Kamis, 11 Desember 2008

Orde Baru dalam Berbagai Perspektif

Orde Baru dalam Berbagai Perspektif

Orde Baru adalah salah satu sistem pemerintahan yang paling menarik untuk dikaji. Para Indonesianis mencoba untuk menaganalisisnya dalam berbagai perspektif. Hal ini menjadi sebuah obyek kajian yang melihat hubungan antara negara dan masyarakat. Banyak label yang diberikan untuk memberi nama sistem politik Orde Baru. Dari beberapa perspektif tersebut, terdapat kemiripan yaitu bagaimana menjelaskan politik Orde Baru sebagai upaya untuk melakukan alienasi dan subordinasi terhadap kepentingan dan partisipasi masyarakat.

Terdapat tiga pendekatan dominan untuk menafsirkan sistem politik Orde Baru. Yang pertama adalah pendekatan modernisasi yang melihat pertarungan dan konflik antara pemimpin-pemimpin modern yang berfikir pragmatis dan para pemimpin tradisional yang masih menggunakan pertimbangan irasional dalam proses nation buiding. Pendekatan modernisasi bisa dijelaskan lebih jauh lagi dengan pendekatan teknokratis dan teori perpolitikan birokrasi. Kedua adalah perspektif historis yang mencoba memahami politik Indonesia kontemporer dengan melakukan replika terhadap struktur sosial masa lalu. Ketiga adalah pendekatanm struktural yang mencoba memahami sistem politik Orde Baru melalui kapitalisme negara, kelas-kelas sosial dan basis ekonomi rezim.

Berikut ini adalah sedikit uraian mengenai beberapa pendekatan yang bisa digunakan untuk menganalisis sistem politik Orde Baru.

Pendekatan Teknokratik. Pendekatan ini memfokuskan pada cara mempraktikkan dan mengejar strategi pembangunan yang paling cocok untuk menghasilkan kemakmuran bagi indonesia. Peluang Indonesia untuk makmur sangat dipengaruhi oleh ortodoksi ekonomi seperti yang diusulkan lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Pendekatan ini meletakkan pertumbuhan ekonomi sebagai superioritas yang harus dicapai Indonesia meskipun hanya menguntungkan kelompok yang bersifat partikular dan mengorbankan kepentingan kelas sosial rendah di lain pihak. Cara berpikir teknokratik memahami kebijakan negara sebagai produk pertimbangan kriteria yang bersifat universal dan rasional. Sedangkan konflik sosial dan politik dianggap menggangu perwujudan kalkulasi ekonomi yang bersifar saintifik. Perselisihan dalam pembuatan kebijakan merupakan kerangka ketegangan antara intenal kelas dominan yaitu para pemilik modal dan ketegangan antara kelas dominan dan subordinan.

Teori Perpolitikan Birokrasi. Gagasan dasar dari teori ini adalah adanya pemilahan masyarakat menjadi dua kelompok besar, elit dan massa. Kelompok elit mengendalikan birokrasi negara sedangkan massa didefinisikan sebagai kelompok di luar elit yang memiliki kemampuan sangat terbatas dalam mempengaruhi pertarungan kekuasaan di lingkaran elit. Salah satu varian yang paling dominan dalam pendekatan ini adalah model patrimonialisme. Struktur negara dianalogikan sebagai jaringan hubungan patron-klien yang berbentuk piramid. Beberapa ilmuwan seperti Emmerson dan Liddle menekankan sifat negara Orde Baru sebagai arena politik yang eksklusif yang membatasi kelompok-kelompok non negara dalam proses pembuatan kebijakan. Birokrasi menjadi salah satu tangan kanan negara untuk melaksanakan eksklusifisme terhadap kepentingan aktor negara.

Model State-Qua-State. Perspektif ini merupakan turunan dari pespektif historis yang mencoba menjelaskan bahwa kecenderungan sentralisasi era pasca kemerdekaan berasal dari kegagalan rezim politik kolonial untuk mengembangkan desentralisasi, sehingga negara yang kemudian terbentuk adalah negara sebagai penjaga malam, dalam artian kekuasaan hanya terpusat untuk menjamin ketertiban dan perdamaian. Benedict Anderson mencoba menjelaskan perspektif ini dengan menggambarkan negara Orde Baru sebagai sebuah entitas yang melayani dirinya sendiri dengan kepentingan yang didefinisikan secara mandiri. Pandangan ini menekankan pada otonomi negara dan dominasinya atas masyarakat. Namun demikian, pandangan ini mendapat banyak sanggahan. Dalam hal ini, negara tidak benar-benar otonom karena kebijakan yang dikeluarkannya tidak akan bertentangan dengan kepentingan umum kelas pemilik modal sebab kelas ini memiliki letak yang strategis dalam struktur pembangunan ekonomi yang kapitalistik. Pandangan ini sama artinya bahwa negara memiliki otonomi yang relatif yang dibatasi oleh kepentingan pemilik modal yang menjadi elemen pokok dari basis kekuasaannya.

Pendekatan Struktural. Pendekatan ini cenderung dekat dengan pendekatan marxis yang memahami politik Orde Baru sebagai negara kapitalis dan menitikberatkan arti penting peran pengusaha. Mortimer (1973) menggambarkan poltik Orde baru sebagai sebuah koalisi kekuasaan yang terdiri dari modal asing dan pejabat-pejabat negara yang sebagian besar berasal dari militer. Pendekatan ini memfokuskan pada hubungan antara negara dan kelas kapitalis. Dwight King melihat Orde Baru sebagai strategi mengembangkan struktur korporatis sebagai design untuk melakukan kontrol terhadap energi politik sebagai sektor kunci dalam masyarakat antara kelas kapitalis dan pekerja. Beberapa perspektif struktural bersifat state centris namun pada dasarnya, teori ini juga melihat hubungan patrimonial dengan basis kelas dan asosiasi korporatis sebagai upaya untuk melakukan transmisi kepentingan masyarakat ke dalam proses kebijakan. Negara melakukan strukturalisasi yang sangat tegas melalui sistem pemerintahan dengan jenjang tertentu. Salah satu varian dari teori ini menjelaskan negara sebagai kapitalis rente dengan kekuasaan yang bersandar pada praktik memungut rente. Pendekatan ini juga memberi label pada politik Orde Baru sebagai negara otoriterisme birokratik. Argumen pokok dari pendekatan ini adalah pentingnya peran pejabat-pejabat militer dalam urusan-urusan politik, yang didukung para teknokrat sipil dan bekerja sama dengan modal domestik maupun internasional.

Pendekatan struktural setidaknya telah menyedikan pemahaman yang lebih baik terhadap politik Orde Baru. Pendekatan ini menekankan saling keterkaitan antara dunia politik dan ekonomi. Pendekatan ini juga menonjolkan peran kelas-kelas sosial dalam menentukan kebijakan politik Orde Baru. Pendekatan struktural juga melihat kelahiran Orde Baru sebagai produk konteks sejarah yang spesifik di 1960-an yang membuat tatanan sosial yang baru ini tidak bisa disamakan dengan model kekuasaan tradisional yang pernah dikenal dalam sejarah Indonesia.

Berbagai perpektif hadir dalam rangka memahami sistem politik Orde Baru. Kesemuanya tidak bisa dipahami secara terpisah. Antara satu perspektif dengan perspektif lain bisa dikatakan bersifat saling melengkapi. Pendekatan-pendekatan dominan tersebut memiliki berbagai kelemahan. Salah satunya adalah, adanya fokus kajian yang berbeda antara satu perspektif dengan perspektif lain dengan menegasikan faktor di luar fokus kajian tersebut. Salah satu pespektif sibuk menjelaskan struktur ekonomi saja sedangkan yang lain hanya menjelaskan stuktur politik. Padahal, antara struktur politik dan ekonomi, keduanya memiliki hubungan dialektis yang tidak dapat dipisahkan. Pendekatan-pendekatan dominan di atas terlalu memberi perhatian yang lebih dalam terhadap struktur negara dan elit.

Dari beberapa kelemahan di atas, penulis artikel ini berpendapat bahwa Orde Baru hendaknya dipahami sebagai sebuah formasi sosial yang terbentuk dari pembangunan ekonomi yang kapitalistik dan kekuasaan politik yang otoriter. Basis pembangunan ekonomi adalah kapitalisme negara dan kelas pemilik modal. Selain itu, negara dalam hal ini juga memiliki kompetensi khusus dalam mengelola konflik antara fraksi-fraksi yang berlainan di kalangan pemilik modal dan untuk menghidupi pengusaha (lihat, misalnya, Robinson 1986).

Perubahan politik di Indonesia yang mengiringi kejatuhan Soeharto menimbulkan banyak tafsiran. Jatuhnya Orde Baru dipandang sebagai sebuah proses peralihan menuju demokrasi yang melibatkan tarik menarik kekuatan diantara para elit nasional. Tafsiran kedua, memandang jatuhnya rezim Orde Baru sebagai perubahan perimbangan kekuatan antara kelas sosial utama, yang dibentuk oleh perkembangan historis kapitalisme Orde Baru yang menjadi faktor paling penting dalam proses pengunduran diri Soeharto.

Bagaimanapun juga, perspektif dan tafsiran tentang politik Orde Baru di atas tidak bisa secara keseluruhan menjelaskan kontestasi dan konfigurasi politik yang terjadi pada saat itu. Dari keseluruhan perspektif yang dibahas dalam artikel ini, belum ada satupun yang membahas hubungan antara elit dan masyarakat dalam rezim politik Orde Baru. Komodifikasi ideologi menjadi salah satu aspek penting dalam politik Orde Baru yang digunakan pemerintah untuk melakukan mobilisasi dan depolitisasi massa. Melalui kebijakan floating mass-nya rezim politik berhasil mengontrol kebijakan yang disesuaikan dengan kepentingan elit penguasa. Proses demokratisasi saat itu benar-benar berhenti dengan ditutupnya saluran aspirasi dari masyarakat. Sedangkan hubungan secara internal antar kelas elit hanya bersifat pragmatis dan transaksional. Masyarakat akhirnya semakin sadar tentang demokrasi melalui penguatan-penguatan organisasi kemasyarakatan yang semula menjadi lembaga korporasi negara. Hal ini pula yang menjelaskan bagaimana Soeharto jatuh akibat kehilangan basis legitimasi dari masyarakat, bahkan dari orang-orang internalnya sendiri.

Melihat kelemahan dari perspektif-perspektif diatas, nampaknya masih perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam untuk memahami keruntuhan rezim politik Orde Baru yang bisa bertahan dengan stabilisasinya selama tiga puluh dua tahun. Kajian tersebut tidak hanya menjelaskan fenomena kekuasaan negara yang bersifat otoriter dengan grand design-nya tentang pembangunan ekonomi, namun juga meliputi hubungan antara negara dan masyarakat serta proses sosial internal masyarakat yang menjadi salah satu faktor utama jatuhnya sebuah rezim politik.

Ranah teoritik selalu menyajikan banyak interpretasi terhadap realitas, khususnya tentang proses sejarah kejatuhan Soeharto. Masalah interpretasi inilah yang memunculkan berbagai pendekatan yang berbeda terhadap satu obyek kajian yang sama. Masing-masing memiliki sudut pandang dengan obyek kajian yang berbeda. Tidak hanya kapitalisme, baik itu pertumbuhan dan kebangkrutannya yang menjadi penyebab jatuhnya rezim politik Orde Baru. Masih banyak faktor-faktor lain yang tidak kalah penting untuk dijadikan obyek analisis dalam rangaka memahami perubahan politik yang terjadi pada masa Orde Baru.

Critical Review:

Eric Hieriej, Materialisme Sejarah Kejatuhan Soeharto: Pertumbuhan dan Kebangkrutan Politik Orde Baru, IRE Press, Yogyakarta, Mei 2005.

Referensi:

Mc Intyre, Andrew. 1990. Business and Politics in Indonesia. Sydney

Tidak ada komentar:

Posting Komentar