27 April 2008
sesungguhnya, ketika manusia meraba hatinya sendiri, ia akan menemukan berbagai bentuk benda asing yang tak diketahui darimana asalnya. Benda-benda yang tak dikenal semakin banyak saja melekat tanpa ia sadari.
……………………
menjadi besi berarti mudah terpatahkan, menjadi batu berati mudah terpecahkan. Berubahlah kemudian menjadi air yang tak mati tertusuk, yang tak terpecahkan dan terpatahkan, ia akan menguap lalu mencair kembali. Dan ketika air jenuh berada dalam tempatnya, menjadilah kau ruh lalu menjadilah kau cahaya yang menelusup sampai kemanapun berada.
……………………..
aku melihat ke dalam akuarium kecil yang kutemukan terbengkelai bersama tumpukan sampah. Wow..ternyata aku menemukan dunia. Di dalam akuarium itu, terdapat tumpukan mayat seperti ikan bandeng yang saling menindih. Aku menemukan dunia. Ternyata dunia ini hanya berada dalam akuarium kecil penuh mayat yang saling menindih. Kutemukan kemudian seorang anak dengan botol susu dimulutnya. Botol susu yang telah kosong. Ia hidup diantara tumpukan mayat-mayat itu. hanya dia yang masih hidup dalam dunia temuanku. Lalu akuarium itu mulai terisi air yang datang entah dari mana. Air yang kemudian terus menggenang dan terus bertambah sampai mayat-mayat itu mengapung. Sementara bocah kecil itu riang bermain-main dengan gelembung-gelembung udara juga ikan-ikan kecil yang berenang-renng di disela-sela mayat-mayat itu. dunia macam apa ini kawan?
………………………….
kawan, apa sebenarnya yang mendasari manusia untuk selalu menggunakan akalnya? Yang laki-laki selalu berseru bahwa mereka memenangkan akal dalam setiap pengambilan keputusan. Sedangkan perempuan katanya lebih banyak menggunakan perasaan. Benarkah demikian? Aku pikir, ini tidak akan berlaku ketika laki-laki dan perempaun sama-sama mabuk. Keduanya tak bisa menggunakan baik akal maupun perasaan. Mereka suka sekali mencoba merasakan mabuk dalam gulatan api. Api yang berselimutkan dan berpura-pura menjadi cinta hingga tak bisa lagi terlihat sebagai panas membakar. Aku membenci keduanya!
…………………………..
dari Jostein Gaarder dalam Dunia Sophie. Bandung. Mizan: 1997
Shakespeare dalam As You Like It
Dunia ini panggung sandiwara,
Dan semua pria dan wanita hanyalah para pemainnya:
Bagi mereka telah ditentukan jalan keluar dan jalan masuknya;
Dan seorang manusia biasa bisa saja memainkan banyak peranan.
Dan dalam Macbeth, dia mengatakan
Hidup ini hanyalah bayangan yang berjalan, seorang aktor yang gagal melagak dan merepet di atas panggung,
Dan kemudian tidak terdengar lagi; hidup adalah kisah yang dituturkan oleh seorang bodoh, penuh bising dan kemarahan,
Tidak bermakna apa-apa.
……..
Jadi ‘ada atau tiada’ bukanlah satu-satunya pertanyaan. Pertanyaan lainnya adalah siapa kita ini. apakah kita benar-benar manusia yang terdiri dari daging dan darah? Apakah dunia kita terdiri atas benda-benda nyata—atau apakah kita dikelilingi oleh pikiran
……….
Shopie berkata saat menatap Alberto: apa gunanya usaha kreatif kita yang tiada habis-habisnya, jika, dengan sekali reanggut, segalanya berakhir?
Kata-kata di atas seperti kata-kata setan atau Mephistopheles. Sebuah karya gari Goethe. Faust. ‘was soll uns denn ew’ge Schaffen! Geschaffenes zu nichts hinswegzuraffen.
Ketika Faust meninggal dan melihat kembali pada apa yang telah dikerjakannya dalam hidupnya, dia berkata dengan penuh kemenangan:
Lalu pada sang kala dapat kukatakan:
Tunggulah kini, kamu yang baegitu baik!
Catatlah kehidupanku di atas bumi
Yang tak dapat dihapuskan masa –
Datanglan sasmita, dan mengisiku dengan kebahagiaan,
Kunikmati kesenanganku, puncak hidupku di sini.”
Kemudian tibalah giliran setan. Begutu Faust meninggal, di aberseru:
Sepatah kata tolol, enyahlah.
Lalu bagaimana, lenyap?
Lenyap, menuju Ketiadaan, menyatu dengan kehampaan!
Apa gunanya usaha kreatif kita yang tiada habis-habisnya,
Jika, dengan sekali renggut, segalanya berakhir?
“Ia telah enyah” –Bagaimana jawab teka-teki ini?
Seakan-akan segala sesuatunya tidak pernah dimulai,
Namun sekali kembali, keberadaan yang dimiliki:
Aku lebih suka menyimpan Kekosongan Abadi”
Thomas Hardy dalam puisnya Transformations:
Bagian dari pohon cemara ini
Adalah yang akan dilihat cucuku setelah dia dewasa,
Berkembang ddi sini di akarnya:
Cabang ini mungkin istrinya:
Kehidupan manusia yang kemerahan
Kini berubah menjadi tunas hijau.
Rumput ini pasti terbuat
Dari dia yang sering berdoa,
Di abad yang lalu, untuk beristirahat;
Dan gadis yang dulu jelita
Yang kucoba untuk mengenalnya
Mungkin memasuki kembang mawar ini.
Jadi, mereka tidak berada di bawah tanah,
Melainkan sebagai urat-saraf yang menyatu
Dalam pertumbuhan di udara terbuka,
Dan mereka merasakan sinar matahari dan hujan,
Dan energi sekali lagi
Yang menjadikan mereka seperti adanya dulu!”
Beberapa baris puisi dari Arnulf Overland:
Trebangun suatu malam karena impian yang aneh
dan sebuah suara yang tampaknya mengajakku berbicara
bagaikan sungai bawah tanah di tempat yang jauh
aku bangkit dan bertanya: Apa yang kau inginkan dariku? (hal 485)
sebuah filsafat dari Kierkegaard (hal 415)
kierkegaard percaya bahwa ada tiga bentuk kehidupan. Dia sendiri menggunakan istilah tahap. Dia menyebutnya tahap estetika, tahap etika, dan tahap religius. Dia menggunakan istilah ‘tahap’ untuk menekankan bahwa orang dapat hidup pada satu atau dua tahap yang lebih rendah dan kemudian tiba-tiba melompat ke tahap yang lebih tinggi. Banyak orang hidup pada tahap yang sama sepanjang hidupnya.
Orang yang hidup pada ‘tahap estetika’ hidup untuk saat ini dan menagkap setiap kesempatan untuk menikmatinya. Yang dianggap baik adalah apa pun yang indah, memuaskan, atau menyenangkan. Orang ini hidup sepenuhnya di dunia indra, dan menjadi budak nafsu dan perasaannya sendiri. segala sesuatu yang membosankan itu buruk.
Karena itu penganut romantik adalah juga penganut estetika, sebab mereka mengutamakan kenikmatan indrawi. Seseorang yang mempunyai pendekatan reflektif terhadap realitas—atau dalam hal itu terhadap karya seninya atau filosofi yang diyakininya—berarti dia hidup pada tahap estetika. Bahkan ada kemungkinan orang mempunyai sikap estetis, atau ‘reflektif’, terhadap kesedihan dan penderitaan. Dalam hal itu kepongahan telah mengambil alih.
Seseorang yang hidup pada tahap estetik mengalami kegelisahan, atau ketakutan, dan perasaan hampa. Jika ini terjadi, ada juga harapan. Menurut Kierkegaard, kegelisahan itu nyaris positif. Itu adalah ungkapan dari kenyataan bahwa individu tersebut berada pada ‘situasi eksistensial,’ dan kini dapat memilih untuk membuat lompatan besar menuju tahap yang lebih tinggi. Tapi itu bisa terjadi dan bisa pula tidak. Tidak ada guanya berada dalam keadaan nyaris melompat jika kamu tidak benar-benar melakukannya. Itu adalah masalah ya atau tidak. Tapi tidak ada orang lain yang dapat melakukannya untukmu. Itu dalah pilihanmu sendiri.
Gambaran Kierkegaard mengenai ‘kategori keputusan’ ini dapat sedikit menginngatkan kita akan pandangan Socrates bahwa seluruh wawasan yang benar berasal dari dalam. Pilihan yang menuntun seseorang untuk melompat dari pendekatan estetika menuju pendekatan etika atau religius harus datang dari dalam. Ibsen melukiskan hal ini dalam Peer Gynt. Penggambaran elok lainnya tentang bagaimana pilihan eksistensial melompat dari kebutuhan batin dan keputusasaan dapat ditemukan dalam novel besar karya Dostoevsky Keajahan dan Hukuman (Crime and Punishment).
Hal terbaik yang dapat kamu lakukan adalah memilih suatu bentuk kehidupan yang berbeda.
Dan karenanya kamu mungkin akan mulai hidup pada tahap etika. Ini dicirikan dengan kesungguhan dan kemantapan dalam bertindak menyangkut pilihan-pilihan moral. Pendekatan ini bukannya tidak sama dengan etika kewajiban Kant. Kamu berusahan untuk hidup sesuai dengan hukum moral. Kierkegaard, sebagaimana Kant, menrauh perhatian pertama-tama dan terutama pada temperamen manusia. yang penting adalah bahwa kamu memilih untuk mempunyai pendapat mengenai apa yang benar atau salah. Satu-satunya yang diperhatikan penganut estetika adalah apakah sesuatu itu menyenangkan atau membosankan.
Kierkegaard tidak pernah mengatakan bahwa tahap etika itu menyenangkan. Bahkan orang yang patuh pun akan bosan jika harus selalu bebakti dan rajin. Banyak orang mengalami reaksi kebosanan semacam itu setelah tua. Sebagian kembali lagi kepada kehidupan reflektif dari tahap estetika mereka.
Tapi yang lain-lainnya membuat lompatan baru menuju tahap religius. Mereka melakukan ‘lompatan ke dalam jurang’ iman sedalam ‘tujuh puluh ribu depa’. Mereka memilih iman daripada kenikmatan estetika dan seruan akal. Dan meskipun mungkin ‘mengerikan untuk melompat ke dalam rengkuhan tangan Tuhan yang hidup,’ sebagaimana Kierkegaard mengemukakannya, itulah satu-satunya jalan menuju pengampunan.
………………………
Sabtu, 2 Agustus 2008. malam minggu dan perbincangan dinding-dinding.
Ini tentang sebuah percakapan. Antara mereka yang meyakini tentang manusia sosial dan manusia individualis. Perdebatan ini adalah hasil buah pikir. Ketika sedang berada dalam pencarian dan berhadapan dengan relitas dalam kehidupan.
Sebuah percakapan antara aku dan ian.
Ratna yank, spmb mu gimana? Ketrima?
Ian waduh aku belum liat, soale masih banyak pasien nich. Ni aja aku lagi berada di Puskesmas Geneng. Tadi juga udah aku SMS tapi belum ada balesan dari UNS.
Ratna ya ampun. Mikirin pasien melulu. Yaw dah klu gitu. Met malem mingguan ya yank.
Ian kita kan makhluk sosial, kita harus saling menolong. Percuma kita pandai punya ilmu tapi tidak kita gunakan untuk menolong orang.
Ratna iye, pak ustadz. Aye paham. Tapi kita juga makhluk individu. Lebih baik kalau menyeimbangkan keduanya. Bener kagak?
Ian gak setuju aku. Soale aku orange gak individu, aku lebih mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi gitu. Ndak ada gunane kalau kita punya ilmu banyak kalau kita individualis.
Ratna iya dech. Tapi percuma juga jadi makhluk sosial kalau gak berilmu. Semua ada masanya. Kalau aku, sekarang masanya membekali diri dengan ilmu sebanyak-banyaknya. Ntar baru bisa berkontribusi untuk orang lain.
Ian kan kita belajar dari sekarang, kalau kita sekarang aja ndak mau sosial trus kita kapan mau soaialnya, kan kita gak tau apa yang besok terjadi pada kita, besok kita masih bisa nafas seperti sekarang apa tidak.
Ratna iya, sekarang memang belajar tapi harus ada prioritasnya donk. Gak bisa juga kita total pada dua hal yang mungkin bisa dibilang sedikit bertentangan. Mang setiap orang punya pilihan.
Ian sebenere intinya itu sifatnya orang itu berbeda-beda. Tinggal kita bisa menempatkan pada posisi yang kita dituntut untuk bersosial datau berindividu.
Ratna ya dech setuju aja. Dan gak semua orang yang individu itu antisosial. Sebagaimana dua mata dalam sekeping mata uang.
Ian yang penting itu bukti. Bukan kata-kata.
Ratna seharusnya seseorang tidak terlalu cepat mengambil kesimpulam tentang orang lain jika ia tidak benar-benar memahami orang itu.
Ian tapi kan hasil observasi, pengamatan gitu bisa untuk disimpulkan.
Ratna dalam ilmu sosial, ada yang disebut realitas dibalik realitas. Jadi jangan terlalu mempercayai hasil pengamatan dan observasimu. Kau tidak bisa membacaku dengan dangkal seperti itu.
Percakapan ditutup. Ian terlalu sibuk dengan para pasien yang telah menanti tangan dinginnya untuk bekerja. Bekerja dengan kebanggaan. Dengan penuh semangat dan perasaan telah menemukan jalan. Jalan kebenaran dengan harapan penuh dapat bermanfaat bagi orang lain melalui kemampuannya. Menjadi seorang muda yang dituakan banyak orang. Yah, memang sudah nasibnya barangkali. Kehidupan adalah kemanfaatan bagi orang lain. Itu mungkin prinsipnya. Betapa saat ini tak kupedulikan semua hal. Hanya ada dalam diriku semua hal berawal. Selamat malam.
…………………………
8 Agustus 2008. 09:16 pm.
Huh, sudah lama bukan, aku tak mengabarkan keadaanku. Rasanya memang lama. Tapi waktu kita berbeda. Waktu dalam tulisan tentu tidak akan sama dengan dunia sesungguhnya. Satu lembar waktu dalam tulisan bisa jadi cerita setahun di dunia nyata. Buat apa juga, kita membicarakan waktu. Rasanya tidak begitu penting. Kecuali, kalau kita memang akan membahas sesuatu yang berkaitan dengan waktu. Tapi tidak untuk kali ini.
Kuketahui belakangan ini bahwa aku telah berubah menjadi seseorang lain. Aku tak mengenali aku seperti yang sudah-sudah. Mungkin hanya perasaanku saja. Tapi, mungkin juga ini benar. Kebenaran sesungguhnya memang datang dari dalam. Tentang apapun, itu tidak penting. Kedalaman yang kemudian menunjukkan kepadaku. Aku jadi tahu sedikit tentang diriku. Telah lama kusadari, tapi tak berani mengakuinya.
Aku adalah seorang pecundang dan tukang selingkuh. Aku tak pernah konsisten terhadap apapun. Orang Jawa bilang, ‘thuk mis’. Tak setia dan selalu berganti-ganti pasangan. Tak pernah menekuni sesuatu hingga aku bisa ahli dan menjadi spesialis di bidang itu. Mungkin, bisa juga karena aku belum menemukannya. Tapi, setiap kali akau mencoba sesuatu, aku tak pernah bisa menikmati sesuatu itu. Banyak sekali beban dan yang paling nyaman bagiku adalah menulis sendirian dalam kamar. Aku tahu, ini tak begitu baik untuk perkembangan jiwa, dan karierku kelak. Hanya saja, memang aku tak nyaman ketika harus bicara dan bergaul dengan orang lain.
Selalu saja aku menganggap apa yang kubicarakan atau ketika berbincang dengan orang lain adalah hal yang tak berguna. Kalau bisa diverbalkan, aku seakan meremehkan. Biasanya, aku menarik sebagian bibirku ke belakang. Sebuah senyum sinis. Tapi bisa dipandang sebagai sebuah senyum manis bagi semua orang. Aku menganggap semua itu tak berarti. Apa yang mereka lakukan, pembicaraan mereka dan segala sesuatunya. Aku malas mendengarkan. Sesekali hanya berkomentar sedikit lalu mendengarkan omongan tak bermutu itu lagi. Kadang, aku berpikir kalau mereka itu keterlaluan dalam satu hal. Tapi justru tak memikirkan esensi paling dalam yang menjadi awal keberadaan. Mereka itu menjalani hidup sebagaimana mestinya. Dengan wajar dan berusaha untuk mencapai yang terbaik. Sedangkan aku, disibukkan oleh pikiran-pikiran entah dalam otakku.
Aku menyukai berjalan sendiri di tengah keramaian. Memikirkan segala sesuatu yang kulihat. Tapi tak satupun yang terucapkan. Segalanya berkecamuk begitu saja dalam pikiran. Karena ketika aku mencoba untuk membaginya dengan orang lain, tak ada satu pun orang di sekitarku yang bisa memahamiku dengan sepenuhnya. Meskipun ada, ia tak begitu mengerti aku. Rasanya memang aku telah cukup hidup sendirian tanpa teman bicara. Ini gejala aneh pertama yang kutemui dalam diriku. Telah banyak orang yang bilang aku ini sangat egois. Bisa disebut asosial atau individualis. Apapun istilahnya, aku tak peduli. Ini adalah hidupku. Dan mereka tidak berhak menentukan makna dan bagaimana aku menjalani kehidupan.
Ada semacam gejala pesimistis serius yang terus saja menjalar ke dalam neutron-neutron otakku. Aku sendiri tak mampu mengendalikannya. Gejala ini semakin parah ketika aku menyadari tak satu pun kemampuan yang aku miliki. Anehnya, aku juga tak berusaha untuk meningkatkan atau menambah kemampuanku itu. Minder dan rendah diri menjadi ganjalan paling besar. Menyumbat pembuluh darah bahkan mempengaruhi kerja otakku. Sarafku semakin tak bisa kukendalikan untuk berpikir. Perasaan telah banyak mengambil alih fungsi akal.
Selain penyakit itu, aku juga menderita kanker sentimentil yang akut. Penyakit ini semakin ganas menggerogoti hatiku. Sebagian besar karena seseorang yang telah menyakitiku. Karenanya, belakangan aku kerap meneteskan airmata dengan sendirinya tanpa bisa kukontrol. Aku juga tak bisa menyalahkan orang itu. Aku justru merasa kasihan karena ia selalu dipojokkan karenaku. Posisinya serba sulit hingga segala keputusan yang diambil akan sama-sama menyakitkan. Maka, tidak ada pilihan lagi kecuali saling menyakiti. Bermain cinta memang bikin orang jadi semakin ngawur saja. Untung bisa dihentikan lebih dini. Jadi tidak berlarut-larut. Mungkin salahku juga yang tak bisa membentengi diriku sendiri. Kalau sudah begitu memang suka kebawa suasana. Apalagi hati lagi haus, begitu ada mata air langsung saja minum. Tak peduli sampai perut kembung. Kata mereka, kami ini tak se-level. Kok bisa mau-maunya ya aku sama dia. Benar-benar kasihan.
Masalahanya lagi, aku tak bisa membagi beban yang menyumbat bilik kanan jantungku. Perederan darah tak bisa menjalar ke seluruh tubuh hingga semua kerja anggota tubuhku jadi terganggu. Apakah ini adalah gejala sakit gila? Ada batu besar di otak dan jantungku. Batu itu sangat keras. Aku sama sekali tak bisa memecahkannya sampai sekarang. Aku juga tak bisa mengundang orang untuk membantuku memindahkannya atau memecahkannya.
Karena semua itu, aku menjadi tak percaya diri. Selalu menunduk ketika bertemu dengan orang yang aku rasa lebih hebat dariku. Ini pun tak juga memacu semangatku untuk melebihi dia. Tapi, justru membuatku sangat tidak percaya diri. Kehidupanku rasanya tak pernah berubah. Bahkan, ketika ibuku telah memberiku sesuatu yang katanya bisa mengubah semuanya. Sebenarnya ini hidupku, jadi hanya aku yang bisa mengubahnya. Aku semakin tak mempercayai semua yang dikatakan ibuku. Dan anehnya, hal ini dipersalahkan. Aku bahkan tak bisa percaya kepada siapapun sekarang ini. Tuhan? Mungkin aku ini kurang bersyukur, atau apalah seperti yang ibuku bilang. Parah bukan penyakitku?
Gejala-gejala ini timbul sedikit banyak karena penyakit yang satu ini. Namanya sindrom kemunafikan. Penyakit ini sebenarnya paling ganas memakan tubuhku diantara penyakit-penyakit lain. Aku berpenampilan kalem. Dengan jilbab dan rok lebar. Menutupi seluruh kebusukan dan penyakit-penyakitku. Mungkin, munafik akan menjadi penyebab kematianku nanti. Tunggu saja betapa parahnya penyakitku ini.
Orang-orang seusiaku mungkin tak banyak memikirkan tentang hal ini. mereka disibukkan oleh kegiatan-kegiatan seperti organisasi. Lainnya, mungkin sedang sibuk bekerja, mengurangi beban orang tua. Lainnya lagi, adalah orang-orang yang masa bodoh dengan kehidupannya. Lalu, mereka yang disibukkan belajar agama, menjalankan agama sesuai syariat. Mengabdikan seluruh hidupnya dengan aturan-aturan agama ketat. Menganggap apa yang dilakukannya adalah benar dan nantinya akan membawanya ke surga. Mereka menyangka telah menemukan Tuhan dalam hal itu. Ada lagi, mereka yang sudah merasa nyaman dengan posisinya sekarang. Mereka merasa senang setelah semua kebutuhannya dapat terpenuhi. Mulai dari materi, hingga cinta dan seseorang disampingnya.
Kegelisahan seperti ini, mungkin hanya dirasakan oleh sebagian kecil orang saja. kegelisahan seperti apa yang kurasakan sekarang. Bisa saja ini berarti akan segera ada lompatan. Tapi, bisa jadi aku justru terjun ke jurang. Saat berada di posisi ini, adalah saat yang rawan. Dan aku sendirian.
Inilah aku sebagai pecundang.
Sebagai seorang tukang selingkuh, aku banyak mengkhianati kekasihku. Mulai dari puisi, prosa, hingga aktivitas organisasi. Aku menyambangi kekasihku hanya jika mau. Sementara mereka sebenarnya sangat membutuhkan perhatian dan kehadiranku. Nah, terbukti bukan bagaimana egoisnya aku. Ketika sedih, aku baru ingat pada puisi lalu menumpahkan kesedihanku pada baris dan lariknya. Begitu pun ketika sepi datang menyambangi setiap malam hingga pagi. Saat semua tak tertampung lagi berbagi dengan puisi, aku berselingkuh dengan prosa. Cerpen menjadi kekasihku yang kesekian. Aku bercerita kepadanya tentang imajinasi liarku. Imajinasi purba yang tak bisa kuceritakan kepada siapa pun. Lalu aku menyetubuhi prosa. Kebutuhanku tak begitu saja terpenuhi dari para kekasihku. Aku masih mencarinya di luar.
Aku berlari pada kekasihku yang lain, aktivitas berorganisasi. Ini pun terlebih karena kepentinganku sendiri. Bukan untuk orang lain. Betapa egoisnya aku. Mungkin inilah hukuman bagi orang egois seperti aku. Aku mengerjakan sesuatu untuk diriku sendiri. Ini pengakuanku. Meskipun semuanya beres, tapi tujuanku sangat keliru. Misalnya saja, aku ikut rapat karena ingin melihat dia sedang bicara dengan teknik komunikasi yang sangat aku kagumi. Aku mengikuti kegiatan karena ingin menambah kemampuanku dalam membangun jaringan atau kemampuan berbicaraku yang masih sangat minim. Tapi, aku tak juga merasa nyaman dengan kekasihku yang satu ini. Perselingkuhan ini membuat aku tak bisa menekuni satu bidang pun.
Perselingkuhanku saat ini semakin parah. Aku mulai menikmati lukisan. Darinya, imajinasiku bisa mengembara. Aku merasa masuk dalam lukisan itu. Melayang-layang di dalamnya dengan sangat bebas. Sesiang tadi, aku berjalan-jalan sendirian ke Taman Budaya. Kebetulan ada pameran lukisan dari komunitas pelukis pinggiran. Melihat lukisan-lukisan itu, aku masuk ke dalamnya satu demi satu. Aku berenang bersama ikan-ikan. Aku melayang menuju ruang angkasa dan bersembunyi di balik bayangan bumi. Lalu aku menjadi seorang perempuan yang mempunyai sembilan harapan. Lalu menjelma sebagai setetes air yang meluncur dari kran raksasa. Bumi mengering dan dalam tetesan itu, akulah yang menjadi gambaran keindahan bumi, gemah ripah loh jinawi. Aku berdiri di depan Ibu Kartini. Ia menatapku dengan sinis. “Ck..Ckk..Ckk..perempaun zaman sekarang, bajunya saja seperti itu. Tapi hatinya busuk. Dasar munafik! Tak mengerti bagaimana perjuanganku. Ini suratku yang terakhir.” Begitulah, aku mendengar suara Ibu Kartini yang ditujukan kepadaku. Lalu, aku menjadi anak-anak yang tak lagi punya tempat bermain. Semua sudah dibangun jadi gedung. Terakhir, aku meringkuk diatas pasir. Aku bermimpi. Dengan indahnya aku bermimpi. Enggan aku untuk bangun lagi dan menghadapi dunia senyatanya. Berada dalam imajinasi lebih nyaman dan lebih aman.
Kalau sudah begini? Apakah aku benar-benar bisa dikatakan gila? Aku memang selalu mengumbar imajinasiku. Tak terkekang. Tak tertahan dan kadang ini menyulitkan diriku sediri. Malam ini, aku berselingkuh dengan sebuah lagu berjudul ‘lara branta’. Sesaat aku menikmati. Namun, sesaat kemudian aku jadi mual karenanya. Berubah-ubah dengan cepat mungkin juga menjadi tanda penyakit gilaku.
Kawan, apa pendapatmu tentang ini?
………………..
Percakapan yang tertinggal
10 Agustus 2008
Ratna malam setia menghadiahkan sebuah pertalian. Dalam waktu dan kepingan kata. Terlelap dan lesaplah ruh meninggalkan raga. Dan kenapa kita pun akan selalu terbangun di tubuh yang sama?
Malam saat aku terjaga, aku pun bertanya pada maya. Kenapa tubuh ini tak pernah menjawab pertanyaan itu? kenapa tubuh ini tak pernah letih bersama denganku yang selalu pilu.
Ratna mungkin karena ruh adalah setia. Sebagaimana gerimis yang selalu resap ke bumi. Sebagaimana ufuk menemani terbit dan terbenamnya matahari. Dua dalam satu yang terpikirkan.
Malam apakah nyaman bila kita berganti ruh dalam raga yang penuh dosa? Seperti halnya aku yang jenuh hidup di bayang-bayang siang. Kuingin merasakan malam yang terang tanpa lampu hias yang bisu.
Ratna malam mu yang terang tanpa cahaya ada di sini. Dalam dirimu sendiri. ketika ruh selalu bisa menerima dengan apa adanya raga. Karena suci dan dosa pada hakikatnya adalah sama.
Malam suci dan dosa tidak akan pernah sama. Bila suci dan dosa sama, Tuhan tidak perlu repot-repot menciptakan surga dan neraka yang berbeda tapi berhubungan.
Ratna ah, jangan pikirkan dengan akalmu. Biarkan ruh yang berbisik untuk malam ini. sejenak aku akan ngimpi. Jadi ikan, berenang di antara pelupuk matamu. Terima kasih telah menemani.
Malam aku akan ngimpi terjerat urat-urat di hatimu. Thanks jua.
….penggalan berikutnya
Ratna sungguh, seandainya aku bisa menyumpal kelenjar airmata ini. hingga tak ada lagi luh yang menetes. Membuatku seperti orang yang kalah, orang yang lemah. Dan memang demikian. Betapa aku membenci diriku yang sentimentil begini.
…………………..
Malam Ratna.. Nama apa itu..? nama sederhana, tapi membuat liur di jiwa.
Ratna Ratna. Nama sederhana ini banyak bikin sakit jiwa. Dan kini datang masa dimana jiwa ratna sakit. Ngilu, bernanah-nanah.
Malam yang dituliskan semua hamba tentang jiwa, seolah-olah jiwa hanya terisi dengan elemen sakit, sakit dan sakit. Kapan mereka akan menuliskan kata lain dalam jiwa? Kamrin pun langit menunjukkan mendungnya dengan menunduk, sekarang gerimis itu pun menetes di kulit berduriku. Ada apa dengan langit saat ini? sediakan dia berbagi nyeri dengan kurcaci ini?
Ratna jiwa adalah pusat segala rasa. Penderitaan yang memberi kebahagiaan dan hikmah tiada tara. Sayang, jiwa ini belum mampu melampaui batas kesakitan. Berbagi hanya bikin jiwa yang lain jadi sakit.
Malam jiwa salah satu bagian dari tubuh kita.bukan tubuh kita yang bagian dari jiwa. Jangan biarkan jiwa mengendalikan semua rasa titipan Yang Kuasa. Jangan biarkan argumenmu yang salah menjadi prinsipmu saat ini. teman tak bisa mengobati segala lara, setidaknya dia akan menjadi teman di antara duka.
Ratna karena perasaan yang membuatku hampa. Merasa sendiri, menjadi sepi. Gamang dikeramaian dan seperti kehilangan arti. Inilah aku yang terbelenggu. Jiwa dan perasaan. Apalah ini?
Malam mungkin kesepian sudah menjadi teman sejati bagi diri ini. tidak hanya anda, kadang jiwa pengelana ini berdiri dengan satu kaki di tanah berduri. Tapi hidup memaksa dan mengajari untuk selalu tersenyum pilu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar