Mencari Diri di Tengah Hutan utanHutaHBelantara
“Dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dari siang, sungguh merupakan tanda-tanda bagi orang arif (Intelektual). Orang yang mengingat Allah: Ketika berdiri, duduk, dan berbaring ke samping dan merenungkan penciptaan langit dan bumi. Tuhan, tiada sia-sia Kau ciptakan semua ini, Maha Suci Engkau. Selamatkan kami dari azab api neraka” (QS 3: 190-191).
Kampus ibarat sebuah hutan belantara yang bisa menyesatkan. Namun, juga bisa mengantarkan kita menuju pencarian diri. Di tengah belantara, terdapat banyak pepohonan lebat, ranting-ranting liar, binatang buas yang siap menerkam, juga jalan terjal berliku menyesatkan. Berjalan melewati hutan belantara tentunya membutuhkan persiapan. Membekali diri dengan senjata, juga persediaan makanan dan minuman yang cukup. Bukan hanya itu, menyusuri hutan belantara membutuhkan kemampuan adaptif yang luar biasa. Demikian halnya dengan kemampuan untuk selalu bersikap responsif dan reaktif terhadap keadaan di sekitarnya.
Hutan belantara kampus penuh dengan keberagaman. Kampus tidak hanya menjadi tempat bertemunya para mahasiswa dari seluruh Indonesia. Kampus juga menjadi tempat pertemuan berbagai perspektif dan ideologi. Gaya hidup yang berkembang juga menjadi sedemikian beragam. Sekian banyak organisasi dan pergerakan yang berada di sekitar kampus telah memberi warna tersendiri bagi keberagaman tersebut. Kita yang akan menjelajahi hutan tentunya harus memantapkan diri untuk memilih akan menjadi seperti apa. Terlalu banyak pilihan dan kitalah yang akan menentukan.
Keadaan di atas tampaknya cocok menggambarkan tantangan yang akan dihadapi mahasiswa di dunia kampus. Ini tak akan sama lagi dengan kondisi SMA dimana seorang pelajar hanya dituntut untuk lulus dengan nilai baik. Kampus menjadi semacam arena pertarungan pemikiran. Mahasiswa yang hidup di lingkungan kampus tidak hanya berkewajiban untuk menyelesaikan kuliah dengan IP baik, tetapi juga berproses menuju kematangan berpikir. Tantangan menyusuri hutan belantara untuk mencapai tujuan tersebut tidak hanya berasal dari para individu atau mahasiswa itu sendiri. Tantangan tersebut juga berasal daru kultur pragmatis yang semakin meluas seiring dengan modernisme dan perkembangan teknologi. Nilai-nilai menjadi semakin kabur sehingga sulit untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Mana jalan yang akan menyesatkan dan mana jalan yang akan mengantarkan kita sampai ke tujuan.
Penyakit konsumerisme akibat modernisasi yang didukung oleh media seperti televisi, telah memunculkan budaya pragmatis, hedonis dan materialis. Kesenangan dan pemujaan terhadap materi menjadi sesuatu hal yang menjanjikan keindahan dunia. Penyakit ini sangat rentan diderita oleh mahasiswa. Pada awalnya, mereka berniat untuk menuntu ilmu di suatu kota atau universitas impian. Namun, para mahasiswa ini sebagian lupa akan tujuan mereka setelah terjangkiti berbagai penyakit kebudayaan. Mereka tersesat di hutan belantara tanpa tepi. Hal ini bisa disebabkan karena tidak adanya pegangan seperti peta dan kompas untuk membantu menemukan arah dan tujuan perjalanan mereka.
Tidak selayaknya para mahasiswa ikut menjadi korban penyakit-penyakit kebudayaan. Tidak selayaknya pula para mahasiswa ikut tersesat di tengah hutan belantara. Mereka seharusnya berperan sebagai mujahid dalam pertempuran dengan penyakit budaya. Para mahasiswa tidak seharusnya kehilangan identitas kultural mereka sebagai seorang manusia yang sedang mencari jati diri. Karena mereka menjadi kebutuhan utama untuk membangun bangsa di masa depan. Yang dibutuhkan bangsa saat ini bukan intelaktual-intelektual cerdas, melainkan intelektual-intelektual yang sangat cerdas. Suatu generasi Rabbanni yang menjadikan nilai-nilai Islam sebagai kompas dan peta hidupnya. Sebuah generasi yang juga peduli terhadap masyarakat dan persoalan di sekitarnya. Dan peran tersebut salah satunya berada di pundak mahasiswa.
Seorang intelektual Rabbani tidak hanya berorientasi menemukan jalan keluar dari hutan belantara untuk dirinya sendiri. Ia juga akan berusaha untuk mengubah hutan tersebut menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Memberikan penunjuk arah sehingga jalan-jalan itu tak menyesatkan lagi. Ia juga akan menemukan mata air dalam hutan tersebut. Menjadikannya sumber kehidupan untuk membangun peradaban. Ketika hal tersebut bisa dilakukan, maka ia akan menemukan dirinya. Setiap langkah dan pekerjaannya selalu berada dalam landasan ideologis yang kuat. Ia akan selalu belajar dari segala sesuatu yang dijumpainya. Banyak hal yang dilakukannya tak lagi untuk dirinya sendiri tetapi juga bagi sesamanya.
Mahasiswa sebagai seorang intelektual Rabbani akan menemukan makna hidupnya. Ia tidak akan pernah hanyut dalam arus kebudayaan yang menyesatkan. Dialah yang membabat hutan belantara dan menemukan jalan. Tidak terjebak oleh ranumnya buah-buahan hutan yang ternyata mengandung racun mematikan. Seorang intelektual Rabbani tidak akan terjebak di tengah arus budaya pragmatisme, hedonis dan materialis. Ia akan menemukan makna hidupnya, bahkan di tengan hutan belantara.
Ratna Puspita Dwipa Nugrahhani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar