Kamis, 11 Desember 2008

Presidensialisme di Indonesia: Sebuah Pilihan dan Dilema

Presidensialisme di Indonesia: Sebuah Pilihan dan Dilema

Oleh: Ratna Puspita Dwipa Nugrahhani / 21856

A. Pengantar

Sebuah sistem pemerintahan demokratis lahir seiring dengan munculnya perspektif dispersion of power. Perspektif yang mengharuskan adanya pembagian kekuasaan dalam pemerintahan untuk menghindari adanya pengepulan kuasa di satu tangan. Dispersion of power merupakan salah satu implikasi dari asumsi dasar Lord Acton yang mengatakan bahwa kekuasaan cenderung melahirkan korupsi dan kekuasaan yang absolut akan cenderung menimbulkan penyimpangan yang absulut juga. Trend demokratisasi yang sedang berlangsung berdampak pada munculnya sistem pemerintahan yang demokratis. Dan salah satu sistem pemerintahan yang dianggap demokratis adalah sistem pemerintahan presidensial yang dicoba diadaptasikan di Indonesia.

Sistem presidensial sebagai pilihan sistem pemerintahan di Indonesia telah melalui proses perdebatan panjang dari para founding fathers dengan memahami konteks Indonesia pada masa itu. Namun perdebatan ini seakan terhenti dan tidak pernah dibicarakan pada masa kini. Indonesia telah menemukan pilihannya yaitu sistem pemerintahan presidensial. Melihat konteks Indonesia yang sangat plural dan dengan sistem multi partai—timbul pertanyaan apakah pilihan Indonesia sudah tepat atau justru menimbulkan banyak dilema dan permasalahan dalam prakteknya.

Presidensial merupakan sebuah sistem pemerintahan dimana president as a single chief excecutive. Kekuasaan eksekutif berada di tangan seorang presiden dan tidak terbagi. Pertimbangan-pertimbangan yang mungkin dipikirkan ketika Indonesia memilih sistem presidensial, beberapa diantaranya adalah: kekuasaan presiden lebih terlegitimasi karena dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu, adanya paralelisme antara lembaga eksekutif dan legislatif, mendukung berlangsungnya checks and balances dan saling supervisi untuk mencegah penyimpangan kekuasaan. Besarnya kekuasaan presiden akan mempercepat pengambilan keputusan dan kebijakan tertentu. Dan masa jabatan presiden yang pasti memungkinkan terjadinya stabilitas pemerintahan, dibandingkan dengan sistem parlementer dimana perdana menteri bisa dijatuhkan sewaktu-waktu. Sistem presidensial cenderung lebih stabil. Hal ini sesuai dengan data yang menunjukkan bukti bahwa sampai tahun 1985, 13 dari 40 rejim (31%) negara dunia ketiga yang menganut sistem parlementarian—jatuh akibat kudeta atau revolusi. (Riggs:1993)[1]

Beberapa kelemahan nampaknya juga telah menjadi pertimbangan seperti adanya kecenderungan sistem presidensial untuk berubah menjadi autoritarianisme. Mekanisme presiden dan legislatif sebagai dua struktur yang paralel bisa membuka kemungkinan deadlock dalam proses pemerintahan dan bisa mengurangi derajat akuntabilitas pemerintah dimana antara presiden dan legislatif bisa saling menyalahkan. Kelemahan lain adalah, dalam sistem ini—sulit menjatuhkan presiden yang kurang mempunyai kemampuan untuk memimpin sampai dengan masa jabatan yang bersangkutan berakhir.[2]

Kemudian bagaimanakah implementasi sistem presidensialisme di Indonesia? Tulisan ini akan mencoba sedikit mengulas dilema dan permasalahan implementasi sistem presidensial di Indonesia. Beberapa kasus akan membantu menggambarkan permasalahan-permasalahan mendasar dalam praktek presidensialisme di Indonesia. Khususnya, dilema hubungan eksekutif dan legislatif dan permasalahan internal eksekutif dalam konteks multi partai.

B.Analisa

Sistem presidensial yang diadopsi banyak negara berkembang khususnya Asia dan Amerika Latin merupakan usaha untuk menjaga kestabilan sistem sebagaimana pemerintahan Amerika Serikat. Namun sistem yang diadopsi ini justru banyak menimbulkan masalah karena tidak memperhatikan konteks yang berbeda dari masing-masing negara. Amerika Serikat adalah sebuah pengecualian dimana sistem presidensial bisa diimplementasikan berdasarkan prosedur sehingga kestabilan sistem bisa terjaga.

Diantara kelemahan-kelemahan yang telag disebutkan diatas, hubungan antara eksekutif dan legislatif adalah salah satu problem dasar dalam sistem presidensial. Kedudukan yang paralel antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam konteks Indonesia justru banyak menimbulkan masalah. Latar belakang sistem multi partai adalah salah satu penyebabnya. Karakter partai di Indonesia yang bersifat sentrifugal dan amubais membuat kebijakan-kebijakan yang akan diambil presiden seakan dibayang-bayangi oleh kepentingan-kepantingan partai di legislatif. Seluruh partai tersebut ingin diakomodasi kepentingannya dan apabila kepentingan-kepentingan tersebut tidak terpenuhi—presiden akan kehilangan dukungan dari partai-partai tersebut. Dalam kondisi ini, rancangan undang-undang yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif bukan lagi menjadi instrumen untuk menegakkan aturan melainkan sebuah komoditas yang bisa diperjual belikan untuk mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu.

Sistem pemerintahan parlementarianisme sebenarnya lebih cocok diterapkan dalam konteks pluralisme dan multi etnis seperti Indonesia. Dengan pilihan sistem presidensial, Indonesia harus siap dengan berbagai konsekuensinya. Sistem multi partai yang terfragmentasi dan cenderung sentrifugal sebenarnya kurang efektif untuk mendukung sistem presidensial namun adakalanya sistem multipartai juga melahirkan checks and balances antara eksekutif dan legislatif.

Permasalahan yang mungkin muncul adalah, sistem multi partai biasanya merujuk pada pemerintahan minoritas. Ada dua kemungkinan. Pertama, pemerintah yang terdiri dari pluralitas aktor dengan latar belakang berbeda yang dalam pembentukan pemerintahan, tidak ada mayoritas absolut suara. Kedua, ketika pemerintah harus menghadapi lawan mainnya yang mayoritas menduduki kursi legislatif. Pemerintah minoritas semacam ini hampir tidak dapat dihindari karena adanya dinamika yang melekat pada sistem multi partai yang sentrifugal seperti di Indonesia.

Dalam konteks multi partai, presiden yang secara konstitusi telah kuat kedudukannya, bisa menjadi “lame duck” yang hanya menyetujui kemauan legislatif. Kasus yang terjadi di Indonesia hampir sama seperti pernyataan Mainwaring bahwa dalam demokrasi presidensial di Amerika Latin, presiden bisa saja menginisiasi kebijakan tetapi jarang mendapat dukungan untuk mengimplementasikannya. Lemahnya presiden di Indonesia bisa dijelaskan pula dengan keadaan ketika terdapat “the winner take all” sindrome. Seperti yang ditulis Juan Linz, sindrome ini cenderung mengakibatkan a zero-sum games politik yang akan menimbulkan konflik. Akan banyak sekali orang atau partai yang merasa kalah dan merasa kehilangan semuanya ketika presiden terpilih. Akibatnya, lawan politik dari nominasi presiden yang kalah akan berusaha untuk menggangu kestabilan sistem. Frustasi dari mereka yang kalah bisa menjelma menjadi resistensi daripada menjadi kelompok oposisi yang loyal terhadap rejim. Presiden bisa saja dialienasi dengan tidak didukung semua kebijakannya—dalam keadaan seperti ini presiden bisa dikatakan sebagai “the dead duck” (1990, 56).[3]

Contoh nyata dari keadaan ini adalah adanya penggunaan hak interpelasi DPR menyangkut resolusi PBB terhadap Iran yang disetujui oleh Indonesia. Pada saat sidang paripurna, Presiden tidak dapat hadir dan diwakilkan oleh menteri-menterinya untuk memberi keterangan. Hal ini sebenarnya telah sesuai dengan tata tertib dan prosedur yang dibuat DPR bahwa Presiden bisa diwakilkan. Namun, interpelasi DPR justru membahas kenapa Presiden tidak hadir. Presiden justru dianggap tidak menghormati DPR dan sebagainya. Fraksi yang bersuara keras adalah mereka yang justru berasal dari partai koalisi presiden saat pemilu. Bisa jadi kasus ini adalah sebuah embrio awal untuk melakukan impeachment terhadap presiden. Tantangan yang besar pula dalam sistem presidensial bagaimana presiden bisa menjaga koalisi setelah pemilu. Jangan-jangan, partai yang dulu mendukung presiden, setelah mendapat kursi di DPR malah menentang kebijakannya.

Koalisi yang dibentuk dan sistem presidensial multi partai adalah semacam koalisi ad hoc yang kemudian bisa terpecah dan menolak kebijakan presiden. Sebagaimana opini Mainwaring, “The combination of presidentialism and a fractionalized multiparty system is especially unfavorable to democracy” (Mainwaring 1990b, 25).[4]

Dilema dan permasalahan dalam sistem pemerintahan presidensial, tidak hanya menyangkut masalah hubungan antara eksekutif dan legislatif. Tetapi juga masalah lembaga internal eksekutif. Dimana menteri-menteri dalam kabinet pemerintah juga berasal dari partai-partai yang berbeda dengan segala kepentingannya. Konstitusi telah menjelaskan bahwa menteri tidak menjabat sebagai anggota DPR, namun tidak ada yang bisa menjamin bahwa para menteri tersebut benar-benar bisa setia terhadap Presiden. Bisa jadi mereka masih loyal terhadap partainya dan berusaha mengakomodasi kepentingan partai tertentu melalui jabatannya.

Kerumitan permasalahn dalam lembaga internal eksekutif sangat terlihat dalam kasus reshuffle kabinet yang baru saja dilakukan bulan Mei oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam konstitusi—selain dipilih langsung, presiden terpilih akan memegang jabatannya untuk jangka waktu lima tahun. Posisi presiden amat kuat sebab ia tidak bisa dihentikan di tengah jalan oleh MPR karena alasan politik yang multitafsir. UUD 1945 hasil amandemen ketiga mengatur, presiden dan/atau wakilnya hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya bila (i) melakukan pelanggaran hukum berat, (ii) perbuatan tercela, atau (iii) tidak memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden (Jimly Asshidiqie, 2002).[5] Dengan kekuatan konstitusi semacam ini, seharusnya presiden tidak perlu terlalu menanggapi keinginan-keinginan partai politik di DPR dan kabinetnya. Namun yang terjadi dalam kasus reshuffle kabinet adalah, banyak sekali muatan politik dari partai-partai yang ingin menterinya mendapat kedudukan. Beberapa pakar menilai bahwa reshuffle kali ini lebih banyak mengandung muatan politis daripada mengakomodasi kepentingan masyarakat. Salah satu Indikatornya adalah ketika hampir tidak ada menteri perekonomian yang diganti. Padahal, telah lama rakyat mendambakan peningkatan perekonomian di sektor riil.

Beberapa partai politik juga sepakat bahwa kinerja SBY-JK dinilai “kaya janji, miskin prestasi”. Rheshuffle kabinet yang dilakukan diharapkan dapat memperbaiki efektifitas dan kinerja lembaga eksekutif kepresidenan dan kembali mendapat citra yang baik dari masyarakat. Tetapi apa yang terjadi justru menggambarkan bahwa reshuffle kabinet hanya sebagai anjang bagi-bagi kekuasaan—bukan dalam arti dispersion of power yang sebenarnya, tetapi merupakan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan politik SBY menjelang pemilu 2009 mendatang.

Susah juga ketika Presiden dan para menterinya tidak bisa kompak untuk melakukan tugas-tugasnya. Mengingat tanggung jawab Presiden yang sangat besar, para menteri seharusnya bisa menjadi perpanjangan tangan dan pikiran dari Presiden. Dalam kasus Indonesia, yang terjadi adalah ketika para menteri hanya sibuk mengurusi kepentingan kelompoknya sendiri. Meminjam analisis dari Indra J. Piliang (researcher, department of politic and social change) nampaknya telah cukup menggambarkan dilema sistem presidensial di Indonesia. Bagaimana seorang SBY menggunakan hak prerogatifnya untuk meningkatkan efektifitas dan kinerja kabinet yang masih bertugas dua setengah tahun kedepan dan bagaiman seorang SBY bisa membangun kerjasama tim internal—the right man and the right place.

Dalam asumsi Indra J. Piliang yang dimuat di Seputar Indonesia, 8 Mei 2007. Indra mencoba melacak satu per satu apakah reshuffle ini benar-benar dilakukan untuk tujuan seperti yang telah disampaikan SBY.

Pertama, pergantian Hamid Awaluddin dengan Andi Matalatta sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) dan Saifullah Jusuf dengan Muhammad Lukman Edy sebagai Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal sama sekali beralasan politik, bukan kinerja. Sebagaimana dijelaskan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi kepada Saifullah, bahwa kinerja Saifullah tidak bermasalah. Yudhoyono, lewat Sudi, hanya mempertanyakan kepindahan Saifullah ke PPP, bukan lagi di PKB. Kalau memang itu alasannya,Yudhoyono layak mempermasalahkan ”kepindahan” Jusuf Kalla untuk memimpin Partai Golkar. Bukan hanya itu,Yudhoyono juga harus mempermasalahkan banyak sekali kepala-kepala daerah yang pindah-pindah partai pada saat menjabat atau menjelang pilkada. Sementara untuk Matalatta adalah pilihan politik yang cermat untuk memberi satu kursi lagi buat Golkar.

Kedua, pencopotan Yusril Ihza Mahendra sebagai Menteri Sekretaris Negara dan Hamid Awaluddin sebagai Menkumham sama sekali juga bukan berlandaskan kinerja, tetapi–kalau boleh menebak–lebih berkaitan dengan desakan publik menyangkut keterlibatan keduanya dalam pencairan dana Tommy Soeharto dengan menggunakan rekening Depkumham. Kalau dari sisi kinerja, Hamid melakukan tugas fenomenal, seperti Nota Kesepahaman antara pihak Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah RI di Helsinki selama beberapa kali. Yusril juga tenggelam dalam permasalahan-permasalahan hukum tata negara yang menyita waktu. Demi politik pencitraan, yakni Yudhoyono tidak mau terus mendapatkan penilaian buruk dari publik atas dugaan kasus yang melanda menterinya, pilihan pergantian diusung.

Ketiga, pergeseran Hatta Rajasa dari Menteri Perhubungan menjadi Menteri Sekretaris Negara justru memperlihatkan peningkatan kedekatan sekaligus prestasi yang cemerlang. Padahal, Hatta didesak untuk diganti oleh publik berdasarkan kinerja yang kurang maksimal di Departemen Perhubungan. Sekalipun alasan betapa Hatta bekerja siang malam, tetapi aspek the right man on the right place menjadi mengambang. Benar, Hatta bisa belajar dengan cepat, sebagaimana dia tunjukkan selama ini, tetapi penempatan pada posisi Sekretaris Negara yang berhubungan dengan agenda-agenda dan tatanan-tatanan kenegaraan yang berbasiskan hukum (tata negara) memerlukan rekam jejak yang serius. Dengan capaian Hatta sebagai Mensesneg, berarti tidak tepat juga alasan menyebut penggantinya sebagai orang profesional. Bisa saja, dalam logika pertama,orang-orang hukum tata negara menempati pos sebagai Menhub.

Keempat, pergeseran Sofyan Djalil sebagai Menteri Negara BUMN yang dikaitkan dengan prestasinya di Departemen Komunikasi dan Informasi dalam meningkatkan pendapatan negara juga terasa kurang berhubungan. Dari awal, memang diketahui bahwa Djalil ”mengerem” prestasi di Depkominfo karena sejak semula lebih memilih menjadi Meneg BUMN. Peralihan sejumlah perusahaan negara yang dikelola Menkominfo, padahal sebelumnya diurus oleh Meneg BUMN, adalah salah satu cara memberikan pekerjaan- pekerjaan ”mencari keuntungan” kepada Djalil. Djalil jelas orang kepercayaan Yudhoyono, meski hingga hari ini belum mampu memfinalisasi RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik.

Kelima, Masuknya tiga nama baru dalam struktur kabinet, yakni Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung menggantikan Abdurrahman Saleh, Jusman Syafii Djamal menggantikan Hatta Rajasa, dan Muhammad Nuh menggantikan Sofyan Djalil–yang disebut Yudhoyono sebagai orang-orang profesional, bisa dikatakan sebagai ”tim promosi” dari Liga Divisi I menjadi Liga Utama dalam permainan sepak bola. Hendarman dan Djamal adalah dua orang yang pernah bekerja berdasarkan keputusan Presiden, yakni pada Tim Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) dan Tim Nasional Evaluasi Kecelakaan dan Keselamatan Transportasi (Timnas EKKT). Tetapi, prestasi Timtas Tipikor dan Timnas EKKT juga belum menggembirakan. Adapun Muhammad Nuh lebih merupakan representasi kampusnya, Institut Teknologi Surabaya, sebagai penghormatan akademis yang sering dilakukan oleh para Presiden.[6]

Asumsi ini sangat jelas menggambarkan muatan-muatan politik Presiden dengan menggunakan hak prerogatifnya. Salah satu hal yang menarik adalah ketika SBY memasang Andi Mattalata sebagi menteri Hukum dan HAM. Keputusan ini bisa saja diambil karena Andi Mattalata yang sebelumnya merupakan ketua komisi dua di DPR, diharapkan bisa menjadi pelicin bagi proses legislasi. Anggota komisi dua bisa jadi sungkan menghadapi Andi yang tentu saja sangat mereka hormati. Dengan demikian komisi dua DPR tidak akan macam-macam terhadap kebijakan presiden yang sebelumnya komisi ini dinilai pandai melempar issue yang berpengaruh pada seluruh parpol.

Kasus ini sangat jelas menggambarkan dilema presidensialisme yang diterapkan di Indonesia. Proses-proses legislasi dan kebijakan seringkali sangat bermuatan politis. Melalui reshuffle, Presiden seakan ingin memperbaiki hubungannya dengan DPR. Dalam reshuffle kabinet yang dilakukan, dikhawatirkan bukan cheks and balances dalam lembaga pemerintahan yang terjadi melainkan sebuah mekanisme politik perkoncoan. Dimana kedua belah pihak sama-sama diuntungkan. Presiden tetap aman dan partai-partai terakomodasi kepentingannya.

C. Kesimpulan dan Rekomendasi

Implementasi sistem presidensial di Indonesia, jelas menimbulkan banyak dilema. Baik dalam hubungan antara eksekutif dengan legislatif maupun dilema internal lembaga eksekutif. Sistem pemerintahan ini nampaknya tidak akan dikaji ulang. Undang-undang telah menetapkannya sebagai sistem pemerintahan yang tidak mungkin diubah. Namun, melihat dilema-dilema yang terjadi kajian ulang tersebut seharusnya bisa dilakukan. Bukan mengenai bentuk sistem pemerintahannya tetapi bagaimana bisa meminimalisasi permasalahan yang timbul dalam prakteknya.

Dalam sistem presidensial diperlukan seorang presiden dengan kompetensi leadership yang tinggi sehingga tidak terdesak oleh kepentingan-kepentingan politik yang menggerogoti pemerintahannya. Presiden seharusnya bisa mengerem paksaan-paksaan dari partai tertentu untuk mengganti para menteri sesuai kepentingan partai. Dengan dukungan rakyat dan kekuatan konstitusi, Presiden seharusnya bisa lebih tegas dalam mengambil kebijakan-kebijakan—tidak perlu takut terhadap ancaman kelompok kepentinagn tertentu. Melihat berbagai persoalan di atas, Indonesia terlihat telah memilih sistem presidensial dengan bentuk “lame duck”. Selain itu, inkonsistensi regulasi juga menjadi persoalan pokok. Bahasa konstitusi dan sistem kepartaian yang dijalankan merupakan dua bahasa yang berbeda. Kemungkinan besar yang terjadi adalah penyelesaian masalah sistem pemerintahan yang diselesaikan di ranah intermediary. Tentu saja tidak akan ketemu pemecahannya.

Belajar dari sistem presidensial Amerika Serikat yang stabil, banyak hal yang dilupakan oleh konstitusi Indonesian. Meskipun hal yang sangat menentukan dari kestabilan Amerika adalah lingkungan yang tidak bisa diadopsi di negara lain, namun beberapa sistemnya dapat diadopsi di Indonesia seperti adannya tranformasi konstitusional. Amerika Serikat memiliki prosedur yang sangat rinci dan jelas tentang pelaksanaan pemerintahan. Disamping itu, formula yang ditemukan para founding fathers Amerika untuk mencegah penyimpangan kekuasaan adalah adanya jaminan kepentingan para kaum minoritas dan hak sipil politik warga negara. Amerika juga menerapkan disiplin sistem kepartaian ketat yang bisa menjamin mayoritas pendukung Presiden duduk di kongres untuk menghindari dilema hubungan eksekutif dan legislatif.

Dilema sistem presidensial di Indonesia, bukanlah tidak bisa diselesaikan. Ada semacam optimisme bahwa suatu saat sistem pemerintahan presidensial dalam konteks multi partai akan bisa stabil. Perlu sebuah proses panjang melalui konsolidasi sistem pemerintahan. Hal yang perlu dilakukan Indonesia sekarang adalah bagaimana menggeser sistem kepartaian yang sentrifugal menjadi sentripetal untuk mengurangi dilema sistem presidensial. Indonesia perlu juga melakukan reformasi konstitusi untuk memperjelas kedudukan dan wewenang masing-masing lembaga negara. Konstitusi merupakan salah satu alat yang ampuh untuk mengatur tentang bagaimana pembagian kekuasaan seharusnya dilakukan. Adanya lembaga yudikatif yang kuat di Indonesia, sebagai supreme court diharapkan bisa mengurangi dilema dan permasalahan sistem pemeritahan. Lembaga ini sangat diperlukan untuk mencegah adanya penyimpangan, baik yang dilakukan oleh eksekutif dan legislatif. Namun pengawasan internal saja tidak cukup mencegah penyimpangan kekuasaan yang sudah terlembaga. Perlu juga pengawasan dari pihak eksternal seperti masyarkat dan NGO. Dispersion of power di Indonesia yang dijalankan oleh ketiga lembaga tersebut seharusnya telah mampu melahirkan cheks and balances melalui konstitusi dan rule of the game yang jelas. Dalam hal ini, perlukah Indonesia melakukan kajian ulang terhadap sistem pemerintahannya? Banyak tawaran yang bisa digunakan seperti adanya sistem pemerintahan semi presidensial atau semi parlementarian yang mungkin bisa diterapkan di Indonesia.

Presidensialisme adalah pilihan Indonesia di tengah konteks multipartai. Apapun pilihan sistem pemerintahan maupun sistem kepartaiannya, apabila semua pihak dalam lembaga pemerintahan bisa sedikit berniat baik untuk lebih amanah terhadap rakyat dan konstitusi, serta mau meningkatkan kompetensi—dilema dan persoalan seperti apapun, pasti bisa diselesaikan.

Referensi:

Elgie, Robert. 2004. Semi Presidentialism: Concept, Concequences and Contesting Explanation. Political Studi Review: Vol 2, 314-330.

Higgins, Richard. 1997. The Politics of National Government (I). New York: Routledge.

Piliang, Indra J. Telenovela Politik ala Reshuffel. 2007. Harian Seputar Indonesia, 8 Mei http://www.csis.or.id/scholars_opinion_view.asp?op_id=617&id=27&tab=0

Polsby, Nelson W. 1964. Congress and the Presidency. New Jersey: Prentice-Hall,Inc.

Riggs, Fred W. 2000. Problem of Presidentialism and the American Exepction. http://www2.hawaii.edu/~fredr/pres.htm

Qodari, Muhammad. 2002. Otoritarianisme Baru dalam Desain Konstitusi. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/08/opini/1011367.htm



[1] Riggs, Fred W. Problem of Presidentialism and the American Exepction.(2000), http://www2.hawaii.edu/~fredr/pres.htm

[2] Catatan dari bahan mata kuliah Sistem dan Instutusi Pemerintahan di Indonesia, tentang bagaimana kekuasaan eksekutif dikelola: Presidensialisme vs Parlementarianisme. Pertemuan ketiga, 27 Februari 2007

[3] Linz, Juan (1990). "The Perils of Presidentialism." Journal of Democracy. 1:1 dalam Riggs, op.cit.

[4] Mainwaring, Scott (1990b). "Dilemmas of Multiparty Presidential Democracy: The Case of Brazil." (Paper prepared for the World Congress of Sociology) dalam Rigss, ibid

[5] Qodari, Muhammad. Otoritarianisme Baru dalam Desain Konstitusi.(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/08/opini/1011367.htm)

[6] Disarikan dari artikel: Piliang, Indra J. Telenovela Politik ala Reshuffel. (Seputar Indonesia, 8 Mei 2007), http://www.csis.or.id/scholars_opinion_view.asp?op_id=617&id=27&tab=0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar