak ingin memilih. Kalau pun akhirnya memilih, ia akan memilih calon yang sesuai dengan kehendak hatinya. Lembaran berwarna merah segar itu terselip dipikirannya sesaat sebelum pemilihan. Bapaknya Melati sebelumnya sudah mengancam, akan berdosa kalau tak memilih Si Calon X. Tentu akan lebih berdosa lagi jika akhirnya setelah jadi, Si Calon semakin menggerogoti kota tercintanya.
Melati berangkat menuju tempat pemungutan suara. Dalam bilik suara itu, Melati sesaat memejamkan mata. Berdosakah kalau ia tak memilih? Benarkah suaranya bisa dibeli? Benar-benar baru kali ini Melati mengalami dilema hanya kerena hal begini. Idealismenya berubah menjadi pragmatisme. Setidaknya suara melati masih dihargai lebih tinggi. Penduduk sekitar mendapat amplop berisi sepuluh ribu. Dan di hari itu, diketahui bahwa Si Calon hampir menang di semua daerah di kota N.
Apabila terjadi sesuatu pada kotanya dikemudian hari, maka Melati akan sangat merasa ikut bertanggungjawab terhadapnya.
Kota N, 13 Mei 2010
Rabu, 19 Mei 2010
Dialog Sajak
/1/
RD:
dari yang nyenyak terlarut mimpi sampai yang gelisah dalam repih sunyi. Manusia selalu ingin memenangkan keinginan. Hingga buta mata jiwa dan tuli suara nurani. Dan kereta angin malam ini akan sampaikan resah kepada semua saja yang lagi jengah.
HD:
Seiring bergulir roda kereta hantu melaju di atas lintasan fajar, tuk kembali bersemanyam usai kunjungan malam. Penentu waktu bermata satu berdendang rayuan setan dibalik letupan terik awan. Coba dampingi perjalanan siang hari kota mati, tempat ku menanamkan mimpi-mimpi. Kadang cerita siang tak untuk dikenang,dan bayangan pagi berwarna merah darah!
/2/
HD:
Mereka bertajuk kalbu yang bisu akan waktu
menghiasi alam dengan sebuah langit yang kelam
dirinya menangis seakan kisahnya paling tragis
dirinya menunduk paku seakan tiada teman di situ
hanya teriakan-teriakan segelincir halilintar,
yang hambarkan jeritan adzan
hujanku kelabu
tiada pelangi untuk esok hari
tiada pula matahari di malam hari
kala tangis langit ini berhenti,
kulihat kemilau warna di wajah mellow rupa semesta
tunggu di situ, ku akan mengumpulkan warna di kantong saku ku
RD:
dan aku berada di bawah langit seusai hujan
melihatmu memunguti warna-warna pelangi
merah, hijau, ungu
tak pernah ada lagi warna untuk ku
aku yang selalu terdiam dalam hitam
HD:
akan kusisakan merah mawar yang menyelubungi mentari senja
sehingga kau tak lagi hanya memiliki hitam,
tak lagi diam
akan kulukis maha jiwa di pelipismu,
dengan warna-warna yang tak ternoda
kala itu kuingin kau tersenyum untukku
hanya untukku
dan tak ada yang boleh mencuri senyummu itu
kala aku tertidur
RD:
merah senja pun akan terlihat hitam
kegelisahan dan ketakutan akan matahari, selalu meninggalkan hari
mataku membangkang melihat warna-warna
karena warna hanya tipuan
dan hanya hitam yang berada dalam keabadian
HD:
matahari tak akan keji pada hari
layaknya bumi yang terdiri dari belahan hati
mentari itu pun mencoba untuk berbagi
ah..
bukan pada permukaan warna, tapi hal yang terdalam dari kelam
meski tak tercium oleh sendu
meski tak terlukis oleh pena, bila terjerat dalam penat
mungkin hitam pun tak akan berani meludah pada merah
RD:
telah semakin menjadi pasti
kapan ia akan meninggalkan hari
tanpa permisi, tanpa kembali melihat keindahan pagi
selalu begitu matahari
meninggalkan untuk kemudian kembali
dan meninggalkan lagi
dan kembali kesekian kali
aku gagal mengitung
telah berapa kali senja merah itu meninggalkanku
mengisi derap gerimis di tepi langit
/3/
HD:
Kurangkai seruan adzan kala fajar berdansa gembira
Bersama kabut serabut
Terbangun mimpi sang tidur meraba mentari di balik serambi.
Ah..
Aku seperti mengenal nyanyian-nyanyian yang berkumandang di antara suara kokok ayam,
Itu lagu Tuhan, perintahkan kita untuk sembahyang akhir dari malam...
RD:
Tak kuhiraukan seruan dan nyanyi itu
Tubuh ini serasa mati
Tertimbun lelah
Tak kuhiraukan sapaan pagi ini
Tubuh ini tak mau bergerak lagi
Terkunci detik-detik hari
/4/
HD:
Berliuk-liuk menjalar nadi hidup di pematang larang dunia. Melilit tangga takdir yang lapuk akan kata cinta. Aku yang terlara akan pesona pelangi pagi, tak akan lagi bangun berdulang matahari. Serebah asmara nan merdu untukku, hambur meruah di puing-puing kenistaan lara. Dan kini...dia simponi hati pergi tak menoleh kembali.
RD:
Bahkan belatung pun mengenal cinta antara lapuk kayu dan serasah sampah. Sementara sendu puisimu mengingatkanku pada kuning daun musim gugur, sendu angin musim dingin. Ketika dia akan kembali pada kau yang sepasang sayap senyum mengalun. Kau yang arah begitu jelas. dan genggamnya telah kau bekali sebuah kompas. Jarumnya akan selalu menunjuk kau yang tak pernah layu menunggu.
HD:
Dan kala dia kembali...Hati tak lagi bersimpuh pada denting lonceng sang waktu yang setia, belatung itupun telah bermetamorfosa menjadi cacing rasa yang telah dikebiri asmaranya. Aku tak punya alasan untuk menunggu...Ku tatap jam dinding tua di lorong perapian itu terus berdetak lara, meski tubuhku berjeda mesra.
RD:
Bilakah dia yang menunggumu? Dengan isyarat tanpa tanda. Dari kangen yang tertelan, tak terucapkan. Nyanyinya hanya la..la..la..kau yang ciptakan makna. Si belatung khusyuk bertapa. Mentahtakan mutiara pada sepasang calon sayapnya. Kembali menunggu sayap yang engkau, merajut engkau yang andai..
/5/
MPH:
Nyak, aku lapar, tolong suapi aku semangkuk sajak
Nyak, aku haus, tuangi segelas makna kehidupan
Nyak, aku lelah, pinjami kehangatanmu buat alas tidurku
Nyak, aku tak ingat siapa kamu…
RD:
Nyak mu lagi sibuk dengan dunia. Muak dengan sajak yang tak bisa bikin kenyang perut. Nyak mu juga lagi kehilangan makna. Tak mau di ganggu. Bahkan dengan tangismu di tong sampah depan rumah ku
MPH:
galak amat, Nyak jangan galak-galak, si anak takut, Nyak, ia hanya minta didongeng sampai ngimpi
RD:
dongeng bikin orang cuma suka ngimpi. Nyak mu tak mau kau jadi pemimpi. Kau harus tidur dalam keras malam dan realitas. Biar besok bisa ngurus dunia. Dunia Nyak mu.
MPH:
Nyak, bangunin anakmu. Terlanjur lama ngimpi. Matanya wis melar, Nyak, kebanyakan ngimpi nangis. Nyak, aku capek dihujani gerah ati. Wis lah wis, aku melu Nyak biar gak mbrebes lagi.
RD:
Nyak mu ini malah pengen lari. Ninggal anaknya. Kowe gak bakal tumbuh jadi manusia kalau cuma tak kasih makan remah-remah sajak. Nyak mu tambah gelisah. Kowe bangun lagi malam ini. popokmu basah ngimpi kencing di bawah trembesi.
*kawan, kapan kita berdialog lagi dengan sajak?
RD:
dari yang nyenyak terlarut mimpi sampai yang gelisah dalam repih sunyi. Manusia selalu ingin memenangkan keinginan. Hingga buta mata jiwa dan tuli suara nurani. Dan kereta angin malam ini akan sampaikan resah kepada semua saja yang lagi jengah.
HD:
Seiring bergulir roda kereta hantu melaju di atas lintasan fajar, tuk kembali bersemanyam usai kunjungan malam. Penentu waktu bermata satu berdendang rayuan setan dibalik letupan terik awan. Coba dampingi perjalanan siang hari kota mati, tempat ku menanamkan mimpi-mimpi. Kadang cerita siang tak untuk dikenang,dan bayangan pagi berwarna merah darah!
/2/
HD:
Mereka bertajuk kalbu yang bisu akan waktu
menghiasi alam dengan sebuah langit yang kelam
dirinya menangis seakan kisahnya paling tragis
dirinya menunduk paku seakan tiada teman di situ
hanya teriakan-teriakan segelincir halilintar,
yang hambarkan jeritan adzan
hujanku kelabu
tiada pelangi untuk esok hari
tiada pula matahari di malam hari
kala tangis langit ini berhenti,
kulihat kemilau warna di wajah mellow rupa semesta
tunggu di situ, ku akan mengumpulkan warna di kantong saku ku
RD:
dan aku berada di bawah langit seusai hujan
melihatmu memunguti warna-warna pelangi
merah, hijau, ungu
tak pernah ada lagi warna untuk ku
aku yang selalu terdiam dalam hitam
HD:
akan kusisakan merah mawar yang menyelubungi mentari senja
sehingga kau tak lagi hanya memiliki hitam,
tak lagi diam
akan kulukis maha jiwa di pelipismu,
dengan warna-warna yang tak ternoda
kala itu kuingin kau tersenyum untukku
hanya untukku
dan tak ada yang boleh mencuri senyummu itu
kala aku tertidur
RD:
merah senja pun akan terlihat hitam
kegelisahan dan ketakutan akan matahari, selalu meninggalkan hari
mataku membangkang melihat warna-warna
karena warna hanya tipuan
dan hanya hitam yang berada dalam keabadian
HD:
matahari tak akan keji pada hari
layaknya bumi yang terdiri dari belahan hati
mentari itu pun mencoba untuk berbagi
ah..
bukan pada permukaan warna, tapi hal yang terdalam dari kelam
meski tak tercium oleh sendu
meski tak terlukis oleh pena, bila terjerat dalam penat
mungkin hitam pun tak akan berani meludah pada merah
RD:
telah semakin menjadi pasti
kapan ia akan meninggalkan hari
tanpa permisi, tanpa kembali melihat keindahan pagi
selalu begitu matahari
meninggalkan untuk kemudian kembali
dan meninggalkan lagi
dan kembali kesekian kali
aku gagal mengitung
telah berapa kali senja merah itu meninggalkanku
mengisi derap gerimis di tepi langit
/3/
HD:
Kurangkai seruan adzan kala fajar berdansa gembira
Bersama kabut serabut
Terbangun mimpi sang tidur meraba mentari di balik serambi.
Ah..
Aku seperti mengenal nyanyian-nyanyian yang berkumandang di antara suara kokok ayam,
Itu lagu Tuhan, perintahkan kita untuk sembahyang akhir dari malam...
RD:
Tak kuhiraukan seruan dan nyanyi itu
Tubuh ini serasa mati
Tertimbun lelah
Tak kuhiraukan sapaan pagi ini
Tubuh ini tak mau bergerak lagi
Terkunci detik-detik hari
/4/
HD:
Berliuk-liuk menjalar nadi hidup di pematang larang dunia. Melilit tangga takdir yang lapuk akan kata cinta. Aku yang terlara akan pesona pelangi pagi, tak akan lagi bangun berdulang matahari. Serebah asmara nan merdu untukku, hambur meruah di puing-puing kenistaan lara. Dan kini...dia simponi hati pergi tak menoleh kembali.
RD:
Bahkan belatung pun mengenal cinta antara lapuk kayu dan serasah sampah. Sementara sendu puisimu mengingatkanku pada kuning daun musim gugur, sendu angin musim dingin. Ketika dia akan kembali pada kau yang sepasang sayap senyum mengalun. Kau yang arah begitu jelas. dan genggamnya telah kau bekali sebuah kompas. Jarumnya akan selalu menunjuk kau yang tak pernah layu menunggu.
HD:
Dan kala dia kembali...Hati tak lagi bersimpuh pada denting lonceng sang waktu yang setia, belatung itupun telah bermetamorfosa menjadi cacing rasa yang telah dikebiri asmaranya. Aku tak punya alasan untuk menunggu...Ku tatap jam dinding tua di lorong perapian itu terus berdetak lara, meski tubuhku berjeda mesra.
RD:
Bilakah dia yang menunggumu? Dengan isyarat tanpa tanda. Dari kangen yang tertelan, tak terucapkan. Nyanyinya hanya la..la..la..kau yang ciptakan makna. Si belatung khusyuk bertapa. Mentahtakan mutiara pada sepasang calon sayapnya. Kembali menunggu sayap yang engkau, merajut engkau yang andai..
/5/
MPH:
Nyak, aku lapar, tolong suapi aku semangkuk sajak
Nyak, aku haus, tuangi segelas makna kehidupan
Nyak, aku lelah, pinjami kehangatanmu buat alas tidurku
Nyak, aku tak ingat siapa kamu…
RD:
Nyak mu lagi sibuk dengan dunia. Muak dengan sajak yang tak bisa bikin kenyang perut. Nyak mu juga lagi kehilangan makna. Tak mau di ganggu. Bahkan dengan tangismu di tong sampah depan rumah ku
MPH:
galak amat, Nyak jangan galak-galak, si anak takut, Nyak, ia hanya minta didongeng sampai ngimpi
RD:
dongeng bikin orang cuma suka ngimpi. Nyak mu tak mau kau jadi pemimpi. Kau harus tidur dalam keras malam dan realitas. Biar besok bisa ngurus dunia. Dunia Nyak mu.
MPH:
Nyak, bangunin anakmu. Terlanjur lama ngimpi. Matanya wis melar, Nyak, kebanyakan ngimpi nangis. Nyak, aku capek dihujani gerah ati. Wis lah wis, aku melu Nyak biar gak mbrebes lagi.
RD:
Nyak mu ini malah pengen lari. Ninggal anaknya. Kowe gak bakal tumbuh jadi manusia kalau cuma tak kasih makan remah-remah sajak. Nyak mu tambah gelisah. Kowe bangun lagi malam ini. popokmu basah ngimpi kencing di bawah trembesi.
*kawan, kapan kita berdialog lagi dengan sajak?
Langganan:
Postingan (Atom)