Feminisme dan Neo-Liberalisme dalam Paradoks
Feminime terkait erat dengan ide tentang neo-liberalisme, dimana liberalisme yang muncul di era sekarang ini banyak menimbulkan paradoks bagi kaum perempuan. Artikel berjudul “Komodifikasi Perempuan: Tapak ekonomi Neo-Liberal” ini banyak menjelaskan paradoks dan dilema yang dihadapi perempuan ketika berhadapan dengan neo-liberalisme dan globalisasi. Salah satu paradoks yang terkait dengan hal itu menyangkut tentang peran perempuan sebagai pelaku ekonomi dan hubungannya dengan negara. Sumbangan penghasilan yang cukup besar dari para TKI di luar negeri—yang sebagian besar adalah perempuan tidak diimbangi oleh perlindungan negara terhadap nasib mereka.
Selain itu, perempuan dipaksa keluar dari mitos untuk ikut menyumbangkan tenaga dalam rangka menghidupi keluarga sedangkan hal ini tidak diikuti oleh tingkat pendidikan dan keterampilan perempuan yang membuat mereka menjadi obyek penindasan. Paradoks yang paling mengerikan adalah tidak adanya kesetaraan upah antara butuh perempuan dan laki-laki, sementara tenaga para perempuan ini banyak diperas untuk menghasilkan modal bagi sebuah perusahaan.
Ketiga paradoks di atas cukup menjadikan perempuan sebagai korban dari proses liberalisasi. Namun persoalan perempuan masih ditambah dengan adanya persoalan pemiskinan kaum perempuan karena kebijakan negara berkembang yang mengharuskan adanya pengurangan anggaran kesejahteraan sosial untuk membayar hutang negara. Persoalan penindasan perempuan semakin diperparah dengan adanya komodifikasi perempuan yang biasa disebut dengan istilah “perdagangan daging”. Istilah ini biasa digunakan untuk menyebut praktik-praktik perdagangan manusia, khususnya perempuan, dalam bentuk yang tidak menguntungkan bagi mereka. Perempuan dianggap sebagai komoditi yang bisa dipertukarkan dengan uang, demi keuntungan pihak tertentu. Bentuk perdagangan perempuan ini bisa macam-macam, misalnya pengiriman buruh migran tanpa danya perlindungan yang cukup.
Selain di sektor industri, praktik ekonomi neo-liberal juga menjadikan perempuan sebagai komoditas dalam industri pornografi dan pariwisata. Tidak hanya itu, perempuan menjadi korban paling parah dalam proses industrialisasi dalam bidang pertanian. Revolusi Hijau dalam bidang pertanian menjadikan perempuan sebagai subyek yang terkena dampak paling parah. Sistem patriarki yang masih dianut oleh masyarakat tempat mereka hidup hanya memberikan hak waris (terutama yang berbentuk hak rumah atau hak tanah) kepada anak-anak lelaki. Sistem yang sama pula yang menempatkan perempuan sebagai jenis kelamin kedua (second sex) sehingga hak mendapatkan pendidikan tidak diprioritaskan bagi mereka. Akhirnya, kebanyakan dari perempuan pedesaan ini terdampar di lokalisasi, menjadi buruh murah di pabrik-pabrik, atau merantau tanpa jaminan keamanan di negeri orang.
Melalui kecamata feminisme paska kolonial, artikel ini juga mengatakan bahwa pemikiran feminisme Barat selalu menunjukkan gagasan yang melihat peranan perempuan dan posisi mereka dalam kerangka politik dan ekonomi global, yang pada awalnya sudah berpotensi imperialis (dan karenanya, eksploitatif) terhadap masyarakat dunia ketiga, termasuk para perempuannya. Seringkali usaha yang dilakukan oleh para feminis Barat melalui pelbagai buku dan seri penelitian tentang perempuan dunia ketiga hanya merupakan usaha untuk mencari lebih banyak kasus perempuan yang “tidak berdaya” dan “tertindas” untuk membuktikan label mereka sendiri tentang perempuan dunia ketiga.[1]
Analisis
Wacana feminisme muncul sebagai perlawanan terhadap stuktur dan sistem yang melakukan penindasan atas nama gender. Feminisme merupakan suatu kajian ideologis yang mencari akar ketertindasan perempuan sampai pada upaya penciptaan pembebasan perempuan. Feminisme terdiri dari beberapa aliran yang masing-masing memiliki basis pemikiran dan strategi yang berbeda dalam pencapaian tujuannya. Salah satu aliran feminisme tersebut adalah feminisme sosialis.
Ketertindasan perempuan tidak bisa dilepaskan dari analisis kelas yaitu teori yang mendekatkan akar permasalahan akibat munculnya kelas-kelas dalam masyarakat. Dalam konteks neo-liberalisme, kelas di sini dibedakan menjadi kelas kapitalis yang memiliki modal dan kelas yang tidak memilki modal (proletar). Perempuan sendiri lebih banyak ditempatkan di kelas proletar tersebut. Kelas kapitalis berkepentingan untuk melakukan penindasan perempuan karena perempuan dipandang sebagai “properti” laki-laki, sekaligus tenaga kerja yang murah.
Aliran ini mencoba melakukan kritik yang distingtif dan saling berkaitan terhadap penindasan patriarki dan kapitalisme dari sudut pandang perempuan.[2] Hal ini terkait erat dengan upaya pembebasan perempuan dari belenggu kapitalisme neo-liberal. Kelas pemodal melakukan penindasan perempuan baik dalam bentuk diskriminasi atau pemenjaraan peran, karena perempuan dipandang sebagai bagian dari komoditi, juga adalah golongan pekerja yang bisa dieksploitasi secara murah.[3]
Charlotte Perkins Gilman mengandaikan feminisme sosialis sebagai sebuah wacana yang mengilhami kaum perempuan untuk keluar dari tradisi keluarga tradisional. Gagasannya juga meliputi adanya penghapusan Eksploitasi kelas dan sex oppresion yang bisa diakhiri tanpa konflik, revolusi atau balas dendam.[4] Feminisme sosialis menjadi semacam jalan damai dimana pembebasan perempuan tetap bisa dilakukan meskipun dengan dilema dan permasalahan pelik yang dihadapi, terutama ketika dihadapkan dengan konteks neo-liberalisme.
Beberapa persoalan yang diungkapkan dalam artikel di atas hanya menjadi bagian dari kompleksitas permasalahan perempuan. Melalui feminisme sosialis, secara tersirat penulis ingin mencari akar permasalahan yang paling mendasar bagi timbulnya penindasan terhadap perempuan yang ternyata berasal dari adanya konstruksi kelas-kelas dalam masyarakat. Artikel ini juga menjelaskan tentang munculnya feminisme paska kolonial yang sejatinya ingin mengungkapkan bahwa penindasan perempuan juga berakar dari penindasan masa kolonialisme yang mewarisi pembedaan kelas dalam masyarakat, yaitu mereka yang dijajah dan mereka yang terjajah.
Neo-liberal yang berkembang di dunia semakin membuat perempuan menjadi bagian yang paling tertindas. Ketika perempuan berusaha keluar dari patriarkisme tradisional yang mengikat mereka, perempuan justru semakin dihadapkan pada paradoks neo-liberal dan modernisasi yang justru tidak menguntungkan bagi mereka. Perempuan hanya menjadi obyek dan komoditi untuk kepentingan kelas kapitalis. Feminisme sosialis mencoba untuk menggagas wacana tanpa kelas dimana ketika tidak ada kelas kapitalis yang dominan, maka tidak akan ada pula penindasan bagi perempuan.
Referensi:
Bryson, Valerie. 1992. Feminist Political Theory: an Introduction. 1992.
Samhuri, Nur Amin. Feminisme Sosialis: Apa? Bagaimana? dan Mengapa Kita Harus Menolak Feminisme Borjuis? Available at http://pdsorganiser.topcities.com/bacaanprogresif/Perempuan/FemSos.htm
Swastika, Alia. Komodifikasi Perempuan: Tapak Ekonomi Neo-Liberal. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik JSP. Volume 7, No. 1, Maret 2003. dalam Mugasejati, Nanang Pamuji dan Ucu Martanrto (ed). Kritik Globalisasi dan Neo-Liberalisme.2006.
Bryson, Valerie. Feminist Political Theory: an Introduction. 1992. the mcmillan press ltd.london
Charlotte perkins gilman hal 112
[1] Disarikan dari artikel Swastika, Alia. Komodifikasi Perempuan: Tapak Ekonomi Neo-Liberal. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik JSP. Volume 7, No. 1, Maret 2003. dalam buku Kritik Globalisasi dan Neo-Liberalisme. hal. 225-250
[2] Bahan mata kuliah Metodologi Ilmu Politik. Perspektif Perbedaan Gender.
[3] Samhuri, Nur Amin. Feminisme Sosialis: Apa? Bagaimana? dan Mengapa Kita Harus Menolak Feminisme Borjuis?. Available at http://pdsorganiser.topcities.com/bacaanprogresif/Perempuan/FemSos.htm
[4]Bryson, Valerie. Feminist Political Theory: an Introduction. 1992. the mcmillan press ltd.London. hal. 112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar