29 November 2008
Sekelumit Konsep Pemikran Pierre Bourdieu
Kami duduk berkeliling di taman depan Fisipol. Dibawah rindangnya pepohonan dengan lembabnya yang khas sisa hujan. Kami mencoba untuk menghidupkan kembali ramainya proses dialektika di fakultas ini yang akhir-akhir ini hampir sampai pada lonceng kematiannya. Memang fisipol tak seramai dulu, katanya. Mahasiswanya lebih sibuk untuk berpikir besok akan memakai baju apa daripada berdiskusi tentang banyak hal di dunia ini.
Sedikit sebelum mulai perbincangan. Kami sengaja mengundang alumni yang kebetulan telah tahu lebih dulu tentang pemikiran Bourdieu. Namanya Windu, alumni Hubungan Internasional angkatan 2003. Sudah berapa kali saya tertipu dengan penampilan seseorang. Tak seperti anak HI kebanyakan yang selalu berpakaian model terkini dengan gadget dan perlengakapan yang terlihat mahal. Windu hanya mengenakan celana pendek kotak-kotak berwarna coklat bergaris. Lalu selembar kaos kumal yang tak lagi bisa disebut putih, dilapisi jaket berwarna hitam yang usang juga. Saat jaket itu dilepas, baru terlihat kaosnya dipakai terbalik. Terlihat jahitan kaos itu pada pangkal lengan dan bagian bawahnya. Kaos itu digambari seorang wanita dengan rambut ikal menggunakan spidol hitam. Di atasnya tertulis sebuah kata yang kelihatannya dalam bahasa Perancis, La beautie (itu kalau saya tak salah tulis). Pada bagian bawah kaos itu juga tertulis sesuatu namun tak terlihat apa.
Windu terlihat seperti seorang yang berakter. Ia berani untuk berbeda. Penampilan bukan hal yang utama baginya karena otaknya barangkali memang lebih cemerlang daripada yang terlihat dari luaran. Uniquem-nya sebagai seseorang sangat jelas. Terlihat ketika ia menerangkan tentang habitus. “Dulu sewaktu saya Islam, saya cebok dengan tangan kiri dan makan dengan tangan kanan. Saat pasca Islam, tetap saja begitu.” Mungkin ia telah menemukan sesuatu. Matanya berbicara begitu, tak begitu bening memang, tapi tajam. Tujuh batang rokok telah tersulut dimulut dan habis dihisapnya selama proses diskusi. Luar biasa!
Forum ini terdiri dari sekitar sepuluh orang dari empat jurusan yang berbeda yaitu Ilmu Pemerintahan, Sosiatri, Hubungan Internasional dan Sosiologi. Ada seorang anak HI angakatan 2007 dari Makasar. Tampaknya ia juga cukup mengerti dengan pemikiran beberapa tokoh. Hanya saja saya tak suka saat ia menyela pembicaraan dan proses dialog ini jadi sedikit terganggu.
Kita mulai saja berkenalan dengan Pierre Bourdieu.
Perbincangan ini dimulai dari biografinya. Bagaimanapun latar belakang kehidupan seseorang akan mempengaruhi cara berpikirnya. Bourdieu lahir di Perancis Selatan, di sebuah daerah yang bisa dibilang ndeso. Bourdieu adalah seorang anak tukang pos. Lulus SMA, ia meneruskan kuliah di ENS (Bener gak ya?). Universitas ini adalah gudangnya pencetak intelektual Perancis. Beberapa nama besar lahir dari sini, Sartre, Foucoult, dsb. Bourdieu merasa ciut, semacam perasaan rendah diri, tak bisa terbuka, berargumentasi dan kurang memiliki motivasi belajar. Taman-temannya sebagian besar berasal dari kalangan menengah keatas yang telah terbiasa dengan kultur untuk berdebat, baca koran dan canggih berargumentasi, bahkan di lingkungan keluarga pun, mereka terbiasa untuk itu. Sedangkan Bourdieu tak memiliki kompetensi sebagaimana teman-temannya. Dan salah satu penyebabnya adalah habitus yang berbeda.
Dari sinilah muncul konsep habitus, kekerasan simbolik, doxa. Structured—structuring—structure. Dalam kehidupan sosial, selalu terdapat pembagian taste yang sebenarnya tak perlu untuk diperdebatkan, tapi bisa dipelajari mengapa ada pilihan-pilihan. Misalnya saja dalam memilih warna kesukaan. Seseorang bisa jadi menyukai warna hijau ataupun hitam. Hal ini tak perlu diperdebatkan tapi bisa dipertanyakan mengapa. Barangkali mereka berasal dari habitus yang berbeda. Yang suka warna hijau bisa jadi berasal dari keluarga Islam yang kebetulan berafiliasi dengan partai tertentu dengan warna hijau sebagai lambang dan dasarnya. Sedangkan yang suka warna hitam, ia berasal dari keluarga punk yang setiap hari sangat dekat dengan warna tersebut dalam kehidupannya.
Habitus merupakan sistem disposisi yang berjalan ajek dan menghasilkan suatu kecenderungan tertentu. Sistem ini cenderung berjalan lama namun bisa mengalami perubahan dan berada pada skema tertentu. Habitus sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Misalnya pola pendidikan dalam keluarga, terdapat pola pembiasaan bagaimana kita dididik di rumah. Pola-pola ini kemudian tenggelam dalam alam bawah sadar kita.
Latar belakang pemikiran:
Perancis tahun 1950-1960-an berkembang perdebatan antara pendekatan fenomenologi dan strukturalisme. Fenomenologi berkembang sejak abad ke-19 yang berfokus pada kerangka pengalaman subyek. Turunan dari pendekatan ini adalah eksistensionalisme. Gagasan ini sebenarnya berawal dari perdebatan, mana yang harus didahulukan, ide atau empirisisme materi. Bourdieu berusaha untuk lepas dari perdebatan itu. Ia berusaha kembali ke obyek atau fenomena itu sendiri. Pendekatan agen atau individualisme menerangkan bahwa dalam memaknai fenomena sosial di luarnya, individu bersifat bebas, atau bahkan sangat bebas. Sedangkan orang strukturalisme berkata bahwa kebebasan seseorang selalu dikerangkai oleh struktur. Aktor atau agen hanya wayang yang dimainkan oleh dalang. Bourdieu menentang perdebatan antara agen dan struktur tersebut. Ia berusaha untuk menjelaskan mana mempengaruhi mana.
Pendekatan agen bertitik tolak pada rasionalitas. Pada wilayah aksi, rasionalitas ini masih harus dikonteskan lagi. Manusia tidak selalu berpikir rasional. Struktur bawah sadar bisa jadi ditentukan oleh sesuatu yang lain. Bourdieu kemudian sampai pada terminologi praktik sosial dimana terjadi internalisasi eksternal dan eksternalisasi internal. Habitus merupakan sesuatu yang dibentuk oleh kedua hal tersebut.
Sedikit mengutip Marx, ‘Orang bisa menulis sejarah dirinya tapi tak bisa dengan penanya sendiri, harus dengan pena orang lain.’ Hal ini adalah salah satu contoh dari eksternalisasi internal. Eksternal itu menentukan tapi tetap terdapat otonomi relatif (kehendak bebas) dari individu. Semacam mediasi relatif antara subyek dan obyek. Eksternal merupakan semua hal yang kita dapatkan dari luar. Misalnya saja institusi. Tapi institusi selain sebagai produsen makna, ia juga bisa menjadi ranah. Habitus disini selalu bersifat given atau ascript. Tapi ini bisa dipelajari dan bisa diubah, baik secara sadar maupun tidak. Jadi, tidak terdapat dikotomi dalam hal ini.
Pendekatan aktor terfokus pada pelaku sosial yang masing-masing memiliki orientasi sosial–target apa yang harus dituju (dua kali pembicara salah menyebut orientasi sosial sebagai orientasi seksual. Barangkali ini berasal dari alam bawah sadar dan telah menjadi habitusnya. He he). Dari sini, kita akan mengenal konsep ranah atau field atau arena. Arena ini bisa menjadi tempat pertarungan bagi setiap orientasi sosial masing-masing pelaku yang juga tergantung pada kapasitas setiap aktornya. Dalam ranah tersebut bisa terjadi pertukaran dan kontestasi. Ranah merupakan wilayah dimana habitus kembali didefinisikan—terjadi proses pembelajaran dan perubahan. Dari sini, Bourdieu menghasilkan sebuah rumus;
(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik Sosial
Modal menjadi salah satu hal yang menentukan unsur-unsur lain. Terdapat beberapa jenis modal antara lain; modal material atau ekonomi, modal sosial: jaringan, pertemanan, modal kultural: pembelajaran, apa yang kita dapat di rumah. Mirip habitus, tapi habitus labih merupakan kecenderungan, modal simbolik: sarana dimana kita bisa berkuasa atas orang lain. Cara terjun ke suatu ranah dan ranah yang kita pilih tergantung modal dan habitus yang kita punya. Orang yang tidak mempunyai modal kutural tentu tidak akan masuk ISI. Ranah mana yang lebih nyaman, ini persoalan habitus. Sedangkan apa yang kita punya, menjadi persoalan modal.
Konsep berikutnya adalah doxa. Doxa merupakan pendapat atau opini yang bisa diterima dan umum bagi kita. Doxa adalah turunan dari habitus dan mewakili suatu tindakan sosial. Doxa menjadi paradoxa apabila tindakan sosial tersebut berubah menjadi tindakan sosial yang tidak biasa atau tidak umum bagi kita. Misal, kita berada diantara puluhan orang gila. Maka kita menjadi paradoxa bagi orang gila tersebut. Doxa adalah sesuatu yang taken for granted, tetapi doxa bisa pindah ke doxa yang lain dan mengganggu doxa yang lain itu. Doxa dibentuk oleh habitus sebagai turunan paling sederhana. Satu habitus dapat menurunkan banyak doxa. Mengubah satu doxa belum tentu dapat mengubah keseluruhan habitus. Doxa ini bisa berubah. Seseorang tarkadang tidak nyaman terhadap situasi tertentu. Ia kemudian bisa berjuang dan mengubah hal yang sudah umum tadi. Contohnya, seorang anggota legislatif yang ingin mengubah perilaku korupsi, meskipun korupsi sudah dianggap sebagai hal yang umum.
Semua konsep tersebut tidak bisa terlepas dari ranah sosial. Ranah sosial terdiri dari berbagai macam ranah dimana kepentingan bersangkut paut dengan arena-arena yang lain. Setiap aktor menerapkan strategi dan perjuangan tertentu untuk bisa menempati suatu ranah. Untuk itu, diperlukan penguasaan atas modal-modal, terutama modal simbolik yang dapat mengahasilkan kekuasaan. Meskipun demikian, kekuasaan tidak hanya berasal dari modal simbolik, tapi juga macam modal yang lain. Salah satu modal yang paling mudah untuk dikonversi adalah modal material. Seorang bussinessman bisa membeli modal politik. Modal material menjadi modal yang gampang dipertukarkan.
Strategi merupakan cara untuk memperjuangkan posisi aktor dalam ranah. Strategi terdiri dari; strategi investasi biologis: konsep banyak anak banyak rezeki; strategi suksesif: pewarisan, apa yang kita miliki tak langsung jatuh ke aktor lain. Pewarisan dari bapak ke anak; strategi edukatif (pendidikan): tidak hanya pendidikan formal tetapi juga informal. Strategi pembelajaran kultural; strategi investasi ekonomi: memperbesar basis material; strategi simbolik: gelar kebangsawanan yang diturunkan.
Pembahasan kemudian sampai pada metode atau bagaimana cara menggunakan pemikiran Bourdieu sebagai pisau untuk melihat suatu fenomena. Langkah pertama adalah memilih arena untuk kemudian diteliti. Langkah berikutnya adalah menganalisis hubungan antar pelaku dengan arena yang ada (struktur obyektif yang berlaku). Kemudian, meneliti habitus pelaku. Mengapa pelaku bisa melakukan strategi dan berada dalam ranah itu. Pisau analisis Bourdieu tidak dapat digunakan untuk membuat kesimpulan secara apriori, tetapi peneliti harus terjun ke lapangan untuk lebih memahami suatu fenomena.
Pada intinya, Bourdieu berusaha untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh Marx. Dalam teorinya, Marx selalu menunjuk pada motif-motif ekonomi yang mendasari perilaku seseorang, padahal bisa jadi terdapat motif yang lain seperti motif simbolik. Bourdieu sering disebut sebagai kiri yang paling kiri. Berhasil menemukan modal-modal lain selain ekonomi. Filsafatnya juga sering disebut sebagai strukturalis genetis, konstruktivis strukturalis, dan sebagainya. Filsafat ini dipakai untuk kembali pada pelaku, bukan institusi.
Ada yang ketinggalan…
Konsep yang juga diajukan Bourdieu adalah tentang kekerasan simbolik. Yang satu ini lebih gampang dijelaskan dengan contoh-contoh; Orang kaya yang pulang ke desanya dengan mobil dan penampilan yang wah, orang kiri yang pergi ke diskusinya HTI. Konsep ini berawal dari media. Seorang wanita yang down saat membaca majalah fashion. Semacam konstruksi yang menentukan aktor untuk bertindak. Konsekuensi dari kekerasan simbolik adalah alienasi. Konsep yang berasal dari Marx, namun dengan pemahaman yang lebih kaya. Kekerasan simbolik akan tetap berlangsung selama terdapat perbedaan habitus dan diferensiasi modal.
Seluruh filsafat Bourdieu sebenarnya ingin menjawab pertanyaan besar tentang bagaimana masyarakat terbentuk, antara struktur obyektif dan subyektif.
Diskusi dalam forum ini hanya mencakup permukaan dari seluruh luasan dan kedalaman samudra pemikiran Bourdieu. Diskusi ini juga menjadi semacam pengantar bagi siapa saja yang ingin menyelam bersama Bourdieu secara lebih dalam. Berbicara tentang Bourdieu sebenarnya juga harus didahului dengan pembicaraan tentang Marx. Karena Bourdieu berusaha untuk melakukan counter terhadap berabgai tesis dari Marx. Semoga membicarakan satu tokoh ini tidak membuat kita mengalami keterputusan ide dengan rangkaian sejarah panjang perdebatan keilmuan. Namun, tak apalah. Apapun hasilnya, kitalah masing-masing yang menentukan.
Selamat menikmati kelezatan sebuah filsafat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar