Minggu, 21 Desember 2008

Imajinasi tentang Posisi Ideal Pemerintahan Desa

Imajinasi tentang Posisi Ideal Pemerintahan Desa

Beberapa studi menempatkan Desa pada tiga bentuk posisi yang terdiri dari self governing community, local self government dan local state government. Posisi pertama merujuk pada pada komunitas lokal yang membentuk dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan pranata lokal, bersifat swadaya dan otonom, tidak dibentuk oleh kekuatan eksternal dan tidak terikat secara struktural dengan organisasi eksternal seperti negara. Posisi kedua menempatkan Desa sebagai bentuk pemerintahan lokal yang otonom sebagai konsekuensi dari desentralisasi politik. Sedangkan posisi yang ketiga menempatkan Desa hanya sebagai bentuk pemerintahan negara di tingkat lokal, sehingga Desa hanya menjadi kepanjangan tangan negara di tingkat lokal.[1]

Ketiga konsep tentang posisi desa tersebut sebenarnya harus dapat dipisahkan dengan jelas dalam implementasinya. Dalam konteks Indonesia, kesatuan masyarakat adat semakin tergerus dengan kehadiran negara. Model self governing community sudah menjadi romantisme karena kuatnya pengaruh negara maupun pasar yang masuk dalam komunitas-komunitas adat tersebut. Posisi-posisi tersebut seakan hanya menjadi modelling sedangkan dalam kenyataan di lapangan, implementasi antara ketiganya seringkali terjadi peleburan sehingga semakin mengaburkan posisi dan kewenangan Desa.

Keberagaman Desa atau nama lain di Indonesia menuntut adanya pengaturan yang jelas dan tegas menyangkut posisi dan kewenangannya selama ini. Namun peraturan yang ada sekarang, yaitu UU No. 22 tahun 1999 justru mencampuradukkan konsep self governing community dan model local self government secara terbatas untuk mengakomodasi keragaman dan keunikan kultur masyarakat. Sedangkan UU No. 32 tahun 2004 menempatkan Desa sebagai subsistem dari kabupaten sehingga sangat membatasi kewenangan Desa. Secara substantif, UU ini menganut pendekatan Desa baku (default village) yang diterapkan secara nasional ke seluruh Indonesia. UU ini tidak mengenal konsep optional village untuk mengakomodasi dan melembagakan keragaman Desa, misalnya opsi Desa adat di banyak daerah.[2]

Kompleksitas persoalan tentang desa tidak hanya berhenti pada masalah kedudukan dan kewenangannya dalam negara. Permasalahan juga terkait dengan bagaimana negara dapat mengakomodasi setiap keberagaman bentuk komunitas adat tanpa merusaknya. Persoalan juga sampai pada bagaimana desa mengambil tempat sebagai suatu entitas politik yang penting dalam struktur negara dan mempertahankan keberadaannnya. Pilihan tentang penataan politik dan pemerintahan desa di Indonesia ke depan menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan. Berbagai pilihan tersebut sangat tergantung pada pengaruh adat pada pemerintahan desa modern dan kapasitas desa beradaptasi dengan nilai-nilai dan perangkat modern dalam pemerintahan desa. Relasi antara tradisionalisme dan modernisme yang terus berlangsung akan sangat mempengaruhi model dan posisi pemerintahan desa.

Konsep yang memungkinkan untuk diadopsi dalam rangka penataan politik dan pemerintahan Desa adalah adanya integrasi antara desa dan adat. Self governing community tidak dapat secara murni dijalankan karena desa sudah menjadi bagian dari struktur negara. Oleh karena itu, perlu adanya pengintegrasian konsep antara self governing community dan local self government. Dengan pengintegrasin konsep tersebut, masyarakat adat yang telah terbiasa hidup dengan hukum adat yang kuat tetap dapat mempertahan nilai-nilai lokal dengan tidak menegasikan kehadiran negara. Kekuatan kultural dan adat istiadat tarkadang justru bisa menjadi jawaban yang fleksibel atas adanya perubahan tatanan sosial dan politik seiring dengan perkembangan zaman. Proses integrasi antara desa dan adat sangat terlihat pada pemerintahan nagari di Sumatta Barat. Terjadi kompromi antara adat dalam konteks tradisional dengan hukum positif negara yang menghadirkan struktur pemerintahan Desa.

Integrasi Antara Adat dan Desa di Nagari Kinari[3]

Era otonomi yang sedang berlangsung membawa angin segar bagi perubahan tatanan sistem pemerintahan nagari yang semula dirusak oleh pengaturan rezim Orde Baru. Banyak nilai-nilai lokal dan kewenangan politik pemerintahan yang tergerus akibat adanya penyeragaman pengaturan UU tentang Desa dengan instrumen UU No. 5 tahun 1979. Semangat otonomi daerah ingin mengembalikan nagari sebagai satuan pemerintahan lokal di Sumatra Barat. UU No. 22 tahun 1999 disikapi dengan Perda Propinsi Sumatra Barat Nomor 9 tahun 2000. Peraturan ini menempatkan nagari sebagai satuan pemerintahan terendah, yang mempunyai kewenangan penuh untuk mengelola nagari.

Dalam hukum adat nagari dikenal konsep babaliek ba nagari, mengandung arti ingin menerapkan sistem adat nagari secara komprehensif dan konsisten. Hal ini tentu saja tidak dapat dilakukan secara keseluruhan. Setidaknya, yang terjadi kemudian adalah diberlakukannya konsep babaliek ka nagari, yaitu kembali menggunakan nagari untuk menyebut pemerintahan terendah Sumatra Barat. Sistem nilai-nilai adat asli tidak secara penuh dilaksanakan karena adanya perubahan zaman. Hanya sebagian dari nilai-nilai asli nagari yang bisa diadaptasi sedangkan beberapa nilai lain dinilai sudah tidak relevan lagi digunakan. Hukum adat di Minangkabau memiliki prinsip “Adat Basyandi Syarak, Syarak Basyandi Kitabullah” prinsip ini menjadi tuntunan dan pandangan hidup bagi anak nagari. Prinsip tersebut menjadi modal sosial yang sangat kuat untuk menentukan masa depan nagari. Meskipun sudah terjadi pergeseran nilai moral bagi sebagian anak nagari yang terpengaruh oleh modernisme, prinsip ini tetap bisa menhasilkan trust untuk menjaga keberlanjutan sistem pemerintahan nagari.

Otonomi yang dimiliki oleh nagari mendorong pengembangan peran serta potensi nagari untuk mengurus dan mengelola rumah tangganya sendiri dengan tidak meninggalkan ikatan kultural yang masih sangat kental. Perda tersebut membawa dampak pada pengelolaan pemerintahan di nagari. Secara kelembagaan, nagari memiliki beberapa institusi seperti; Pemerintah Nagari sebagai eksekutif, Badan Permusyawaratan Nagari (BPN) sebagai legislatif, dan Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai yudikatif. Sedangkan secara formal, nagari tetap menjadi bagian dari pemerintah kabupaten, sehingga tidak lepas dari pengaturannya.

Nagari Kinari merupakan nagari terbaik dalam pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten Solok. Secara sosial, peran adat sangat dominan di nagari Kinari, dalam hal ini ninik-mamak sebagai tetua adat memiliki peran strategis dan kontrol yang kuat terhadap anak nagari. Otoritas dan kewenangan nagari cukup besar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Nagari diberi kewenangan untuk mengeluarkan surat resmi tanpa pengesahan kantor kecamatan, seperti KTP dan beberapa surat resmi lainnya. Proses penyususnan renstra dilakukan secara bottom-up mulai dari pelibatan seluruh unsur masyarakat, musyawarah dengan lembaga-lembaga adat dan lembaga formal pemerintah sampai dibuatnya aturan yang kemudian ditetapkan menjadi Peraturan Nagari (Perna) oleh BPN.

Penyelenggaraan pemerintahan di Nagari Kinari didasarkan pada tiga sumber hukum yaitu; hukum adat, hukum syariat agama yang bersumber pada kitabulloh dan peraturan perundangan formal. Penyelesaian masalah juga dilakukan secara berjenjang dengan mengutamakan penyelenggaraan hukum adat. Penyelesaian masalah diutamakan di tingkat kaum, kemudian tingkat adat (ninik mamak), dan apabila belum terselesaikan baru oleh Lembaga Kerapatan Adat. Di samping itu, baru kemudian melibatkan Pemda, kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Terkait dengan penyelesaian masalah, pentingnya peran adat lebih dikarenakan ketakutan anak nagari terhadap ninik mamak, daripada musyawarah yang menempatkan kesetaraan antara elite dan warga.

Dari segi pengelolaan keuangan, Nagari Kinari mendapatkan sumber pendapatan dari Pendapatan asli nagari, Dana alokasi umum nagari (DAUN), dana partisipatif, dana perimbangan dan dana bantuan tambahan. Namun, sumber pendapatan terbesar berasal dari DAUN yang dianggarkan oleh pemerintah kabupaten dan disertai dengan ketentuan-ketentuan pembelanjaan.

Dinamika Politik dan Berbagai Persoalan

Kewenangan kabupaten tampak diserahkan pada nagari, namun secara teknis kabupaten tetap banyak memberikan petunjuk teknis pada nagari. Nagari tetap tidak bisa mandiri secara utuh dalam mengelola kewenangan tersebut, bahkan dalam prakteknya banyak kewenangan yang belum dapat dijalankan oleh nagari. Dukungan finansial yang cukup besar dari kabupaten menyebabkan nagari menjadi ketergantungan. Dampak lebih jauhnya, nagari lebih banyak mengikuti kebijakan kabupaten daripada berkreasi secara mandiri. Eksistensi otonomi nagari kembali dipertaruhkan karena besaran DAUN cukup mengikat. Nagari menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kabupaten. Dalam penyelenggaraan pemerintahannya, banyak hal yang menunjukkan nagari hanya menjadi kepanjangan tangan dari kabupaten.

Dari segi pengelolaan nagari, secara formal kelembagaan, peran lembaga-lembaga adat telah berjalan dengan baik. Baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif telah menjalankan fungsinya masing-masing dengan mekanisme saling kontrol. Namun jika dilihat dari substansi partisipasi warga masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan masih menimbulkan pertanyaan. Keterlibatan warga dalam berbagai proses politik nagari selalu termanipulasi oleh kepentingan elite, baik itu tokoh adat maupun tokoh formal pemerintahan. Proses partisipasi anak nagari seakan dibatasi oleh peran ninik mamak yang sangat dominan dalam mengontrol aspirasi mereka. Oligharki politik terbentuk dari tokoh-tokoh adat. Partisipasi anak nagari hanya disalurkan melalui ninik mamak yang telah tergabung dalam oligharki politik tersebut.

Partisipasi yang berjalan tersumbat memunculkan adanya fenomena DRP-lapau atau DPR jalanan yang muncul di kedai-kedai, pojok jalan, untuk membentuk opini publik dan menyalurkan kegelisahan dalam penyaluran aspirasi. Adanya DPR-lapau mengarah pada oposisi terhadap pemerintah nagari. Namun hal ini hanya menjadi isu-isu yang akhirnya juga tunduk pada kemauan para pemangku adat.

Hubungan antar aktor dalam pengembangan nagari dapat dikatakan tidak banyak menimbulkan persoalan. Meskipun terjadi kontestasi, hal ini tidak sampai berujung pada konflik. Misalnya, hubungan antara Wali Nagari dan BPN yang saling mendukung secara institusional, meskipun persaingan secara individual tetap hadir sebagai riak-riak dinamika politik. Transparansi sangat dijaga di Nagari. BPN juga menjalankan fungsi pengawasan, sehingga terkait dengan proyek pembangunan dapat mempertanyakan ke Wali Nagari atau melaporkan ke kabupaten apabila dirasa ada penyimpangan. Kontrol adat cukup efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nagari. Disamping ada KAN, masih ada Lembaga Tungku Sajarangan Nagari (MTSN) yang dimanfaatkan oleh pemerintah nagari untuk mengendalikan aspirasi sehingga setiap pengambilan keputusan mudah mencapai kompromi.

Penataan pemerintahan desa dengan konsep pengintegrasian antara self governing community dan local self government membutuhkan wajah negara sebagai pengadaptasi yang tetap mempertimbangkan konteks lokal. Nagari atau desa dengan nama lain dipandang sebagai sesuatu yang unik dan khas. Negara dituntut untuk memiliki piranti yang bisa menempatkan desa dengan masyarakat adat yang kuat.[4]

Terlepas dari semua masalah. Integrasi antara adat dan desa memiliki berbagai kelebihan antara lain nagari yang baru mempunyai sederet kewenangan yang lebih jelas dan alokasi dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Kewenangan nagari antara lain mencakup kewenangan administratif, mengontrol tanah ulayat, pasar, tata ruang nagari, dan seterusnya. Keputusan untuk investasi di nagari, misalnya, tidak diputuskan secara sepihak oleh kabupaten, melainkan keputusan pertama terletak pada negari.[5] Bentuk pengintegrasian antara adat dan desa juga tidak mengkhianati cita-cita founding fathers yang berusaha menempatkan nagari, desa dan segala persekutuan hukum adat sebagai kaki susunan negara bagian bawah.

“Tak Lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.” Pepatah nagari tersebut menyiratkan bahwa kekuatan adat dan agama bisa menjadi jawaban terhadap tantangan perubahan. Nilai-nilai lokal perlu tetap diakomodasi meskipun negara hadir sebagai suprastruktur Desa. Kehidupan politik dan pemerintahan Desa akan lebih mudah ditata dengan nilai lokal yang telah diyakini dan mengakar sebagai pandangan hidup masyarakat.

Posisi desa dengan konsep pengintegrasian antara self governing community dan local self government mungkin bisa diterapkan di banyak wilayah di Indonesia yang masih mempunyai struktur masyarakat adat yang kuat. Demikian juga dengan wilayah-wilayah yang memiliki karakter sosial yang kurang kuat. Hal ini perlu dihidupkan kembali sebagai kontrol atas modernisme dan globalisasi yang banyak menggerus konsep-konsep masyarakat adat di Indonesia.

Budaya elitis dan patron-klien yang banyak menjadi ciri dari kehidupan masyarakat adat kemungkinan akan melebur akibat pengaruh demokratisasi yang semakin masif. Untuk menghindari kuatnya kontrol pemerintah kabupaten, desa memerlukan kapasitas dan posisi tawar, baik itu fiskal maupun sumber daya manusia agar penataan politik dan pemerintahan desa dapat berjalan dengan lancar. Saat ini telah banyak dikembangkan model-model pembangunan desa berbasis organisasi masyarakat yang difasilitasi oleh berbagai NGO. Keberhasilan penataan politik dan pemerintahan desa juga tidak bisa lepas dari partisipasi masyarakat untuk terlibat aktif mulai dari perencanaan pembangunan sampai pelaksanaannya. Hal ini sangat tergantung pada adanya entitas desa yang kuat, namun mampu merespon perubahan tanpa meninggalkan nilai-nilai lokal.

Referensi:

Eko, Sutoro. Mempertegas Posisi Politik dan Kewenangan Desa

Krisdyatmiko dan AAGN. Ari Dwipayana (ed). 2006. Pembangunan yang Meminggirkan Desa. Yogyakarta:IRE

Krisdyatmoko dan Sutoro Eko (ed). 2006. Kaya Proyek Miskin Kebijakan; Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa. Yogyakarta: IRE

Naskah Akademik RUU Desa



[1] Catatan Kuliah Politik Pemerintahan Desa. Nanang Indra Kurniawan, Mendefinisikan tentang Desa, pertemuan ke-2 tanggal 2 September 2008

[2] Naskah Akademik RUU Desa, Bab 3

[3] Contoh kasus disarikan dari, Supardal. Bukan Pembaharuan Nagari, Melainkan Korporasi Nagari. dalam Krisdyatmiko, AAGN. Ari Dwipayana (ed). Pembangunan yang Meminggirkan Desa. IRE. Yogyakarta: 2006

[4] Diskusi kuliah Politik Pemerintahan Desa tanggal 16 September 2008. Dalam menempatkan desa, negara memiliki tiga wajah yaitu penghapus (pemerintah Orde Baru), penyerap (proses negaraisasi desa. Memasukkan struktur informal ke forrmal), pengadaptasi.

[5] Sutoro Eko dalam makalah Mempertegas Posisi Politik dan Kewenangan Desa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar