Perjuangan Sastra: Resistensi dalam Satire dan Ironi
Art is not truth, art is a lie that reveals the truth
Sastra adalah sebuah dusta, namun dusta yang menyingkap kebenaran
(Charles Dickens)
Seni adalah sebuah keindahan, ekspresi kebebasan, inspirasi, kreasi dan bukti sebuah eksistensi. Dalam sebuah relasi kuasa, seni tidak hanya dipahami sebagai hasil cipta, rasa dan karsa, melainkan sebagai sebuah medium of power dimana terdapat dominasi dan perlawanan di dalamnya. Seni menjadi arena diskursif antara kekuasaan, propaganda politik, kebudayaan dan kepentingan ekonomi. Selain sebagai media dominasi, seni juga bisa dipahami sebagai medium resistensi dari kelas-kelas atau kelompok-kelompok yang didominasi.[1]
Salah satu produk dari seni tersebut adalah sastra. Sastra merupakan salah satu media tertulis sebagai ekspresi kebebasan berpikir sekaligus berfungsi sebagai sebuah rekaman sejarah.
Tulisan ini mencoba untuk memberi sedikit gambaran tentang bagaimana sastra menunjukkan resistensinya—baik itu terhadap kekuasaan yang disalahgunakan, ketidakadilan maupun berbagai bentuk ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat akibat sebuah sistem dan dominasi kuasa. Sastra mencoba untuk menyindir secara halus para penguasa kita, sedikit berkeinginan untuk menegur atau bahkan menyadarkan dengan satire dan kehalusan kata, juga makna yang tersembunyi. Sastra juga berusaha untuk menyampaikan segala bentuk kegelisahan orang-orang pinggiran dan mereka yang menderita karena dominasi.
Resistensi dalam hal ini dimaknai dalam kerangka pikir James Scott.“Domination and the Art of Resistance: Hidden Transcripts”, dimana berbagai bentuk dominasi yang menyangkut dominasi material, status dan ideologi—akan menimbulkan bentuk-bentuk infra politik yang akhirnya menimbulkan form of public declare resistance. [2]
Tulisan ini akan mengidentifikasi sekaligus membatasi bentuk-bentuk resistensi dalam beberapa karya sastra mulai zaman kolonial kemudian meloncat ke masa orde baru dengan mengambil beberapa contoh karya. Kedua masa ini menunjukkan bentuk resistensi sastra yang mirip meskipun berada dalam sejarah yang berbeda. Pada masa kolonial, contoh yang diambil adalah novel Max Havelaar karya Multatuli. Sedangkan pada masa orde baru, terdapat beberapa karya Seno Gumira Ajidarma dalam bentuk cerpen dan tulisannya yang dimuat dalam rubrik “Surat dari Palmerah” di majalah Jakarta-Jakarta antara tahun 1996-1999.
***
Sastra di Indonesia telah muncul sejak zaman sebelum penjajahan dan berakar kuat di masyarakat. Adanya pantun-pantun Melayu, dongeng-dongeng lisan atau sastra dari mulut ke mulut menunjukkan bahwa sastra telah jauh berkembang di masyarakat sebelum nama
Salah satu karya sastra fenomenal yang muncul pada masa kolonialisme Belanda di
Sedikit meringkas. Havelaar adalah seorang pejabat (asisten residen di daerah Lebak, Jawa Barat) yang setia pada pakerjaannya dan melakukan segala sesuatu berdasarkan peraturan folmal yang berlaku seperti yang ia nyatakan dalam sumpahnya. Tekadnya itu menjadikannya bermusuhan dengan pimpinan tradisional masyarakat setempat yaitu Bupati, yang ternyata banyak melakukan pelanggaran aturan dan penyimpangan kekuasaan. Dan ketika ia melaporkan pelanggaran tersebut, baik residen maupun Gubernur Jenderal malah berpihak kepada Bupati. Havelaar kemudian dipecat karena tuduhannya kepada Bupati dan akhirnya pulang ke Belanda.[4]
Efek yang timbul kemudian kemudian adalah, ketika novel ini dipandang sebagai salah satu kekuatan yang berpengaruh besar secara kultural dan politik. Novel ini sangat berpengaruh terhadap perubahan kebijakan politik kolonial Belanda di Indonesia. Max Havelaar juga menjadi semacam buku tuntunan bagi para pegawai Belanda yang datang ke
***
Tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan dari resistensi sastra kolonial dan modern. Kedua contoh yang telah dan akan diidentifikasi dalam tulisan ini sama-sama menunjukkan resistensinya terhadap dominasi kaum penguasa. Dalam perkembangannya, sastra baik itu dalam bentuk puisi, cerpen, novel, naskah drama, dan sebagainya sanggup mengatakan banyak hal tentang berbagai bentuk kompleksitas kehidupan masyarakat
Melompat ke masa Orde Baru. Ketika banyak sekali pembreidelan dan pencabutan dilakukan pemerintah terhadap koran dan majalah. Ketika penguasa dengan sangat mudahnya melakukan pembungkaman pers, sastra hadir menggantikan jurnalisme yang pada saat itu seakan telah disumpal mulutnya. Karya sastra bernada perlawanan banyak muncul dengan bahasa-bahasa lugas berestetis yang bermaksud melakukan perlawanan terhadap kebijakan Orde Baru. Sebuah sistem yang sama sekali tidak memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi. Sastra berbicara ketika saluran-saluran institusi formal untuk menyampaikan aspirasi tak lagi berfungsi.
Sastra di era modern sering dinilai sebagai dunia rekaan yang didalamnya terdapat mimpi-mimpi, hanya bias. Hal yang hanya omong kosong tanpa mengandung kebenaran. Tetapi sebenarnya, sastra mengandung nilai-nilai kebenaran yang direfleksikan dari kebenaran nyata yang terjadi di lingkungan sekitar para penulisnya. Pengantar Buku sastra bisa dibredel, tetapi kebenaran dan kesusasteraan menyatu bersama udara, Tak tergugat dan tak tertahankan. Menutupi fakta adalah tindakan politik, menutupi kebenaran adalah perbuatan paling bodoh yang bisa dilakukan manusia di muka bumi. (Adjidarma, 1997).
Tulisan-tulisan Seno Gumira Ajidarma sedikit banyak menunjukkan adanya politik sastra, dimana ia bisa mengungkapkan kegelisahannya terhadap kesewanag-wenangan politik Orde Baru. Latar belakangnya sebagai seorang wartawan, sastrawan dan juga fotografer semakin memperkuar karya-karyanya dengan sense humanitas yang tinggi.
Kumpulan surat-surat Seno yang menjadi salah satu rubrik majalah Jakarta-Jakarta dibukukan dengan judul ”
Bung,
Penculikan para aktivis dan pemerkosaan tematis terhadap perempuan-perempuan etnis Tionghoa mengungkapkan sebuah dunia yang mengerikan. Ternyata kita bertetangga dengan makhluk-makhluk yang menganggap kekerasan dan kekejaman adalah pekerjaan mulia. Semakin mengerikan kalau perbuatan yang tidak manusiawi itu dengan santai disebut kesalahan prosedur. Apakah yang bisa lebih mengerikan dari ini?
…………
Tentu tidak mudah bersikap santai melawan tekanan teror. Siapa yang bisa tenang-tenang ketika diculik, dibekep dan ditutup matanya oleh orang-orang berbadan kekar yang menyiksa dengan dingin? Siapa yang bisa oke-oke saja diperkosa begitu rupa oleh banyak orang secara bergantian, dengan penghujatan rasialistis?...NB: Sukab bertanya, terbuat dari apakah kejahatan?
Kutipan di atas menunjukkan realitas yang terjadi di tahun 1998 ketika peristiwa kerusuhan terjadi menjelang keruntuhan rezim Orde Baru. Kerusuhan ini juga berbuntut pada maraknya pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa. Resistensi yang disampaikan Seno bisa dikatakan salah satu bentuk infra politik, penyindiran secara halus. Dimana ia mencoba untuk melawan dominasi penguasa yang menghalalkan kekerasan dan kekejaman untuk mempertahankan kekuasaannya. Infra politik Seno ini kemudian berhasil menepuk bahu para penguasa. Melalui pengawasan ketat dari Departemen
Sastra Seno tidak hanya mengandung unsur-unsur jurnalisme. Estetikanya membuat satire dan ironi terhadap pemerintah Orde Baru membuat beberapa cerpennya tak sampai dicopot seperti beberapa suratnya. Dalam cerpen “Saksi Mata” misalnya, Seno mencoba untuk melakukan satire dan ironi terhadap peradilan di
Cerpen ini berkisah tentang seorang saksi mata yang dicongkel matanya dengan sendok oleh
Pak Hakim bertanya, “Dimanakah mata saudara ?”
“Diambil orang Pak?”
….
“….Kenapa?”
“Saya tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng.” (masakan khas
Dari percakapan tadi, pembaca bisa tersenyum sekaligus miris dimana meskipun kejadian yang dialami tokoh hanya dalam mimpi namun ironi dan satire yang digunakan tepat untuk menggambarkan ketakutan para saksi atas teror yang mengincarnya setiap saat. Sebuah satire tentang pembungkaman masal atas kejahatan sistematis dan terorganisir yang banyak dilakukan pemerintah Orde Baru. Di bagian akhir cerpen diletakkan sebuah ironi. Dalam perjalanan pulang, Bapak Hakim Yang Mulia berkata pada sopirnya,“Bayangkanlah betapa seseorang harus kehilangan kedua matanya demi keadilan dan kebenaran. Tidakkah aku sebagai hamba hukum mestinya berkorban yang lebih besar lagi?” (Ajidarma, 1992). Seno ingin mengungkapkan batapa berat pengorbanan seorang saksi mata demi kebenaran, dan seharusnya seorang penegak hukum bisa berkorban lebih banyak lagi untuk mengungkap kebenaran
Dalam cerpennya yang lain, “Hidung Seorang Pegawai Negeri (Atawa: the Phinoccio Desease)”. Seno kembali menggabungkan satire dan ironi untuk mengunkapkan perlawananya terhadap mekanisme korupsi yang telah merajalela di negeri ini. Cerpen ini mengisahkan tentang seorang pegawai negeri korup yang bertambah panjang hidungnya setelah melakukan korupsi. Pegawai negeri dengan gaji tak seberapa tetapi jadi orang kaya dengan banyak perusahaan yang dia punya. Dan ketika ia berpidato di atas podium, hidungnya semakin panjang—sampai 2 meter dan masuk buku Guiness Book of Record. Ironi tersebut terlihat dari kutipan awal cerpen.
Sudah 25 tahun Badu jadi Pegawai negeri, dan selama itu—seperti juga banyak pegai negeri yang lain—ia melakukan korupsi. Dari hari ke hari ia korupsi pelan-pelan. Dari heri ke hari ia korupsi segobang demi segobang.
Mula-mula, Badu pernah juga merasa berdosa. “Astaga, ini semua uang rakyat,” pikirnya. Tapi, di kantornya, tidak korupsi adalah sesuatu hal yang aneh.
“Kamu harus belajar menyesuaikan diri,” kata kawan-kawannya,” kita harus bisa luwes bergaul, supaya hidup kita selamat. Tidak ada salahnya korupsi sedikit-sedikit. Supaya tidak lain sendiri. Nanti orang-orang muak melihat kita. Dikira kita sok suci. Tidak ada salahnya. Toh semuanya juga korupsi. Malah banyak yang besar-besaran. Korupsi segobang apalah artinya?”[6]
Dalam cerpen ini, Seno menunjukkan perlawanan dan kegelisahannya terhadap mekanisme korupsi yang semakin melembaga. Dalam sebuah cerita yang utuh, Seno mencoba untuk menggambarkan penokohan dengan watak yang bisa dikatakan hampir mirip dengan keadaan moralitas kebanyakan pegawai negeri di
Penggunaan politik sastra dalam bentuk satire dan ironi seperti di atas untuk melakukan perlawanan, bukanlah tanpa persoalan. Terkadang bentuk perlawanan ini tidak menimbulkan efek seperti yang diharapkan para penulisnya. Infra politik dalam sastra hanya menjadi infra politik tanpa ada feed back yang nyata dari masyarakat maupun dari para penguasa yang diironikan. Namun adakalanya, hanya dengan sebait sastra berbentuk puisi, Rendra misalnya, bisa sampai menggerakkan masa untuk demonstrasi ketika terjadi kasus Kedung Ombo sampai si pembuat puisi dipenjara. Adakalanya juga seorang penyair seperti Wiji Thukul harus menghilang karena puisi yang bernada perlawanan.
Persoalannya lagi, adalah ketika bentuk resistensi dalam sastra tersebut tidak sampai ke masyarakat sebagai bentuk resistensi. Bahasa estetik sastra bisa menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam ketika sampai di masyarakat. Tentu saja dengan pembatasan kelas masyarakat tertentu. Golongan masyarakat seperti para tukang becak atau rakyat kecil lainnya, kadang justru tidak tahu bahwa mereka telah banyak menjadi sumber inspirasi bagi para pengarang bahkan menjadi tokoh dalam karya mereka. “
Walau bagaimanapun, sastra tetap menjadi salah satu media untuk melakukan resistensi. Sebuah alat perjuangan. Melalui keindahan seni bahasa, sejak zaman kolonial sampai sekarang, sastra tetap hadir dan menyuarakan kegelisahan masyarakat kecil, menyuarakan berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan dan melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan para pemegang kekuasaan. Mulai dari novel Max Havelaar sampai sastra modern seperti karya Seno, kesemuanya bisa dimaknai sebagai medium of power dimana terdapat pertarungan kuasa. Dari mereka yang berkuasa dan mereka yang menderita karena kuasa.
Referensi:
Ajidarma, Seno Gumira. 2002.
_______. 2001. Dunia Sukab, Sejumlah Cerita.
DR. Faruk. 2007. Belenggu Pasca Kolonial, Hegemoni dan Resistensi dalam sastra
http://sukab.wordpress.com/2007/04/25/saksi-mata/
[1] Dari catatan mata kuliah Politik Ekstra Parlementer: Seni: Medium of Power, disampaikan oleh AAGN Ari Dwipayana, tanggal 15 Mei 2007.
[2] Dari catatan mata kuliah Politik Ekstra Parlementer, disampaikan oleh I Ketut Putra Erawan, tanggal 20 Februari 2007.
[3] Homi K. Bhaba dalam DR. Faruk, Belenggu Pasca Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra
[4] ibid, hal. 221
[6] Seno Gumira Ajidarmo. Dunia Sukab, Sejumlah Cerita. (
Tidak ada komentar:
Posting Komentar