Pemilu 1999 dan Kemunculan Partai-Partai
Sejarah Pemilu di Indonesia menggambarkan beragam warna baik dalam sistem pemilu, sistem kepartaian maupun dinamika yang terjadi. Demokrasi telah diujicobakan di
Perjalanan sejarah kemudian membawa perubahan yang luar biasa dengan adanya reformasi yang meletus tahun 1998 dengan lengsernya Presiden Soeharto setelah berkuasa selama tiga puluh dua tahun. Kran kebebasan mulai dibuka seluas-luasnya. Masyarakat bebas berekspresi dalam bidang politik. Ketika kran tersebut dibuka, kebebasan politik politik justru membawa euforia politik. Salah satu yang menandainya adalah menjamurnya partai-partai politik di
Sebuah fenomena yang menarik bahwa sejak runtuhnya Orde Baru, dalam waktu satu tahun bisa menghasilkan ratusan partai meski hanya 48 partai yang bisa mengikuti proses pemilu. Kehadiran partai-partai tersebut bisa jadi kerena luapan emosi psiko-politik yang tidak bisa lagi dibendung. Dengan berbagai kebijakan dan pengaturannya, dalam waktu singkat penyelenggaraan pemilu 1999 bisa dikatakan sukses meskipun terdapat bebarapa permasalahan yang muncul. Beberapa masalah muncul berkaitan dengan adanya penolakan 27 peserta pemilu yang menolak menandatangani berita acara karena Pemilu dianggap belum jurdil. Masalah lain juga muncul saat pembagian kursi. Rapat pembagian kursi di PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa. Namun permasalahan ini akhirnya diserahkan ke KPU dan dapat diselesaikan. [1]
Keluar dari dinamika proses, pemilu 1999 merupakan pemilu dengan perhatian penuh pada demokrasi dan demokratisasi. Sistem pemilu multi-parti telah menghasilkan parlemen di pusat, di tingkat provinsi dan kabupaten sebagaimana yang dikehendaki rakyat meskipun kelak waktu yang membuktikan bahwa harapan rakyat tidak seperti kenyataanya. Hampir semua partai politik memiliki agenda reformasi sebagai platform partainya. Program-program partainya juga tidak jauh-jauh dari pemberantasan korupsi atau pembenahan birokrasi.
Sistem pemilu akan menentukan sistem kepartaian. Jumlah partai yang banyak tidak bisa menjadi sebuah indikator kesuksesan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia harus kembali menentukan pilihannya melalui Undang-Undang tentang adanya jaminan hidup bagi partai-partai kecil yang banyak muncul namun mereka tidak bisa bersaing dengan partai-partai besar turunan Orde Baru yang telah memiliki basis massa yang jelas dengan pengalaman keorganisasian yang lebih matang. Dari sini, sebuah sistem pemilu sangat berperan. Sistem distrik dengan single-member distrik system sangat efektif menurunkan jumlah partai sampai hanya beberapa partai utama. Sedangkan proportional system yang lebih bersifat terbuka, dan jumlah suara boleh digabungkan bisa lebih menguntungkan partai kecil. Pemilu 1999 menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk mempersiapkan pemilu berikutnya yaitu pemilu 2004.
Pemilu yang diselenggarakan dengan banyak partai memungkinkan pemerintah untuk melakukan rekayasa terhadap persiapan pemilu berikutnya. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Daniel Dhakidae (2004). Dalam proses persiapan itu terlihat adanya rekayasa politik melalui berbagai kegiatan dengan pemilu sebagai titik pusatnya. Tiga rekayasa politik tersebut bisa diiddentifikasikan. Pertama, rekayasa hukum seperti legislasi oleh Departemen Kehakiman. Kedua, rekayasa birokratik seperti yang dikerjakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang terkenal dengan istilah “verifikasi administratif” dan “verifikasi faktual”. Setelah pemilihan umum yang diikuti oleh 48 partai hanya 21 partai yang berhasil mendapatkan kursi di DPR. Namun, dengan ketentuan bahwa hanya partai-partai yang menguasai kursi di DPR sekurang-kurangnya dua persen, atau yang memperoleh sekurang-kurangnya tiga persen jumlah kursi di DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota—yang secara teknis nereka yang mampu melewati electoral threshold—hanya enam partai yang diperbolehkan mengikuti pemilihan umum berikutnya, tahun 2004. Di sana disaksikan lagi suatu jenis terakhir dalam rentetan perekayasaan yaitu perekayasaan politik melalui proses pemilihan, political engginering by electoral process.[2]
Banyaknya partai yang muncul pada pemilu tahun 1999 setidaknya bisa menggambarkan iklim demokrasi yang baru saja menggeliat setelah dikekang pada masa Orde Baru. Kebijakan dan sistem pemilihan yang dibuat pemerintah seharusnya menyediakan ruang bagi berkembangnya partai-partai kecil untuk mengekspresikan gairah politiknya. Sungguh tidak bijaksana ketika pemerintah maupun partai-partai besar tidak memberi kesempatan kepada partai-partai kecil untuk berdemokrasi meskipun hadirnya partai-partai tersebut juga menimbulkan permasalahan dan dilema tersendiri dalam proses Pemilu. Berdirinya partai-partai tersebut hendaknya juga harus disertai pemikiran, pertimbangan dan perhitungan sedalam-dalamnya tentang tujuan partai politik, latar belakang serta implikasi-implikasi yang menyertainya. Mendirikan partai juga harus disertai komitmen untuk bekerja sekuat tenaga begi kesejahteraan rakyat. Fase Pemilu 1999 yang telah berlalu menjadi pelajaran yang berharga untuk menentukan sistem seperti apa yang bisa sesuai dengan kondisi Indonesia yang terus mengalami dinamika.
Referensi:
Litbang Kompas. 2004. Partai-Partai Politik
Oetama, Jakob. 2001. Suara Nurani, Tajuk Rencana Pilihan 1991-2001.
http://www.kpu.go.id/Sejarah/pemilu1999.shtml
[2] Daniel Dhakidae. Partai-Partai Politik, Demokrasi, dan Oligarki dalam Litbang Kompas, Partai-Partai Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar