Kamis, 11 Desember 2008

Desentralisasi Asimetris dalam Otonomi Khusus di Indonesia

Desentralisasi Asimetris dalam Otonomi Khusus di Indonesia

Otonomi Khusus di Yogyakarta

Status daerah keistimewaan diberikan kepada Yogyakarta karena latar belakang sejarahnya. Kesultanan Yogyakarta merupakan salah satu kerajaan pertama yang bergabung dengan NKRI. Keistimewaan yang diberikan kepada DIY terkait erat dengan mekanisme pengisian jabatan eksekutif dimana pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan atau campur tangan dalam pemilihan kepala daerah. Kepala derah tidak dipilih oleh rakyat melainkan berdasarkan hereditas atau ketururnan. Posisi Gubernur dan Wakil Gubernur akan selalu diisi oleh Sultan dan Paku Alam.

Keistimewaan tidak hanya terbatas pada status kepala daerah melainkan juga pemerintahan, pertanahan, pendidikan, kebudayaan, anggaran keistimewaan dan posisi keraton. Keistimewaan DIY tidak hanya soal gubernur tetapi meliputi semua aspek mulai dari kebudayaan sampai pemerintahan.

Masalah pertanahan, seharusnya diberikan status istimewa, karena di Provinsi DIY awalnya tidak pernah ada tanah negara pada awalnya. Semua tanah negara di DIY adalah tanah Sultanat, yang sejak kemerdekaan diberikan kepada pemerintah daerah. Selain itu, ada tanah milik Keraton Yogyakarta (Sultan Ground), dan tanah milik Puro Pakualaman (Paku Alam Ground), yang sebagian saat ini digunakan oleh masyarakat untuk bermukim atau berbudidaya dengan kekancing atau sertifikat hak pakai dari Keraton dan Puro, tetapi bukan hak milik. Karena bersifat istimewa, pertanahan DIY dengan demikian seharusnya juga tidak cukup diatur dengan UU Pokok Agraria, melainkan harus dijabarkan dalam peraturan daerah (Perda).[1]

Urusan kelembagaan pemerintahan mengalami anomali di tingkat desa. Buktinya, para perangkat desa membentuk paguyuban lurah, seperti Ismoyo dan Bodronoyo, yang memiliki ketaatan sukarela kepada Sultan sebagai pemimpin. Mereka bersedia pula menanggalkan lencana PNS dan menggantinya dengan lencana keraton. Hal serupa terjadi ketika para bupati dan wali kota sowan ke keraton dalam acara ngabekten (upacara memberi salam, berbakti kepada Sultan, pada saat Lebaran). Ini bukti bahwa kalangan birokrat masih memegang kepatuhan kultural kepada keraton, bukan sekadar hubungan struktural kepada pemerintah provinsi. Itu merupakan keistimewaan yang sampai sekarang tidak hilang.[2]

Keistimewaan DIY juga terletak pada posisi keraton sebagai pelestari adat dan budaya yang tidak dimiliki oleh daerah lain di Indonesia.

Otonomi Khusus Aceh

Secara historis rakyat Aceh dinilai telah melakukan perjuangan untuk meerebut kemerdekaan RI dengan bersumber pada kehidupan yang religius, adat yang kukuh, dan budaya Islam yang kuat. Kehidupan rakyat Aceh telah menempatkan ulama pada posisi yang terhormat sehingga perlu dilestarikan dan dikembangkan bersamaan dengan pengembangan pendidikan. Dan salah satu caranya adalah melalui pemberian otonomi khusus pada Aceh. Sesuai Undang-Undang nomor 44 tahun 1999, penyelenggaraan keistimewaan Aceh meliputi: penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Derah.

Selanjutnya, penyelenggaraan kehidupan beragama di Daerah diwujudkan dalam pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam masyarakat. Pemerintah daerah juga berhak menetapkan kebijakan, lembaga adat dan sistem pendidikan yang dijiwai oleh syariat Islam. Daerah juga berhak untuk membentuk suatu badan yang anggotanya terdiri dari para ulama yang berhak dalam penentuan kebijakan derah dan bersifat independen. Badan ini disebut Majelis Permusyawaratan Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh Kedudukan badan ini sejajar dengan Gubernur dan DPRD Aceh.

Keistimewaan Aceh terletak pada pentingnya peran ulama. Hal ini terlihat dari dibentuknya Majelis Pemusyawaratan Ulama. MPU mempunyai tugas memberi masukan, pertimbangan, bimbingan dan nasihat serta saran-saran dalam menentukan kebijakan Daerah dari aspek Syariat Islam, baik kepada Pemerintah Daerah maupun kepada masyarakat di daerah. MPU juga berfungsi untuk menetapkan Fatwa Hukum, memberikan pertimbangan baik diminta atau tidak terhadap kebijakan Daerah, terutama dalam bidang pemerintahan. Pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang islami.

Otonomi Khusus Papua

Dalam penjelasan Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua dikatakan bahwa Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain.

Kekhususan otonomi di Papua terletak pada danya pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan representasi orang asli Papua. Kebijakan daerah yang diambil tidak hanya merupakan konsensus antara eksekutif dan legislatif tetapi juga melibatkan MRP. MRP memilki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak asli orang Papua yang berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kehidupan beragama. MRP juga memiliki wewenang untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan dalam hal pemilihan pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang berasal dari orang asli Papua.

Selain itu, pelaksanaan wewenangnya juga meliputi: memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan perdasus, memberikan pertimbangan dan persetujuan atas kerja sama dengan pihak ketiga, menerima penyampaian aspirasi dan pengaduan, dan memberikan pertimbangan terhadap hak-hak orang asli Papua.

Dalam Undang-undang no 21 tahun 2001 Bab XI pasal 43 juga dijelaskan mengenai perlindungan hak-hak masyarakat adat. Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dalam rangka penegakan HAM di Papua undang-undang ini juga mengatur pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang bertugas untuk melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam NKRI dan merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.

Dalam ranah kekuasaan peradilan, disamping kekusaan kehakiman yang dilaksanakan badan peradilan, juga dikenal adanya peradilan adat. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Referensi:

Susanto, Ari. Satu-Satunya Daerah Istimewa yang Tak Lagi Istimewa. Dalam http://www.indonesiaottawa.org/information/printfriendly.php?id=1687&type=news

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Keistimeewaan Aceh.

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua

PP nomor 54 tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua.

Perda Aceh nomor 3 tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja MPU.

Perda Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam.



[1] Susanto, Ari. Satu-Satunya Daerah Istimewa yang Tak Lagi Istimewa. Dalam http://www.indonesia-ottawa.org/information/printfriendly.php?id=1687&type=news

[2] ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar