Kuasa dan Seni: Refleksi dari Sebuah Panggung Ketoprak
Jam delapan lewat lima belas menit. Sebuah pertunjukkan Ketoprak yang melibatkan para eksekutif dan legislatif kota Yogyakarta digelar di Taman Budaya pada tanggal 3 Desember kemarin. Panggung masih sepi sementara penonton sudah tak sabar lagi menunggu para pemimpin mereka keluar memainkan sebuah lakon Ketoprak yang berjudul “Nagih Janji Bumi Perdikan”. Sontak pertunjukan yang jarang ditemui ini menyita perhatian masayarakat. Jarang sekali mereka berkesempatan melihat aksi panggung para pengemban amanah rakyat ini. Diantara pemainnya terdapat Wali Kota, Ketua DPRD kota Jogja dan pucuk pimpinan kepolisian dan TNI. Lampu panggung tiba-tiba gelap lalu menyala satu demi satu. Sang Prabu yang diperankan oleh Ketua DPRD itu pun masuk panggung. Ia bermonolog dan ibu-ibu di samping saya berteriak histeris karena kharisma dan gentengnya si Ketua yang akrab dipanggil Mas Inung ini. Mistifisme suara gamelan terdengar. Pertunjukan pun dimulai dengan tepuk meriah dari seluruh penonton.
Sekadar Pemaknaan Sederhana
Cerita singkat tentang pertunjukan Ketoprak tersebut semakin menguatkan asumsi bahwa segala sesuatu pasti merefleksikan sesuatu. Hanya saja refleksi satu orang dengan orang lainnya pasti akan berbeda dalam pemaknaan terhadap suatu realitas. Demikian juga dengan realitas pertunjukan Ketoprak yang melibatkan para penggedhe kota Jogja.
Seni merupakan salah satu bentuk generalisasi keindahan yang bisa mengungkapkan banyak hal. Tergantung dari pencipta seni, media seni, efek dari suatu seni dan latar belakang yang menciptakan suatu kreatifitas seni. Seni Ketoprak merupakan salah satu seni yang tak asing lagi bagi masyarakat Jogja. Sejak dulu masyarakat telah mengenal seni Ketoprak. Mulai zaman kolonial, melalui masa Orde Baru sampai pada masa sekarang ini. Salah satu cabang seni drama ini memiliki hubungan dialektis dengan masyarakat yang tak pernah terputus dan selalu mengaktualisasikan dirinya dengan perubahan zaman.
Seni hanya akan menjadi seni ketika hanya dimaknai dari perspektif keindahannya saja. Pemaknaan saya ini akan sedikit memberi ruang bagi seni sebagai sebuah instrumen kuasa yang efektif. Baik sebagai bentuk resistensi terhadap kekuasaan dominan maupun sebagai sarana hubungan dialogis dengan masyarakat. Namun seni Ketoprak yang saya bicarakan tadi nampaknya merupakan sarana pemerintah untuk lebih mendekatkan dirinya dengan masyarakat. Mencoba untuk mempersempit jarak dan disparitas antara penguasa dan rakyatnya.
Tulisan ini sekaligus ingin memberi sedikit inspirasi bahwasannya peran kuasa dan politik tidak hanya bekerja pada ranah dan lembaga-lembaga formal melainkan melekat dalam setiap realitas hidup manusia. Politik dan kekuasaan bisa bekerja pada alat dan arena kehidupan yang paling sempit sekalipun. Oleh karena itu, politik selalu terkait dengan permasalahan siapa menguasai apa serta kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Politik juga terkait dengan penguasaan sumber daya dan pengaruh hingga Plato sampai pada preposisinya bahwa “all human interactions are politics”.
Di sini, seni bisa dikatakan sebagai media yang efektif untuk melakukan pencitraan bagi penguasa dan melakukan proses pengakaran kekuasaan terhadap masyarakat. Ajaibnya, masyarakat cenderung tidak menyadari bahwa seni telah menjadi instrumen penguasa untuk menanam lebih dalam kuasanya. Seni bisa diterima masyarakat karena telah melekat dengan kehidupan mereka sehari-hari sehingga pemerintah tak perlu repot-repot menggunakan jargon dan simbol-simbol yang canggih untuk menarik perhatian masyarakat.
Hal ini bisa dirunut dari beberapa catatan sejarah tentang bagaimana LEKRA, sebuah organisasi bentukan PKI yang mencoba menggunakan kebudayaan untuk melakukan sosialisasi atau bahkan doktrinasi untuk menarik massa. Demikian halnya dengan pemerintah Orde Baru. Melalui hegemoni media massa, pemerintah secara langsung menggunakan instrumen budaya untuk melakukan doktrinasi pembangunan. Ketoprak di masa Orde Baru cenderung digunakan sebagai media untuk menggambarkan bahwa budaya Keraton selalu identik dengan budaya yang adi luhung. Semakin jauh dari Keraton digambarkan semakin tidak beradap. Seni pada saat itu berada dalam rangkulan kekusaan pemerintah sehingga tak banyak orang yang berani melakukan resistensi atau menanggung resiko diamankan aparat.
Seni Ketoprak bukanlah suatu seni yang asing dan sulit diterima sebagaimana halnya lukisan abstrak. Ketoprak merupakan seni yang semua orang, khususnya Jawa bisa memahami bahasa serta jalan ceritanya. Ketoprak juga bukan art-to-art atau seni untuk seni melainkan secara khusus dimaknai sebagai seni untuk masyarakat. Penggunaan instrumen Ketoprak oleh pemerintah kota Jogja berbeda dengan dua bentuk kooptasi seni di atas. Selain sebagai hiburan rakyat, Ketoprak lebih difungsikan sebagai media dan upaya untuk mendekatkan diri dari para pemimpin kepada konstituennya. Persepsi sebagian orang bisa menganggapnya sebagai sekedar hiburan tetapi mungin saja terdapat pesan tersembunyi yang diletakkan dalam sebuah pertunjukan.
Pertunjukan ini mengisahkan tentang para Demang di Kadipaten Cengkir Gading yang menuntut “tanah perdikan” dari Kerajaan Jayawikarta yang sebelumnya telah dijanjikan. Namun tuntutan itu justru dimaknai sebagai upaya untuk keluar dari kesatuan kerajaan Jayawikarta. Para Demang di Kadipaten Cengkir Gading banyak melakukan aksi yang mengundang kemarahan Sang Prabu sampai ia mengutus Demang Klithikan untuk membawahi para Tumenggung dalam menyelesaikan masalah ini. Akhir cerita ini tidak begitu jelas. Hanya ketika kedua kubu akan saling berperang, sang Prabu datang lalu memegang pundak kedua Demang yang akan berperang. Semua saling menunduk. Lampu di matikan dan pertunjukan pun selesai.
Dalam pertunjukkan selalu terdapat simbol-simbol yang dikerangkai dengan mitos dan dimanifestasikan dalam setiap adegan dan dialognya. Simbol-simbol tersebut berbicara bagaimana hubungan antara wong cilik dan penggedhe yang berusaha untuk dibuat se-egaliter mungkin. Para pemimpin ini nampaknya benar-benar ingin mempersempit ruang antara mereka dan rakyatnya. Dalam pertunjukan ini, banyak adegan yang menggambarkan hal tersebut.
Namanya juga panggung sandiwara. Segala bentuk hukum dan kuasa dalam kenyataan sebenarnya tak berlaku di sini. Semua pemain dituntut mematuhi naskah dan sutradara. Dalam beberapa adegannya, pelawak seperti Marwoto atau Den Baguse Ngarso bisa saja menyindir-menyindir para pejabat tanpa ada yang sakit hati atau sampai mengeluarkan somasi. Bisa saja mereka memerintah dan bicara seenaknya dengan gaya khas mereka. Seni bisa menjembatani perbedaan status sosial dan struktur. Wali Kota pun bisa menjadi seorang batur, seorang pembantu tukang nyapu di rumah Demang, bahkan sampai nyembah-nyembah selayaknya seorang abdi kepada tuannya. Para legislatif, para anggota fraksi, bisa duduk lesehan bersila di bawah Marwoto yang notabene hanya seorang pelawak. Di sinilah terjadi peralihan kuasa antara realitas dan dunia panggung.
Demang Klithikan digambarkan sebagai orang yang sok berkuasa. Melalui serat kekancingan (surat mandat) dari sang Prabu ia dengan seenaknya memerintah para Senapati yang mau tak mau harus tunduk pada perintah seorang Demang. Demang ini nampaknya ingin digambarkan sebagai seorang yang cenderung akan melakukan hal yang dikehendakinya ketika menerima kuasa.
Sekedar memberi makna, tapi mungkin ini terlalu subyektif. Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa kekuasaan yang berada di tangan orang yang tepat tentu akan membawa kesejahteraan sedangkan ketika berada di tangan orang yang salah seperti Demang yang tiba-tiba jadi berkuasa maka bisa jadi justru tak berpihak pada rakyat. Begitulah wong cilik ketika belum berkuasa ia berdalih akan melindungi rakyat kacil namun ketika sudah berkuasa ia jadi lupa dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Maka, biarlah “kami” saja yang memegang kuasa, yang telah terbiasa memegang kuasa.
Di atas panggung Ketoprak bisa saja terjadi semacam perpindahan kuasa. Secara tidak langsung pemerintah berhasil melakukan pencitraan terhadap masyarakat. Bahwa ternyata penguasa juga bisa merasakan penderitaan dan rasa menjadi wong cilik. Sebaliknya, wong cilik juga bisa merasakan bagaimana menjadi penguasa. Tapi jangan-jangan ini juga merupakan bentuk penggunaan seni sebagai media kuasa untuk menggambarkan pemerintah secara positif terhadap masyarakat. Menafikan berbagai asumsi yang banyak mengkritisi perilaku dewan dan beberapa jajaran penguasa yang tak jarang mendzolimi konstituennya.
Ah, mungkin saya terlalu memberi makna secara negatif di bagian terkahir ini. Anggap saja pemerintah memang benar-benar ingin menawarkan hiburan segar kapada masyarakat terlepas dari pemaknaan dan pretensi untuk menggunakan seni sebagai medium kekuasaan. Para pejabat ini lucu juga ketika bermain Ketoprak. Bahkan mengalahkan kelucuan para dagelan yang di pasang di sela adegan. Barangkali ketika bapak-bapak sudah lelah mewakili kami, bisa saja leren jadi politisi dan beralih profesi untuk jadi pemain Ketoprak. Membawakan lakon-lakon kahidupan yang tak parnah ada habisnya untuk diceritakan. Dan kami pun akan sangat terhibur menyaksikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar