Rabu, 10 Desember 2008

kekuatan di balik segala keterbatasan

Kekuatan Di Balik Segala Keterbatasan


“Di alam ini tiada yang bernoda kecuali pikiran.

Tak seorang pun boleh disebut cacat kecuali yang kejam.”

(William Shakespeare : Twelft Night Act III Scene V)

Manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna. Kekurangan dan kelebihan apapun yang melekat pada diri manusia, baik itu yang given maupun yang berasal dari proses sosial kehidupan di dunia seharusnya bisa diterima sebagai rahmat dalam menghadapi rintangan dan kesulitan hidup. Kekurangan dan kelebihan merupakan sarana membangun interaksi dan interelasi antar sesama manusia dengan tujuan menciptakan kehidupan yang harmonis.

Pada hakikatnya yang dimilki manusia adalah perbedaan kemampuan, bukan kecacatan. Istilah cacat merupakan konstruksi masyarakat untuk menyebut mereka yang dianggap tidak sempuna, baik itu dari segi fisik maupun mental. Proses ini sengaja direkonstruksi melalui struktur dan kultur masyarakat. Masyarakat secara langsung memberi label cacat pada orang dengan kondisi yang tidak sempurna tadi. Hal ini kemudian menciptakan pembedaan untuk memperlakukan dan mengkondisikan kelompok masyarakat yang memilki perbedaan kemampuan tersebut sebagai penyandang cacat.

Dekonstruksi makna kemudian dilakukan dengan penggunaan istilah difabel atau diffable (differently able people) untuk menggantikan istilah penyandang cacat. Proses pencacatan yang telah dilakukan masyarakat secara tidak langsung telah menyebabkan kelompok difabel menjadi terpinggirkan. Akibatnya, difabel banyak kehilangan berbagai hak dasarnya seperti kesmpatan memperoleh pendidikan, pekerjaan, penggunaan fasilitas umum, peran politik, perlindungan hukum, perolehan informasi, dan kemampuan berkomunikasi, jaminan sosial dan kesehatan, serta pengembangan pikir dan budaya.

Kekurangan yang diterima oleh sebagian orang, terutama dari segi fisik merupakan salah satu bentuk elemen penyeimbang dalam kehidupan. Menyadarkan bahwa tak satu pun manusia bisa diciptakan secara sempurna tanpa kekurangan. Difabel dengan segala keterbatasan mereka menjadi inspirasi terbesar bagi mereka yang ingin lebih memaknai hidup. Kehidupan tidak hanya berada dalam dunia yang indah penuh fasilitas dan kemudahan bagi sebagian orang. Difabel membuat kita bisa menengok lebih jauh bagaimana mereka seharusnya bisa ikut menikmati fasilitas-fasilitas hidup sebagaimana orang pada umumnya.

Masyarakat Indonesia dikenal sebagi masyarakat yang penuh toleransi. Menggambarkan bagaimana kesetaraan dibangun di atas fondasi sosial penuh kesadaran bahwa difabel dan mereka yang sempurna merupakan dua fungsi yang saling melengkapi. Namun egoisme manusia kadang menjadikan kesetaraan tak lagi menjadi bagian penting dalam struktur masyarakat Indonesia dimana difabel bisa melakukan akses terhadap fasilitas publik. Baik pemerintah maupun masyarakat masih cenderung abai terhadap hak-hak difabel sebagai bagian dari masyarakat.

Sebuah inspirasi lahir ketika melihat mereka bisa memaksimalkan potensi dalam segala bentuk kekurangan dan keterbatasan akses. Difabel biasanya memiliki semangat yang tinggi untuk tidak menyerah pada kelemahan dan keterbatasan mereka. Mereka tak butuh dikasihani, hanya butuh untuk ditoleransi. Membutuhkan kita agar menghargai posisi mereka, menganggap mereka sama dengan kita dan tak melakukan diskriminasi dalam bentuk apapun. Difable juga manusia yang layak mendapat kesempatan yang sama untuk menikmati kehidupan meskipun dalam segala keterbatasan.

Semangat para difabel menjadi semacam generator ajaib untuk meraih prestasi, mengikrarkan eksistensi, dan membuktikan bahwa mereka bisa lebih berarti dari manusia yang diciptakan sempurna. Keterbatasan bukan menjadi halangan untuk berkarya. Di Indonesia, telah banyak tokoh hebat yang lahir dari segala keterbatasan mereka. Ratna Indraswari Ibrahim misalnya. Penulis asal Malang ini adalah salah satu penulis produktif di Indonesia yang saat ini hanya bisa menulis di atas kursi rodanya. Sebagian besar karyanya berbentuk cerpen yang banyak menggambarkan semangat humanisme dan dikenal dekat dengan realitas sosial masyarakat di Indonesia.

Ratna kemudian menjadi inspirasi bagi kami ketika dalam segala keterbatasan, ia tetap bisa berkarya melalui tulisan. Sedangkan kita yang berada dalam segala kemudahan, justru sering menyerah pada kemalasan. Kelemahan bagi Ratna bukan alasan untuk tak melakukan apa-apa atau menunggu dikasihani orang. Kelemahan dan keterbatasan adalah sebuah kekuatan untuk terus berkarya. Kerena tulisan, dalam sebuah ungkapan adalah jalan menuju keabadian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar