Agenda Setting dan Perumusan Masalah Kebijakan
dalam Kasus Pengaturan PKL
Issue tentang keberadaan sektor perekonomian informal berawal dari adanya kondisi perekonomian masyarakat yang semakin memburuk. Sektor-sektor perekonomian formal tidak mampu lagi di jangkau oleh masyarakat sehingga tidak ada pilihan lain kecuali bergerak di sektor perekonomian informal. Dalam situasi dan kesulitan ekonomi yang semakin memburuk, banyak orang yang kemudian tetap teguh pantang menyerah untuk bertahan hidup lewat usaha apapun, termasuk menjadi pedagang kaki lima. Sektor informal ini telah menjadi penyelamat ratusan juta orang di Indonesia. Data BPS tahun 2006 menunjukkan bahwa sektor informal telah menyerap 70% angakatan kerja yang bekerja sekarang ini. Sektor ekonomi informal juga berjasa dalam meredam gejolak saat krisis multidimensi melanda Indonesia pada paruh kedua dasawarsa 90-an. Telah terbukti sektor informal menjadi katup penyelamat saat negeri ini dilanda krisis maupun paska krisis.
Salah satu sektor ekonomi informal yang mudah dijangkau masyarakat adalah PKL. Namun, permasalahan ekonomi tersebut tidak hanya menyangkut kepentingan privat perseorangan bagi mereka yang berprofesi sebagai PKL namun telah merambah ranah publik karena terkait dengan kepentingan banyak orang. Para PKL tersebut biasanya berjualan di sepanjang trotoar jalan tanpa izin dari pemerintah setempat. Permasalahan ini pun kemudian melibatkan banyak hal seperti menimbulkan kemacetan, penyebab kekumuhan atau kekotoran, mengganggu pejalan kaki, sarang kriminalitas dan masalah perizinan yang menjadi urusan pemerintah. Dalam permasalahan ini, pihak-pihak yang terlibat meliputi pedagang kaki lima itu sendiri, masyarakat sebagai pengguna jalan, pemerintah sebagai penjamin ketertiban bagi masyarakat dan bisanya terdapat peran LSM yang melakukan advokasi terhadap kepentingan pada pedagang.
Semakin bertambahnya jumlah PKL yang ada kemudian menjadi permasalahan publik yang kompleks. Untuk mencari penyelesaian tentang kondisi PKL, diperlukan adanya proses agenda setting dan perumusan masalah. Proses agenda setting merupakan proses pengubahan issue menjadi masalah publik sehingga mendapat perhatian pemerintah. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar permasalahan PKL mendapat perhatian dan menjadi agenda pemerintah untuk dirumuskan sebagai kebijakan publik.[1]
Pertama, membangun persepsi di kalangan stake holders bahwa sebuah fenomena benar-benar dianggap sebagai masalah, karena bisa jadi suatu gejala oleh suatu kelompok dianggap masalah, tetapi oleh sebagian yang lain bukan dianggap masalah. Dalam hal ini, permasalahan PKL tentu saja telah mendapat perhatian dari stake holders karena menyangkut banyak kepentingan. Mulai dari perekonomian para pedagang, kepentingan masyarakat yang mungkin merasa terganggu sampai pada permasalahan kebersihan dan ketertiban. Dengan adanya permasalahan yang menyangkut banyak pihak maka PKL kemudian menjadi sebuah permasalahan publik yang harus diselesaikan melalui mekanisme kebijakan.
Kedua, membuat batasan masalah. Permasalahan PKL merupakan permasalahan yang sangat luas. Banyak hal yang bisa dijadikan sebagai obyek kebijakan menyangkut permasalahan ini. Agar dapat menjadi perhatian dan agenda pemerintah untuk dirumuskan dalam bentuk kebijakan, maka permasalahan tersebut harus dibatasi. Pembatasan masalah PKL biasanya berkutat pada pengaturan dan hubungan antara pedagang dan masyarakat. Pemerintah merasa perlu untuk melakukan pengaturan atau bahkan relokasi sedangkan pedagang harus berupaya untuk mempertahankan sumber ekonomi mereka. Batasan permasalahan tersebut bisanya berupa usaha-usaha pemerintah untuk menertibkan para pedagang kaki lima atau tuntutan dari para pedagang kepada pemerintah agar mendapat lahan ekonomi yang lebih layak. Pembatasan masalah di sini juga bisa dilihat dari segi ruang dan waktu. Misalnya, kebijakan tersebut akan diberlakukan untuk daerah yang spesifik dan pada waktu tertentu.
Ketiga, memobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah. Hal ini bisa dilakukan dengan mengorganisir kelompok-kelompok dalam masyarakat, kekuatan politik maupun publikasi media massa. Upaya ketiga ini biasa dilakuakan pedagang kaki lima melalui pembentukan kelompok atau pengorganisasian diantara pedagang tersebut. Mereka berafiliasi untuk menyuarakan kepentingan mereka sebagai masyarakat yang berhak mendapatkan lahan perekonomian. Kelompok pedagang tersebut juga bisa berafiliasi dengan partai politik tertentu agar suara mereka lebih didengar di legislatif. Mobilisasi dukungan partai politik dan afiliasi pedagang kaki lima merupakan hubungan yang saling menguntungkan dimana para pedagaang bisa menyuarakan kepentingannya, sedangkan partai tersebut akan mendapat tambahan suara. Dalam proses ini biasanya terdapat peran LSM yang mengadvokasi kepentingan para pedagang. Mobilisasi dukungan juga bisa dilakukan melalui media massa. Media menjadi sarana efektif untuk mendapatkan simpati dari banyak orang tentang nasib para pedagang kaki lima. Masyarakat luas bisa melihat permasalahan mereka secara konkrit dan mengambil sikap tentang permasalahan tersebut.
Hal yang terpenting dalam ketiga tahap tersebut adalah bagaimana upaya membangun persepsi bahwa permasalahan PKL memang urgen dan layak untuk dipecahkan dalam kebijakan. Setelah terbangun persepsi bahwa terdapat suatu permasalahan yang harus dipecahkan, dalam hal ini adalah PKl, maka langkah berikutnya adalah melakukan perumusan masalah agar lebih fokus dan mengerucut. Fokus dari permasalahan tersebut akan menimbulkan permasalahan formal yang kemudian ditindaklanjuti dalam kebijakan.
Secara administratif-teknokratis, terdapat beberapa tahapan yang menunjukkan proses perumusan masalah sampai akhirnya permasalahan tersebut diakomodasi dalam kebijakan. Tahapan tersebut terdiri dari: situasi masalah, pencarian masalah, meta masalah, pendefinisian masalah, masalah substantif, spesifikasi masalah, dan masalah formal. [2] Tahapan-tahapan tersebut akan lebih mudah dipahami dalam uraian kasus, khusunya yang menyangkut permasalahan pedagang kaki lima di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta.
Situasi masalah merupakan serangkaian situasi yang menimbulkan rasa ketidakpuasan dan terasa ada sesuatu yang salah. Dalam tahap ini, kasus pedagang kaki lima bisa dipahami sebagai salah satu bentuk situasi yang menimbulkan adanya sesutu yang salah, baik itu dari masyarakat, pedagang itu sendiri, maupun pemerintah. Masyarakat umumnya merasa terganggu meskipun ada juga kemudahan yang ditawarkan para pedagang kaki lima seperti harga yang lebih murah dan lokasi yang dekat dengan perumahan. Sedangkan pedagang kaki lima tersebut merasa tidak puas dengan langkah pemerintah yang tidak menyediakan lahan ekonomi bagi meraka. Pemerintah sendiri menganggap pedagang kaki lima sebagai kelompok yang mengganggu ketertiban dan melanggar peraturan tentang perizinan.
Tahap berikutnya adalah tahapan pencarian masalah dimana permasalahan pedagang kaki lima yang masih sangat luas tersebut mulai dikerucutkan menjadi masalah-masalah yang sekiranya bisa menghadirkan solusi melalui mekanisme kebijakan. Tahapan ini sangat terkait dengan tahapan berikutnya yaitu meta masalah. Permasalahan pedagang kaki lima menjadi sebuah masalah yang rumit dan kompleks dengan melibatkan banyak sekali aktor dengan kepentingan masing-masing.
Kompleksitas permasalahan PKL menyangkut beberapa hal antara lain pedagang kaki lima dianggap menimbulkan gangguan kenyamanan, gangguan keamanan dan kelancaran lalu lintas, gangguan kebersihan, kesehatan, dan kerapian; gangguan
penyalahgunaan peruntukan parkir, gangguan ketertiban sosial karena
pelanggaran izin, dan gangguan terdesaknya potensi ekonomi penduduk
asli karena datangnya para PKL dari luar daerah.[3] Oleh karena itu, perlu dilakukan pemetaan masalah agar permasalahan tersebut bisa tertata dengan rapi. Proses ini akan memudahkan dalam pencarian soluasi dan penyelesaian masalah. Pemetaan masalah menjadi strategi untuk membagi persoalan menjadi persoalan-persoalan yang lebih kecil. Hal ini bisa memfokuskan perhatian pada perbedaan antara kondisi yang dihadapi dan kondisi yang diinginkan.
Setelah melalui tahap pemetaan masalah, maka yang perlu dilakukan adalah pendefinisian masalah dalam istilah yang paling umum dan mendasar. Tahap ini mencoba untuk mengabstraksikan masalah. Kompleksitas permasalahan pedagang kaki lima tersebut mulai dicari fokusnya. Dalam tahap ini juga dilakukan pendefinisian terhadap permasalahan apakah yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Pemerintah juga mulai melakukan pendefinisian secara mendetail. Misalnya mendefinisikan tentang siapa sajakah yang disebut pedagang kaki lima, bagaimana bentuk gangguan yang ditimbulkan terhadap ketertiban dan kenyamana, sampai pada mencoba mengabstraksikan solusi apa yang paling tepat. Pemerintah bisanya mengupayakan bentuk relokasi yang sangat rawan terhadap konflik antara pemerintah dan pedagang.
Tahap pendefinisian tersebut akhirnya menghasilkan sebuah masalah yang substantif. Pada tahap ini bisanya, pemerintah telah menemukan permasalahan mendasar berikut solusi yang ditawarkan. Permasalahan substansif tersebut bisa berupa pilihan-pilihan seperti pengaturan yang lebih baik terhadap pedagang kaki lima atau relokasi. Logika pemerintah bisanya bersifat sangat sederhana. Substansi masalah tersebut ditemukan dalam bentuk hubungan antara pedagang kaki lima dengan pemerintah. Pedagang kaki lima merupakan kelompok ekonomi informal yang melanggar peraturan dan ketertiban sehingga perlu dilakukan relokasi untuk menyelasaikan permasalahan tersebut.
Setelah menemukan substansi permasalahan maka dilakukan tahap spesifikasi masalah. Spesifikasi masalah tersebut bisa berupa upaya relokasi PKL untuk menjamin ketertiban. Teknokrat akan menentukan obyek-obyek yang spesifik dalam permasalahan tersebut. Dalam hal pedagang kaki lima, maka spesifikasi masalahnya bisa terdiri dari penentuan lokasi pedagang kaki lima yang akan direlokasi. Misalnya saja di Kabupaten Sleman, pedagang kaki lima banyak sekali mangakal di sepanjang jalan seperti Jalan Babarsari, Colombo, dan Gejayan. Selain tempat-tempat tersebut, pedagang kaki lima juga banyak mangkal di kawasan Selokan Mataram, kawasan UGM dan di bawah Jembatan Layang Janti. Spesifikasi tersebut juga bisa dilakukan dengan penentuan solusi apa yang tepat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan setersebut. Misalnya saja, pemerintah menetapkan relokasi menjadi salah satu solusi. Maka spesifikasi tersebut mulai dirumuskan seperti mengajukan alternatif lokasi relokasi sampai pada spesifikasi tentang waktu dan bentuk pelaksaan relokasi. Spesifikasi secara umum juga menyangkut detail pengaturan yang akan diimplementasikan untuk mengatasi permasalahan PKL.
Tahapan terakhir dalam perumusan masalah kebijakan adalah menetapkan masalah menjadi masalah formal. Masalah formal menjadi tahap terakhir setelah setelah dilakukan perumusan masalah secara spesifik dan jelas. Masalah formal inilah yang kemudian menjadi basis dan instrumen dasar untuk penyusunan kebijakan. Permasalahan formal tersebut kemudian diakomodasi dalam bentuk kebijakan yang diupayakan dapat menguntungkan semua pihak. Dalam hal penataan pedagang kaki lima, pemerintah telah menetapkan instrumen kebijakan misalnya Perda kota Yogyakarta nomor 26 tahuan 2002 tentang penataan pedagang kaki lima yang mengatur beberapa hal. Pengaturan tersebut meliputi lokasi PKL yang diperbolehkan, mekanisme perizinan, kewajiban, hak dan larangan bagi para pedagang, fasilitas dan pembinaan yang disediakan pemerintah, sampai sanksi administratif yang dikenakan bagi para pedagang yang melanggar peraturan.
Permasalahan formal yang telah menemukan fokus dan spesifikasinya kemudian dijabarkan kembali dalam bentuk kebijakan. Penjelasan mendetail tentang kebijakan tersebut akan sangat mempengaruhi implementasi. Kebijakan yang bersifat ambigu dan bias kepentingan dapat menjadi indikator awal bagi kegagalam implementasi kebijakan tersebut. Pencarian data dan informasi yang dikumpulkan para teknokrat tidak akan berarti tanpa adanya penjabaran kembali masalah tersebut secara jelas dalam bentuk kebijakan.
Proses perumusan masalah kebijakan yang diuraikan di atas sangat bersifat teknokratis dan administratif. Namun melalui proses ini, identifikasi terhadap substansi permasalahan bisa lebih fokus dan terspesifikasi. Meskipun sangat rentan terhadap konflik, teknokrat melalui kebijakannnya berusaha juga untuk membangun konsensus dan mencari solusi terbaik bagi permasalahan tersebut. Meskipun demikian, kebijakan yang dirumuskan secara teknokratis tidak akan dapat menyelesaikan permasalahan PKL tanpa adanya komitmen dari pemerintah dan kontekstualisasi terhadap kondisi masyarakat yang sebenarnya.
Referensi:
Catatan Bahan Kuliah Kebijakan Publik tanggal 22 April 2008 oleh Dr. Purwo Santoso dan Dra. Ratnawati.
[1] Kegiatan yang dilakukan agar issue mendapat perhatian untuk dirumuskan dalam kebijakan. Catatan kuliah Kebijakan Publik tanggal 22 April 2008 oleh Dra. Ratnawati tentang Perumusan Masalah Kebijakan.
[2] Tahapan perumusan masalah dalam Catatan Kuliah Kebijakan Publik tanggal 22 April 2008.
[3] KOMPAS Jogja - Kamis, 24 Jan 2008 Halaman 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar