Kamis, 11 Desember 2008

Peran Negara dan Pasar dalam Kasus Privatisasi PT. Indosat

Peran Negara dan Pasar dalam Kasus Privatisasi PT. Indosat

Oleh: Ratna Puspita Dwipa Nugrahhani / 21856

Pendahuluan

Kajian pemerintahan mulai mengalami pergeseran ketika negara tidak lagi dimaknai sebagai aktor yang tunggal. Perkembangan kajian pemerintahan mulai memaknai negara sebagai arena tempat berinteraksinya berbagai aktor (model pluralis). Perkembangan konsep tentang negara tersebut diperkaya dengan wacana demokrasi yang memahami negara tidak hanya sebagai satu-satunya instrumen pengelolaan kepentingan publik. Negara juga dimaknai sebagai instrumen yang penuh kelemahan dalam mengelola kepentingan publik sehingga kajian pemerintahan mulai keluar dari domain negara dengan melibatkan aktor lain seperti pasar. Dalam konteks yang senada dengan liberalisme, negara juga diwajibkan melakukan pembagian kekuasaan terhadap aktor-aktor lain untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan.

Dalam perkembangannya, minimalisasi peran negara mulai ditunjukkan dengan optimalnya peran pasar dalam pengelolaan urusan publik. Negara hanya bersifat sebagai penjaga malam melalui berbagai bentuk regulasinya. Negara berfungsi sebagai perangkat administrasi yang tetap mempunyai kekuasaan melalui legitimasi yang diterima dari masyarakat. Peran negara hanya sekadar meregulasi dan membiarkan tangan pasar bekerja sehingga kesejahteraan dibayangkan akan muncul dengan sendirinya melalui mekanisme tersebut.

Demokrasi liberal mulai memperlihatkan penekanannya terhadap perlunya pembatasan kekuasaan negara. Kekusaan negara tidak lagi terpusat pada satu entitas aktor yaitu pemerintah. Di satu sisi, pasar dipandang sebagai sarana yang paling efektif dalam pengelolaan dan distribusi kekuasaan. Pasar diandaikan bisa menjadi salah satu medium pengelolaan kepentingan publik dimana masyarakat bisa melakukan berbagai bentuk transaksi yang saling menguntungkan. Pasar memiliki mekanisme seperti supply-demand, tawar menawar, kesukarelaan dan adanya konsep tentang usaha untuk meminimalisasi resiko dan memaksimalkan keuntungan. Beberapa prinsip pasar tersebut dinilai efektif apabila diterapkan dalam logika pemerintah dalam mengelola kepentingan publik.

Liberalisme yang terjadi membuat konsep negara dan pasar tidak bisa dipisahkan lagi secara tegas. Meskipun masing-masing entitas mempunyai logika yang sangat berbeda namun dalam perkembangannya, keduanya saling meminjam logika untuk menutupi kelemahan masing-masing. Sebagaimana dijelaskan Nils Brunsson dalam sebuah artikelnya, perkembangan institusi dan organisasi dunia semakin menunjukkan adanya politisasi dan kompanisasi yang semakin mengaburkan batas antara negara dan pasar. Kedua institusi tersebut saling melakukan adaptasi untuk merespon dinamika yang selalu terjadi.[1]

Salah satu bentuk adanya liberalisme dan penyerahan sebagian kekuasaan negara terhadap pasar adalah privatisasi. Tulisan ini akan berusaha menjawab pertanyaan tentang bagaimana peran negara dan pasar dalam kasus privatisasi, dengan contoh kasus privatisasi PT. Indosat. Bagian pertama dari tulisan ini akan menjelaskan makna dan tujuan privatisasi kemudian tulisan ini akan sedikit menguraikan jalannya kasus privatisai PT. Indosat dengan berbagai permasalahan yang muncul. Bagian kedua akan mencoba menganalisis peran negara dan pasar dalam kasus ini serta perubahan politik yang terjadi. Sedangkan pada bagian akhir berupa kesimpulan kajian.

Pengertian dan Tujuan Privatisasi

Salah satu definisi privatisasi datang dari Cho Chang-hyun. Bagi Cho Chang-hyun, privatisasi mempunyai tiga definisi dasar. Pertama, privatisasi didefinisikan sebagai partisipasi dari sektor privat dalam menyediakan kebutuhan publik. Kedua, privatisasi merupakan hubungan kontraktual antara pemerintah dan sektor privat sebagai landasan bagi sebuah ketetapan pelayanan. Ketiga, privatisasi merupakan proses pengembangan dari sektor privat agar memperoleh fasilitas dan kesempatan untuk menyediakan pelayanan publik (Chang-hyun, 1999:37).[2]

Dari pengertian di atas, jelas bahwa privatisasi merupakan salah satu bentuk proses minimlisasi peran negara dengan menyerahkan urusan pelayanan publik terhadap pihak swasta dengan harapan semakin meningkatkan efektifitas pelayanan. Privatisasi juga dilakukan dengan harapan adanya pengembangan sektor privat dan peningkatkan pendapatan negara.

Selain itu, privatisasi sendiri didefinisikan sebagai penyerahan kontrol efektif dari sebuah perseroan kepada manajemen dan pemilik swasta yang biasanya terjadi apabila mayoritas saham perusahaan tersebut dialihkan kepemilikannya kepada swasta. Dengan privatisasi tersebut, terjadi perubahan peran pemerintah dari pemilik dan pelaksana menjadi regulator dan promotor kebijakan. Selanjutnya para manajer akan bertanggung jawab kepada pemilik baru. Pemilik baru diharapkan akan mengejar pencapaian sasaran perusahaan dalam kerangka regulasi perdagangan, persaingan, keselamatan kerja, dan peraturan lainnya yang ditetapkan pemerintah. Termasuk kewajiban pelayanan masyarakat. Pemilihan metode dan waktu privatisasi itu sendiri biasanya ditetapkan dengan mengacu kepada kondisi pasar dan kebijakan regulasi sektoral (Tempo, 24/03/2002).

Pelepasan saham kepemilikan pemerintah dalam privatisasi tersebut dimaksudkan bukan hanya untuk mendapatkan penerimaan negara demi menambal defisit APBN saja. Tapi juga untuk meningkatkan kinerja BUMN itu sendiri, selain mempercepat penerapan prinsip-prinsip good corporate governance, membuat akses ke pasar internasional, juga transfer pengetahuan dan transfer base practise kepada BUMN, serta transfer etos kerja dari kultur lama ke kultur baru. Itulah tujuan dari privatisasi.

Kasus Privatisasi PT. Indosat dan Permasalahan yang Muncul

Latar belakang kasus ini adalah keinginaan pemerintah untuk menutup kekurangan APBN. Privatisasi dalam bidang telekomunikasi tersebut akhirnya dilakukan. Namun yang kemudian menjadi persoalan di sini, privatisasi PT. Indosat disinyalir banyak mengandung muatan politis, kepentingan praktis dan dilakukan secara tidak transparan. Banyak pihak yang kemudian pro dan kontra terhadap kasus ini.

Kasus ini diawali pada 15 Desember 2002 ketika pemerintah melepas 42 persen sahamnya di Indosat kepada STT senilai US$ 630 juta atau Rp 5,62 triliun. STT menyingkirkan saingan terdekatnya Telekom Malaysia yang menawar Rp 12.500 persaham. Dengan adanya penjualan saham tersebut, dikhawatirkan akan terjadinya monopoli di sektor telekomunikasi seluler, sebab selain memiliki Indosat yang membawahkan Satelindo dan IM3, induk perusahaan STT yaitu Temasek telah pula mengakuisisi 35 persen saham PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) lewat anak perusahaan lainnya, Singapore Telecommunication (SingTel). Muatan politis terlihat dari adanya sikap Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi yang tidak pernah memberitahukan kepada publik bahwa yang sebenarnya menjadi investor dan menandatangani shareholder agreement dengan pemerintah adalah Indonesia Communication Limited (ICL). ICL adalah sebuah entitas bisnis yang dibentuk STT dan berpusat di Mauritus.

Permasalahannya, harga yang ditetapkan pemerintah untuk setiap lembar saham PT. Indosat sebesar Rp 12.950,00 dianggap tidak normal. Bahkan jauh di bawah kisaran harga saham PT. Indosat di bursa saham. Pada kondisi normal, harga saham PT. Indosat bisa mencapai kisaran Rp 18.000,00 untuk setiap lembarnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemerintah mengalami kerugian sebesar Rp 5.050,00 untuk setiap lembar saham PT. Indosat yang dijual melalui proses privatisasi.

Kehadiran program privatisasi terhadap perusahaan-perusahaan negara (di Indonesia dikenal dengan nama BUMN) bisa dibenarkan jika mampu mewujudkan dua misi (Joseph E. Stiglitz, 2002), yakni pertama, menciptakan perusahaan-perusahaan yang lebih efisien. Kedua, memberikan harga yang murah kepada konsumen. Misi untuk menciptakan perusahaan yang efisien tersebut tampaknya perlu dipertanyakan lagi. Kasus ini juga bisa menggambarkan kepentingan pragmatik pemerintah yang terkesan terburu-buru dalam melakukan privatisasi.

Sepengetahuan kita perusahaan ini adalah perusahaan yang sehat. Indosat merupakan perusahaan pembayar pajak terbesar dan pembayar deviden yang sangat besar secara rutin tiap tahun. Bisa dikatakan juga apabila kasus ini telah melanggar UU. No.19 tahu 2003 tentang penggunaan standar kriteria yang menyangkut derajat efektifitas dan derajat fungsi sosial yang tinggi.

Tahun 1999 Indosat membayar pajak sebesar Rp 80 miliar dan membayar dividen sebesar Rp 120 miliar. Tahun 2000 membayar pajak sebesar Rp 480 miliar dan membayar dividen sebesar Rp 610 miliar dan tahun 2001 membayar pajak sebesar Rp 700 miliar dan membayar dividen Rp 705 miliar. Total pembayaran pajak dan dividen dari tahun 1999-2001 sebesar 2,695 triliun, suatu jumlah yang cukup signifikan.[3] Di lihat dari fungsi sosialnnya, PT. Indosat juga memiliki derajat fungsi sosial yang tinggi. PT. Indosat merupakan satu-satunya BUMN yang diberi kewenangan untuk melakukan monopoli penyediaan jasa telekomunikasi luar negeri di Indonesia. Melalui monopoli ini, tentu tudak mungkin bagi kita untuk menjustifikasi bahwa PT. Indosat tidak mengusai hajat hidup orang banyak di ranah komunikasi.[4]

Proses Privatisasi PT. Indosat banyak menimbulkan berbagai isu lain. Salah satunya adalah adanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan pragmatis. Kasus privatisasi yang terjadi menjelang pemilu 2004 banyak disinyalir memiliki kepentingan politis. Timbulnya kecurigaan ini disebabkan begitu banyak pihak yang mengaku bisa mengatur lancarnya proses divestasi. Ada mitra lokal (local partner) yang secara terang-terangan menjual kedekatan mereka dengan pejabat tinggi. Ada juga pejabat pemerintah, anggota partai politik, pejabat Indosat, anggota DPR, anggota serikat buruh, yang juga mencoba terlibat secara langsung dalam kapasitas pribadinya di dalam proses divestasi ini. Meskipun mereka datang dari latar belakang dan profesi yang berbeda, hampir semua menawarkan hal yang sama, yaitu kemudahan dan konsesi pada calon investor untuk menjadi pemenang proses divestasi.

Isu yang kedua adalah isu karyawan. Di dalam negosiasi dengan investor, pihak pemerintah atau manajemen berhasil mendapatkan suatu term yang sangat baik untuk karyawan. Karyawan akan mendapatkan kompensasi yang jauh lebih tinggi dari yang ditentukan dalam peraturan pemerintah (tiga kali dari yang diatur dalam peraturan Menteri Tenaga Kerja), apabila terjadi rasionalisasi pegawai dan juga coba meminimalisasi terjadinya pemecatan. Maraknya tuntutan serikat pekerja, meskipun term sangat baik ini, sangatlah mengejutkan. Perjuangan yang benar bagi serikat pekerja bukanlah semata-mata menolak divestasi, tetapi yang lebih penting adalah menjamin kesinambungan perusahaan dan kesejahteraan karyawan itu sendiri.

Peran Negara dan Pasar dalam Kerangka Perubahan Politik

Banyak kacamata yang bisa digunakan dalam melihat kasus privatisasi PT. Indosat. Apabila dilihat dari bentuk hubungan negara dan pasar, kasus ini memperlihatkan adanya distorsi peran negara yang sebelumnya berkepentingan untuk meningkatkan pelayanan publik dan menutup anggaran namun justru banyak diwarnai penyelewengan dalam tindakan pragmatik para aktor yang berperan. Pasar dalam hal ini tidak dapat sepenuhnya terinstitusionalisasi. Demikian juga halnya negara yang justru tidak dapat menjalankan fungsi regulasinya dengan baik.

Perubahan politik terjadi manakala terdapat perubahan yang menyangkut pola relasi kekusaan. Dalam kasus privatisasi PT. Indosat, perubahan politik yang terjadi terkait erat dengan perubahan pola penguasaan sumber daya, dalam hal ini modal dalam bentuk saham. Sumber daya modal yang semula dikusasi oleh pemerintah beralih ke sektor swasta melalui penjualan saham. Perubahan politik dalam pengusaan sumber daya ini berdampak pada peran negara dalam pengelolaan BUMN. Negara dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya yaitu menutup defisit APBN melakukan sharing kekuasaan dengan pihak swasta. Namun dalam pelaksanaannya, proses ini tidak dibarengi dengan pengaturan hukum yang jelas sehingga proses privatisasi lebih bernuansa politik daripada usaha untuk mewujudkan tujuan privatisasi yang sebenarnya.

Negara tidak bisa melakukan perannya sebagai regulator yang baik. Kepentingan pragmatik berbagai aktornya mendistorsi kekusaan negara secara berlebihan. Banyak analisis yang menyatakan bahwa privatiasasi dalam bidang telekomunikasi sebaiknya dilakukan dengan hati-hati. Usaha pemerintah untuk menghindari monopoli di bidang telekomunikasi justru bisa menjadi bumerang dengan adanya monopoli baru. Secara sederhana dikatakan bahwa BUMN dalam banyak kasus sering menerima privilege (kekhususan) monopoli. Akibatnya, mereka sering terjerumus menjadi tidak efisien karena hak istimewa ini (lihat misalnya, Stiglitz 2000; Hanke dan Walters 1994; serta Dunleavy 1986).[5] Namun dengan penjualan saham di atas 40 persen justru akan menimbulkan monopoli baru dan juga berbahaya karena dengan menguasai telekomunikasi, timbul kekhawatiran bahwa perusahaan asing bisa mengetahui rahasia negara.

Selain itu, kurangnya sosialisasi dan transparansi dari pemerintah menyebabkan kasus Pvitasisasi PT. Indosat ini semakin bermasalah. Negara seharusnya bisa menjaga peran dan hubungannya dengan masyarakat melalui berbagai bentuk proses akomodasi tuntutan dan dukungan. Pemerintah dalam mengambil kebijakannya seharusnya Tidak hanya mengutamakan kepentingan ekonomi, yaitu menutup defisit anggaran tetapi juga memperhatikan akibat jangka panjang yang mungkin terjadi dengan adanya divestasi saham BUMN di atas 40 persen tersebut. Resiko yang diambil pemerintah sebenarnya bisa diminimalisir dengan penyediaan regulasi dan kriteria privatisasi yang jelas. Dalam hal ini, transparansi dan sosialisasi sangat diperlukan untuk menjaga kepercayaan masyarakat.

Peran pasar yang mengedepankan kompetisi dan persaingan sehat pun tidak bisa berjalan optimal tanpa adanya kebijakan pendukung dari pemerintah seperti adanya kriteria privatisasi yang jelas dari pemerintah. Peran pasar di sini berusaha untuk menawarkan konsepnya yang cenderung lebih efektif dalam pengelolaan perusahaan apabila dibandingkan dengan pengelolaan pemerintah. Pasar memiliki efektifitas kinerja yang dimungkinkan bisa merestukturisasi pengelolaan BUMN.

Scherer dan Ross dalam Industrial Market Structure And Economic Performance (1990) melukiskan struktur pasar dalam konteks keterhubungan antara kondisi dasar yang

melandasi aktivitas ekonomi, perilaku pasar, dan kinerja perekonomian. Kondisi dasar merupakan pertautan antara unsur–unsur yang menjadi penentu sifat dua sisi perkonomian: penawaran dan permintaan. Scherer dan Ross selanjutnya menjelaskan pula bahwa pada gilirannya struktur pasar akan mempengaruhi tingkah laku (conduct) pelaku pasar terutama dalam hal sikapnya terhadap kebijakan harga, strategi pengembangan usaha, serta reaksi terhadap regulasi. Tingkah laku yang diwujudkan dalam strategi maupun operasional baik secara individu maupun agregat akan mempengaruhi kinerja perusahaan maupun perekonomian. Dalam konteks ini akan terlihat apakah pasar sudah efisien atau masih banyak kemubasiran yang sengaja atau tidak diciptakan oleh pelaku pasar.

Dengan pola pemikiran di atas, akan terlihat pola hubungan antara negara dan pasar. Negara secara langsung akan memfasilitasi masuknya pasar dengan menyediakan produk kebijakan publik seperti misalnya perijinan, perpajakan, standar peralatan dan layanan, interkoneksi, penetapan tarif, kompetisi versus monopoli, dan lain–lain. Hal ini diperkuat oleh masih adanya anggapan bahwa telekomunikasi tergolong sektor strategis yang pengelolaannya membutuhkan keterlibatan intensif pemerintah dalam bentuk pengawasan dan pengaturan. Sedangkan pasar berusaha untuk menawarkan mekanismenya yang lebih efektif dan efisien dalam pengelolaan perusahaan apabila dibandingkan dengan pemgelolaan negara.

Tujuan dan hubungan yang ideal antara negara dan pasar dalam kasus privatisasi PT. Indosat di atas tampaknya belum bisa berjalan secara sinergis. Negara dan pasar belum bisa saling mengadaptasi terhadap kepentingan banyak pihak. Privatisasi justru akan menguntungkan pihak swasta yang berorientasi pada profit dan mengorbankan kepentingan pihak lain seperti konsumen dan karyawam PT. Indosat yang terancam diberhentikan dalam rangka efisiensi.

Kesimpulan

Kebijakan privatisasi diambil oleh pemerintah untuk mewujudkan good corporate governance, meningkatkan kinerja BUMN yang akan diprivatisasi, meningkatkan akses ke pasar internasional, dan menutup defisit APBN. Tujuan ini tampaknya tidak bisa tercapai karena yang terjadi justru banyaknya permasalahan yang muncul. Privatisasi sebenarnya merupakan salah satu konsep liberalisme yang apabila bisa dilakukan secara ideal akan mendatangkan manfaat bagi kedua belah pihak yaitu negara dan pasar.

Dalam proses Privatisasi PT. Indosat, masing-masing aktor yaitu negara dan pasar berusaha untuk menjalankan perannya. Namun dalam kasus ini, privatisasi justru menggambarkan adanya distorsi peran masing-masing aktor. Peran negara banyak terdistorsi oleh kepentingan politis yang bersifat pragmatik sedangkan peran pasar tidak bisa berjalan secara optimal karena secara umum kebijakan privatisasi tidak berada dalam kejelasan regulasi dan kriteria yang jelas. Hubungan antara negara dan pasar tersebut bisa diperbaiki apabila masing-masing aktor melaksanakan perannya dalam wilayah yang spesifik secara maksimal. Tidak hanya karena kepentingan ekonomi, negara seharusnya juga memperhatikan kepentingan sosial seperti permasalahan karyawan dan penilaian konsumen.

Privatisasi bisa saja digambarkan sebagai alat liberalisme untuk mengimplementasikan pemikiran dan prakteknya. Namun ketika hal ini bisa dijalankan secara ideal dan mendatangkan manfaat, negara seharusnya mampu memaksimalkan perannya untuk menyediakan regulasi yang mendukung. Masalahnya adalah, rasionalitas aktor politik dan ekonomi di Indonesia masih tinggi sehingga justru menghambat proses liberalisme dalam kerangka peningkatan efektifitas pengelolaan BUMN dan menutup defisit APBN. Pemerintah dalam konteks perkembangan global seharusnya bisa lebih responsif dan adaptif sehingga segala bentuk mekanisme privatisasi bisa dilaksankan sebagaimana yang diidealkan.

Referensi:

Brunsson, Niels. 1994. Politicization and ‘company-ization—on institutional affiliation and confusion in the organizational world. Management Accounting Research.

Ikhsanto, Miftah Adhi. 2006. Privatisasi dan Institusionalisasi Pasar Domestik dalam Mugasejati, Nanang Pamuji dan Ucu Martanto (ed). Kritik Globalisasi dan Neoliberalisme. Yogyakarta: Fisipol UGM.

Irawan, Andi. Resistensi Privatisasi Indosat, available at http://www.sinarharapan.co.id/berita/0301/06/opi02.html

Prasetiantono, A Tony dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0306/25/finansial/391627.htm

Koran Tempo edisi 24 Maret 2002.



[1] Lihat artikel Niels Brunsson. Politicization and ‘company-ization—on institutional affiliation and confusion in the organizational world. Management Accounting Research, 1994, 5, 323-335.

[2] Miftah Adhi Ikhsanto. Privatisasi dan Institusionalisasi Pasar Domestik dalam Nanang Pamuji dan Ucu Martanto (ed). Kritik Globalisasi dan Neoliberalisme. (Yogyakarta: Fisipol UGM, 2006). Hal 207.

[3]Andi Irawan. Resistensi Privatisasi Indosat, available at http://www.sinarharapan.co.id/berita/0301/06/opi02.html

[4]Miftah Adhi Ikhsanto. hal. 217

Tidak ada komentar:

Posting Komentar