Kamis, 11 Desember 2008

Perjuangan Sastra: Resistensi dalam Satire dan Ironi

Perjuangan Sastra: Resistensi dalam Satire dan Ironi

Art is not truth, art is a lie that reveals the truth

Sastra adalah sebuah dusta, namun dusta yang menyingkap kebenaran

(Charles Dickens)

Seni adalah sebuah keindahan, ekspresi kebebasan, inspirasi, kreasi dan bukti sebuah eksistensi. Dalam sebuah relasi kuasa, seni tidak hanya dipahami sebagai hasil cipta, rasa dan karsa, melainkan sebagai sebuah medium of power dimana terdapat dominasi dan perlawanan di dalamnya. Seni menjadi arena diskursif antara kekuasaan, propaganda politik, kebudayaan dan kepentingan ekonomi. Selain sebagai media dominasi, seni juga bisa dipahami sebagai medium resistensi dari kelas-kelas atau kelompok-kelompok yang didominasi.[1]

Salah satu produk dari seni tersebut adalah sastra. Sastra merupakan salah satu media tertulis sebagai ekspresi kebebasan berpikir sekaligus berfungsi sebagai sebuah rekaman sejarah. Para sastrawan bebas menulis apa saja yang berada dalam pikirannya. Pergulatan perasaan tersebut kemudian diramu dengan persinggungan mereka terhadap realitas kehidupan. Melalui keindahan kata-kata, hal-hal yang sensitif terhadap kuasa dan penguasa bisa diungkap dengan bebas meskipun sedikit beresiko karena para penguasa tak kalah sensitifnya dengan satire dan ironi dalam sastra yang menunjukkan sebuah resistensi.

Tulisan ini mencoba untuk memberi sedikit gambaran tentang bagaimana sastra menunjukkan resistensinya—baik itu terhadap kekuasaan yang disalahgunakan, ketidakadilan maupun berbagai bentuk ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat akibat sebuah sistem dan dominasi kuasa. Sastra mencoba untuk menyindir secara halus para penguasa kita, sedikit berkeinginan untuk menegur atau bahkan menyadarkan dengan satire dan kehalusan kata, juga makna yang tersembunyi. Sastra juga berusaha untuk menyampaikan segala bentuk kegelisahan orang-orang pinggiran dan mereka yang menderita karena dominasi.

Resistensi dalam hal ini dimaknai dalam kerangka pikir James Scott.“Domination and the Art of Resistance: Hidden Transcripts”, dimana berbagai bentuk dominasi yang menyangkut dominasi material, status dan ideologi—akan menimbulkan bentuk-bentuk infra politik yang akhirnya menimbulkan form of public declare resistance. [2]

Tulisan ini akan mengidentifikasi sekaligus membatasi bentuk-bentuk resistensi dalam beberapa karya sastra mulai zaman kolonial kemudian meloncat ke masa orde baru dengan mengambil beberapa contoh karya. Kedua masa ini menunjukkan bentuk resistensi sastra yang mirip meskipun berada dalam sejarah yang berbeda. Pada masa kolonial, contoh yang diambil adalah novel Max Havelaar karya Multatuli. Sedangkan pada masa orde baru, terdapat beberapa karya Seno Gumira Ajidarma dalam bentuk cerpen dan tulisannya yang dimuat dalam rubrik “Surat dari Palmerah” di majalah Jakarta-Jakarta antara tahun 1996-1999.

***

Sastra di Indonesia telah muncul sejak zaman sebelum penjajahan dan berakar kuat di masyarakat. Adanya pantun-pantun Melayu, dongeng-dongeng lisan atau sastra dari mulut ke mulut menunjukkan bahwa sastra telah jauh berkembang di masyarakat sebelum nama Indonesia dikenal. Perkembangan sastra mulai terlihat pada masa kolonialisme Belanda akibat pengaruh tulisan-tulisan berbahasa Belanda atau tulisan Barat lainnya. Sastra di Indonesia muncul akibat resistensi terhadap dominasi Barat dalam bidang politik dan kultural yang banyak muncul pada masa itu. Bisa dipahami bahwa karya tersebut muncul tidak hanya sebagai sebuah proses mimikry (proses meniru) terhadap karya yang sudah ada, tetapi juga mengandung mockery atau ejekan terhadap penjajah karena karya yang dihasilkan tidak sepenuhnya setia pada model yang ditawarkan oleh para penjajah. Gayatri Spivak memahami wacana kolonial bukan sebagai sesuatu yang tertutup dari kemungkinan resistensi. Bahkan wacana tersebut dapat melawan dirinya sendiri sehingga dapat menimbulkan efek yang berkebalikan dengan kehendak kekuasaan, yaitu efek memberdayakan bagi mesyarakat terjajah.[3]

Salah satu karya sastra fenomenal yang muncul pada masa kolonialisme Belanda di Indonesia adalah novel Max Havelaar karya Multatuli. Karya ini terbit pertama kalinya dalam bahasa Belanda pada tahun 1860. Novel ini bisa dikatakan bentuk ekspresi dari resistensi yang timbul dari seorang Multatuli ketika melihat banyak penindasan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda terhadap rakyat Indonesia. Eksploitasi ekonomi dilakukan Belanda melalui cultuurstelsel atau Tanam Paksa. Sistem yang benar-benar memiliki dampak luar bisa bagi masyarakat Indonesia. Dirunut dari sejarahnya, Max Havelaar bisa dikatakan sebagai salah satu produk politik etis dalam bidang pendidikan yang diterapkan Belanda di Indonesia sebagai politik balas budi. Resistensi dalam novel ini juga timbul karena politik ekonomi liberal tahun 1870 yang hanya mengalihkan eksploitasi ekonomi di Indonesia dari pemerintah ke pihak kapitalis. Sebuah ironi yang ditujukan kepada pemerintah akibat penyimpangan kekuasaannya terhadap rakyat Indonesia.

Sedikit meringkas. Havelaar adalah seorang pejabat (asisten residen di daerah Lebak, Jawa Barat) yang setia pada pakerjaannya dan melakukan segala sesuatu berdasarkan peraturan folmal yang berlaku seperti yang ia nyatakan dalam sumpahnya. Tekadnya itu menjadikannya bermusuhan dengan pimpinan tradisional masyarakat setempat yaitu Bupati, yang ternyata banyak melakukan pelanggaran aturan dan penyimpangan kekuasaan. Dan ketika ia melaporkan pelanggaran tersebut, baik residen maupun Gubernur Jenderal malah berpihak kepada Bupati. Havelaar kemudian dipecat karena tuduhannya kepada Bupati dan akhirnya pulang ke Belanda.[4]

Efek yang timbul kemudian kemudian adalah, ketika novel ini dipandang sebagai salah satu kekuatan yang berpengaruh besar secara kultural dan politik. Novel ini sangat berpengaruh terhadap perubahan kebijakan politik kolonial Belanda di Indonesia. Max Havelaar juga menjadi semacam buku tuntunan bagi para pegawai Belanda yang datang ke Indonesia untuk menjalankan tugas kepegawaian.

***

Tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan dari resistensi sastra kolonial dan modern. Kedua contoh yang telah dan akan diidentifikasi dalam tulisan ini sama-sama menunjukkan resistensinya terhadap dominasi kaum penguasa. Dalam perkembangannya, sastra baik itu dalam bentuk puisi, cerpen, novel, naskah drama, dan sebagainya sanggup mengatakan banyak hal tentang berbagai bentuk kompleksitas kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan yang banyak terjadi terekam secara apik dalam karya sastra sebagai hasil sensitifitas para sastrawan terhadap segala sesuatu di sekitarnya. Sastra akan selalu hidup sepanjang sejarah ketika historisisme selalu menjadi pembenaran bagi kekuasaan dan penindasan terhadap rakyat.

Melompat ke masa Orde Baru. Ketika banyak sekali pembreidelan dan pencabutan dilakukan pemerintah terhadap koran dan majalah. Ketika penguasa dengan sangat mudahnya melakukan pembungkaman pers, sastra hadir menggantikan jurnalisme yang pada saat itu seakan telah disumpal mulutnya. Karya sastra bernada perlawanan banyak muncul dengan bahasa-bahasa lugas berestetis yang bermaksud melakukan perlawanan terhadap kebijakan Orde Baru. Sebuah sistem yang sama sekali tidak memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi. Sastra berbicara ketika saluran-saluran institusi formal untuk menyampaikan aspirasi tak lagi berfungsi.

Sastra di era modern sering dinilai sebagai dunia rekaan yang didalamnya terdapat mimpi-mimpi, hanya bias. Hal yang hanya omong kosong tanpa mengandung kebenaran. Tetapi sebenarnya, sastra mengandung nilai-nilai kebenaran yang direfleksikan dari kebenaran nyata yang terjadi di lingkungan sekitar para penulisnya. Pengantar Buku sastra bisa dibredel, tetapi kebenaran dan kesusasteraan menyatu bersama udara, Tak tergugat dan tak tertahankan. Menutupi fakta adalah tindakan politik, menutupi kebenaran adalah perbuatan paling bodoh yang bisa dilakukan manusia di muka bumi. (Adjidarma, 1997).

Tulisan-tulisan Seno Gumira Ajidarma sedikit banyak menunjukkan adanya politik sastra, dimana ia bisa mengungkapkan kegelisahannya terhadap kesewanag-wenangan politik Orde Baru. Latar belakangnya sebagai seorang wartawan, sastrawan dan juga fotografer semakin memperkuar karya-karyanya dengan sense humanitas yang tinggi.

Kumpulan surat-surat Seno yang menjadi salah satu rubrik majalah Jakarta-Jakarta dibukukan dengan judul ”Surat dari Palmerah”. Surat itu menyindir sikap politik kita—baik kita sipil maupun militer—yang suka munafik, gemar berbohong, dan doyan mengumbar semboyan kosong “persatuan kesatuan” disambung kekosongan berikutnya dalam slogan “mempertahankan keutuhan negara kesatuan RI”. (Sobary, 2002). “Surat dari Palmerah” terbit antara tahun 1996 – 1999. Beberapa diantaranya pernah dicopot oleh birokrat perusahaan yang kekuasaannya melebihi para wartawan. Salah satu surat yang dicopot adalah surat yang diterbitkan tanggal 19 Juli 1998. Surat ini diberi judul “Melawan Ketakutan”.

Bung,

Penculikan para aktivis dan pemerkosaan tematis terhadap perempuan-perempuan etnis Tionghoa mengungkapkan sebuah dunia yang mengerikan. Ternyata kita bertetangga dengan makhluk-makhluk yang menganggap kekerasan dan kekejaman adalah pekerjaan mulia. Semakin mengerikan kalau perbuatan yang tidak manusiawi itu dengan santai disebut kesalahan prosedur. Apakah yang bisa lebih mengerikan dari ini?

…………

Tentu tidak mudah bersikap santai melawan tekanan teror. Siapa yang bisa tenang-tenang ketika diculik, dibekep dan ditutup matanya oleh orang-orang berbadan kekar yang menyiksa dengan dingin? Siapa yang bisa oke-oke saja diperkosa begitu rupa oleh banyak orang secara bergantian, dengan penghujatan rasialistis?...NB: Sukab bertanya, terbuat dari apakah kejahatan?

Kutipan di atas menunjukkan realitas yang terjadi di tahun 1998 ketika peristiwa kerusuhan terjadi menjelang keruntuhan rezim Orde Baru. Kerusuhan ini juga berbuntut pada maraknya pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa. Resistensi yang disampaikan Seno bisa dikatakan salah satu bentuk infra politik, penyindiran secara halus. Dimana ia mencoba untuk melawan dominasi penguasa yang menghalalkan kekerasan dan kekejaman untuk mempertahankan kekuasaannya. Infra politik Seno ini kemudian berhasil menepuk bahu para penguasa. Melalui pengawasan ketat dari Departemen Penerangan RI, opini dari para wartawan sangat sulit untuk dinyatakan secara langsung dalam bentuk-bentuk laporan jurnalistik. Opini tersebut dianggap menganggu kestabilan dan mengancam pembangunan. Ancaman kadang datang juga dari kelompok-kelompok radikal tertentu yang demi kepentingannya, mereka bisa menggunakan segala cara termasuk kekerasan, bahkan penculikan. Untuk melawan dominasi seperti ini, dibutuhkan suatu seni dalam mengungkapkan kebenaran yang menyangkut hal-hal sensitif berbau kekuasaan. Sastra berada dalam dualisme dan dikotomi konsep dimana imajinasi pengarangnya bisa juga mengandung fakta dan kebenaran yang selama ini disembunyikan.

Sastra Seno tidak hanya mengandung unsur-unsur jurnalisme. Estetikanya membuat satire dan ironi terhadap pemerintah Orde Baru membuat beberapa cerpennya tak sampai dicopot seperti beberapa suratnya. Dalam cerpen “Saksi Mata” misalnya, Seno mencoba untuk melakukan satire dan ironi terhadap peradilan di Indonesia dan kekerasan yang biasa menimpa para saksi yang mencoba mengungkap kebenaran.

Cerpen ini berkisah tentang seorang saksi mata yang dicongkel matanya dengan sendok oleh lima orang yang berseragam ninja. Dan anehnya kejadian ini dialaminya dalam mimpi. Ketika membaca cerpen ini, pembaca bisa juga tersenyum ketika sampai pada percakapan saksi mata dan hakim.

Pak Hakim bertanya, “Dimanakah mata saudara ?”

“Diambil orang Pak?”

….

“….Kenapa?”

“Saya tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng.” (masakan khas Surakarta sop tulang belulang kambing-red).[5]

Dari percakapan tadi, pembaca bisa tersenyum sekaligus miris dimana meskipun kejadian yang dialami tokoh hanya dalam mimpi namun ironi dan satire yang digunakan tepat untuk menggambarkan ketakutan para saksi atas teror yang mengincarnya setiap saat. Sebuah satire tentang pembungkaman masal atas kejahatan sistematis dan terorganisir yang banyak dilakukan pemerintah Orde Baru. Di bagian akhir cerpen diletakkan sebuah ironi. Dalam perjalanan pulang, Bapak Hakim Yang Mulia berkata pada sopirnya,“Bayangkanlah betapa seseorang harus kehilangan kedua matanya demi keadilan dan kebenaran. Tidakkah aku sebagai hamba hukum mestinya berkorban yang lebih besar lagi?” (Ajidarma, 1992). Seno ingin mengungkapkan batapa berat pengorbanan seorang saksi mata demi kebenaran, dan seharusnya seorang penegak hukum bisa berkorban lebih banyak lagi untuk mengungkap kebenaran

Dalam cerpennya yang lain, “Hidung Seorang Pegawai Negeri (Atawa: the Phinoccio Desease)”. Seno kembali menggabungkan satire dan ironi untuk mengunkapkan perlawananya terhadap mekanisme korupsi yang telah merajalela di negeri ini. Cerpen ini mengisahkan tentang seorang pegawai negeri korup yang bertambah panjang hidungnya setelah melakukan korupsi. Pegawai negeri dengan gaji tak seberapa tetapi jadi orang kaya dengan banyak perusahaan yang dia punya. Dan ketika ia berpidato di atas podium, hidungnya semakin panjang—sampai 2 meter dan masuk buku Guiness Book of Record. Ironi tersebut terlihat dari kutipan awal cerpen.

Sudah 25 tahun Badu jadi Pegawai negeri, dan selama itu—seperti juga banyak pegai negeri yang lain—ia melakukan korupsi. Dari hari ke hari ia korupsi pelan-pelan. Dari heri ke hari ia korupsi segobang demi segobang.

Mula-mula, Badu pernah juga merasa berdosa. “Astaga, ini semua uang rakyat,” pikirnya. Tapi, di kantornya, tidak korupsi adalah sesuatu hal yang aneh.

“Kamu harus belajar menyesuaikan diri,” kata kawan-kawannya,” kita harus bisa luwes bergaul, supaya hidup kita selamat. Tidak ada salahnya korupsi sedikit-sedikit. Supaya tidak lain sendiri. Nanti orang-orang muak melihat kita. Dikira kita sok suci. Tidak ada salahnya. Toh semuanya juga korupsi. Malah banyak yang besar-besaran. Korupsi segobang apalah artinya?”[6]

Dalam cerpen ini, Seno menunjukkan perlawanan dan kegelisahannya terhadap mekanisme korupsi yang semakin melembaga. Dalam sebuah cerita yang utuh, Seno mencoba untuk menggambarkan penokohan dengan watak yang bisa dikatakan hampir mirip dengan keadaan moralitas kebanyakan pegawai negeri di Indonesia. Secara tidak langsung, ia tidak menyalahkan sistem tetapi menyayangkan ketika korupsi telah menjadi budaya. Seno seakan ingin memberi tahu kepada masyarakat bahwa inilah moralitas para pelayan masyarakat kita.

Penggunaan politik sastra dalam bentuk satire dan ironi seperti di atas untuk melakukan perlawanan, bukanlah tanpa persoalan. Terkadang bentuk perlawanan ini tidak menimbulkan efek seperti yang diharapkan para penulisnya. Infra politik dalam sastra hanya menjadi infra politik tanpa ada feed back yang nyata dari masyarakat maupun dari para penguasa yang diironikan. Namun adakalanya, hanya dengan sebait sastra berbentuk puisi, Rendra misalnya, bisa sampai menggerakkan masa untuk demonstrasi ketika terjadi kasus Kedung Ombo sampai si pembuat puisi dipenjara. Adakalanya juga seorang penyair seperti Wiji Thukul harus menghilang karena puisi yang bernada perlawanan.

Persoalannya lagi, adalah ketika bentuk resistensi dalam sastra tersebut tidak sampai ke masyarakat sebagai bentuk resistensi. Bahasa estetik sastra bisa menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam ketika sampai di masyarakat. Tentu saja dengan pembatasan kelas masyarakat tertentu. Golongan masyarakat seperti para tukang becak atau rakyat kecil lainnya, kadang justru tidak tahu bahwa mereka telah banyak menjadi sumber inspirasi bagi para pengarang bahkan menjadi tokoh dalam karya mereka. “Surat dari Palmerah” misalnya, entah sadar atau tidak, pilihan bahasa yang digunakan Seno banyak mengandung idiom-idiom berbahasa Jawa. Sedangkan pembaca majalah Jakarta-Jakarta biasanya adalah para kalangan muda dan anak Jakarta dan bukan anak Jawa. Yang ditakutkan kemudian adalah apakah resistensi yang disampikan lewat sastra ini bisa sampai ke masyarakat dan bisa sampai pada para penguasa yang melakukan dominasi baik itu berupa dominasi material, status maupun ideologi.

Walau bagaimanapun, sastra tetap menjadi salah satu media untuk melakukan resistensi. Sebuah alat perjuangan. Melalui keindahan seni bahasa, sejak zaman kolonial sampai sekarang, sastra tetap hadir dan menyuarakan kegelisahan masyarakat kecil, menyuarakan berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan dan melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan para pemegang kekuasaan. Mulai dari novel Max Havelaar sampai sastra modern seperti karya Seno, kesemuanya bisa dimaknai sebagai medium of power dimana terdapat pertarungan kuasa. Dari mereka yang berkuasa dan mereka yang menderita karena kuasa.

Referensi:

Ajidarma, Seno Gumira. 2002. Surat dari Palmerah: Indonesia dalam Politik Mehong: 1996 – 1999. Jakarta: KPG (Kepustakaan populer Gramedia).

_______. 2001. Dunia Sukab, Sejumlah Cerita. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

DR. Faruk. 2007. Belenggu Pasca Kolonial, Hegemoni dan Resistensi dalam sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

http://sukab.wordpress.com/2007/04/25/saksi-mata/



[1] Dari catatan mata kuliah Politik Ekstra Parlementer: Seni: Medium of Power, disampaikan oleh AAGN Ari Dwipayana, tanggal 15 Mei 2007.

[2] Dari catatan mata kuliah Politik Ekstra Parlementer, disampaikan oleh I Ketut Putra Erawan, tanggal 20 Februari 2007.

[3] Homi K. Bhaba dalam DR. Faruk, Belenggu Pasca Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007), hlm.6

[4] ibid, hal. 221

[5] Seno Gumira Ajidarmo, “Saksi Mata”. http://sukab.wordpress.com/2007/04/25/saksi-mata/

[6] Seno Gumira Ajidarmo. Dunia Sukab, Sejumlah Cerita. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas 2002), hlm. 85

Tidak ada komentar:

Posting Komentar