Asw…
Sebelumnya, saya ingin berterima kasih atas segala kritik dan saran Bapak dalam forum kemarin.
Pertemuan kemarin sedikit banyak telah membuat saya sadar. Selama ini saya memang menulis untuk diri saya sendiri. Saya sadar bahwa tulisan merupakan alat untuk mentransfer ide kepada orang lain. Namun, memang tak banyak saya berpikir sebagai orang lain. Saya jadi malu mengkritik kebijakan pemerintah yang tak hirau kepada konteks dalam masyarakat. Dan ternyata saya sendiri juga tak sensitif terhadap pembaca tulisan saya. Meskipun tidak bermaksud “genit” dengan penggunaan istilah-istilah, saya jadi mengerti bahwa tulisan yang kemarin mengalir begitu saja memang wajib untuk dikaji kembali dengan sudut pandang orang lain.
Yang ingin saya tanyakan kemudian adalah: Sejauhmana subyektifitas dalam tulisan itu bisa ditoleransi? Kecuali untuk naskah lomba, memang suatu karya harus terpaksa manut pada syarat dan ketentuan panitia. Tapi untuk esai atau artikel, saya ingin tahu bagaimana caranya mengendalikan emosionalitas dalam suatu tulisan. Bagaimana menjembatani antara kita sebagai subyek penulis dan pembaca sebagai obyek tulisan agar keduanya bisa sama-sama terpuaskan? Apakah kita harus berperan ganda sebagai penulis sekaligus berpura-pura menjadi pembaca tulisan kita? Atau meminta bantuan orang lain untuk membaca tulisan kita, atau bagaimana? Namun, sejauh mana cara-cara seperti ini bisa efektif?
Ketika saya mencoba untuk menulis kembali, saya jadi banyak mempertimbangkan tentang segala sesuatunya. Bagaimana pembaca, apakah ada dua kata yang sama dalam satu kalimat, apakah kalimat saya terlalu panjang, apakah saya banyak menggunakan istilah-istilah yang sulit, dan sebagainya. Terkait dengan materi sebelumnya, lha kok jadi tambah sulit untuk membunuh “sang editor” dalam diri saya setelah mendapat banyak teori tentang kepenulisan.
Saya baru saja membaca sebuah kumpulan esai Radhar Panca Dahana dalam bukunya Menjadi Manusia Indonesia. Penulis ini memang sudah banyak menelurkan produk pemikirannya baik dalam karya sastra maupun esai. Sebagian diantaranya adalah esai tentang permasalahan-permasalahan sosial, politik, budaya. Bagi saya, membaca tulisan Radhar memang tak cukup sekali atau saya yang terlalu bodoh untuk bisa memahami. Terutama dalam esainya Sejarah Menjadi Manusia. Radhar banyak sekali menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Inggris, Perancis, istilah filsafat dan berbagai bentuk ungkapan yang harus diterjemahkan ulang. Hal ini barangkali berasal dari dunia kepenyairannya yang mungkin ikut mengintervensi struktur kalimat dan diksi yang dipilihnya.
Salah satu esainya berjudul Sarjana Lahir dari Sebuah Mumi. Bagi saya, esai ini sangat bersifat subyektif. Tulisan ini berangkat dari pengalamnnya yang merasa terjebak dan dipaksa untuk sekolah, kuliah. Bukan untuk dirinya tapi tuntutan dari orang tua dan para saudara. Ia merasa sekolah membuatnya kian bodoh. Namun, ia harus tetap menjalaninya apabila ingin menjadi bagian dari kerumunan orang-orang modern. Bukan substansi yang ingin saya permasalahkan tapi penggunaan kalimat-kalimat yang menyusun paragrap demi pargrap. Dari segi ide memang bagus, kalau dibaca juga enak. Tapi, apakah semua orang bisa paham? Itulah yang menjadi pertanyaan. Misalnya dalam paragraf di bawah ini:
Pendidikan yang telah membungkus kenyataan lewat selimut kata-kata dan retorika saintik. Dan manusia tak lagi mengenali daun dari kelembutan bulunya, atau embun yang membasahi permukaannya. Daun telah mengalami metamorfosa, secara semantik maupun gramatik. Kita sudah tak lagi memiliki daun, sebagaimana kita tak lagi memiliki dunia ini. (Radhar, 2001)
Paragraf ini cenderung mirip puisi dan saya yakin tak semua pembaca bisa mengerti. Sedangkan paragrap lain yang menyusun tulisan ini juga banyak diperindah dengan berbagai metafora. Memang sebuah tulisan diciptakan dengan latar belakang yang spesifik. Dengan target pembaca yang spesifik pula. Lalu, apa komentar Bapak tentang hal ini? Terima kasih.
………………………………..
Sebuah Surat Sederhana
Kritik itu serasa jamu yang bisa dicecap untuk sehat. Kadang pahit tapi manfaat. Mungkin benar kata anda kalau baju yang saya kenakan kadang tak sesuai dengan konteks keadaan. Tapi kalau saya nyaman memakainya, kenapa tidak? Masalah bagaimana orang memandang saya, itu menjadi pilihan mereka. Toh setiap orang pasti punya perspektif mereka masing-masing.
Saya bukanlah orang yang begitu saja nurut dengan kaidah-kaidah kepenulisan dalam pembuatan artikel formal, paper, karya ilmiah dan sebagainya. Meskipun hal itu sangat penting dan diperlukan. Tulisan itu kata anda harus disesuaikan dengan permintaan. Tidak hanya terpaku pada satu gaya. Harus fleksibel dan sesuai konteks. Semua itu memang benar. Tapi aturan itu menurut saya hanya akan mematikan kreatifitas dalam penggunaan kata-kata. Mematikan usaha eksplorasi penggalian makna dengan menggunakan kata-kata yang kalau tidak baku dianggap kurang tepat dalam kaidah penulisan yang ‘serius-serius’ itu.
Kata anda juga, saya ini sering baca sastra sampai gaya kepenulisan sastra mempengaruhi gaya kepenulisan saya, bahkan ketika disuruh bikin artikel formal sekalipun. Bukannya saya anti pati dengan yang baku-baku, bagaimanapun juga yang seperti itu memang masih dibutuhkan. Karena berangkat dari tradisi sastra tadi, saya harus berusaha keras ketika membuat karya yang ‘serius’. Berusaha keras untuk mengolah kembali struktur kalimat dan penggunaan kata dalam proses editingnya. Kesulitan ini terkadang saya jumpai ketika dihadapkan pada penulisan paper sebagai tugas kuliah. Tapi kadang saya masih suka ‘nakal’ dengan tetap memasukkan anasir sastra dalam tulisan yang formal. Rasanya lebih enjoy dan mempengaruhi tingkat kepuasan saya ketika membaca kembali hasilnya.
Menulis bagi saya bukanlah jalan untuk mengikatkan diri dengan aturan yang baku tadi. Menulis adalah upaya untuk menyampaikan pesan, gagasan kepada pembaca. Kalau pembaca bisa menangkap pesan yang dituliskan, apapun gaya kepenulisannya, kenapa dikatakan tidak tepat apabila menulis artikel formal dengan gaya sastra? saya rasa itulah esensi menulis. Tapi saya sadar juga bahwa semua hal tidak bisa digeneralisasikan untuk semua. Tulisan tidak bisa menganut mahzab ‘satu untuk semua, dimana saja dan kapan saja’. Toh suatu saat kita akan tetap dituntut untuk menulis “serius”.
Perasaan ini mungkin timbul karena kebosanan saya ketika membaca tema yang berat apalagi dengan banyak sekali istilah dan penggunaan diksi yang sulit dimengerti. Setiap hari dihadapkan dengan buku-buku politik yang tebalnya bisa dua kalinya Syirah Nabawiyah. Pembaca bisa dengan mudahnya meninggalkan tulisan seperti itu, termasuk saya sendiri.
Bagi saya, menulis dengan gaya seperti ini adalah sebuah capaian estetik tersendiri yang sudah sepantasnya diapresiasi. Itu juga berarti bahwa penulis telah melewati proses dan tahapan kreatif tertentu yang berbeda dengan penulis lain. Menulis dengan gaya sastra adalah sebuah kekuatan. Namun saya sadar juga kalau kekuatan itu bisa menjadi kelemahan dalam kondisi tertentu. Misalnya dalam lomba yang mensyaratkan hal-hal tertentu dalam menulis atau ketika harus dihadapkan dengan redaksional media. Sebenarnya saya bisa lho menulis ‘serius’, tugas kuliah yang setumpuk tiap minggunya itu telah menjadi bukti karya-karya saya. Hanya kadang saya bosan juga ketika setiap hari dibebani dengan menulis yang seperti itu. Sedangkan menulis dengan gaya seperti ini adalah sebuah keasyikan tersendiri.
Ketika orang pesen soto tapi malah dikasih rawon. Pesanan itu bisa saja dikembalikan. Tapi ya… sapa tau rawon rasa soto lebih enak daripada kedua resep tadi. Biarkan proses ini mengalir…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar