Presidensialisme di Indonesia: Sebuah Pilihan dan Dilema
Oleh: Ratna Puspita Dwipa Nugrahhani / 21856
A. Pengantar
Sebuah sistem pemerintahan demokratis lahir seiring dengan munculnya perspektif dispersion of power. Perspektif yang mengharuskan adanya pembagian kekuasaan dalam pemerintahan untuk menghindari adanya pengepulan kuasa di satu tangan. Dispersion of power merupakan salah satu implikasi dari asumsi dasar Lord
Sistem presidensial sebagai pilihan sistem pemerintahan di
Presidensial merupakan sebuah sistem pemerintahan dimana president as a single chief excecutive. Kekuasaan eksekutif berada di tangan seorang presiden dan tidak terbagi. Pertimbangan-pertimbangan yang mungkin dipikirkan ketika
Beberapa kelemahan nampaknya juga telah menjadi pertimbangan seperti adanya kecenderungan sistem presidensial untuk berubah menjadi autoritarianisme. Mekanisme presiden dan legislatif sebagai dua struktur yang paralel bisa membuka kemungkinan deadlock dalam proses pemerintahan dan bisa mengurangi derajat akuntabilitas pemerintah dimana antara presiden dan legislatif bisa saling menyalahkan. Kelemahan lain adalah, dalam sistem ini—sulit menjatuhkan presiden yang kurang mempunyai kemampuan untuk memimpin sampai dengan masa jabatan yang bersangkutan berakhir.[2]
Kemudian bagaimanakah implementasi sistem presidensialisme di
B.Analisa
Sistem presidensial yang diadopsi banyak negara berkembang khususnya
Diantara kelemahan-kelemahan yang telag disebutkan diatas, hubungan antara eksekutif dan legislatif adalah salah satu problem dasar dalam sistem presidensial. Kedudukan yang paralel antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam konteks
Sistem pemerintahan parlementarianisme sebenarnya lebih cocok diterapkan dalam konteks pluralisme dan multi etnis seperti
Permasalahan yang mungkin muncul adalah, sistem multi partai biasanya merujuk pada pemerintahan minoritas.
Dalam konteks multi partai, presiden yang secara konstitusi telah kuat kedudukannya, bisa menjadi “lame duck” yang hanya menyetujui kemauan legislatif. Kasus yang terjadi di
Contoh nyata dari keadaan ini adalah adanya penggunaan hak interpelasi DPR menyangkut resolusi PBB terhadap
Koalisi yang dibentuk dan sistem presidensial multi partai adalah semacam koalisi ad hoc yang kemudian bisa terpecah dan menolak kebijakan presiden. Sebagaimana opini Mainwaring, “The combination of presidentialism and a fractionalized multiparty system is especially unfavorable to democracy” (Mainwaring 1990b, 25).[4]
Dilema dan permasalahan dalam sistem pemerintahan presidensial, tidak hanya menyangkut masalah hubungan antara eksekutif dan legislatif. Tetapi juga masalah lembaga internal eksekutif. Dimana menteri-menteri dalam kabinet pemerintah juga berasal dari partai-partai yang berbeda dengan segala kepentingannya. Konstitusi telah menjelaskan bahwa menteri tidak menjabat sebagai anggota DPR, namun tidak ada yang bisa menjamin bahwa para menteri tersebut benar-benar bisa setia terhadap Presiden. Bisa jadi mereka masih loyal terhadap partainya dan berusaha mengakomodasi kepentingan partai tertentu melalui jabatannya.
Kerumitan permasalahn dalam lembaga internal eksekutif sangat terlihat dalam kasus reshuffle kabinet yang baru saja dilakukan bulan Mei oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam konstitusi—selain dipilih langsung, presiden terpilih akan memegang jabatannya untuk jangka waktu
Beberapa partai politik juga sepakat bahwa kinerja SBY-JK dinilai “kaya janji, miskin prestasi”. Rheshuffle kabinet yang dilakukan diharapkan dapat memperbaiki efektifitas dan kinerja lembaga eksekutif kepresidenan dan kembali mendapat citra yang baik dari masyarakat. Tetapi apa yang terjadi justru menggambarkan bahwa reshuffle kabinet hanya sebagai anjang bagi-bagi kekuasaan—bukan dalam arti dispersion of power yang sebenarnya, tetapi merupakan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan politik SBY menjelang pemilu 2009 mendatang.
Dalam asumsi Indra J. Piliang yang dimuat di Seputar
Pertama, pergantian Hamid Awaluddin dengan Andi Matalatta sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) dan Saifullah Jusuf dengan Muhammad Lukman Edy sebagai Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal sama sekali beralasan politik, bukan kinerja. Sebagaimana dijelaskan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi kepada Saifullah, bahwa kinerja Saifullah tidak bermasalah. Yudhoyono, lewat Sudi, hanya mempertanyakan kepindahan Saifullah ke PPP, bukan lagi di PKB. Kalau memang itu alasannya,Yudhoyono layak mempermasalahkan ”kepindahan” Jusuf Kalla untuk memimpin Partai Golkar. Bukan hanya itu,Yudhoyono juga harus mempermasalahkan banyak sekali kepala-kepala daerah yang pindah-pindah partai pada saat menjabat atau menjelang pilkada. Sementara untuk Matalatta adalah pilihan politik yang cermat untuk memberi satu kursi lagi buat Golkar.
Kedua, pencopotan Yusril Ihza Mahendra sebagai Menteri Sekretaris Negara dan Hamid Awaluddin sebagai Menkumham sama sekali juga bukan berlandaskan kinerja, tetapi–kalau boleh menebak–lebih berkaitan dengan desakan publik menyangkut keterlibatan keduanya dalam pencairan dana Tommy Soeharto dengan menggunakan rekening Depkumham. Kalau dari sisi kinerja, Hamid melakukan tugas fenomenal, seperti Nota Kesepahaman antara pihak Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah RI di Helsinki selama beberapa kali. Yusril juga tenggelam dalam permasalahan-permasalahan hukum tata negara yang menyita waktu. Demi politik pencitraan, yakni Yudhoyono tidak mau terus mendapatkan penilaian buruk dari publik atas dugaan kasus yang melanda menterinya, pilihan pergantian diusung.
Ketiga, pergeseran Hatta Rajasa dari Menteri Perhubungan menjadi Menteri Sekretaris Negara justru memperlihatkan peningkatan kedekatan sekaligus prestasi yang cemerlang. Padahal, Hatta didesak untuk diganti oleh publik berdasarkan kinerja yang kurang maksimal di Departemen Perhubungan. Sekalipun alasan betapa Hatta bekerja siang malam, tetapi aspek the right man on the right place menjadi mengambang. Benar, Hatta bisa belajar dengan cepat, sebagaimana dia tunjukkan selama ini, tetapi penempatan pada posisi Sekretaris Negara yang berhubungan dengan agenda-agenda dan tatanan-tatanan kenegaraan yang berbasiskan hukum (tata negara) memerlukan rekam jejak yang serius. Dengan capaian Hatta sebagai Mensesneg, berarti tidak tepat juga alasan menyebut penggantinya sebagai orang profesional. Bisa saja, dalam logika pertama,orang-orang hukum tata negara menempati pos sebagai Menhub.
Keempat, pergeseran Sofyan Djalil sebagai Menteri Negara BUMN yang dikaitkan dengan prestasinya di Departemen Komunikasi dan Informasi dalam meningkatkan pendapatan negara juga terasa kurang berhubungan. Dari awal, memang diketahui bahwa Djalil ”mengerem” prestasi di Depkominfo karena sejak semula lebih memilih menjadi Meneg BUMN. Peralihan sejumlah perusahaan negara yang dikelola Menkominfo, padahal sebelumnya diurus oleh Meneg BUMN, adalah salah satu cara memberikan pekerjaan- pekerjaan ”mencari keuntungan” kepada Djalil. Djalil jelas orang kepercayaan Yudhoyono, meski hingga hari ini belum mampu memfinalisasi RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik.
Kelima, Masuknya tiga nama baru dalam struktur kabinet, yakni Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung menggantikan Abdurrahman Saleh, Jusman Syafii Djamal menggantikan Hatta Rajasa, dan Muhammad Nuh menggantikan Sofyan Djalil–yang disebut Yudhoyono sebagai orang-orang profesional, bisa dikatakan sebagai ”tim promosi” dari Liga Divisi I menjadi Liga Utama dalam permainan sepak bola. Hendarman dan Djamal adalah dua orang yang pernah bekerja berdasarkan keputusan Presiden, yakni pada Tim Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) dan Tim Nasional Evaluasi Kecelakaan dan Keselamatan Transportasi (Timnas EKKT). Tetapi, prestasi Timtas Tipikor dan Timnas EKKT juga belum menggembirakan. Adapun Muhammad Nuh lebih merupakan representasi kampusnya, Institut Teknologi Surabaya, sebagai penghormatan akademis yang sering dilakukan oleh para Presiden.[6]
Asumsi ini sangat jelas menggambarkan muatan-muatan politik Presiden dengan menggunakan hak prerogatifnya. Salah satu hal yang menarik adalah ketika SBY memasang Andi Mattalata sebagi menteri Hukum dan HAM. Keputusan ini bisa saja diambil karena Andi Mattalata yang sebelumnya merupakan ketua komisi dua di DPR, diharapkan bisa menjadi pelicin bagi proses legislasi. Anggota komisi dua bisa jadi sungkan menghadapi Andi yang tentu saja sangat mereka hormati. Dengan demikian komisi dua DPR tidak akan macam-macam terhadap kebijakan presiden yang sebelumnya komisi ini dinilai pandai melempar issue yang berpengaruh pada seluruh parpol.
Kasus ini sangat jelas menggambarkan dilema presidensialisme yang diterapkan di
C. Kesimpulan dan Rekomendasi
Implementasi sistem presidensial di
Dalam sistem presidensial diperlukan seorang presiden dengan kompetensi leadership yang tinggi sehingga tidak terdesak oleh kepentingan-kepentingan politik yang menggerogoti pemerintahannya. Presiden seharusnya bisa mengerem paksaan-paksaan dari partai tertentu untuk mengganti para menteri sesuai kepentingan partai. Dengan dukungan rakyat dan kekuatan konstitusi, Presiden seharusnya bisa lebih tegas dalam mengambil kebijakan-kebijakan—tidak perlu takut terhadap ancaman kelompok kepentinagn tertentu. Melihat berbagai persoalan di atas,
Belajar dari sistem presidensial Amerika Serikat yang stabil, banyak hal yang dilupakan oleh konstitusi Indonesian. Meskipun hal yang sangat menentukan dari kestabilan Amerika adalah lingkungan yang tidak bisa diadopsi di negara lain, namun beberapa sistemnya dapat diadopsi di
Dilema sistem presidensial di
Presidensialisme adalah pilihan
Referensi:
Elgie, Robert. 2004. Semi Presidentialism: Concept, Concequences and Contesting Explanation. Political Studi Review: Vol 2, 314-330.
Higgins, Richard. 1997. The Politics of National Government (I).
Piliang, Indra J. Telenovela Politik ala Reshuffel. 2007. Harian Seputar
Polsby, Nelson W. 1964. Congress and the Presidency.
Riggs, Fred W. 2000. Problem of Presidentialism and the American Exepction. http://www2.hawaii.edu/~fredr/pres.htm
Qodari, Muhammad. 2002. Otoritarianisme Baru dalam Desain Konstitusi. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/08/opini/1011367.htm
[1] Riggs, Fred W. Problem of Presidentialism and the American Exepction.(2000), http://www2.hawaii.edu/~fredr/pres.htm
[2] Catatan dari bahan mata kuliah Sistem dan Instutusi Pemerintahan di Indonesia, tentang bagaimana kekuasaan eksekutif dikelola: Presidensialisme vs Parlementarianisme. Pertemuan ketiga, 27 Februari 2007
[3]
[4] Mainwaring, Scott (1990b). "Dilemmas of Multiparty Presidential Democracy: The Case of
[5] Qodari, Muhammad. Otoritarianisme Baru dalam Desain Konstitusi.(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/08/opini/1011367.htm)
[6] Disarikan dari artikel: Piliang, Indra J. Telenovela Politik ala Reshuffel. (Seputar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar